Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Dalam literatur klasik ilmu politik, disiplin sering dipahami dalam kerangka social control, yaitu mekanisme pengendalian perilaku masyarakat oleh negara melalui seperangkat aturan, sanksi, dan norma (Parsons, 1951). Pemahaman ini, apabila dijalankan secara koersif, berpotensi mengarah pada praktik otoritarianisme, di mana disiplin menjadi instrumen represi terhadap kebebasan individu (Foucault, 1977). Namun, dalam kerangka demokrasi, disiplin tidak boleh dimaknai semata-mata sebagai pemaksaan dari luar, melainkan sebagai mekanisme internalisasi nilai, norma, dan aturan bersama yang menopang keteraturan sosial sekaligus memperkuat kualitas kewargaan (civic virtue) (Putnam, 1993; Etzioni, 1995).

Kualitas demokrasi pada hakikatnya ditentukan oleh sejauh mana warga negara bersedia membatasi kebebasan individualnya demi menjaga kebebasan bersama. Aristoteles dalam Politics menekankan bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang tunduk pada hukum dan sanggup menjalankan perannya dalam kehidupan politik (Aristotle, trans. 1998). Rousseau (1762/2011) bahkan menegaskan bahwa kepatuhan pada hukum yang dibuat secara kolektif justru merupakan bentuk kebebasan tertinggi. Dengan demikian, disiplin dalam demokrasi harus dipahami bukan sebagai alat untuk mereduksi kebebasan sipil, melainkan sebagai prasyarat yang memungkinkan kebebasan itu terwujud secara kolektif.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimana suatu negara dapat mendisiplinkan seluruh warganya tanpa mengorbankan hak-hak sipil dan politik yang menjadi pilar utama demokrasi. Tantangan ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga praktis: disiplin demokratis menuntut keberimbangan antara rule of law, partisipasi politik, dan pendidikan kewargaan. Oleh karena itu, analisis mengenai konsep disiplin dalam demokrasi harus mencakup dimensi hukum, sosial, dan moral, sehingga disiplin dapat diposisikan bukan sebagai penghalang kebebasan, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat kualitas demokrasi itu sendiri (Habermas, 1996; Dahl, 1989).

Kedisiplinan Warga Negara: Studi Kasus Jepang, Jerman, Tiongkok, dan Vietnam

Kedisiplinan warga negara telah terbukti menjadi salah satu faktor penentu dalam menjelaskan keberhasilan pembangunan politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Disiplin di sini tidak semata dipahami sebagai kepatuhan legal-formal terhadap aturan, melainkan sebagai budaya kolektif yang menekankan keteraturan, kerja keras, kepatuhan pada norma, serta kesediaan individu untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan privat. Studi perbandingan menunjukkan bahwa banyak negara yang berhasil melakukan transformasi menjadi kekuatan besar global justru berangkat dari modal sosial berupa kedisiplinan kolektif warganya (Putnam, 1993; Huntington, 2000).

Pengalaman Jepang paska Perang Dunia II merupakan ilustrasi klasik. Rekonstruksi Jepang berlangsung relatif cepat karena didukung oleh budaya disiplin masyarakatnya yang menekankan etos kerja, loyalitas pada institusi, dan penghormatan terhadap aturan. Johnson (1982) melalui konsep developmental state menegaskan bahwa keberhasilan industrialisasi Jepang tidak hanya ditopang oleh kebijakan negara, tetapi juga oleh kepatuhan kolektif warga terhadap strategi pembangunan yang digagas pemerintah. Budaya disiplin ini berakar dari nilai Konfusianisme yang menekankan hierarki dan harmoni, serta diperkuat oleh sistem pendidikan dan organisasi perusahaan yang menekankan kepatuhan dan loyalitas.

Pengalaman serupa terlihat di Jerman pasca-Perang Dunia II. Fenomena Wirtschaftswunder atau “keajaiban ekonomi Jerman” tidak semata hasil bantuan Marshall Plan, melainkan juga didukung oleh budaya disiplin warga negara dalam menghargai kontrak sosial, etos kerja yang tinggi, dan kepatuhan pada aturan hukum. Katzenstein (1987) mencatat bahwa keberhasilan social market economy Jerman Barat bertumpu pada koordinasi tripartit antara negara, serikat pekerja, dan perusahaan, yang hanya mungkin berhasil karena adanya kedisiplinan dan kepercayaan sosial masyarakat Jerman terhadap institusi mereka.

Tiongkok memberikan contoh lain bagaimana kedisiplinan kolektif warga negara, meskipun dalam kerangka politik non-demokratis, dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sejak dimulainya reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping pada 1978, keberhasilan Tiongkok dalam mengonsolidasikan pembangunan sangat ditopang oleh budaya kerja keras, kepatuhan terhadap norma kolektif, serta disiplin tinggi dalam melaksanakan kebijakan negara. Unger (2002) menekankan bahwa transformasi Tiongkok menuju world factory tidak hanya ditentukan oleh kebijakan ekonomi, tetapi juga oleh etos kedisiplinan sosial yang memungkinkan implementasi kebijakan pembangunan secara konsisten.

Sementara itu, Vietnam memberikan contoh kontemporer mengenai peran kedisiplinan warga negara dalam pembangunan pasca-Đổi Mới (1986). Reformasi ini tidak hanya membuka ruang bagi liberalisasi ekonomi, tetapi juga menuntut partisipasi dan disiplin kolektif warga negara dalam mendukung industrialisasi dan integrasi ke pasar global. Vuving (2020) menunjukkan bahwa keberhasilan Vietnam menjadi salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara erat kaitannya dengan budaya disiplin sosial-politik, yang dipengaruhi oleh sejarah perjuangan kemerdekaan serta tradisi kolektivisme yang ditanamkan oleh Partai Komunis.

Keempat studi kasus tersebut memperlihatkan bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam sistem politik dan strategi pembangunan, kedisiplinan warga negara selalu menjadi faktor kunci. Di Jepang dan Jerman, disiplin berakar pada demokrasi dan rule of law, sementara di Tiongkok dan Vietnam disiplin dikonstruksi dalam kerangka kolektivisme politik. Namun, titik temunya adalah bahwa kedisiplinan kolektif berfungsi sebagai modal sosial yang memungkinkan negara mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan konsistensi, memperkuat legitimasi institusi, dan mendorong percepatan modernisasi (Putnam, 1993; Huntington, 2000).

Kerangka Konseptual: Disiplin dalam Demokrasi

Disiplin warga negara dalam demokrasi dapat dipahami melalui tiga ranah konseptual yang saling melengkapi. Ranah pertama adalah dimensi legal yang berakar pada prinsip rule of law. Dalam kerangka ini, disiplin terwujud melalui keberlakuan hukum yang adil, konsisten, dan ditegakkan tanpa diskriminasi. Supremasi hukum menjadi fondasi utama agar disiplin tidak dipandang sebagai instrumen represi semata, melainkan sebagai mekanisme universal yang menjamin kepastian, keadilan, dan perlindungan hak-hak dasar warga negara (Dicey, 2013; Dahl, 1989).

Ranah kedua adalah dimensi moral yang menekankan pentingnya civic virtue. Disiplin bukan sekadar kepatuhan karena ancaman sanksi, tetapi lahir dari internalisasi nilai, norma, dan kesadaran etis warga negara. Aristoteles (1998) menyebut hal ini sebagai kebajikan kewargaan, yakni kemampuan untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan privat. Dalam tradisi modern, Habermas (1996) menambahkan bahwa legitimasi hukum hanya dapat bertahan apabila warga negara mematuhi aturan karena mengakui rasionalitas dan keabsahan moralnya. Dengan demikian, dimensi moral memperlihatkan bagaimana disiplin demokratis tumbuh dari kesediaan individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan dasar tanggung jawab sosial.

Ranah ketiga adalah dimensi partisipatif yang menekankan bahwa disiplin hanya akan berkelanjutan apabila warga negara terlibat aktif dalam proses politik dan sosial. Partisipasi memperkuat rasa memiliki terhadap aturan yang berlaku, sehingga kepatuhan muncul bukan sebagai keterpaksaan melainkan sebagai komitmen kolektif. Pateman (1970) menegaskan bahwa keterlibatan dalam pengambilan keputusan memperdalam demokrasi sekaligus menumbuhkan disiplin secara sukarela. Putnam (1993) bahkan menunjukkan bahwa jaringan sosial yang kuat dan kepercayaan timbal balik dalam masyarakat akan melahirkan kedisiplinan warga yang konsisten dengan norma bersama.

Dari ketiga ranah tersebut dapat dipahami bahwa disiplin demokratis merupakan sebuah kesinambungan yang bergerak dari kepatuhan formal terhadap hukum, internalisasi nilai moral, hingga partisipasi aktif dalam kehidupan publik. Negara demokratis yang berhasil mendisiplinkan warganya adalah negara yang mampu menjaga keseimbangan antara ketiga dimensi tersebut. Dengan demikian, disiplin tidak berfungsi sebagai instrumen represi, tetapi justru menjadi fondasi bagi kebebasan bersama dan kualitas demokrasi yang berkelanjutan (Habermas, 1996; Dahl, 1989; Etzioni, 1995).

Disiplin sebagai Civic Responsibility

Dalam tradisi filsafat politik, gagasan mengenai disiplin selalu dikaitkan dengan tanggung jawab kewargaan (civic responsibility). Aristoteles dalam Politics menekankan bahwa warga negara yang baik bukan hanya tunduk pada hukum, melainkan juga memiliki kapasitas deliberatif untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan menjaga keberlangsungan polis (Aristotle, trans. 1998). Bagi Aristoteles, kualitas warga negara tidak diukur sekadar dari ketaatan pasif terhadap aturan, tetapi dari kemampuannya untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik yang bersifat kolektif. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kehidupan politik adalah ruang etis sekaligus praksis, di mana individu dituntut menginternalisasi kebajikan kewargaan (civic virtue) demi terciptanya kebaikan bersama (common good).

Dengan demikian, disiplin dalam kerangka Aristotelian tidak dapat dipisahkan dari partisipasi aktif; kepatuhan hukum yang tidak disertai keterlibatan deliberatif dianggap belum cukup untuk menopang keberlangsungan komunitas politik. Pemikiran ini sejalan dengan tradisi republikan klasik yang menekankan peran warga negara sebagai aktor yang sadar, rasional, dan bertanggung jawab dalam kehidupan publik (Pocock, 1975; Skinner, 1998). Oleh karena itu, bagi Aristoteles, disiplin demokratis adalah bentuk self-restraint yang lahir dari kesadaran etis warga untuk menempatkan kepentingan kolektif di atas kepentingan individual, sehingga hukum tidak hanya ditaati, tetapi juga dipahami, diperdebatkan, dan dijaga melalui partisipasi politik yang berkesinambungan.

Jean-Jacques Rousseau memperdalam gagasan ini melalui Du Contrat Social, di mana ia berargumen bahwa ketaatan terhadap hukum yang dibuat bersama bukanlah bentuk pengekangan, melainkan justru perwujudan kebebasan tertinggi karena hukum tersebut merupakan ekspresi dari volonté générale atau kehendak umum (Rousseau, 1762/2011). Dengan demikian, disiplin demokratis bukanlah produk ketakutan terhadap sanksi, melainkan hasil kesadaran normatif bahwa kepatuhan terhadap aturan bersama adalah syarat bagi terciptanya kebebasan kolektif.

Pemikiran klasik ini sejalan dengan tradisi modern yang menekankan pentingnya disiplin sebagai bagian dari kualitas kewargaan. Almond dan Verba (1963) dalam studi tentang civic culture menunjukkan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan jika warganya menginternalisasi norma partisipatif, sikap moderat, dan kepatuhan terhadap aturan bersama. Habermas (1996) menambahkan bahwa legitimasi hukum dalam demokrasi deliberatif tidak hanya bergantung pada prosedur formal, tetapi juga pada penerimaan rasional warga negara yang bersedia mengakui keabsahan aturan melalui partisipasi diskursif. Dengan demikian, disiplin dapat dipahami sebagai kewajiban moral-politik yang menopang keteraturan sosial sekaligus memperkuat legitimasi demokrasi.

Dalam perspektif sosiologi politik, Etzioni (1995) menegaskan bahwa tanggung jawab kewargaan menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hak-hak sipil dan politik hanya dapat terlindungi jika warga negara bersedia menunaikan kewajiban kolektif, termasuk disiplin dalam menaati hukum dan norma bersama. Oleh karena itu, disiplin sebagai civic responsibility berfungsi ganda: ia menjaga stabilitas sosial sekaligus memungkinkan kebebasan individu berkembang dalam kerangka yang tidak mengancam kebebasan orang lain.

Dengan demikian, disiplin dalam demokrasi merupakan refleksi dari kesadaran warga negara bahwa kebebasan individu hanya dapat dipertahankan melalui kepatuhan sukarela pada aturan kolektif. Disiplin demokratis pada hakikatnya adalah komitmen moral terhadap kebebasan bersama, di mana hukum dipatuhi bukan karena paksaan, melainkan karena keyakinan bahwa kepatuhan itu sendiri adalah syarat bagi tegaknya demokrasi (Aristotle, trans. 1998; Rousseau, 1762/2011; Habermas, 1996).

Disiplin Demokratis dan Rule of Law

Dalam praktik demokrasi modern, disiplin warga negara menemukan bentuknya yang paling nyata melalui penghormatan terhadap prinsip rule of law. Konsep ini menegaskan bahwa hukum harus berlaku sebagai norma yang universal, impersonal, dan dapat diprediksi, sehingga menjadi pengikat kolektif yang mencegah kesewenang-wenangan (Dicey, 2013). Supremasi hukum memastikan bahwa disiplin tidak direduksi menjadi alat kekuasaan elite, melainkan berfungsi sebagai instrumen yang menjaga kesetaraan dan keadilan di dalam masyarakat (Fuller, 1969).

Secara normatif, rule of law mengandung elemen bahwa hukum harus dibuat dengan prosedur yang sah, ditegakkan tanpa diskriminasi, dan dapat dipahami serta diakses oleh semua warga negara (Raz, 1979). Artinya, disiplin demokratis hanya dapat berkembang dalam suatu lingkungan hukum yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dahl (1989) menegaskan bahwa demokrasi mensyaratkan perlindungan hak-hak individu, yang hanya dapat terjamin melalui keberlakuan hukum yang adil. Dengan demikian, disiplin warga negara tidak dipaksakan secara koersif, melainkan lahir dari kesadaran bahwa kepatuhan terhadap hukum yang sah adalah syarat bagi terwujudnya kebebasan politik dan sosial.

Dalam perspektif teori politik kontemporer, Habermas (1996) menekankan bahwa hukum dalam demokrasi deliberatif memperoleh legitimasi bukan semata dari otoritas negara, melainkan dari partisipasi warga negara dalam proses pembentukannya. Dengan kata lain, disiplin demokratis tercermin dalam kesediaan warga untuk mematuhi aturan hukum karena mereka mengakui keabsahan prosedural dan substansial dari aturan tersebut. Hal ini sekaligus membedakan demokrasi dari rezim otoriter, di mana disiplin sering dipaksakan melalui instrumen hukum yang bersifat represif dan tidak memiliki legitimasi moral.

Secara praktis, membangun disiplin demokratis berarti membangun mekanisme hukum dan regulasi yang adil, transparan, dan ditegakkan tanpa diskriminasi. Negara yang mampu menegakkan hukum secara konsisten menciptakan lingkungan sosial di mana kepatuhan warga muncul bukan karena rasa takut, melainkan karena adanya kepercayaan terhadap integritas institusi hukum (Tyler, 2006). Dengan cara ini, disiplin berfungsi sebagai perekat sosial yang mendukung stabilitas demokratis sekaligus memperkuat legitimasi negara di mata warganya.

Disiplin dan Pendidikan Kewarganegaraan

Pilar utama dalam upaya mendisiplinkan warga negara secara demokratis adalah pendidikan kewarganegaraan (civic education). Pendidikan kewarganegaraan berfungsi bukan hanya untuk mentransmisikan pengetahuan mengenai hak dan kewajiban formal, melainkan juga untuk menanamkan kesadaran etis, keterampilan deliberatif, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Habermas (1996) menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif sebagai basis dari demokrasi deliberatif: warga negara tidak cukup hanya memahami hukum secara normatif, tetapi juga perlu dilatih untuk berargumentasi secara rasional, berpartisipasi dalam proses diskursif, dan bertindak sesuai dengan norma deliberatif yang menjamin legitimasi keputusan politik.

Dalam kerangka ini, disiplin tidak boleh dipahami sebagai kepatuhan mekanis terhadap aturan, melainkan sebagai hasil dari proses internalisasi nilai yang memungkinkan warga negara mengendalikan diri (self-restraint) dengan landasan moral. John Dewey (1916/2004) menekankan bahwa pendidikan demokratis bertujuan membentuk individu yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial, karena demokrasi hanya dapat bertahan apabila warga memiliki kapasitas reflektif untuk menilai dan mengarahkan tindakannya. Dengan demikian, disiplin demokratis harus diposisikan sebagai hasil pembelajaran kolektif yang membekali warga dengan kompetensi kewarganegaraan (civic competence) serta rasa tanggung jawab terhadap kebaikan bersama.

Literatur mengenai civic education modern juga menekankan pentingnya integrasi nilai disiplin dengan praktik partisipasi. Almond dan Verba (1963) dalam studi klasik The Civic Culture menegaskan bahwa stabilitas demokrasi sangat ditentukan oleh adanya budaya politik partisipatif, di mana warga tidak hanya pasif, melainkan aktif dan berorientasi pada kepentingan publik. Pendidikan kewargaan dengan demikian berfungsi ganda: di satu sisi memperkuat kepatuhan terhadap hukum, dan di sisi lain membangun kapasitas kritis warga negara untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Secara empiris, penelitian oleh Torney-Purta et al. (2001) menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pendidikan kewarganegaraan yang komprehensif lebih cenderung memiliki sikap pro-demokrasi, tingkat kepercayaan sosial yang tinggi, dan kesediaan untuk mematuhi aturan hukum secara sukarela. Hal ini memperlihatkan bahwa disiplin demokratis tidak lahir dari paksaan negara, melainkan dari investasi jangka panjang dalam pendidikan yang membentuk warga negara yang sadar, kritis, dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan merupakan arena utama untuk menanamkan disiplin demokratis. Ia memungkinkan warga negara memahami bahwa kepatuhan pada hukum bukan sekadar kewajiban legal, melainkan perwujudan tanggung jawab etis yang menopang kebebasan bersama. Disiplin dalam demokrasi, melalui pendidikan kewarganegaraan menjadi bukan lagi instrumen represi, tetapi fondasi moral dan kultural bagi tegaknya kehidupan demokratis yang berkelanjutan (Habermas, 1996; Dewey, 1916/2004; Torney-Purta et al., 2001).

Disiplin melalui Institusi Demokratis

Disiplin warga negara dalam demokrasi pada akhirnya sangat ditentukan oleh efektivitas dan legitimasi institusi politik maupun sosial. Institusi demokratis berfungsi sebagai arena yang menginternalisasikan nilai-nilai bersama, menyosialisasikan norma, dan mengawasi perilaku warga negara dalam kehidupan publik. March dan Olsen (1989) melalui pendekatan new institutionalism menekankan bahwa perilaku politik warga tidak semata-mata digerakkan oleh kepentingan pribadi, melainkan dibentuk oleh aturan, norma, dan prosedur yang dilembagakan. Dengan kata lain, disiplin demokratis hanya dapat tumbuh apabila institusi yang ada berfungsi secara kredibel dan konsisten.

Parlemen dan partai politik berperan sebagai saluran representasi yang memungkinkan warga menyalurkan aspirasi politiknya dalam kerangka yang sah. Ketika mekanisme representasi berjalan dengan baik, warga akan lebih cenderung mematuhi aturan hukum karena mereka merasa terlibat dalam proses pembentukannya (Dahl, 1989). Demikian pula, pengadilan yang independen dan sistem peradilan yang adil memperkuat disiplin hukum, sebab warga memandang hukum sebagai instrumen keadilan, bukan sekadar alat kekuasaan (Linz & Stepan, 1996).

Selain itu, lembaga pendidikan memiliki fungsi sosialisasi politik jangka panjang dengan membentuk civic virtue dan kompetensi kewarganegaraan. Dewey (1916/2004) menekankan bahwa sekolah dalam demokrasi bukan sekadar tempat transfer pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan kesadaran kolektif yang memungkinkan warga negara memahami pentingnya disiplin sebagai tanggung jawab sosial. Media, baik tradisional maupun digital, juga memiliki peran penting dalam memperkuat disiplin demokratis. Melalui fungsi watchdog, media dapat mendorong akuntabilitas pemerintah sekaligus menyebarkan norma kewarganegaraan yang memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi (Norris, 2011).

Institusi yang kredibel tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga menciptakan kepercayaan (trust) yang menjadi fondasi kepatuhan sukarela warga negara. Levi (1997) menjelaskan bahwa warga lebih bersedia menaati aturan ketika mereka percaya bahwa institusi menegakkan hukum secara adil, transparan, dan konsisten. Dengan demikian, disiplin dalam demokrasi bukan hasil ketakutan pada sanksi, melainkan hasil keyakinan bahwa aturan yang ditegakkan melalui institusi memiliki legitimasi moral dan politik.

Dengan kata lain, keberhasilan mendisiplinkan warga negara secara demokratis sangat bergantung pada kualitas kelembagaan. Negara yang memiliki parlemen representatif, sistem peradilan independen, lembaga pendidikan yang progresif, serta media yang bebas dan bertanggung jawab akan mampu membangun disiplin warga negara yang berakar pada legitimasi, bukan pada represi. Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa penguatan institusi merupakan syarat utama bagi konsolidasi demokrasi dan internalisasi disiplin sebagai bagian dari tanggung jawab kewarganegaraan (O’Donnell, 2004; Norris, 2011).

Penutup

Mendisiplinkan seluruh warga negara sesuai dengan nilai demokrasi pada hakikatnya bukanlah sebuah proyek pemaksaan, melainkan proses internalisasi nilai yang berlangsung secara gradual dan berkesinambungan. Disiplin demokratis lahir dari kesadaran bahwa kepatuhan terhadap hukum dan norma bersama merupakan prasyarat bagi tegaknya kebebasan kolektif. Dalam kerangka ini, disiplin harus dipahami sebagai hasil dari interaksi antara dimensi legal, moral, partisipatif, dan kelembagaan. Ia membutuhkan kombinasi antara penegakan hukum yang adil, pendidikan kewargaan yang kritis, partisipasi politik yang luas, serta institusi demokratis yang legitimate (Habermas, 1996; Dahl, 1989).

Disiplin demokratis juga merupakan bentuk self-restraint kolektif, yakni kesediaan warga negara untuk membatasi kebebasan individual demi menjamin kebebasan bersama. Rousseau (1762/2011) melalui konsep volonté générale menegaskan bahwa kebebasan sejati hanya dapat diwujudkan ketika individu tunduk pada hukum yang mereka buat secara kolektif. Dengan demikian, disiplin dalam demokrasi tidak sekadar alat untuk menciptakan keteraturan, melainkan pilar yang menopang keberlanjutan sistem politik itu sendiri.

Lebih jauh, disiplin demokratis berfungsi sebagai fondasi moral bagi konsolidasi demokrasi. Linz dan Stepan (1996) menekankan bahwa konsolidasi demokrasi hanya dapat terjadi apabila aturan demokratis dianggap sebagai the only game in town, yang berarti warga negara secara sukarela menerima dan menaatinya. Levi (1997) menambahkan bahwa kepatuhan terhadap aturan lebih stabil ketika didasarkan pada kepercayaan terhadap legitimasi institusi, bukan sekadar pada ancaman sanksi. Oleh karena itu, membangun disiplin warga negara merupakan strategi jangka panjang untuk menciptakan demokrasi yang matang, berakar pada legitimasi, dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, disiplin demokratis harus dipandang bukan semata sebagai instrumen keteraturan sosial, melainkan sebagai fondasi yang memungkinkan demokrasi berkembang secara sehat. Dengan cara ini, demokrasi tidak hanya bertahan dari segi prosedural, tetapi juga bertransformasi menjadi sistem politik yang stabil, adil, dan inklusif, di mana disiplin warga negara menjadi cerminan dari kedewasaan politik dan kualitas kewargaan (O’Donnell, 2004; Norris, 2011).

Daftar Referensi

Almond, G. A., & Verba, S. (1963). The civic culture: Political attitudes and democracy in five nations. Princeton University Press.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published ca. 350 BCE)

Dahl, R. A. (1989). Democracy and its critics. Yale University Press.

Dewey, J. (2004). Democracy and education. Dover Publications. (Original work published 1916)

Dicey, A. V. (2013). Introduction to the study of the law of the constitution. Liberty Fund. (Original work published 1885)

Etzioni, A. (1995). The spirit of community: Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. Crown.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison. Pantheon Books.

Fuller, L. L. (1969). The morality of law. Yale University Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.

Huntington, S. P. (2000). Culture matters: How values shape human progress. Basic Books.

Johnson, C. (1982). MITI and the Japanese miracle: The growth of industrial policy, 1925–1975. Stanford University Press.

Katzenstein, P. J. (1987). Policy and politics in West Germany: The growth of a semi-sovereign state. Temple University Press.

Levi, M. (1997). Consent, dissent, and patriotism. Cambridge University Press.

Linz, J. J., & Stepan, A. (1996). Problems of democratic transition and consolidation: Southern Europe, South America, and post-communist Europe. Johns Hopkins University Press.

March, J. G., & Olsen, J. P. (1989). Rediscovering institutions: The organizational basis of politics. Free Press.

Norris, P. (2011). Democratic deficit: Critical citizens revisited. Cambridge University Press.

O’Donnell, G. (2004). Why the rule of law matters. Journal of Democracy, 15(4), 32–46. https://doi.org/10.1353/jod.2004.0076

Parsons, T. (1951). The social system. Free Press.

Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory. Cambridge University Press.

Putnam, R. D. (1993). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton University Press.

Raz, J. (1979). The authority of law: Essays on law and morality. Oxford University Press.

Rousseau, J.-J. (2011). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin. (Original work published 1762)

Torney-Purta, J., Lehmann, R., Oswald, H., & Schulz, W. (2001). Citizenship and education in twenty-eight countries: Civic knowledge and engagement at age fourteen. International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA).

Tyler, T. R. (2006). Why people obey the law. Princeton University Press.

Unger, J. (2002). The transformation of rural China. M.E. Sharpe.

Vuving, A. L. (2020, January). Vietnam: A tale of four pivots. The Diplomat. https://thediplomat.com/2020/01/vietnam-a-tale-of-four-pivots/

Posted in

Leave a comment