Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Foreign Direct Investment (FDI) selama ini dipandang sebagai salah satu instrumen utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta transfer teknologi di negara berkembang (Dunning & Lundan, 2008). Literatur klasik menempatkan FDI sebagai mekanisme penting dalam mempercepat akumulasi modal domestik yang terbatas, sekaligus menjadi pintu masuk bagi integrasi negara berkembang ke dalam rantai produksi global. Tidak mengherankan apabila FDI sering diasosiasikan dengan peningkatan daya saing industri, penciptaan lapangan kerja, dan akselerasi modernisasi ekonomi. Akan tetapi, pola penerimaan FDI yang dominan hingga saat ini justru cenderung menempatkan negara-negara berkembang dalam posisi yang saling berkompetisi. Alih-alih memperkuat posisi tawar, dinamika tersebut mendorong terjadinya perlombaan untuk menarik investor melalui pemberian insentif fiskal yang berlebihan, regulasi yang dilonggarkan, bahkan kompromi terhadap aspek-aspek fundamental kedaulatan ekonomi (Narula & Dunning, 2010).

Kondisi tersebut melahirkan apa yang dikenal sebagai fenomena race to the bottom, yakni suatu situasi di mana negara-negara penerima bersaing sedemikian rupa sehingga justru merugikan kepentingan jangka panjang mereka sendiri. Persaingan yang semula dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pembangunan berubah menjadi jebakan struktural yang melemahkan kapasitas fiskal, mengurangi standar perlindungan sosial maupun lingkungan, dan menciptakan relasi asimetris antara pemodal asing dengan negara penerima. Akibatnya, tujuan awal FDI sebagai instrumen pembangunan sering kali bergeser menjadi mekanisme reproduksi ketergantungan dan subordinasi dalam tatanan ekonomi global, sebagaimana digambarkan pula oleh teori dependensia (Cardoso & Faletto, 1979).

Sebagai respons terhadap problematika tersebut, konsep Joint Foreign Direct Investment (JFDI) diajukan sebagai alternatif inovatif yang menekankan kolaborasi daripada kompetisi. JFDI dimaknai sebagai kerangka kebijakan antarnegara berkembang atau mitra regional untuk secara bersama-sama menerima, mengelola, dan mengarahkan arus FDI ke sektor-sektor yang relevan dengan strategi pembangunan bersama. Dengan demikian, JFDI berupaya menciptakan simetri kepentingan di antara negara penerima, sekaligus memastikan distribusi manfaat yang lebih adil. Mekanisme ini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen ekonomi, melainkan juga sebagai upaya korektif terhadap asimetri politik-ekonomi global yang selama ini mendominasi hubungan antara negara maju sebagai sumber modal dengan negara berkembang sebagai penerima pasif (Chin & Quadir, 2012; UNCTAD, 2018).

Dalam kerangka tersebut, JFDI dapat dipahami sebagai artikulasi dari prinsip South-South Cooperation, yakni solidaritas horizontal antarnegara berkembang untuk mengurangi kerentanan struktural dan memperkuat kemandirian kolektif. Dengan merancang kelembagaan bersama, menyelaraskan regulasi, dan membangun mekanisme pembagian manfaat, JFDI berpotensi mengubah FDI dari sekadar arena persaingan menuju instrumen sinergi pembangunan regional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Definisi Konseptual

Joint Foreign Direct Investment (JFDI) dapat didefinisikan sebagai suatu skema kerjasama antarnegara di mana dua atau lebih negara secara kolektif menyusun kerangka regulasi bersama bagi investasi asing, membangun mekanisme kelembagaan gabungan untuk pengelolaan investasi, serta membagi peran dalam desain, pembiayaan, dan operasional proyek investasi. Definisi ini menekankan bahwa JFDI bukan sekadar bentuk joint venture antarperusahaan lintas negara, melainkan suatu kerangka antarnegara yang lebih luas untuk mengintegrasikan kebijakan FDI dalam mekanisme tata kelola bersama (joint governance mechanism). Dengan demikian, JFDI bergerak melampaui logika pasar murni dan masuk ke dalam ranah politik-ekonomi internasional, di mana keputusan investasi dipengaruhi oleh interaksi antarnegara penerima yang memilih untuk berkolaborasi daripada berkompetisi.

Konsep JFDI dapat dipahami sebagai interaksi antara tiga aktor utama dalam satu kerangka kelembagaan. Pertama, negara penerima pertama berperan sebagai penyedia sumber daya domestik yang mencakup tenaga kerja, lahan, kerangka regulasi, dan insentif fiskal. Kedua, negara penerima kedua melengkapi peran tersebut dengan keunggulan komplementer seperti kapasitas pasar, infrastruktur fisik maupun digital, serta sumber daya manusia yang memiliki keterampilan tertentu. Ketiga, investor asing berfungsi sebagai penyedia modal, teknologi, manajemen, dan akses ke jaringan pasar global. Hubungan tripartit ini diatur melalui suatu otoritas bersama yang dikenal sebagai Joint Investment Authority (JIA), yang berfungsi sebagai wadah pengelolaan sekaligus mekanisme arbitrase bagi kepentingan masing-masing pihak. Keberadaan JIA membedakan JFDI dari bentuk kerjasama investasi konvensional. Apabila dalam skema tradisional setiap negara penerima berinteraksi langsung dengan investor secara terpisah, maka dalam JFDI interaksi tersebut dilembagakan dalam satu forum kolektif. Hal ini memungkinkan adanya pembagian peran yang lebih seimbang, meminimalisir praktik eksploitasi investor terhadap perbedaan regulasi antarnegara, serta menciptakan tata kelola yang lebih transparan dan adil.

Untuk dapat berfungsi secara efektif, JFDI bertumpu pada empat pilar konseptual. Pilar pertama adalah harmonisasi regulasi (regulatory harmonization). Penyelarasan aturan investasi, rezim perpajakan, perizinan usaha, serta standar lingkungan menjadi syarat mutlak agar investor tidak melakukan praktik regulatory shopping dengan memilih negara yang menawarkan syarat paling longgar. Harmonisasi ini menciptakan level playing field yang adil di antara negara peserta.

Pilar kedua adalah mekanisme tata kelola bersama (joint governance mechanism). Kehadiran JIA sebagai badan gabungan menjamin prinsip kesetaraan antarnegara dalam pengambilan keputusan. Lembaga ini berfungsi sebagai forum koordinasi, negosiasi, sekaligus pemantauan implementasi proyek sehingga setiap keputusan strategis tidak dimonopoli oleh satu pihak, melainkan hasil deliberasi kolektif. Pilar ketiga adalah pengaturan pembagian manfaat (benefit-sharing arrangement). Skema ini memastikan distribusi hasil investasi, baik berupa keuntungan finansial, pembangunan infrastruktur, transfer teknologi, maupun peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dilakukan secara proporsional sesuai kontribusi dan kesepakatan bersama. Mekanisme pembagian manfaat dapat berbasis pada partisipasi ekuitas (equity participation) atau dividen pembangunan (development dividends) yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Pilar keempat adalah integrasi sektoral strategis (strategic sectoral integration). FDI yang masuk melalui JFDI diarahkan pada sektor-sektor strategis lintas negara seperti energi, pertahanan, infrastruktur, dan pangan. Orientasi ini menegaskan bahwa JFDI bukan semata sarana akumulasi kapital, tetapi juga instrumen untuk memperkuat daya saing regional dan ketahanan ekonomi bersama. Dengan demikian, JFDI tidak hanya memfasilitasi pertumbuhan domestik, tetapi juga membangun ekosistem ekonomi regional yang lebih resilien terhadap guncangan eksternal.

Secara operasional, JFDI dapat dipahami sebagai proses bertahap yang dimulai dari negosiasi awal antara negara peserta. Pada tahap ini, masing-masing negara menyepakati kerangka hukum dan prinsip-prinsip dasar pengelolaan investasi. Tahap selanjutnya adalah pembentukan JIA sebagai lembaga bersama yang berperan sebagai one-stop service bagi investor asing. Keberadaan JIA memastikan bahwa semua proses administrasi dan pengawasan dilakukan dalam satu saluran kelembagaan. Tahap berikutnya adalah seleksi proyek, di mana investor mengajukan proposal yang kemudian dievaluasi berdasarkan kriteria kepentingan strategis kedua negara. Proyek yang terpilih kemudian diimplementasikan dengan pengawasan langsung dari JIA untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas. Selama pelaksanaan proyek, mekanisme monitoring dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan kesesuaian dengan target pembangunan dan kepatuhan terhadap regulasi bersama. Tahap terakhir adalah evaluasi dan pembagian manfaat. Hasil investasi tidak hanya dibagi dalam bentuk keuntungan finansial, tetapi juga dalam bentuk spillover effects seperti pengembangan sumber daya manusia, transfer teknologi, dan pembangunan infrastruktur yang dapat mendukung pembangunan jangka panjang.

Dengan kerangka definisi konseptual, dimensi aktor, pilar konseptual, dan mekanisme operasional yang jelas, JFDI dapat dipandang sebagai inovasi tata kelola investasi asing yang menawarkan alternatif lebih berkelanjutan dibandingkan model kompetitif konvensional. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan kepentingan ekonomi, politik, dan sosial dalam satu mekanisme kolaboratif yang berbasis solidaritas dan kesetaraan antarnegara penerima.

Rasional Teoritis

Landasan teoretis bagi konsep Joint Foreign Direct Investment (JFDI) dapat ditelusuri dari tiga perspektif utama: teori ketergantungan dan asimetri global, teori keunggulan komparatif kolektif, serta teori institusional dan ekonomi politik internasional. Ketiga perspektif ini memberikan justifikasi normatif maupun analitis mengapa JFDI diperlukan sebagai alternatif dari pola FDI konvensional yang menekankan kompetisi antarnegara.

Pertama, dari perspektif teori ketergantungan dan asimetri global, FDI tradisional kerap mencerminkan relasi struktural yang timpang, di mana negara berkembang diposisikan sebagai penerima pasif modal, sementara negara maju atau korporasi transnasional bertindak sebagai aktor dominan yang menentukan arah investasi. Pola ini sejalan dengan tesis klasik teori dependensia yang menjelaskan bagaimana kapital global mereproduksi hubungan pusat–pinggiran dengan memperkuat subordinasi negara berkembang (Cardoso & Faletto, 1979). Dalam konteks ini, JFDI dapat dipahami sebagai mekanisme korektif yang berusaha meminimalisir asimetri tersebut melalui solidaritas horizontal antarnegara berkembang. Dengan mengedepankan prinsip South-South Cooperation, negara penerima tidak lagi bernegosiasi sendiri-sendiri, melainkan membentuk blok kolektif yang lebih mampu menyeimbangkan relasi kuasa dengan pemodal asing (Chin & Quadir, 2012). Dengan demikian, JFDI tidak hanya berfungsi sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai strategi politik untuk memperkuat kedaulatan kolektif negara berkembang dalam tatanan ekonomi global.

            Kedua, melalui teori keunggulan komparatif kolektif, JFDI dapat dipahami sebagai upaya integrasi keunggulan spesifik masing-masing negara menjadi suatu ekosistem investasi yang lebih atraktif. Jika dalam model FDI konvensional setiap negara bersaing menawarkan insentif dengan mengandalkan keunggulannya sendiri, maka dalam JFDI negara mitra justru menyinergikan potensi yang dimiliki. Misalnya, negara A memiliki keunggulan berupa tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sementara negara B memiliki infrastruktur pelabuhan modern dan konektivitas pasar regional. Apabila keduanya berkolaborasi, investor asing tidak hanya memperoleh keuntungan dari satu keunggulan, tetapi dari kombinasi yang memperkuat daya tarik kolektif (Narula & Dunning, 2010). Dengan demikian, JFDI memperluas kerangka keunggulan komparatif klasik ke arah yang lebih kolaboratif, di mana integrasi lintas negara dapat menciptakan regional investment hubs yang lebih kompetitif dibandingkan pendekatan individual.

Ketiga, dari sudut pandang teori institusional dan ekonomi politik internasional, JFDI dapat dipandang sebagai instrumen pelembagaan (institutionalization) yang memperkuat posisi tawar negara penerima terhadap pemodal asing. Institusionalisme menekankan pentingnya aturan formal dan mekanisme kelembagaan dalam mengurangi ketidakpastian serta menentukan hasil interaksi ekonomi (North, 1990). Dengan membentuk Joint Investment Authority (JIA) sebagai lembaga gabungan, negara mitra dapat menciptakan kerangka regulatif yang lebih stabil dan transparan, sekaligus membatasi ruang bagi investor untuk mengeksploitasi perbedaan regulasi antarnegara.  Dalam kacamata ekonomi politik internasional, langkah ini juga meningkatkan kapasitas negosiasi melalui terbentuknya bargaining bloc yang mempertemukan investor dengan suatu entitas kolektif, bukan dengan negara yang terfragmentasi (Phillips, 2013). Dengan cara ini, JFDI tidak hanya memperkuat daya tawar, tetapi juga memberikan legitimasi politik baru bagi negara berkembang untuk berperan lebih aktif dalam tata kelola kapital global.

Dengan menggabungkan ketiga rasionalisasi teoretis tersebut, JFDI dapat dipahami bukan hanya sebagai instrumen teknis untuk mengelola investasi asing, tetapi juga sebagai inovasi dalam tata kelola ekonomi internasional. JFDI diharapkan menjawab kritik terhadap asimetri FDI konvensional, menawarkan jalan keluar melalui integrasi keunggulan komparatif, serta memperkuat kapasitas institusional negara berkembang untuk bernegosiasi secara kolektif. Karenanya, JFDI memiliki potensi tidak hanya untuk meningkatkan efektivitas ekonomi, tetapi juga untuk memperkokoh posisi strategis negara berkembang dalam arsitektur global yang tengah berubah.

Mekanisme Operasional JFDI

Agar konsep Joint Foreign Direct Investment (JFDI) dapat berjalan secara efektif, dibutuhkan mekanisme operasional yang jelas, sistematis, dan mampu menjembatani kepentingan negara peserta maupun investor asing. Mekanisme ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga politis, karena menyangkut kedaulatan ekonomi, integrasi kelembagaan, serta distribusi manfaat yang adil.  Terdapat empat komponen utama yang membentuk mekanisme operasional JFDI, yaitu pembentukan badan investasi bersama, skema proyek kolaboratif, model pembagian manfaat, dan integrasi kebijakan FDI lintas negara.

Komponen pertama adalah pembentukan Badan Investasi Bersama atau Joint Investment Authority (JIA). JIA merupakan lembaga gabungan yang terdiri dari perwakilan negara-negara peserta dan berfungsi sebagai otoritas kolektif untuk mengelola seluruh aspek FDI yang masuk melalui mekanisme JFDI. Lembaga ini bertugas merumuskan regulasi bersama, menyaring dan menyeleksi proyek, serta memediasi potensi konflik antara kepentingan negara penerima dan investor asing.  Dengan adanya JIA, negara-negara peserta dapat menghindari fragmentasi kebijakan dan memastikan bahwa semua keputusan terkait investasi diambil secara kolektif, berdasarkan prinsip kesetaraan dan transparansi. Dari perspektif institusionalisme, JIA juga berperan dalam mengurangi ketidakpastian regulasi, memperkuat kredibilitas kebijakan, dan menciptakan stabilitas yang menjadi prasyarat bagi keberlanjutan investasi jangka panjang (North, 1990).

Komponen kedua adalah skema proyek kolaboratif yang menjadi inti dari praktik JFDI. Dalam skema ini, investor asing menanamkan modal pada proyek lintas negara yang didesain untuk memanfaatkan keunggulan komparatif masing-masing negara peserta. Misalnya, dalam sektor energi terbarukan, Indonesia dapat menyediakan sumber daya panas bumi, sementara Vietnam menawarkan kapasitas infrastruktur panel surya dan pasar domestik yang berkembang pesat. Proyek yang dihasilkan bersifat komplementer, di mana distribusi lokasi, input produksi, dan output akhir diatur dalam kerangka kerjasama yang disepakati bersama. Hal ini berbeda dengan model FDI konvensional yang bersifat parsial dan berfokus pada satu negara, karena JFDI menekankan integrasi lintas batas untuk menciptakan nilai tambah regional. Secara praktis, skema ini dapat mencakup infrastruktur transportasi lintas negara, industri pertahanan bersama, atau ekosistem digital terintegrasi yang melampaui batas-batas teritorial tradisional.

Komponen ketiga adalah model pembagian manfaat (benefit-sharing model). Salah satu kritik utama terhadap FDI tradisional adalah distribusi hasil investasi yang seringkali timpang, dengan porsi keuntungan lebih besar mengalir ke investor atau ke satu negara tertentu. JFDI hadir dengan menawarkan mekanisme pembagian manfaat yang dialokasikan berdasarkan kesepakatan kolektif antarnegara peserta. Pembagian tersebut tidak hanya dalam bentuk pendapatan atau profit, tetapi juga mencakup transfer teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pembangunan infrastruktur di wilayah kedua negara. Dengan demikian, manfaat dari investasi asing tidak terpusat pada satu pihak, melainkan tersebar secara merata sesuai prinsip keadilan distributif. Model ini juga memungkinkan adanya bentuk dividen pembangunan (development dividends) yang berorientasi jangka panjang, seperti peningkatan kemampuan riset lokal atau penciptaan industri pendukung domestik.

Komponen keempat adalah integrasi kebijakan FDI yang mencakup harmonisasi regulasi lintas negara. Tanpa integrasi kebijakan, investor asing akan tetap memiliki peluang untuk melakukan regulatory arbitrage, yaitu memilih negara dengan aturan paling longgar untuk memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, harmonisasi regulasi pajak, kepemilikan asing, perizinan usaha, serta standar lingkungan dan ketenagakerjaan menjadi prasyarat penting agar ekosistem investasi benar-benar kolaboratif. Integrasi kebijakan ini juga memperkuat posisi tawar negara peserta dalam menghadapi investor asing, karena mereka tidak lagi bernegosiasi secara terpisah, melainkan melalui kerangka hukum bersama yang lebih konsisten dan kohesif. Dalam konteks ekonomi politik internasional, hal ini menciptakan bargaining bloc yang lebih solid dan mampu mengurangi praktik eksploitasi investor terhadap perbedaan kebijakan antarnegara (Phillips, 2013).

Dengan keempat komponen tersebut, mekanisme operasional JFDI menawarkan tata kelola investasi yang lebih berkelanjutan dibandingkan model kompetitif tradisional. JFDI menekankan pada institusionalisasi kolektif, kolaborasi lintas batas, keadilan distribusi manfaat, dan konsistensi regulasi. Secara konseptual, mekanisme ini tidak hanya meningkatkan efisiensi ekonomi, tetapi juga memperkuat solidaritas politik dan integrasi regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang sedang berupaya memperkuat kemandirian ekonomi melalui inisiatif-inisiatif kerjasama regional. Dengan demikian, JFDI dapat dipandang sebagai inovasi dalam tata kelola FDI yang mampu menggabungkan tujuan pembangunan ekonomi dengan aspirasi politik kedaulatan kolektif.

Studi Kasus Potensial

Penerapan konsep Joint Foreign Direct Investment (JFDI) menjadi semakin relevan apabila dikaitkan dengan kebutuhan nyata negara berkembang dalam menghadapi dinamika ekonomi global. Dua contoh utama yang dapat dijadikan acuan adalah kerjasama bilateral Indonesia–Vietnam di sektor energi terbarukan dan pengembangan ASEAN JFDI Platform sebagai wadah investasi kolektif lintas negara. Namun, untuk lebih memperlihatkan fleksibilitas konsep ini, penting pula menyoroti kemungkinan kolaborasi di berbagai sektor strategis lainnya, termasuk pertahanan, digital, agroindustri, dan perikanan.

Kerjasama Indonesia–Vietnam dalam sektor energi terbarukan menjadi contoh paling konkret dari penerapan JFDI. Indonesia memiliki cadangan panas bumi yang sangat besar, biomassa, serta jaringan hidro yang tersebar luas, sementara Vietnam menunjukkan keunggulan dalam pengembangan energi surya. Melalui JFDI, kedua negara dapat mengintegrasikan potensi tersebut dalam satu proyek lintas batas, di mana investor asing tidak hanya membiayai, tetapi juga diarahkan untuk mendukung transfer teknologi, pembangunan infrastruktur hijau, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di kedua belah pihak (Narula & Dunning, 2010). Proyek semacam ini bukan hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga mendorong terbentuknya pasar energi hijau regional yang selaras dengan agenda global dekarbonisasi.

Selain energi, JFDI juga dapat difokuskan pada sektor pertahanan dan keamanan maritim. Indonesia dan Vietnam merupakan dua negara pesisir dengan kepentingan strategis yang besar di Laut Cina Selatan. Melalui JFDI, keduanya dapat mengembangkan industri galangan kapal bersama, membangun sistem pengawasan maritim berbasis teknologi, atau memfasilitasi produksi bersama peralatan pertahanan. Investasi lintas batas dalam sektor ini tidak hanya meningkatkan kapasitas industri pertahanan domestik, tetapi juga memperkuat posisi strategis kedua negara dalam menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik (Acharya, 2014).

Sektor berikutnya yang potensial adalah ekonomi digital. ASEAN merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan e-commerce tercepat di dunia, di mana Indonesia dan Vietnam menjadi pasar utama. JFDI dapat menjadi platform untuk menarik investasi asing dalam pembangunan pusat data lintas negara, jaringan digital connectivity, serta start-up ecosystem regional. Kolaborasi ini akan memperkuat daya saing digital ASEAN sekaligus mengurangi dominasi perusahaan teknologi global yang selama ini memegang kendali atas infrastruktur digital kawasan.

Di luar itu, sektor agroindustri dan pangan juga sangat relevan. Indonesia dengan basis produksi pertanian yang besar dapat dipadukan dengan pengalaman Vietnam dalam mengembangkan rantai nilai beras global. Melalui JFDI, investor asing dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan fasilitas pengolahan pangan lintas batas, meningkatkan efisiensi logistik, serta memperkuat ketahanan pangan regional. Model ini sejalan dengan agenda sustainable development yang menempatkan ketahanan pangan sebagai salah satu isu utama di era perubahan iklim.

Yang tidak kalah penting adalah potensi kerjasama JFDI dalam sektor perikanan. Baik Indonesia maupun Vietnam memiliki posisi strategis sebagai negara maritim dengan wilayah laut yang luas dan sumber daya ikan yang melimpah. Namun, kedua negara juga menghadapi tantangan serius berupa overfishing, praktik Illegal, Unreported, And Unregulated (IUU) fishing, serta keterbatasan teknologi pengolahan hasil laut. Melalui JFDI, investor asing dapat diarahkan untuk mendanai pembangunan industri perikanan terpadu, mulai dari fasilitas cold storage lintas negara, pengembangan kapal tangkap ramah lingkungan, hingga modernisasi rantai pasok hasil laut. Kolaborasi ini akan memperkuat posisi kedua negara sebagai pusat industri perikanan di Asia Tenggara, meningkatkan nilai tambah ekspor, sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Lebih jauh lagi, kerjasama perikanan melalui JFDI dapat berfungsi sebagai instrumen diplomasi maritim, memperkuat solidaritas Indonesia–Vietnam dalam menghadapi dinamika geopolitik di kawasan Laut Cina Selatan.

Sementara itu, pada level regional, pengembangan ASEAN JFDI Platform dapat menjadi wadah kelembagaan yang mengkoordinasikan arus FDI ke proyek-proyek lintas negara. Salah satu proyek yang paling relevan adalah ASEAN Power Grid, yaitu integrasi jaringan listrik kawasan yang membutuhkan investasi infrastruktur berskala besar. Dengan JFDI, pembiayaan proyek tersebut dapat dibagi secara kolektif, sementara investor asing memperoleh skala ekonomi yang lebih luas. Selain energi, platform ASEAN juga dapat diarahkan pada pembangunan infrastruktur maritim regional, seperti maritime economic corridors dan port integration system, yang krusial untuk memperkuat konektivitas perdagangan kawasan.

Dengan demikian, studi kasus potensial JFDI menunjukkan bahwa konsep ini memiliki fleksibilitas untuk diterapkan di berbagai sektor. Pada level bilateral, Indonesia–Vietnam dapat memanfaatkan keunggulan komplementer mereka dalam energi terbarukan, pertahanan, digital, pangan, dan perikanan. Pada level regional, ASEAN dapat memperluasnya menjadi mekanisme kolektif untuk mengelola investasi lintas batas secara strategis. Secara konseptual, hal ini menegaskan bahwa JFDI tidak hanya sebuah instrumen ekonomi, tetapi juga instrumen politik dan strategis yang mampu menghubungkan kepentingan pembangunan nasional dengan integrasi kawasan dan stabilitas geopolitik Indo-Pasifik.

Implikasi Akademis dan Kebijakan

Konsep Joint Foreign Direct Investment (JFDI) membawa sejumlah implikasi penting baik bagi ranah akademis, kebijakan, maupun praktik pembangunan ekonomi internasional. Pada dimensi akademis, JFDI memperkaya literatur mengenai FDI dengan memperkenalkan dimensi baru berupa collaborative governance antarnegara penerima. Selama ini, kajian FDI lebih banyak berfokus pada hubungan bilateral antara investor asing dan negara tuan rumah atau pada dinamika perusahaan multinasional dalam rantai nilai global (Dunning & Lundan, 2008). Kehadiran JFDI menambahkan perspektif berbeda dengan menekankan interaksi horizontal antarnegara penerima sebagai variabel kunci dalam tata kelola investasi. Dengan demikian, JFDI tidak hanya berfungsi sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga membuka ruang penelitian baru mengenai integrasi kelembagaan, diplomasi ekonomi, serta solidaritas regional dalam konteks arus modal global (Chin & Quadir, 2012).

Dari perspektif kebijakan, JFDI memberikan dasar normatif bagi perumusan kerangka hukum internasional baru terkait joint investment governance. Selama ini, kerangka hukum FDI cenderung diatur dalam bentuk perjanjian bilateral (Bilateral Investment Treaties/BITs) yang bersifat fragmentaris dan lebih menekankan perlindungan investor ketimbang kepentingan negara penerima (Phillips, 2013). Dengan JFDI, negara-negara berkembang memiliki justifikasi normatif untuk merumuskan instrumen hukum kolektif yang menekankan prinsip kesetaraan, pembagian manfaat, dan keberlanjutan. Hal ini berpotensi mendorong transformasi arsitektur hukum internasional dari model yang investor-centric menuju model yang lebih balance antara kepentingan kapital global dan kedaulatan negara penerima (UNCTAD, 2018).

Dalam dimensi praktis, penerapan JFDI dapat mendorong transformasi nyata dari kompetisi menuju sinergi dalam menarik dan mengelola FDI. Dengan adanya mekanisme tata kelola bersama, negara-negara penerima dapat meminimalisir fenomena race to the bottom yang selama ini melemahkan posisi tawar mereka. Selain itu, JFDI menciptakan ruang bagi proyek lintas batas yang lebih efisien, misalnya integrasi energi hijau, pengembangan infrastruktur maritim, atau industri perikanan berkelanjutan. Dari sisi investor, JFDI juga menawarkan stabilitas regulasi dan kepastian hukum karena mereka berinteraksi dengan satu mekanisme kolektif yang konsisten, bukan dengan kerangka hukum yang terfragmentasi. Dengan demikian, secara praktis JFDI memberikan keuntungan ganda: meningkatkan daya tarik kawasan bagi investor sekaligus memperkuat pembangunan jangka panjang negara penerima.

Penutup

Secara keseluruhan, JFDI merepresentasikan sebuah inovasi dalam tata kelola FDI yang berorientasi pada kolaborasi, bukan kompetisi. Konsep ini lahir dari kritik terhadap pola FDI tradisional yang sering kali melanggengkan asimetri global dan memicu persaingan merugikan antarnegara berkembang. Dengan menekankan prinsip solidaritas, kesetaraan, dan keberlanjutan, JFDI menawarkan model alternatif yang tidak hanya lebih adil, tetapi juga lebih sesuai dengan kebutuhan pembangunan jangka panjang negara-negara berkembang. JFDI berpotensi menciptakan win-win solution bagi negara penerima maupun investor asing. Bagi negara penerima, JFDI memperkuat posisi tawar, mencegah praktik eksploitasi, dan memastikan distribusi manfaat yang lebih merata. Bagi investor, JFDI menghadirkan kerangka regulasi yang lebih stabil dan proyek lintas batas yang lebih terintegrasi. Dalam konteks politik-ekonomi global, JFDI sekaligus memperkuat kemandirian ekonomi-politik negara berkembang dengan menempatkan mereka sebagai aktor kolektif yang mampu menegosiasikan modal asing secara lebih seimbang.

Dengan demikian, JFDI tidak hanya relevan sebagai gagasan akademis, tetapi juga memiliki potensi aplikatif yang nyata, baik dalam kerangka bilateral seperti Indonesia–Vietnam maupun dalam skala regional seperti ASEAN. Ke depan, pengembangan konsep ini memerlukan dukungan riset empiris, perumusan instrumen hukum yang tepat, serta komitmen politik dari negara-negara peserta. Jika diimplementasikan dengan baik, JFDI dapat menjadi instrumen strategis yang menghubungkan kepentingan pembangunan nasional, integrasi regional, dan tata kelola global dalam satu kerangka kolaboratif yang berkelanjutan

Daftar Referensi

Acharya, A. (2014). The end of American world order. Polity. 

Cardoso, F. H., & Faletto, E. (1979). Dependency and development in Latin America. University of California Press. 

Chin, G. T., & Quadir, F. (2012). Introduction: Rising states, rising donors and the global aid regime. Cambridge Review of International Affairs, 25(4), 493–506. https://doi.org/10.1080/09557571.2012.744639 

Dunning, J. H., & Lundan, S. M. (2008). Multinational enterprises and the global economy (2nd ed.). Edward Elgar. 

Narula, R., & Dunning, J. H. (2010). Multinational enterprises, development and globalization: Some clarifications and a research agenda. Oxford Development Studies, 38(3), 263–287. https://doi.org/10.1080/13600818.2010.505684 

North, D. C. (1990). Institutions, institutional change and economic performance. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511808678 

Phillips, N. (2013). Unfree labour and adverse incorporation in the global economy: Comparative perspectives on Brazil and India. Economy and Society, 42(2), 171–196. https://doi.org/10.1080/03085147.2012.718630 

United Nations Conference on Trade and Development. (2018). World investment report 2018: Investment and new industrial policies. United Nations. https://unctad.org/publication/world-investment-report-2018 

World Bank. (2020). Vietnam solar competitive bidding strategy and framework. World Bank. https://documents1.worldbank.org/curated/en/949491579274083006/pdf/Vietnam-Solar-Competitive-Bidding-Strategy-and-Framework.pdf

Posted in

Leave a comment