Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Intelijen strategis merupakan salah satu instrumen utama dalam perumusan kebijakan nasional, karena menyediakan kerangka pengetahuan yang diperlukan bagi negara untuk memahami dinamika lingkungan global sekaligus mengantisipasi berbagai peluang dan ancaman jangka panjang (Herman, 1996; Treverton, 2001). Melalui intelijen strategis, negara dapat melakukan analisis komprehensif terhadap faktor-faktor politik, ekonomi, sosial-budaya, militer, sains-teknologi, geografi, demografi, transportasi-infrastruktur, dan sumber daya alam, yang pada akhirnya menjadi fondasi bagi pembangunan kekuatan nasional dan peningkatan daya saing global (Lowenthal, 2016).
Dalam konteks Vietnam, reformasi ekonomi Đổi Mới tahun 1986 menjadi titik balik penting yang menandai transisi negara dari model ekonomi terpusat ke arah ekonomi pasar sosialis. Reformasi ini tidak hanya mengubah struktur ekonomi domestik, tetapi juga mendorong Vietnam untuk lebih adaptif terhadap sistem internasional, termasuk keterlibatan dalam perdagangan global, integrasi regional, dan pencarian aliansi strategis baru (Fforde & De Vylder, 1996; Gainsborough, 2010). Dalam kerangka tersebut, penggunaan intelijen strategis lintas sektor semakin relevan untuk memastikan bahwa Vietnam mampu memanfaatkan globalisasi sekaligus menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional.
Kajian terhadap 9 komponen intelijen strategis memberikan pemahaman holistik mengenai bagaimana Vietnam membangun kapasitas nasionalnya. Dari sisi politik, stabilitas rezim satu partai memungkinkan kesinambungan kebijakan jangka panjang; dari sisi ekonomi, keterlibatan aktif dalam WTO, CPTPP, dan RCEP memperkuat integrasi dalam rantai pasok global; dari sisi sosial-budaya, nasionalisme ekonomi dan etos kerja kolektif memperkuat kohesi sosial; sementara dari sisi militer, fokus pada pertahanan maritim dan modernisasi siber memperkuat posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik (Thayer, 2018; Vuving, 2020).
Selain itu, Vietnam juga menunjukkan progres signifikan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam pengembangan start-up digital dan energi terbarukan, yang didukung oleh posisi geografis strategis di sepanjang Laut Cina Selatan. Dengan bonus demografi, pembangunan infrastruktur transportasi yang masif, serta orientasi pada pemanfaatan energi hijau, Vietnam semakin menegaskan perannya sebagai negara berkembang yang berorientasi pada masa depan (World Bank, 2020; OECD, 2021).
Dengan demikian, analisis akademik terhadap sembilan komponen intelijen strategis Vietnam menjadi penting tidak hanya untuk memahami dinamika internal negara tersebut, tetapi juga untuk menilai bagaimana Vietnam membangun strategi komprehensif menghadapi persaingan global. Kajian ini sekaligus memberikan pembelajaran bagi negara lain, khususnya Indonesia, dalam merumuskan kebijakan strategis yang mampu mengintegrasikan aspek politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan untuk meningkatkan daya saing nasional di era kompetisi global.
Komponen Politik
Vietnam menunjukkan tingkat stabilitas politik yang relatif tinggi melalui kepemimpinan terpusat di bawah Partai Komunis Vietnam (Communist Party of Vietnam, CPV). Sejak era reformasi Đổi Mới tahun 1986, CPV berhasil mempertahankan legitimasi politik melalui kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang pesat, konsensus elite, dan mekanisme kontrol sosial yang efektif (Gainsborough, 2010; Abuza, 2001). Sistem politik satu partai memungkinkan negara untuk menjalankan kebijakan jangka panjang secara konsisten, termasuk strategi pembangunan nasional yang berorientasi pada visi 2045, yaitu menjadikan Vietnam sebagai negara berpendapatan tinggi dan berpengaruh secara global (Malesky & London, 2014). Kelebihan utama dari struktur politik ini adalah adanya kesinambungan kebijakan yang jarang terganggu oleh pergantian kepemimpinan atau dinamika partisan sebagaimana terjadi dalam sistem multipartai. Hal ini memberikan kepastian bagi investor asing dan memperkuat kredibilitas Vietnam dalam implementasi kebijakan pembangunan ekonomi serta transformasi struktural (Nguyen, 2021).
Selain itu, Vietnam berhasil mengombinasikan stabilitas domestik dengan orientasi diplomasi aktif. Prinsip kebijakan luar negeri yang disebut sebagai multi-vector foreign policy memungkinkan Vietnam untuk menjalin hubungan erat dengan berbagai aktor global yang bahkan memiliki kepentingan yang saling bertentangan, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam praktiknya, Vietnam menyeimbangkan relasi dengan kekuatan besar tersebut sembari memperkuat kerja sama regional melalui ASEAN dan forum multilateral seperti APEC, WTO, serta perjanjian perdagangan bebas seperti CPTPP dan RCEP (Thayer, 2018; Vuving, 2020). Kebijakan luar negeri ini bukan hanya memperluas ruang strategis Vietnam di kawasan Indo-Pasifik, tetapi juga meningkatkan daya tawar ekonomi dan politiknya. Kemampuan Vietnam untuk memainkan peran sebagai “middle power” regional memperlihatkan bagaimana stabilitas politik internal menjadi modal penting dalam diplomasi eksternal yang fleksibel dan pragmatis (Beeson, 2017). Dengan demikian, keunggulan politik Vietnam terletak pada stabilitas domestik yang memungkinkan kesinambungan kebijakan ekonomi, sekaligus fleksibilitas diplomasi multi-arah yang memperkuat daya saing globalnya.
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menganut sistem politik multipartai dengan kompetisi elektoral yang intens. Reformasi 1998 menandai berakhirnya otoritarianisme Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dan membuka jalan bagi sistem demokrasi elektoral yang relatif pluralis dan kompetitif (Aspinall, 2010). Sejak saat itu, Indonesia mengalami transisi politik yang ditandai dengan desentralisasi, kebebasan pers, serta partisipasi politik yang lebih luas dari masyarakat sipil (Mietzner, 2012). Kelebihan utama sistem ini terletak pada legitimasi demokratis yang kuat, karena pemerintahan dibentuk melalui mekanisme elektoral yang terbuka dan inklusif. Pluralisme politik dan keberagaman aktor dalam proses kebijakan juga memperkuat posisi Indonesia di mata internasional sebagai contoh negara Muslim terbesar yang berhasil mempertahankan demokrasi pasca-otoritarianisme (Aspinall & Mietzner, 2014; Liddle & Mujani, 2007).
Legitimasi demokratis inilah yang menjadi modal penting bagi Indonesia dalam membangun soft power melalui diplomasi nilai, baik di ASEAN, G20, maupun dalam keterlibatan aktif pada isu-isu global seperti demokrasi, perubahan iklim, dan perdamaian dunia (Sukma, 2011). Namun demikian, sistem multipartai juga membawa kelemahan signifikan. Politik transaksional, fragmentasi elite, dan koalisi pemerintahan yang terlalu besar sering mengakibatkan instabilitas kebijakan. Agenda pembangunan jangka panjang kerap terganggu oleh kompromi politik jangka pendek dan dominasi kepentingan elite (Slater, 2018; Warburton, 2016). Hal ini menciptakan dilema antara demokrasi yang inklusif dengan efektivitas tata kelola pemerintahan.
Dari perspektif daya saing politik, terdapat perbedaan mendasar antara Vietnam dan Indonesia. Vietnam unggul dalam konsistensi kebijakan karena stabilitas sistem satu partai memberikan prediktabilitas tinggi, sebuah faktor yang sangat dihargai oleh investor asing dan mitra strategis. Sebaliknya, Indonesia unggul dalam legitimasi demokratis yang memperkuat soft power di tingkat global. Pluralisme politik Indonesia memberi citra internasional sebagai negara demokratis yang stabil di tengah kompleksitas etnis, agama, dan budaya, sekaligus menjadikannya mitra strategis bagi negara-negara Barat maupun dunia berkembang (Weatherbee, 2016). Dengan demikian, Vietnam lebih adaptif untuk strategi jangka panjang berbasis efisiensi kebijakan, sementara Indonesia menonjol dalam diplomasi nilai dan legitimasi normatif yang berbasis demokrasi. Perbedaan ini menunjukkan dua model daya saing politik yang sama-sama relevan di era Indo-Pasifik: Vietnam sebagai aktor pragmatis yang konsisten secara kebijakan, dan Indonesia sebagai aktor normatif yang kuat dalam diplomasi multilateral.
Komponen Ekonomi
Selama dua dekade terakhir, Vietnam menunjukkan kinerja ekonomi yang impresif dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 6% sebelum pandemi COVID-19. Pertumbuhan ini menjadikan Vietnam salah satu negara dengan performa ekonomi terbaik di Asia Tenggara, sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pusat manufaktur utama di kawasan (World Bank, 2020). Reformasi ekonomi Đổi Mới (1986) berperan sebagai fondasi transisi dari ekonomi terpusat menuju ekonomi pasar sosialis yang terbuka bagi perdagangan dan investasi asing (Fforde & de Vylder, 1996; Vu-Thanh, 2017). Keberhasilan Vietnam dalam memanfaatkan integrasi ekonomi global tercermin dari keanggotaannya dalam berbagai rezim perdagangan multilateral dan perjanjian perdagangan bebas. Bergabung dengan WTO pada 2007 menandai langkah signifikan dalam memperkuat legitimasi internasional dan memperluas akses pasar (Vo, 2009).
Partisipasinya dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) memperlihatkan kemampuan Vietnam dalam mengelola diplomasi ekonomi lintas kawasan dan memperdalam diversifikasi pasar (Petri & Plummer, 2020). Faktor kunci lain yang memperkuat posisi ekonomi Vietnam adalah strategi Foreign Direct Investment (FDI) yang agresif. Dengan menawarkan insentif pajak, tenaga kerja kompetitif, dan stabilitas politik, Vietnam berhasil menarik perusahaan multinasional besar di sektor elektronik, otomotif, tekstil, dan energi terbarukan (OECD, 2021).
Fenomena ini semakin menguat ketika banyak perusahaan global melakukan strategi China+1, yakni memindahkan sebagian basis produksi dari Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan rantai pasok tunggal. Dalam konteks ini, Vietnam muncul sebagai salah satu tujuan utama karena daya saing biaya dan keterhubungan dengan jaringan perjanjian perdagangan internasional (Athukorala & Kohpaiboon, 2021). Selain itu, Vietnam juga menunjukkan ambisi dalam sektor energi terbarukan. Investasi besar pada tenaga surya dan angin menjadikan Vietnam sebagai salah satu pasar energi hijau paling dinamis di Asia Tenggara (IEA, 2021). Hal ini tidak hanya memperkuat ketahanan energi, tetapi juga meningkatkan daya tarik investasi di era transisi menuju ekonomi rendah karbon. Keunggulan utama ekonomi Vietnam terletak pada dua aspek: pertama, strategi FDI yang agresif dan terencana sehingga mempercepat industrialisasi berbasis ekspor; kedua, diversifikasi pasar global melalui partisipasi aktif dalam perjanjian perdagangan multilateral. Kedua hal ini memperkuat daya saing Vietnam dalam rantai nilai global, sekaligus menjadikannya model developmental state baru di Asia Tenggara.
Indonesia, dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, menempati posisi sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia sekaligus ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Besarnya basis populasi ini memberikan keunggulan berupa pasar domestik yang luas, dengan konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% PDB nasional, sehingga menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi sekaligus daya tarik potensial bagi investor global (Hill, 2014; World Bank, 2021). Dengan pasar domestik sebesar ini, Indonesia memiliki kapasitas untuk mendorong industrialisasi berbasis permintaan internal, berbeda dengan Vietnam yang lebih mengandalkan ekspor. Meskipun demikian, Indonesia masih menghadapi hambatan serius dalam bentuk birokrasi yang berbelit, regulasi yang tidak konsisten, dan inefisiensi kelembagaan. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa kompleksitas regulasi, ketidakpastian hukum, serta tingginya biaya transaksi kerap mengurangi daya tarik investasi asing langsung (Patunru & Rahardja, 2015; Pritchett et al., 2020).
Pemerintah merespons tantangan ini melalui pengesahan Omnibus Law on Job Creation pada tahun 2020, yang ditujukan untuk menyederhanakan regulasi, meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan memperbaiki iklim investasi. Namun, pelaksanaan kebijakan ini masih menghadapi hambatan teknis, resistensi sosial, dan tantangan politik, sehingga efektivitasnya belum sepenuhnya teruji (Butt & Laksmana, 2021). Dalam dekade terakhir, strategi utama pembangunan ekonomi Indonesia adalah hilirisasi sumber daya alam (SDA). Melalui kebijakan larangan ekspor mineral mentah, khususnya nikel dan bauksit, pemerintah berupaya mendorong pembangunan industri pengolahan domestik yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi (Warburton, 2020; Nugroho, 2021). Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat kedaulatan ekonomi, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam rantai pasok global baru, terutama pada industri baterai listrik dan kendaraan listrik yang diproyeksikan akan tumbuh pesat seiring transisi energi global (Arifin et al., 2022). Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pemain kunci dalam ekonomi energi hijau, sekaligus memperkuat posisi tawarnya dalam geopolitik mineral strategis.
Keunggulan ekonomi Indonesia dengan demikian terletak pada tiga aspek utama: skala pasar domestik yang besar, cadangan SDA strategis, dan strategi industrialisasi berbasis hilirisasi. Namun, keberhasilan transformasi ekonomi ini sangat bergantung pada reformasi kelembagaan, efektivitas birokrasi, serta penciptaan iklim investasi yang lebih inklusif dan kompetitif. Tanpa pembenahan tersebut, potensi Indonesia sebagai resource-based industrial power bisa terhambat oleh kelemahan tata kelola dan volatilitas politik domestik.
Dari perspektif daya saing ekonomi, Vietnam unggul dalam efisiensi birokrasi, konsistensi kebijakan, dan daya tarik FDI, sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai pusat manufaktur global dengan integrasi kuat ke rantai pasok Asia Timur. Sementara itu, Indonesia unggul dalam skala pasar domestik yang luas dan strategi industrialisasi berbasis SDA, terutama melalui hilirisasi mineral yang menjadikannya salah satu calon pemain utama dalam ekonomi energi hijau. Kedua strategi ini mencerminkan model pembangunan yang berbeda: Vietnam menawarkan model berbasis ekspor dan integrasi global yang berorientasi pada efisiensi, sementara Indonesia menampilkan model pembangunan berbasis pasar domestik besar dan industrialisasi SDA yang berorientasi pada kemandirian strategis jangka panjang. Dengan demikian, Vietnam lebih menarik bagi perusahaan global yang mencari efisiensi rantai pasok, sementara Indonesia berpotensi menonjol sebagai kekuatan industri berbasis sumber daya (resource-based industrial power) dalam lanskap ekonomi global masa depan.
Komponen Sosial Budaya
Vietnam memiliki identitas nasional yang kuat, yang terbentuk dari pengalaman historis panjang dalam menghadapi kolonialisme Prancis, perang melawan Amerika Serikat, serta resistensi terhadap dominasi eksternal lainnya. Sejarah perjuangan tersebut tidak hanya membentuk solidaritas kolektif, tetapi juga melahirkan narasi nasionalisme yang menjadi landasan ideologis pembangunan kontemporer (McHale, 2004; Taylor, 2013). Identitas nasional ini diperkuat oleh legitimasi Partai Komunis Vietnam (CPV) yang menempatkan diri sebagai representasi perjuangan historis sekaligus penggerak modernisasi negara.
Dari sisi nilai budaya, warisan Konfusianisme memainkan peran penting dalam membentuk norma sosial yang menekankan hierarki, harmoni, disiplin, serta penghormatan pada otoritas (Jamieson, 1993). Nilai-nilai tersebut kemudian berkontribusi pada pembentukan etos kerja kolektif yang menjadi salah satu modal sosial utama bagi industrialisasi Vietnam. Etos kerja ini sejalan dengan orientasi pembangunan ekonomi berbasis ekspor, di mana ketekunan, kepatuhan, dan disiplin kerja tenaga kerja menjadi faktor kunci dalam menarik investasi asing (London, 2014).
Selain itu, Vietnam tengah mengalami transformasi demografi dengan proporsi besar penduduk usia muda yang semakin terhubung dengan arus globalisasi digital. Penetrasi internet yang tinggi, perkembangan ekosistem start-up, serta meningkatnya tingkat literasi digital memperlihatkan munculnya tenaga kerja adaptif yang siap bersaing dalam ekonomi berbasis teknologi (Nguyen, 2021; World Bank, 2020). Generasi muda Vietnam ini berperan penting dalam memperkuat daya saing nasional karena mampu menggabungkan nilai tradisional dengan keterbukaan terhadap inovasi global. Keunggulan sosial-budaya Vietnam dengan demikian terletak pada kohesi sosial yang tinggi dan etos kerja kolektif yang menopang industrialisasi, serta pada kapasitas adaptif generasi mudanya yang mampu mengintegrasikan nilai lokal dengan tuntutan globalisasi. Kombinasi ini memperkuat posisi Vietnam dalam rantai pasok internasional sekaligus meningkatkan peluang integrasi ke dalam ekonomi berbasis pengetahuan.
Sebagai perbandingan, Indonesia ditandai oleh keberagaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis, ratusan bahasa daerah, serta enam agama resmi yang diakui negara. Pluralisme ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling multikultural di dunia, sekaligus memberikan identitas unik sebagai demokrasi terbesar di dunia Muslim. Keanekaragaman tersebut menjadi modal penting dalam membangun citra Indonesia di mata internasional melalui cultural diplomacy dan penguatan soft power (Hefner, 2011). Dalam konteks domestik, konsep Bhinneka Tunggal Ika (“Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”) berfungsi sebagai landasan normatif untuk menjaga persatuan di tengah keragaman. Ideologi ini telah memainkan peran penting dalam membentuk integrasi nasional sejak era kemerdekaan, serta terus diperkuat melalui kebijakan pendidikan, pembangunan budaya nasional, dan promosi toleransi antaragama (Suryadinata, 2017).
Namun, pluralisme yang besar juga menghadirkan potensi fragmentasi sosial apabila tidak dikelola secara efektif. Pasca-Reformasi 1998, Indonesia memang berhasil mengurangi intensitas konflik horizontal, namun ketegangan berbasis etnis dan agama masih sesekali muncul di berbagai wilayah, seperti Poso, Ambon, atau dalam bentuk kekerasan sektarian skala kecil (Aspinall, 2008). Tantangan ini semakin kompleks di era globalisasi digital, di mana media sosial menjadi arena baru bagi mobilisasi identitas, penyebaran ujaran kebencian, dan polarisasi politik yang berpotensi melemahkan kohesi sosial (Lim, 2017).
Dari perspektif daya saing sosial-budaya, Vietnam unggul dalam homogenitas relatif, kohesi sosial, dan etos kerja kolektif yang memfasilitasi industrialisasi dan integrasi ke dalam rantai pasok global. Stabilitas sosial dan disiplin tenaga kerja Vietnam memberi keuntungan kompetitif dalam menarik FDI serta memperkuat kehandalan rantai produksi global.Sebaliknya, Indonesia unggul dalam pluralisme dan kekayaan budaya, yang menjadi modal penting bagi cultural diplomacy dan penguatan soft power. Keberagaman budaya memungkinkan Indonesia memainkan peran sebagai jembatan antarperadaban, baik antara dunia Islam dan Barat maupun antara Asia dan dunia global (Anwar, 2010). Hal ini semakin relevan dalam diplomasi multilateral di ASEAN, G20, dan PBB, di mana Indonesia sering menampilkan dirinya sebagai model keberhasilan demokrasi multikultural. Namun, keunggulan pluralisme ini memerlukan tata kelola identitas yang kuat melalui kebijakan integrasi sosial, pendidikan multikultural, serta penguatan institusi demokratis. Tanpa manajemen yang efektif, keragaman dapat berbalik menjadi sumber fragmentasi sosial dan instabilitas politik yang mengurangi daya saing nasional.
Dengan demikian, Vietnam menawarkan model kohesi dan homogenitas yang memperkuat efisiensi pembangunan, sementara Indonesia menampilkan model pluralisme dan diplomasi budaya yang memperkuat pengaruh globalnya. Kedua model ini berbeda tetapi sama-sama relevan dalam membentuk strategi daya saing di era globalisasi.
Komponen Militer
Tentara Rakyat Vietnam (Vietnam People’s Army, VPA) merupakan salah satu kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara, dengan jumlah personel aktif diperkirakan lebih dari 450.000 orang dan cadangan sekitar 5 juta orang (IISS, 2023). Sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme Prancis dan keterlibatan dalam Perang Vietnam (1955–1975) membentuk VPA sebagai kekuatan dengan tradisi militer yang kuat, berakar pada doktrin perang rakyat (people’s war doctrine). Doktrin ini menekankan keterlibatan seluruh masyarakat dalam mempertahankan kedaulatan nasional, sebuah warisan ideologis yang masih memengaruhi strategi pertahanan Vietnam hingga kini (Thayer, 2019).
Dalam dua dekade terakhir, modernisasi militer Vietnam semakin difokuskan pada pertahanan maritim. Hal ini terkait langsung dengan meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan, di mana Vietnam memiliki klaim tumpang tindih dengan Tiongkok dan beberapa negara ASEAN lainnya. Prioritas modernisasi mencakup penguatan angkatan laut dengan akuisisi kapal selam kelas Kilo dari Rusia, kapal fregat Gepard, serta sistem rudal anti-kapal jarak jauh (Poling, 2020). Peningkatan kapasitas pertahanan udara dan rudal permukaan-ke-udara juga menjadi bagian dari strategi deteren Vietnam terhadap potensi agresi eksternal.
Selain aspek konvensional, Vietnam juga mulai mengembangkan kapasitas pertahanan siber. Dengan meningkatnya ancaman keamanan non-tradisional, khususnya serangan siber dan manipulasi informasi, Hanoi menempatkan keamanan siber sebagai dimensi baru pertahanan nasional. Unit 86 VPA, yang bertanggung jawab atas operasi dunia maya, dibentuk untuk menghadapi ancaman disinformasi sekaligus melindungi infrastruktur digital strategis (Nguyen, 2021).
Vietnam juga berupaya membangun legitimasi internasional melalui partisipasi dalam misi penjaga perdamaian PBB. Sejak 2014, VPA telah mengirimkan kontingen medis, insinyur, dan pasukan ke Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah. Keterlibatan ini tidak hanya memperkuat citra Vietnam sebagai aktor konstruktif dalam keamanan global, tetapi juga meningkatkan profesionalisme prajurit melalui pengalaman operasional multinasional (Thayer, 2018).
Keunggulan militer Vietnam dapat dilihat pada tiga aspek: pertama, fokus strategis pada pertahanan maritim untuk melindungi kedaulatan di Laut Cina Selatan; kedua, pengembangan kemampuan siber sebagai respons terhadap ancaman baru dalam era digital; dan ketiga, legitimasi internasional yang diperoleh melalui kontribusi pada operasi penjaga perdamaian PBB. Kombinasi ini memperlihatkan strategi Vietnam dalam menyeimbangkan kebutuhan pertahanan nasional dengan upaya memperkuat posisi internasionalnya di kawasan Indo-Pasifik.
Berkaitan dengan Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan militer di kawasan Asia Tenggara. Salah satu ciri khasnya adalah doktrin Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Total People‘s Defense System), yang menekankan partisipasi seluruh warga negara, sumber daya alam, dan infrastruktur nasional dalam menjaga kedaulatan negara. Doktrin ini merupakan kelanjutan dari konsep People’s War yang diperkenalkan sejak masa perjuangan kemerdekaan, kemudian diformalkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Laksmana, 2011). Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di jalur maritim strategis dunia, doktrin ini dianggap relevan karena menggabungkan aspek militer reguler dengan kekuatan pertahanan rakyat, sehingga menciptakan daya tangkal asimetris yang tidak hanya mengandalkan alutsista modern tetapi juga partisipasi sipil.
Selain peran militer konvensional, TNI juga memiliki dimensi sosial-politik yang berbeda dengan kebanyakan militer di Asia Tenggara. Sejak masa Orde Baru, TNI (dulu ABRI) memainkan peran ganda (dwifungsi), yakni sebagai kekuatan pertahanan sekaligus aktor politik. Meskipun Reformasi 1998 secara formal menghapuskan peran politik TNI di parlemen dan birokrasi, fungsi sosial-politik informal tetap dipertahankan melalui struktur teritorial (Kodam, Korem, Kodim, Koramil) dan keterlibatan dalam pembangunan masyarakat (Crouch, 2010; Mietzner, 2009). Hal ini menjadikan TNI bukan hanya institusi pertahanan, tetapi juga aktor penting dalam menjaga stabilitas sosial dan integrasi nasional, terutama di daerah terpencil dan wilayah perbatasan.
Dalam aspek modernisasi, sejak 2009 pemerintah Indonesia merumuskan program Minimum Essential Force (MEF) sebagai kerangka pembangunan kekuatan pokok minimum TNI hingga 2024. Program ini menargetkan modernisasi melalui pengadaan alutsista strategis seperti pesawat tempur Sukhoi dan Rafale, kapal selam kelas Nagapasa, fregat, kapal cepat rudal, serta sistem pertahanan udara jarak menengah (Laksmana, 2018). Namun, keterbatasan anggaran pertahanan yang hanya berkisar 0,8–1% dari PDB membuat realisasi MEF berjalan lebih lambat dibandingkan target, sehingga kesenjangan antara kebutuhan ideal dan kemampuan aktual masih signifikan (SIPRI, 2022).
Jika dibandingkan dengan Vietnam, terdapat perbedaan mendasar dalam orientasi pertahanan kedua negara. Vietnam lebih unggul dalam hal konsistensi modernisasi militer, khususnya pada pertahanan maritim dan siber, yang relevan dengan kebutuhan geopolitik menghadapi Tiongkok di Laut Cina Selatan. Fokus strategis ini memberikan kejelasan arah dan meningkatkan kredibilitas Vietnam dalam menghadapi ancaman eksternal langsung. Sebaliknya, Indonesia unggul dalam konsep pertahanan semesta, yang sesuai dengan realitas geografisnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan melibatkan seluruh elemen bangsa, sistem ini menciptakan daya tangkal asimetris yang sulit ditandingi oleh negara lain, serta memperkuat legitimasi sosial TNI. Walaupun modernisasi alutsista berjalan lebih lambat akibat keterbatasan anggaran, keunggulan konseptual TNI terletak pada fleksibilitas strategi pertahanan yang menggabungkan aspek militer, sosial, dan teritorial dalam satu kerangka.
Dengan demikian, Vietnam menawarkan fokus modernisasi yang konsisten dan terarah, sedangkan Indonesia menampilkan model pertahanan rakyat semesta yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kondisi kepulauan serta kompleksitas sosial-politik domestiknya.
Komponen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam dua dekade terakhir, Vietnam semakin menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar penting pembangunan nasional. Hal ini terlihat dalam kebijakan Vietnam 2035 Report dan National Strategy on the Fourth Industrial Revolution, yang menekankan penguasaan teknologi tinggi seperti kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, robotika, serta energi terbarukan sebagai prasyarat transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan (World Bank & MPI, 2016; Nguyen, 2021).
Vietnam berhasil menarik investasi asing di bidang teknologi melalui kemitraan strategis dengan negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Kolaborasi ini mempercepat transfer teknologi sekaligus mengintegrasikan Vietnam ke dalam rantai pasok global industri teknologi tinggi, termasuk semikonduktor, perangkat elektronik, dan energi bersih (Le & Truong, 2019). Kehadiran perusahaan multinasional seperti Samsung dan Intel di Vietnam tidak hanya menjadikan negara ini sebagai pusat manufaktur elektronik, tetapi juga sebagai lokasi riset dan pengembangan (R&D) yang mendorong knowledge spillover bagi perusahaan domestik (Athukorala & Kohpaiboon, 2021).
Selain investasi asing, Vietnam juga mengalami pertumbuhan pesat ekosistem start-up digital. Pusat-pusat teknologi di Hanoi, Ho Chi Minh City, dan Da Nang menjadi inkubator inovasi yang menghubungkan universitas, pemerintah, dan sektor swasta. Dukungan kebijakan pemerintah melalui National Innovation Center dan program pendanaan untuk start-up teknologi memperlihatkan keseriusan Vietnam dalam mengembangkan ekonomi digital (Vuong, 2019). Di sektor energi, Vietnam telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam pengembangan energi terbarukan. Dengan kapasitas tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, Vietnam berhasil menarik perhatian global sebagai contoh negara berkembang yang mampu melakukan transisi energi cepat melalui kombinasi kebijakan feed-in tariff dan investasi swasta (IEA, 2021).
Keunggulan Vietnam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terletak pada kemampuannya melakukan adopsi cepat terhadap teknologi baru dan mempercepat integrasi ke dalam rantai nilai global di sektor teknologi tinggi. Hal ini menjadikan Vietnam bukan hanya sebagai basis manufaktur murah, tetapi juga sebagai negara yang sedang bertransformasi menjadi pemain penting dalam ekonomi berbasis inovasi di Asia.
Sebagai perbandingan, Indonesia memiliki basis riset dan sumber daya manusia yang lebih besar dibandingkan Vietnam, baik dari sisi jumlah universitas, lembaga penelitian, maupun kapasitas tenaga peneliti. Potensi ini memberi peluang besar untuk mengembangkan riset di berbagai bidang strategis, termasuk bioteknologi, nanoteknologi, kecerdasan buatan (AI), dan teknologi energi berbasis sumber daya alam yang melimpah (Suryadarma et al., 2020).
Namun, realisasi potensi tersebut sering terkendala oleh beberapa faktor struktural. Pertama, pendanaan riset yang rendah dan inkonsisten. Belanja litbang Indonesia masih sekitar 0,3% dari PDB, jauh di bawah standar negara-negara maju dan juga lebih rendah dari beberapa negara Asia seperti Korea Selatan (4,8%) atau Tiongkok (2,2%) (OECD, 2019). Keterbatasan ini berimplikasi pada rendahnya kualitas laboratorium, fasilitas penelitian, serta insentif bagi peneliti. Kedua, birokrasi dan tata kelola riset yang berbelit. Koordinasi antara universitas, lembaga riset, industri, dan pemerintah belum berjalan optimal, sehingga terjadi kesenjangan antara hasil penelitian dengan kebutuhan pasar dan industri (Sasmoko et al., 2021). Akibatnya, tingkat komersialisasi inovasi rendah, dan banyak penelitian berhenti pada level publikasi tanpa menghasilkan produk yang bernilai ekonomi. Ketiga, meskipun pemerintah mendirikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2019 sebagai upaya konsolidasi kelembagaan, efektivitasnya masih menghadapi tantangan dalam hal tata kelola, sinkronisasi agenda riset, serta model pendanaan jangka panjang (Prasetyo & Sutopo, 2018; Lakitan, 2019). Kritik juga muncul mengenai sentralisasi yang terlalu kuat, yang berisiko mengurangi fleksibilitas lembaga riset dan universitas dalam mengembangkan inovasi sesuai kebutuhan lokal.
Dari sisi daya saing teknologi, Vietnam unggul dalam kecepatan adopsi teknologi baru berkat strategi integrasi ke dalam rantai nilai global dan pemanfaatan investasi asing. Model ini membuat Vietnam mampu menjadi fast adopter di sektor elektronik, energi terbarukan, dan ekonomi digital, meskipun kapasitas riset domestiknya relatif terbatas. Sebaliknya, Indonesia unggul dalam kapasitas riset jangka panjang dan potensi sumber daya manusia, didukung oleh skala ekonomi dan populasi yang besar. Jika hambatan struktural seperti birokrasi, rendahnya pendanaan, dan lemahnya ekosistem komersialisasi dapat diatasi, Indonesia berpotensi menjadi “potential innovator” yang menghasilkan teknologi strategis berbasis riset domestik, bukan sekadar pengguna teknologi asing.
Dengan demikian, Vietnam menampilkan model pembangunan teknologi berbasis pragmatisme adopsi cepat melalui keterhubungan global, sedangkan Indonesia menampilkan model berbasis potensi riset domestik jangka panjang yang, apabila dikelola dengan baik, dapat menjadikannya pusat inovasi di Asia Tenggara.
Komponen Geografi
Secara geografis, Vietnam memiliki posisi yang sangat strategis di kawasan Asia Tenggara. Terletak di pesisir Laut Cina Selatan (South China Sea), Vietnam berada pada jalur vital perdagangan internasional yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia. Sekitar 50% dari total perdagangan maritim dunia melintasi Laut Cina Selatan, termasuk arus energi dan komoditas strategis, menjadikan kawasan ini salah satu titik tersibuk dan paling penting dalam rantai pasok global (Kaplan, 2014; Hayton, 2014). Vietnam memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 3.200 km, membentang dari Teluk Tonkin di utara hingga Teluk Thailand di selatan. Kondisi ini memungkinkan pengembangan pelabuhan laut dalam yang strategis, seperti Hai Phong, Da Nang, dan Ho Chi Minh City, yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan logistik internasional. Investasi besar dalam infrastruktur pelabuhan telah meningkatkan peran Vietnam sebagai simpul logistik regional, yang mampu mendukung pertumbuhan perdagangan dan memperkuat integrasi ekonomi global (Nguyen & Notteboom, 2016).
Selain itu, letak geografis Vietnam di antara Tiongkok dan ASEAN daratan menempatkannya sebagai hub transportasi darat dan laut. Integrasi Vietnam ke dalam inisiatif seperti Greater Mekong Subregion (GMS) dan Belt and Road Initiative (BRI) semakin memperkuat posisinya sebagai penghubung antara Asia Timur, Asia Tenggara, dan pasar global (Chen & Stone, 2021). Namun, letak strategis ini juga menghadirkan tantangan keamanan. Klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan dengan Tiongkok dan negara-negara ASEAN lainnya menimbulkan potensi konflik geopolitik yang berimplikasi pada stabilitas kawasan. Oleh karena itu, geografi Vietnam bukan hanya menjadi modal ekonomi, tetapi juga faktor utama dalam perumusan kebijakan pertahanan dan diplomasi maritimnya (Thayer, 2018). Keunggulan utama Vietnam secara geografis terletak pada posisinya yang strategis sebagai simpul logistik dan perdagangan regional, dengan akses langsung ke jalur perdagangan global sekaligus kapasitas untuk mengembangkan infrastruktur maritim. Faktor ini menjadikan Vietnam pemain penting dalam dinamika ekonomi dan geopolitik Indo-Pasifik.
Sedangkan Indonesia, yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia menempati posisi geostrategis yang sangat penting dalam sistem perdagangan global dan geopolitik Indo-Pasifik. Letaknya di antara dua samudra (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia) menjadikan Indonesia sebagai poros maritim yang menghubungkan jalur perdagangan internasional utama. Posisi ini sesuai dengan konsep Indonesia sebagai Global Maritime Fulcrum (GMF) yang diperkenalkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Anwar, 2020). Lebih jauh, Indonesia menguasai sejumlah choke points maritim vital, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok, yang merupakan jalur utama transportasi energi dan barang. Selat Malaka, misalnya, dilalui oleh lebih dari 80.000 kapal per tahun dan menyumbang sekitar 40% dari total perdagangan dunia, termasuk hampir 80% impor minyak Tiongkok dan Jepang (Bateman, 2010; Storey, 2013). Hal ini memberikan Indonesia leverage strategis yang sangat besar, baik dalam konteks ekonomi global maupun politik keamanan regional.
Selain itu, Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luas, mencakup area lebih dari 6 juta km², dengan potensi sumber daya maritim yang melimpah, mulai dari perikanan, minyak dan gas, hingga energi terbarukan berbasis laut (Cordner, 2010). Kondisi geografis ini menempatkan Indonesia tidak hanya sebagai gatekeeper jalur komunikasi laut internasional (Sea Lines of Communication, SLOCs), tetapi juga sebagai negara dengan kapasitas strategis untuk memimpin tata kelola maritim regional.
Namun, posisi geografis yang strategis ini juga menghadirkan sejumlah tantangan. Pertama, kerentanan terhadap kejahatan lintas batas maritim seperti perompakan, penyelundupan, dan illegal fishing, terutama di perairan Natuna dan perbatasan dengan Filipina (Liss, 2011). Kedua, persaingan geopolitik Indo-Pasifik, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok, menjadikan perairan Indonesia arena strategis yang menuntut kemampuan diplomasi maritim yang cermat. Oleh karena itu, letak geografis Indonesia harus dipandang tidak hanya sebagai modal, tetapi juga sebagai faktor kerentanan yang menuntut strategi pertahanan, ekonomi, dan diplomasi maritim yang komprehensif (Laksmana, 2011).
Dari perspektif daya saing geopolitik, Indonesia unggul secara geografis dalam hal kontrol jalur maritim global. Kemampuannya menguasai choke points maritim utama seperti Selat Malaka dan Selat Sunda memberikan leverage strategis yang tidak hanya berdampak pada perdagangan internasional, tetapi juga pada diplomasi dan politik keamanan regional. Hal ini memperkuat posisi Indonesia sebagai maritime fulcrum atau poros maritim dunia. Sebaliknya, Vietnam lebih unggul dalam posisinya sebagai hub rantai pasok Asia, karena lokasinya yang dekat dengan pusat manufaktur Asia Timur (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan) dan infrastruktur pelabuhan yang berkembang pesat. Vietnam lebih kompetitif sebagai simpul distribusi regional dan pusat manufaktur global, sedangkan Indonesia lebih menonjol dalam kapasitas geopolitik sebagai pengendali jalur komunikasi laut internasional.
Dengan demikian, Vietnam berperan sebagai node dalam rantai pasok industri Asia, sementara Indonesia menampilkan dirinya sebagai maritime fulcrum global. Dua keunggulan ini bersifat komplementer: Vietnam unggul dalam orientasi ekonomi rantai pasok, sementara Indonesia unggul dalam leverage geopolitik berbasis kontrol atas jalur perdagangan dunia.
Komponen Demografi
Vietnam, dengan populasi lebih dari 100 juta jiwa pada 2024, menempati posisi sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-15 di dunia. Karakteristik utama demografinya adalah struktur populasi yang relatif muda, dengan lebih dari 50% penduduk berusia di bawah 35 tahun (UNFPA, 2023). Kondisi ini menciptakan potensi besar berupa demographic dividend, di mana tingginya proporsi tenaga kerja produktif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi, tabungan, dan konsumsi domestik (Bloom, Canning, & Sevilla, 2003).
Dalam konteks pembangunan, bonus demografi Vietnam menjadi salah satu faktor yang menjelaskan keberhasilan negara ini menarik investasi asing langsung (FDI) di sektor manufaktur dan jasa. Dengan tenaga kerja muda yang relatif murah, adaptif, dan terdidik, Vietnam mampu bersaing sebagai pusat manufaktur alternatif dari Tiongkok dalam industri elektronik, tekstil, dan otomotif (Nghiem, 2020). Ketersediaan tenaga kerja produktif ini juga memungkinkan Vietnam meningkatkan daya tariknya dalam sektor jasa modern, seperti teknologi informasi, business process outsourcing, dan layanan finansial digital (Nguyen & Tran, 2021). Selain kontribusi terhadap penawaran tenaga kerja, struktur demografi muda juga mendorong pertumbuhan konsumsi domestik. Generasi muda perkotaan Vietnam semakin terhubung dengan globalisasi digital, memiliki pola konsumsi modern, dan menjadi motor pertumbuhan kelas menengah yang diproyeksikan mencapai 50% populasi pada 2035 (World Bank & MPI, 2016). Hal ini menempatkan Vietnam tidak hanya sebagai basis produksi, tetapi juga sebagai pasar domestik yang semakin menarik bagi investor global.
Namun, potensi demografi ini juga menghadirkan tantangan jangka panjang. Pertama, kebutuhan penciptaan lapangan kerja dalam jumlah besar untuk menyerap tambahan angkatan kerja setiap tahunnya. Kedua, ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan dalam akses pendidikan dan kesehatan yang berpotensi menciptakan kesenjangan sosial. Ketiga, transisi menuju penuaan populasi yang diperkirakan mulai terjadi pada 2035, yang dapat mengurangi manfaat bonus demografi apabila tidak dikelola dengan baik (GSO, 2021). Keunggulan demografi Vietnam saat ini terletak pada bonus demografi yang memperkuat daya tarik investasi di sektor manufaktur dan jasa, sekaligus memperbesar pasar domestik. Selama pemerintah mampu mengelola pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja, Vietnam berpotensi memaksimalkan momentum demografi sebagai pendorong utama transformasi ekonominya.
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 280 juta jiwa pada 2024 (World Bank, 2023). Skala populasi yang besar ini memberi keunggulan ganda: pertama, sebagai pasar tenaga kerja masif yang dapat mendukung industrialisasi dan transformasi ekonomi; kedua, sebagai basis konsumsi domestik yang sangat signifikan, dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai lebih dari 50% terhadap PDB nasional (Hill, 2014). Dengan demikian, dinamika demografi Indonesia tidak hanya menopang sisi produksi, tetapi juga permintaan domestik, yang memberi stabilitas pertumbuhan ekonomi di tengah fluktuasi global. Selain itu, Indonesia memiliki kelas menengah yang tumbuh pesat. Menurut proyeksi McKinsey Global Institute (2012), pada 2030 Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 135 juta penduduk kelas menengah, menjadikannya salah satu pasar konsumen terbesar di Asia. Kelas menengah ini dipandang sebagai motor pertumbuhan jangka panjang, dengan peningkatan daya beli, perubahan pola konsumsi, serta permintaan terhadap layanan publik dan swasta yang lebih berkualitas, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga gaya hidup modern (Patunru & Rahardja, 2015).
Namun, potensi besar ini dibarengi dengan tantangan demografi yang kompleks. Pertama, keberagaman etnis, agama, dan budaya menuntut kebijakan sosial yang inklusif untuk mencegah fragmentasi sosial. Kedua, ketimpangan pembangunan antarwilayah, khususnya antara Jawa dan luar Jawa, menciptakan kesenjangan dalam kualitas tenaga kerja dan peluang ekonomi (Aspinall & Fealy, 2010). Ketiga, tingkat urbanisasi yang pesat menimbulkan masalah perencanaan kota, infrastruktur, dan penyediaan layanan dasar. Selain itu, Indonesia menghadapi transisi menuju populasi menua yang diperkirakan mulai terasa pada 2040-an. Tanpa penciptaan lapangan kerja produktif dan peningkatan kualitas pendidikan, bonus demografi dapat berakhir sebagai beban sosial (Adioetomo & Pardede, 2018).
Dari perspektif daya saing demografi, dapat ditarik perbandingan berikut: Vietnam unggul dalam homogenitas dan efisiensi tenaga kerja. Struktur populasi muda dengan tingkat partisipasi tenaga kerja tinggi mendukung industrialisasi cepat dan integrasi ke dalam rantai pasok global. Bonus demografi yang diproyeksikan berlangsung hingga 2035 menjadi modal besar bagi Vietnam untuk mempertahankan daya tariknya bagi investor di sektor manufaktur dan jasa digital. Sedangkan Indonesia unggul dalam skala pasar domestik dan pertumbuhan kelas menengah. Dengan basis konsumsi raksasa, Indonesia tidak hanya diposisikan sebagai basis produksi, tetapi juga sebagai pasar konsumen global. Keunggulan ini menjadikannya destinasi investasi jangka panjang, terutama untuk sektor yang berbasis pada permintaan domestik (domestic demand-driven industries) serta industrialisasi berbasis sumber daya.
Dengan demikian, Vietnam berperan sebagai pusat tenaga kerja efisien dan kohesif dalam rantai pasok Asia, sementara Indonesia menampilkan dirinya sebagai ekonomi berbasis pasar domestik besar dengan kelas menengah yang berkembang sebagai motor pertumbuhan masa depan. Kedua model ini menawarkan daya tarik yang berbeda namun saling melengkapi dalam dinamika ekonomi Asia.
Komponen Transportasi dan Infrastruktur
Dalam dua dekade terakhir, Vietnam telah menempatkan pembangunan transportasi dan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan transformasi ekonomi pasca-Đổi Mới dan upaya Vietnam untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasok global. Di sektor transportasi darat, Vietnam merencanakan proyek kereta cepat Hanoi–Ho Chi Minh City sepanjang lebih dari 1.500 km, yang diproyeksikan akan memangkas waktu tempuh antara dua pusat ekonomi terbesar negara tersebut dari 30 jam menjadi sekitar 6–7 jam. Proyek ini dipandang sebagai tulang punggung integrasi ekonomi domestik sekaligus memperkuat daya saing logistik nasional (Nguyen & Pham, 2020). Selain itu, jaringan jalan tol utara-selatan juga terus diperluas untuk memperlancar distribusi barang dan mobilitas manusia di sepanjang garis pantai timur.
Di sektor maritim, Vietnam telah mengembangkan ekspansi pelabuhan besar seperti Hai Phong, Da Nang, dan Cat Lai di Ho Chi Minh City. Pelabuhan-pelabuhan ini berfungsi sebagai simpul utama perdagangan internasional, khususnya dalam mendukung ekspor manufaktur elektronik dan tekstil. Efisiensi logistik yang lebih tinggi di pelabuhan Vietnam menjadi faktor penting yang menarik bagi investasi asing langsung (FDI) (Nguyen & Notteboom, 2016). Selain transportasi darat dan laut, Vietnam juga berinvestasi besar dalam infrastruktur udara. Pembangunan Bandara Internasional Long Thanh, yang direncanakan sebagai hub penerbangan terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas hingga 100 juta penumpang per tahun, memperlihatkan ambisi Vietnam untuk menjadi pusat konektivitas regional (Tran, 2021).
Di luar infrastruktur fisik, Vietnam juga mempercepat pembangunan infrastruktur digital. Dengan target nasional Digital Vietnam 2030, pemerintah mendorong penetrasi internet, jaringan 5G, dan transformasi industri 4.0. Ekspansi infrastruktur digital ini mendukung pertumbuhan ekosistem start-up, e-commerce, serta layanan finansial berbasis teknologi (Vuong, 2019; Nguyen, 2021). Keunggulan Vietnam dalam transportasi dan infrastruktur terletak pada kemampuannya membangun infrastruktur fisik dan digital secara simultan, sehingga tidak hanya meningkatkan efisiensi ekonomi, tetapi juga memperkuat daya saing nasional dalam konteks integrasi global.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan pembangunan infrastruktur yang jauh lebih kompleks dibandingkan Vietnam. Skala geografis dan demografis yang luas membuat pembangunan infrastruktur bukan hanya agenda ekonomi, tetapi juga agenda politik, pertahanan, dan integrasi nasional. Pembangunan infrastruktur ditempatkan sebagai prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2024, dengan pelaksanaan berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini mencakup pembangunan jaringan jalan tol lintas Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang bertujuan mengurangi biaya logistik nasional yang selama ini relatif tinggi (sekitar 23% dari PDB) dibandingkan rata-rata negara ASEAN lainnya (World Bank, 2018). Selain transportasi darat, pemerintah juga membangun sistem transportasi perkotaan modern, termasuk MRT Jakarta, LRT Palembang, serta kereta cepat Jakarta–Bandung, yang merupakan proyek kereta cepat pertama di Asia Tenggara (Wicaksono & Narjoko, 2020).
Di sektor maritim, Indonesia menginisiasi program Tol Laut sebagai upaya memperkuat konektivitas antar-pulau, mengurangi disparitas harga antara wilayah barat dan timur, serta memperkuat ketahanan pangan dan energi melalui jalur distribusi laut (Rahman, 2016). Program ini didukung pembangunan pelabuhan utama seperti Kuala Tanjung, Patimban, dan Makassar New Port, yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara maritim. Selain infrastruktur fisik, Indonesia juga menekankan pembangunan infrastruktur digital. Proyek Palapa Ring yang selesai pada 2019 menjadi tulang punggung konektivitas internet nasional, menghubungkan lebih dari 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia melalui jaringan serat optik sepanjang 36.000 km. Infrastruktur ini memperluas akses digital hingga ke wilayah terluar dan terdepan, mendukung agenda transformasi digital nasional, serta memperkuat kesiapan Indonesia menghadapi era ekonomi digital (Budhijanto, 2020).
Meski demikian, pembangunan infrastruktur di Indonesia tidak terlepas dari berbagai hambatan struktural. Kendala utama mencakup keterbatasan pendanaan, masalah pembebasan lahan, serta koordinasi lintas-pemerintahan yang sering menunda penyelesaian proyek (Rothenberg et al., 2016). Untuk mengatasi hal ini, pemerintah semakin mengandalkan skema public-private partnership (PPP) dan investasi asing dalam pendanaan proyek-proyek strategis.
Dari perspektif daya saing, terdapat diferensiasi strategis antara Vietnam dan Indonesia: Vietnam unggul dalam kecepatan realisasi proyek, berkat tata kelola politik yang terpusat dan orientasi pada proyek-proyek strategis tertentu. Hal ini memberi kepastian waktu penyelesaian yang menjadi daya tarik bagi investor asing. Sedangkan Indonesia unggul dalam skala pembangunan dan jangkauan nasional. Infrastruktur Indonesia tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen integrasi nasional di negara kepulauan. Program seperti Tol Laut, jaringan jalan tol lintas pulau, dan Palapa Ring menunjukkan kapasitas pembangunan yang berskala luas dan multidimensi. Dengan demikian, Vietnam menawarkan model pembangunan infrastruktur yang cepat dan fokus, sementara Indonesia menampilkan model pembangunan skala besar dan komprehensif yang mencakup dimensi fisik dan digital dalam konteks negara kepulauan. Kedua pendekatan ini mencerminkan perbedaan strategi: Vietnam menekankan efisiensi, sedangkan Indonesia menekankan cakupan dan integrasi.
Komponen Sumber Daya Alam
Vietnam memiliki sumber daya alam yang cukup beragam, termasuk batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Cadangan batu bara Vietnam terutama terkonsentrasi di wilayah Quang Ninh, yang selama beberapa dekade menjadi sumber energi utama untuk pembangkit listrik domestik (To & Christensen, 2021). Selain itu, ladang minyak dan gas di Laut Cina Selatan, khususnya di cekungan Cuu Long dan Nam Con Son, juga berkontribusi penting terhadap kebutuhan energi nasional serta ekspor (BP, 2022). Namun, ketergantungan Vietnam pada energi fosil menghadapi tantangan besar dalam transisi energi. Pertumbuhan pesat sektor industri dan konsumsi domestik telah meningkatkan permintaan energi, sementara pada saat yang sama Vietnam berkomitmen pada target pengurangan emisi karbon sesuai dengan Paris Agreement dan komitmen Net Zero Emission pada 2050 (Nguyen & Ha-Duong, 2009). Hal ini mendorong Vietnam menggeser orientasi energi dari fosil menuju sumber energi terbarukan.
Potensi energi terbarukan Vietnam tergolong sangat besar di kawasan Asia Tenggara. Negara ini memiliki kapasitas energi surya yang melimpah, terutama di wilayah selatan yang mendapat intensitas radiasi tinggi sepanjang tahun. Hingga 2021, Vietnam menjadi salah satu pasar energi surya terbesar di dunia, dengan kapasitas terpasang lebih dari 16 GW hanya dalam kurun tiga tahun (IEA, 2021). Selain itu, Vietnam juga memiliki potensi energi angin di sepanjang garis pantai lebih dari 3.000 km, yang diperkirakan mampu menghasilkan kapasitas hingga 475 GW, menjadikannya salah satu yang terbesar di Asia (World Bank, 2019). Energi hidroelektrik tetap menjadi salah satu sumber energi utama, dengan kontribusi sekitar 30% terhadap total listrik nasional (Nguyen, 2020).
Pergeseran ini menunjukkan upaya Vietnam untuk memposisikan diri sebagai green energy hub di Asia Tenggara. Dengan strategi transisi energi yang agresif, dukungan investasi asing, dan kebijakan feed-in-tariff yang mendorong pertumbuhan energi terbarukan, Vietnam berpotensi memperkuat daya saingnya dalam ekonomi hijau regional (Do & Burke, 2022). Keunggulan strategis Vietnam dalam sumber daya alam bukan terletak pada cadangan fosil yang besar, melainkan pada potensi energi terbarukan yang menjadikannya modal penting untuk transformasi menuju ekonomi rendah karbon. Orientasi ini sejalan dengan tren global dekarbonisasi dan memberikan Vietnam posisi strategis sebagai pemain utama dalam energi hijau kawasan Asia.
Sedangkan Indonesia, dianugerahi sumber daya alam yang jauh lebih melimpah dan beragam dibandingkan Vietnam, menjadikannya salah satu negara dengan kekayaan alam paling strategis di dunia. Salah satu kekuatan utama Indonesia adalah posisinya sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai sekitar 21 juta ton atau 22% cadangan global (USGS, 2023). Nikel telah menjadi mineral kritis dalam rantai pasok global, khususnya untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi. Dengan kebijakan hilirisasi mineral yang membatasi ekspor nikel mentah sejak 2020, Indonesia menegaskan dirinya sebagai pemain kunci dalam industri transisi energi global (Nugroho, 2021).
Selain nikel, Indonesia juga memiliki cadangan batubara sekitar 39 miliar ton, menjadikannya salah satu eksportir batubara termal terbesar di dunia (IEA, 2022). Batubara masih memainkan peran penting dalam pasokan energi domestik, meskipun menghadapi tekanan global terkait dekarbonisasi. Indonesia juga masih memiliki cadangan minyak dan gas alam, yang meskipun mengalami tren penurunan produksi sejak 2000-an, tetap menjadi sumber energi vital dan kontributor penting bagi penerimaan negara (Patunru & Resosudarmo, 2019). Di luar mineral dan energi fosil, Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Hutan ini tidak hanya penting sebagai sumber kayu dan keanekaragaman hayati, tetapi juga berfungsi sebagai carbon sink global yang krusial dalam mitigasi perubahan iklim (Edwards et al., 2019). Dengan peran strategis tersebut, Indonesia memiliki leverage yang signifikan dalam diplomasi iklim internasional, termasuk dalam negosiasi mengenai perdagangan karbon dan climate finance.
Potensi energi terbarukan Indonesia juga luar biasa. Indonesia memiliki cadangan panas bumi (geothermal) terbesar kedua di dunia, dengan potensi sekitar 28 GW, namun baru sekitar 2,3 GW yang dimanfaatkan (ASEAN Centre for Energy, 2022). Selain itu, potensi tenaga surya, hidro, dan biomassa masih sangat besar, meskipun tingkat pemanfaatannya masih rendah akibat keterbatasan investasi, teknologi, dan kepastian regulasi (Arinaldo & Adiatma, 2019).
Dari perspektif daya saing strategis, terdapat perbedaan fundamental antara Vietnam dan Indonesia dalam konteks sumber daya alam: Vietnam unggul dalam green energy transition. Dengan sumber daya fosil yang terbatas, Vietnam mendorong transformasi cepat menuju energi terbarukan (surya, angin, hidro). Orientasi ini menjadikan Vietnam lebih cepat beradaptasi dengan tuntutan global menuju ekonomi rendah karbon, sekaligus menarik investasi asing yang berfokus pada energi bersih dan berkelanjutan (Do & Burke, 2022). Sedangkan Indonesia unggul dalam kekayaan sumber daya alam strategis yang menopang industrialisasi jangka panjang. Dengan cadangan mineral kritis seperti nikel, bauksit, dan timah, ditambah sumber energi fosil, hutan tropis, dan potensi energi terbarukan, Indonesia memiliki modal besar untuk mengembangkan dirinya sebagai resource-based industrial power. Selain itu, kekayaan alam ini memberikan daya tawar geopolitik yang signifikan, baik dalam perdagangan global maupun dalam negosiasi iklim internasional.
Dengan demikian, Vietnam menawarkan keunggulan adaptif dalam transisi energi hijau, sementara Indonesia menampilkan kekuatan berbasis sumber daya alam melimpah sebagai fondasi industrialisasi jangka panjang dan daya tawar geopolitik. Kedua jalur ini mencerminkan strategi pembangunan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dalam arsitektur energi dan ekonomi Asia Tenggara.
Penutup
Kajian komparatif atas sembilan komponen intelijen strategis menegaskan bahwa Vietnam dan Indonesia menapaki jalur daya saing global yang berbeda, namun dalam banyak hal justru saling melengkapi. Vietnam menonjol pada aspek kecepatan, efisiensi, dan orientasi global, yang ditopang oleh stabilitas politik serta konsistensi kebijakan pro-investasi. Dukungan terhadap Foreign Direct Investment (FDI) memungkinkan negara ini menjadi salah satu destinasi utama manufaktur di Asia Tenggara, dengan kapasitas ekspor yang tinggi dan penetrasi ke rantai pasok global (Gainsborough, 2010; Petri & Plummer, 2020). Modernisasi industri Vietnam juga ditandai oleh keberanian dalam mengadopsi energi terbarukan dan teknologi digital sebagai basis pembangunan berkelanjutan (IEA, 2021). Dengan demikian, Vietnam relatif berhasil memanfaatkan window of opportunity demografis dan ekonomi untuk mempercepat industrialisasi berbasis ekspor.
Sebaliknya, Indonesia unggul dalam hal skala, sumber daya, dan legitimasi demokratis. Keberadaan pasar domestik yang masif memberikan ketahanan ekonomi sekaligus insentif bagi investasi jangka panjang, sementara posisi geostrategis sebagai pengendali Sea Lines of Communication (SLOCs) menjadikan Indonesia aktor penting dalam stabilitas Indo-Pasifik (Laksmana, 2011). Selain itu, cadangan sumber daya alam strategis, mulai dari nikel, batubara, minyak/gas, hingga hutan tropis, memberikan basis material untuk hilirisasi industri dan transisi menuju resource-based industrial power (Hill, 2014; USGS, 2023). Dalam konteks ini, Indonesia lebih berpotensi meneguhkan dirinya sebagai poros maritim dunia sekaligus kekuatan industri berbasis sumber daya yang mengintegrasikan leverage geostrategis dan ekonomi politik global (Anwar, 2020; Nugroho, 2021).
Dari perspektif intelijen strategis, diferensiasi antara Vietnam dan Indonesia konsisten dengan literatur yang menekankan pentingnya kesesuaian (fit) antara faktor politik, ekonomi, sosial, militer, sains-teknologi, geografi, demografi, transportasi-infrastruktur, dan sumber daya alam guna mengonversi kapabilitas menjadi keunggulan kompetitif nasional (Herman, 1996; Lowenthal, 2016; Treverton, 2001). Beberapa data menunjukkan bahwa Vietnam, dengan bonus demografi dan integrasi ke rantai pasok Asia Timur, lebih siap menjadi manufacturing hub berorientasi ekspor (UNFPA, 2023; World Bank & MPI, 2016). Indonesia, sebaliknya, memiliki strategic edge dalam mengombinasikan keunggulan sumber daya alam dan geostrategis untuk mengonsolidasikan diri sebagai kekuatan maritim dan industri berbasis hilirisasi mineral kritis, yang relevan dengan agenda transisi energi global.
Dengan demikian, kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa Vietnam dan Indonesia menampilkan model pembangunan strategis yang berbeda namun saling melengkapi. Vietnam memberikan pelajaran tentang konsistensi politik dan efisiensi dalam mengelola integrasi global, sedangkan Indonesia menghadirkan contoh bagaimana skala, sumber daya, dan legitimasi demokratis dapat menjadi fondasi daya saing jangka panjang. Kolaborasi keduanya, baik dalam kerangka ASEAN maupun Indo-Pasifik, berpotensi menghasilkan sinergi yang memperkuat posisi kawasan dalam tatanan global yang semakin kompetitif.
Daftar Referensi
Abuza, Z. (2001). Renovating politics in contemporary Vietnam. Lynne Rienner Publishers.
Adioetomo, S. M., & Pardede, E. (2018). Indonesia’s demographic dividend: Opportunities and challenges. Journal of Population and Social Studies, 26(1), 1–12. https://doi.org/10.25133/JPSSv26n1.001
Anwar, D. F. (2010). Indonesia’s foreign policy: Coping with the changing world. Southeast Asian Affairs, 2010(1), 130–150.
Anwar, D. F. (2020). Indonesia’s defence industry: Between ambition and reality. CSIS Indonesia.
Anwar, D. F. (2020). Indonesia’s vision as the world maritime fulcrum: Contested identity and implications for regional order. Asia Policy, 27(1), 99–116. https://doi.org/10.1353/asp.2020.0006
ASEAN Centre for Energy. (2022). ASEAN renewable energy outlook 2022. ASEAN Centre for Energy.
Athukorala, P., & Kohpaiboon, A. (2021). Global production sharing, trade patterns, and industrialization in Southeast Asia. Asian Economic Policy Review, 16(1), 70–95. https://doi.org/10.1111/aepr.12301
Aspinall, E. (2008). Ethnic and religious violence in Indonesia: A review essay. Asian Studies Review, 32(1), 1–19. https://doi.org/10.1080/10357820701879804
Aspinall, E. (2010). The ironies of success: Democracy and the problem of corruption in Indonesia. Journal of Democracy, 21(4), 20–34. https://doi.org/10.1353/jod.2010.0011
Aspinall, E., & Fealy, G. (2010). Soeharto’s New Order and its legacy: Essays in honour of Harold Crouch. ANU Press.
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2014). Indonesian politics in 2014: Democracy’s close call. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 50(3), 347–369. https://doi.org/10.1080/00074918.2014.980375
Bateman, S. (2010). Good order at sea in Southeast Asia. In D. Brewster (Ed.), Maritime security in Southeast Asia (pp. 19–35). Routledge.
Beeson, M. (2017). Alternative regionalisms and Vietnam’s strategic positioning. The Pacific Review, 30(6), 783–800. https://doi.org/10.1080/09512748.2017.1281401
Bloom, D. E., Canning, D., & Sevilla, J. (2003). The demographic dividend: A new perspective on the economic consequences of population change. RAND Corporation.
BP. (2022). Statistical review of world energy 2022. BP.
Budhijanto, D. (2020). Indonesia’s Palapa Ring project: Building the digital backbone. Telecommunications Policy, 44(10), 102019. https://doi.org/10.1016/j.telpol.2020.102019
Butt, S., & Laksmana, E. A. (2021). Indonesia’s omnibus law: Progress or regress? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 57(1), 1–20. https://doi.org/10.1080/00074918.2021.1904979
Chen, X., & Stone, D. R. (2021). Vietnam and China’s Belt and Road Initiative: Geopolitical implications for Southeast Asia. Journal of Contemporary Asia, 51(4), 623–642. https://doi.org/10.1080/00472336.2020.1846209
Cordner, L. (2010). Rethinking maritime security in the Indian Ocean region. Journal of the Indian Ocean Region, 6(1), 67–85. https://doi.org/10.1080/19480881.2010.489671
Crouch, H. (2010). Political reform in Indonesia after Soeharto. ISEAS Publishing.
Do, T. N., & Burke, P. J. (2022). Vietnam’s solar and wind power success: Policy implications for developing countries. Energy Policy, 161, 112720. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2021.112720
Edwards, D. P., Sloan, S., Weng, L., Dirks, P., Sayer, J., & Laurance, W. F. (2019). Mining and the environment in Indonesia’s rainforests. Conservation Letters, 12(2), e12619. https://doi.org/10.1111/conl.12619
Fforde, A., & de Vylder, S. (1996). From plan to market: The economic transition in Vietnam. Westview Press.
Gainsborough, M. (2010). Vietnam: Rethinking the state. Zed Books.
General Statistics Office of Vietnam (GSO). (2021). Vietnam population and housing census 2020. Statistical Publishing House.
Hayton, B. (2014). The South China Sea: The struggle for power in Asia. Yale University Press.
Hefner, R. W. (2011). Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton University Press.
Herman, M. (1996). Intelligence power in peace and war. Cambridge University Press.
Hill, H. (2014). The Indonesian economy (2nd ed.). Cambridge University Press.
International Energy Agency (IEA). (2021). Renewable energy market update: Outlook for 2021 and 2022. Paris: IEA.
International Energy Agency (IEA). (2022). Coal 2022: Analysis and forecast to 2025. Paris: IEA.
International Institute for Strategic Studies (IISS). (2023). The military balance 2023. IISS.
Jamieson, N. L. (1993). Understanding Vietnam. University of California Press.
Kaplan, R. D. (2014). Asia’s cauldron: The South China Sea and the end of a stable Pacific. Random House.
Lakitan, B. (2019). Research and innovation in Indonesia: Present and future challenges. Journal of Science and Technology Policy Management, 10(2), 354–371. https://doi.org/10.1108/JSTPM-06-2018-0065
Laksmana, E. A. (2011). Indonesia’s rising regional and global profile: Between hard and soft power. Asia Policy, 12(1), 113–131. https://doi.org/10.1353/asp.2011.0006
Laksmana, E. A. (2018). Reshaping Indonesia’s military doctrine: The Minimum Essential Force and beyond. Contemporary Southeast Asia, 40(3), 407–435. https://doi.org/10.1355/cs40-3c
Le, T. T., & Truong, H. Q. (2019). Technology transfer and innovation in Vietnam: Current situation and policy recommendations. Journal of Science and Technology Policy Management, 10(3), 666–685. https://doi.org/10.1108/JSTPM-12-2018-0123
Liddle, R. W., & Mujani, S. (2007). Leadership, party, and religion: Explaining voting behavior in Indonesia. Comparative Political Studies, 40(7), 832–857. https://doi.org/10.1177/0010414006292113
Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3), 411–427. https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1341188
London, J. D. (2014). Education in Vietnam: Historical roots, recent trends. In J. D. London (Ed.), Education in Vietnam (pp. 1–56). ISEAS Publishing.
Lowenthal, M. M. (2016). Intelligence: From secrets to policy (7th ed.). CQ Press.
McHale, S. (2004). Print and power: Confucianism, communism, and Buddhism in the making of modern Vietnam. University of Hawai‘i Press.
McKinsey Global Institute. (2012). The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential. McKinsey & Company.
Malesky, E., & London, J. (2014). The political economy of development in China and Vietnam. Annual Review of Political Science, 17(1), 395–419. https://doi.org/10.1146/annurev-polisci-041811-150032
Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia: From turbulence to stability. ISEAS Publishing.
Mietzner, M. (2012). Indonesia’s democratic stagnation: Anti-reformist elites and resilient civil society. Democratization, 19(2), 209–229. https://doi.org/10.1080/13510347.2011.572620
Nguyen, H. T. (2020). Hydropower development in Vietnam: Current status and future prospects. Renewable Energy, 146, 484–495. https://doi.org/10.1016/j.renene.2019.06.052
Nguyen, L. C., & Notteboom, T. (2016). Vietnam’s port system development: Opportunities and challenges. Maritime Policy & Management, 43(6), 773–789. https://doi.org/10.1080/03088839.2016.1151083
Nguyen, N. H., & Ha-Duong, M. (2009). Economic potential of renewable energy in Vietnam’s power sector. Energy Policy, 37(5), 1601–1613. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2008.12.012
Nguyen, T. H. (2021). Vietnam’s cyber security strategy: Challenges and responses. Journal of Asian Security and International Affairs, 8(2), 241–259. https://doi.org/10.1177/23477970211030836
Nguyen, T. H. (2021). Vietnam’s digital transformation in the Fourth Industrial Revolution. Journal of Asian Business and Economic Studies, 28(2), 127–143. https://doi.org/10.1108/JABES-06-2020-0067
Nguyen, T. H., & Pham, T. A. (2020). Vietnam’s high-speed rail project: Opportunities and challenges. Journal of Transportation and Development, 146(2), 04020007. https://doi.org/10.1061/JTEPBS.0000317
Nguyen, T. H., & Tran, P. Q. (2021). Vietnam’s young workforce and the future of digital services. Asian Journal of Social Science, 49(4–5), 441–459. https://doi.org/10.1163/15685314-bja10049
Nguyen, T. T. (2021). Vietnam’s youth in the digital era: Opportunities and challenges. Asian Journal of Social Science, 49(1–2), 89–112. https://doi.org/10.1163/15685314-bja10038
Nghiem, H. (2020). Demographic dividend and economic growth in Vietnam: Opportunities and challenges. Journal of Asian Business and Economic Studies, 27(3), 251–265. https://doi.org/10.1108/JABES-06-2019-0062
Nugroho, A. (2021). Indonesia’s nickel strategy: Implications for EV supply chains. Energy Research & Social Science, 75, 102023. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102023
Nugroho, H. (2021). Hilirisasi mineral strategis dan daya saing Indonesia dalam ekonomi global. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 10(2), 145–167.
OECD. (2019). OECD science, technology and innovation outlook 2018: Adapting to technological and societal disruption. OECD Publishing.
OECD. (2021). FDI qualities review of Vietnam 2021: Boosting sustainable development and economic diversification. OECD Publishing.
Patunru, A. A., & Resosudarmo, B. P. (2019). The regulation of oil and gas sector in Indonesia: A review. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 55(2), 133–157. https://doi.org/10.1080/00074918.2019.1639500
Patunru, A., & Rahardja, S. (2015). Trade protectionism in Indonesia: Bad times and bad policy. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 51(3), 339–361. https://doi.org/10.1080/00074918.2015.1110685
Petri, P. A., & Plummer, M. G. (2020). East Asia decouples from the United States: Trade war, COVID-19, and East Asia’s new trade blocs. Peterson Institute for International Economics Working Paper.
Poling, G. B. (2020). Vietnam’s maritime strategy in the South China Sea. Asia Maritime Transparency Initiative. Center for Strategic and International Studies. https://amti.csis.org
Prasetyo, Y. T., & Sutopo, W. (2018). National innovation system and triple helix framework: A comparison between Indonesia and South Korea. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 4(3), 32. https://doi.org/10.3390/joitmc4030032
Pritchett, L., Kenny, C., & Suryadarma, D. (2020). Reforming bureaucracy in Indonesia: Challenges and policy options. SMERU Research Institute.
Rahman, T. (2016). The sea toll program and Indonesia’s maritime connectivity. Journal of Indonesian Economy and Business, 31(3), 247–260. https://doi.org/10.22146/jieb.10334
Rothenberg, A. D., Gaduh, A., Burger, N., Chazali, C., Tjandraningsih, I., Radikun, R., Sutera, C., & Weilant, S. (2016). Rethinking Indonesia’s informal sector. World Development, 80, 96–113. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.11.005
Sasmoko, S., Indrawati, N., & Sudrajat, J. (2021). Challenges in Indonesia’s innovation ecosystem: Bureaucracy and commercialization gap. Technology in Society, 64, 101502. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2020.101502
SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). (2022). SIPRI military expenditure database. SIPRI.
Slater, D. (2018). Party cartelization, Indonesian style: Presidential power-sharing and the contingency of democratic opposition. Journal of East Asian Studies, 18(1), 23–46. https://doi.org/10.1017/jea.2017.22
Storey, I. (2013). Maritime security in Southeast Asia: Two cheers for regional cooperation. Southeast Asian Affairs, 2013(1), 42–58.
Sukma, R. (2011). Soft power and public diplomacy: The case of Indonesia. In S. Yasmeen (Ed.), Islamic radicalism and global jihad (pp. 91–105). ISEAS Publishing.
Suryadinata, L. (2017). Bhinneka Tunggal Ika and ethnic relations in Indonesia. ISEAS Publishing.
Suryadarma, D., Bima, L., & Suryahadi, A. (2020). Research, innovation, and productivity in Indonesia: Constraints and opportunities. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 56(2), 169–190. https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1742517
Taylor, K. W. (2013). A history of the Vietnamese. Cambridge University Press.
Thayer, C. A. (2018). Vietnam’s defense diplomacy and the South China Sea. In L. Buszynski & D. S. Milner (Eds.), The South China Sea dispute: Navigating diplomatic and strategic tensions (pp. 145–164). Routledge.
Thayer, C. A. (2018). Vietnam’s foreign policy in an era of rising Sino–US competition and increasing domestic political influence. Asian Security, 14(2), 137–153. https://doi.org/10.1080/14799855.2018.1424718
Thayer, C. A. (2019). The Vietnam People’s Army in 2019: Continuity and change. Southeast Asian Affairs, 2019(1), 373–389.
To, H., & Christensen, T. B. (2021). Energy transitions in Vietnam: Policy mix and challenges. Energy Policy, 149, 112005. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2020.112005
Tran, Q. H. (2021). Long Thanh International Airport: Vietnam’s strategic aviation hub. Journal of Air Transport Management, 92, 102030. https://doi.org/10.1016/j.jairtraman.2021.102030
Treverton, G. F. (2001). Reshaping national intelligence for an age of information. Cambridge University Press.
United Nations Population Fund (UNFPA). (2023). Vietnam demographic dividend report 2023. Hanoi: UNFPA.
United States Geological Survey (USGS). (2023). Mineral commodity summaries 2023. Washington, DC: USGS.
Vuong, Q. H. (2019). The rise of Vietnam’s digital economy: Opportunities and challenges. Asian Journal of Comparative Politics, 4(3), 267–285. https://doi.org/10.1177/2057891119843601
Vuving, A. L. (2020, January). Vietnam: A tale of four pivots. The Diplomat. https://thediplomat.com/2020/01/vietnam-a-tale-of-four-pivots/
Weatherbee, D. E. (2016). Indonesia in ASEAN: Foreign policy and regionalism. Routledge.
Wicaksono, T., & Narjoko, D. (2020). Infrastructure development in Indonesia: Achievements and challenges. Asian Economic Policy Review, 15(1), 46–64. https://doi.org/10.1111/aepr.12295
World Bank. (2018). Indonesia economic quarterly: Towards inclusive growth. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2020). Vibrant Vietnam: Forging the foundation of a high-income economy. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2021). Indonesia economic prospects: Boosting the recovery. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2023). World development indicators: Population data. Washington, DC: World Bank.
World Bank, & Ministry of Planning and Investment of Vietnam (MPI). (2016). Vietnam 2035: Toward prosperity, creativity, equity, and democracy. Washington, DC: World Bank.
Leave a comment