Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Teori perang revolusioner Mao Zedong merupakan salah satu fondasi penting dalam pemikiran militer modern, khususnya terkait dengan konsep perang gerilya dan perjuangan rakyat melawan kekuatan negara yang lebih besar. Dalam tradisi pemikiran strategi, gagasan Mao menempati posisi unik karena tidak semata-mata merumuskan aspek taktis-militer, melainkan juga mengintegrasikan dimensi politik, sosial, dan ideologis dalam satu kerangka perjuangan. Dengan demikian, perang tidak dilihat hanya sebagai bentrokan senjata, melainkan sebagai kelanjutan dari politik, sejalan dengan prinsip Clausewitz, namun dengan penekanan yang lebih radikal pada mobilisasi rakyat dan transformasi sosial sebagai basis kekuatan revolusi (Clausewitz, 1976; Mao, 1961/2015).
Sebagai pemimpin revolusi Tiongkok, Mao merumuskan pendekatan sistematis mengenai bagaimana kelompok revolusioner yang relatif lemah dapat mengalahkan negara yang lebih kuat melalui dukungan massa, perang jangka panjang, dan fleksibilitas taktik. Strateginya kemudian dikenal dengan tiga tahap perang revolusioner: tahap organisasi dan mobilisasi, tahap perang gerilya, dan tahap perang konvensional. Model ini bersifat progresif dan adaptif, di mana setiap tahap menandai perkembangan dari fase politik menuju fase militer yang semakin matang, sangat bergantung pada kondisi sosial-politik yang dihadapi (Griffith, 1961; Sawyer, 1994).
Dalam konteks historis, teori ini terbukti menentukan keberhasilan Partai Komunis Tiongkok dalam Perang Saudara melawan Kuomintang. Namun pengaruhnya jauh melampaui Tiongkok, menjadi inspirasi berbagai gerakan revolusioner di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin sepanjang abad ke-20. Viet Cong di Vietnam, Khmer Merah di Kamboja, maupun gerakan-gerakan gerilya Amerika Latin banyak mengadaptasi prinsip Mao dengan modifikasi sesuai kondisi lokal, membuktikan sifat universal dari kerangka tiga tahap tersebut (Selden, 1995; Wickham-Crowley, 1992).
Relevansi teori Mao juga tidak berhenti pada era revolusi klasik. Dalam literatur insurgensi modern, pemikir seperti David Galula dan David Kilcullen mengembangkan doktrin counterinsurgency yang justru menggemakan inti dari pemikiran Mao, yakni bahwa keberhasilan insurgensi maupun kontra-insurgensi ditentukan oleh kemampuan menguasai dan memobilisasi dukungan masyarakat sipil. Prinsip “winning hearts and minds” yang populer dalam perang melawan insurgensi merupakan refleksi atas pentingnya basis sosial sebagaimana ditekankan Mao pada tahap pertama revolusi (Galula, 1964; Kilcullen, 2009).
Lebih jauh, transformasi konflik kontemporer ke arah perang hibrida dan gray-zone conflict menunjukkan bahwa gagasan Mao masih memiliki daya jelajah analitis. Strategi asimetris yang digunakan oleh Rusia dalam konflik Ukraina, maupun oleh Taliban dan ISIS dalam menghadapi kekuatan militer negara-negara besar, merepresentasikan pola pikir Maois: bertahan dalam kelemahan, melemahkan lawan melalui operasi tidak langsung, dan pada akhirnya berupaya menciptakan kondisi untuk konfrontasi terbuka (Hoffman, 2007; Byman, 2020). Dengan demikian, model Mao dapat dibaca sebagai pendahulu dari konsep perang hibrida modern, di mana aktor non-negara maupun negara memadukan instrumen militer, politik, ekonomi, dan informasi untuk mencapai tujuan strategis.
Bagi Indonesia, pemahaman terhadap kerangka Mao tetap relevan karena kondisi geografis kepulauan dan keragaman sosial yang luas menyimpan potensi kerawanan terhadap insurgensi, separatisme, maupun terorisme. Analisis akademik terhadap tiga tahap perang revolusioner Mao dapat memberikan perspektif penting dalam merumuskan strategi pertahanan yang responsif terhadap ancaman non-konvensional, sekaligus menjadi landasan konseptual untuk menghadapi bentuk-bentuk konflik asimetris yang terus berevolusi. Dengan demikian, studi atas teori Mao bukan sekadar kajian historis, melainkan juga kontribusi strategis bagi pengembangan doktrin militer dan kebijakan pertahanan kontemporer.
Tahap Pertama: Organisasi dan Mobilisasi
Tahap awal dalam strategi Mao merupakan fase fundasional yang menentukan keberhasilan tahap-tahap berikutnya. Pada fase ini, tujuan utama bukanlah konfrontasi militer langsung, melainkan penciptaan basis ideologis, sosial, dan politik yang kokoh di pedesaan. Mao berangkat dari keyakinan bahwa kekuatan revolusioner hanya dapat bertahan dan berkembang apabila berakar pada rakyat. Oleh karena itu, dukungan massa tidak dianggap sebagai faktor tambahan, melainkan sebagai inti dari kekuatan revolusi itu sendiri (Mao, 1961/2015).
Implementasi strategi ini diwujudkan melalui edukasi politik yang bertujuan membangun kesadaran kolektif rakyat mengenai ketidakadilan sosial dan pentingnya revolusi. Pendidikan politik yang dilakukan tidak hanya bersifat top-down, melainkan juga mengintegrasikan pengalaman konkret petani dan buruh sehingga mereka merasa menjadi bagian aktif dari perjuangan (Fairbank & Feuerwerker, 1986).
Selain itu, dilakukan perekrutan kader militan yang membentuk sel-sel organisasi di tingkat desa. Sel ini berfungsi ganda: sebagai agen propaganda dan mobilisasi, sekaligus sebagai embrio struktur militer revolusioner. Dalam konteks agraria, kampanye reforma tanah menjadi instrumen paling efektif untuk menarik simpati petani. Redistribusi tanah tidak hanya mengikis basis sosial kelas tuan tanah yang mendukung rezim lama, tetapi juga membangun kepercayaan serta legitimasi moral gerakan revolusioner (Selden, 1995).
Langkah lain adalah infiltrasi ke dalam struktur pemerintahan lokal guna meruntuhkan legitimasi negara dari dalam. Melalui infiltrasi, gerakan revolusi berupaya menciptakan kekosongan otoritas negara di tingkat bawah, sekaligus memperlihatkan alternatif otoritas revolusioner yang lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat. Dengan demikian, pada tahap ini Mao menegaskan bahwa perang pada hakikatnya adalah politik dengan cara lain, di mana keberhasilan militer bergantung pada legitimasi politik dan dukungan sosial yang luas.
Tahap Kedua: Perang Gerilya
Setelah basis sosial dan politik terbentuk, revolusi bergerak ke tahap kedua yaitu perang gerilya. Pada tahap ini, kekuatan revolusioner mulai menggunakan alat militer secara terbatas untuk menantang rezim yang berkuasa. Namun, tujuan perang gerilya bukanlah untuk menghancurkan musuh secara langsung, melainkan untuk mengikis kekuatan lawan secara bertahap sembari memperluas wilayah pengaruh.
Karakter utama perang gerilya adalah mobilitas tinggi, fleksibilitas taktik, serta pemanfaatan geografi. Pasukan gerilya melakukan serangan kecil, cepat, dan mengejutkan terhadap target-target yang rentan seperti pos militer terpencil, jalur komunikasi, atau logistik musuh. Dengan strategi ini, pasukan revolusioner dapat menghindari pertempuran frontal yang hampir pasti dimenangkan oleh musuh yang lebih kuat (Galula, 1964).
Mao menekankan pentingnya strategi “hit and run” yang memungkinkan pasukan kecil terus bergerak, menyerang, dan kemudian menghilang sebelum musuh mampu melakukan konsolidasi. Di sini, waktu menjadi senjata utama: pasukan kecil tidak berupaya memenangkan pertempuran besar dalam waktu singkat, tetapi mengulur konflik hingga musuh kehilangan energi, sumber daya, dan legitimasi (Mao, 1961/2015). Dengan cara ini, pasukan revolusioner yang lemah dapat bertahan hidup sekaligus memperluas pengaruhnya, menciptakan sebuah dinamika asimetris yang merugikan musuh.
Tahap Ketiga: Perang Konvensional
Apabila dua tahap sebelumnya berhasil mengonsolidasikan kekuatan politik dan mengikis kekuatan militer lawan, maka revolusi memasuki tahap terakhir: perang konvensional terbuka. Pada fase ini, kekuatan revolusioner telah berkembang menjadi militer terorganisasi dengan struktur yang lebih formal, wilayah basis yang kokoh, serta dukungan rakyat yang luas. Kondisi tersebut memungkinkan revolusi beralih dari taktik gerilya ke konfrontasi frontal.
Dalam tahap ini, pasukan revolusioner biasanya sudah memiliki wilayah bebas yang berfungsi sebagai pusat logistik, pelatihan, dan komando. Dukungan rakyat bertransformasi dari sekadar simpati menjadi kontribusi aktif berupa pasokan tenaga kerja, logistik, dan legitimasi politik. Di sisi lain, pasukan pemerintah biasanya sudah mengalami kelelahan material maupun moral, sehingga posisi tawarnya melemah secara signifikan (Snow, 1968).
Pertempuran dalam tahap ini dilakukan dalam skala besar dengan tujuan merebut kota-kota penting dan pusat pemerintahan. Proses ini menandai klimaks revolusi, di mana kekuatan yang tadinya inferior kini mampu menumbangkan rezim lama dan menggantinya dengan pemerintahan baru. Dengan demikian, tahap ketiga merepresentasikan integrasi penuh antara politik, militer, dan sosial yang sejak awal digagas Mao dalam strategi perang revolusioner.
Kerangka Konseptual Perbandingan
Teori perang revolusioner Mao Zedong dengan tiga tahapannya menjadi salah satu tonggak analitis dalam memahami dinamika konflik asimetris. Namun untuk melihat relevansi dan transformasinya, teori ini perlu ditempatkan dalam perbandingan dengan doktrin insurgensi modern dan konsep perang hibrida yang berkembang di abad ke-21.
Pada tataran awal, tiga tahap Mao menekankan bahwa keberhasilan revolusi tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan oleh basis sosial dan politik. Tahap organisasi dan mobilisasi, yang menekankan pada perekrutan, edukasi politik, dan pembentukan struktur bawah tanah, sejalan dengan apa yang kemudian ditekankan oleh David Galula (1964) dalam doktrin counterinsurgency. Galula berargumen bahwa inti insurgensi adalah perebutan dukungan masyarakat, dan inti counterinsurgency adalah merebut kembali “hearts and minds” rakyat. Dengan kata lain, fokus Mao pada rakyat sebagai pusat gravitasi memiliki resonansi yang kuat dengan doktrin kontra-insurgensi modern, hanya berbeda pada orientasi tujuan: Mao untuk menggulingkan negara, Galula untuk mempertahankannya.
Ketika Mao memasuki tahap perang gerilya, penekanannya pada serangan kecil, mobilitas tinggi, dan penggunaan geografi untuk melawan musuh yang lebih kuat memiliki kemiripan dengan observasi David Kilcullen (2009). Kilcullen menekankan bahwa insurgensi modern bersifat kompleks, desentralistik, dan berjejaring, di mana operasi kecil-kecilan lebih menentukan daripada pertempuran besar. Di sinilah strategi Mao tentang waktu sebagai senjata menjadi relevan: insurgensi tidak mencari kemenangan cepat, melainkan mengikis kekuatan musuh secara perlahan sampai titik jenuh.
Adapun tahap terakhir Mao, yakni perang konvensional terbuka, dapat dipahami sebagai transisi ketika insurgensi telah matang. Namun dalam kerangka kontemporer, transisi ini tidak selalu linier. Konsep hybrid warfare yang diperkenalkan oleh Frank Hoffman (2007) dan dipopulerkan lebih lanjut melalui Gerasimov Doctrine Rusia, menunjukkan bahwa aktor modern tidak selalu menunggu sampai cukup kuat untuk beralih ke perang konvensional. Sebaliknya, mereka menggunakan kombinasi simultan antara operasi militer terbuka, perang informasi, cyber attack, operasi ekonomi, dan penggunaan aktor non-negara untuk mencapai tujuan strategis. Pola ini merupakan modifikasi dari logika Mao: bila Mao menekankan progresi bertahap, perang hibrida menekankan integrasi serentak dari berbagai instrumen kekuatan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tiga tahap Mao memberikan kerangka awal untuk memahami insurgensi, sementara doktrin counterinsurgency modern menegaskan pentingnya aspek sosial dan politik dalam menanganinya, dan konsep hybrid warfare memperlihatkan bagaimana logika Maois mengalami transformasi dalam bentuk yang lebih kompleks dan multidimensi. Dalam konteks Indonesia, pemahaman integratif atas ketiganya dapat memperkaya doktrin pertahanan nasional, terutama menghadapi ancaman konflik asimetris, separatisme, terorisme, hingga perang informasi yang kini semakin relevan dalam lingkungan strategis Indo-Pasifik.
Penerapan Kontemporer
Model tiga tahap Mao Zedong terbukti bukan hanya sebagai kerangka revolusi Tiongkok, tetapi juga sebagai pola strategis yang berulang dalam berbagai konflik kontemporer. Di Vietnam, misalnya, strategi Mao diadaptasi secara langsung oleh Viet Minh dan kemudian Viet Cong. Tahap pertama diwujudkan melalui mobilisasi politik petani dan pembangunan basis ideologis di pedesaan, sementara tahap kedua terimplementasi dalam perang gerilya melawan pasukan Prancis dan kemudian Amerika, dengan memanfaatkan geografi hutan serta serangan kilat yang melemahkan logistik lawan. Tahap ketiga tercermin dalam ofensif besar seperti Tet Offensive 1968, yang meskipun tidak sepenuhnya menang secara militer, namun berhasil mengguncang legitimasi politik Amerika Serikat. Kasus Vietnam menunjukkan bahwa strategi Mao dapat bekerja secara utuh apabila didukung kondisi sosial, geografis, dan momentum internasional.
Berbeda dengan Vietnam, pengalaman FARC di Kolombia memperlihatkan keterbatasan dari model Mao. Sejak 1960-an, FARC berupaya membangun basis sosial di pedesaan melalui propaganda ideologis dan reforma agraria ala Mao. Mereka juga melancarkan perang gerilya dalam jangka panjang, menyerang pos-pos militer dan infrastruktur negara. Namun, tidak seperti di Tiongkok atau Vietnam, FARC gagal memasuki tahap ketiga, yakni perang konvensional terbuka. Faktor penghambatnya antara lain keterbatasan dukungan internasional, konsolidasi negara Kolombia dengan bantuan Amerika Serikat, serta fragmentasi internal. Hal ini menunjukkan bahwa logika Mao hanya efektif bila didukung oleh basis politik dan legitimasi yang luas, serta adanya ruang strategis yang memungkinkan transisi menuju perang konvensional.
Kasus Taliban di Afghanistan memberikan gambaran lain tentang relevansi pemikiran Mao. Setelah digulingkan pada 2001, Taliban kembali ke desa-desa, membangun jaringan ideologis melalui pendidikan agama dan patronase sosial, selaras dengan tahap pertama Mao. Mereka kemudian melancarkan serangan gerilya terhadap pasukan NATO dan pemerintah Afghanistan, secara konsisten menguras sumber daya lawan. Dengan kesabaran strategis yang berlangsung hampir dua dekade, Taliban berhasil kembali menguasai Kabul pada 2021. Dalam hal ini, prinsip Mao bahwa “waktu adalah senjata” terbukti relevan: pasukan kecil dapat bertahan, mengembangkan kekuatan, dan akhirnya menaklukkan lawan yang secara militer lebih kuat, asalkan memiliki daya tahan politik dan dukungan sosial.
Sementara itu, ISIS di Irak dan Suriah memperlihatkan sebuah penyimpangan dari kerangka Mao. Mereka memang memulai dengan mobilisasi ideologis dan propaganda, tetapi kemudian melompati fase perang gerilya menuju perang konvensional dan pendirian proto-negara dalam waktu yang sangat singkat. Dengan menguasai Mosul dan Raqqa pada 2014, ISIS tampak seperti berhasil mencapai tahap ketiga Mao dalam tempo kilat. Namun, keberhasilan yang terlalu cepat itu justru menyingkap kelemahannya: tidak adanya basis sosial yang solid dan legitimasi politik yang stabil. Akibatnya, ISIS kehilangan wilayah dengan cepat ketika menghadapi serangan koalisi internasional. Kasus ISIS memperlihatkan bahwa melewatkan tahapan awal Mao—yang menekankan dukungan rakyat—akan melemahkan daya tahan sebuah gerakan revolusioner.
Dari keempat contoh tersebut, terlihat bahwa kerangka Mao tetap memiliki daya jelajah analitis yang kuat. Vietnam membuktikan keefektifan model tiga tahap secara utuh, Kolombia menunjukkan keterbatasannya, Taliban mengonfirmasi relevansi prinsip perang jangka panjang, sementara ISIS memperlihatkan risiko ketika logika bertahap diabaikan. Semua ini memperlihatkan bahwa meskipun konteks ideologi, geografi, dan geopolitik berbeda, model Mao tetap menjadi titik rujuk untuk memahami dinamika insurgensi dan perang asimetris.
Bagi Indonesia, pelajaran yang dapat ditarik sangat jelas. Pertama, dukungan rakyat adalah inti dari stabilitas pertahanan, sehingga strategi kontra-insurgensi tidak boleh berhenti pada operasi militer, melainkan harus mengakar pada legitimasi politik, pembangunan sosial, dan penguatan kesejahteraan. Kedua, konflik modern tidak lagi berlangsung dalam bentuk linier seperti yang dibayangkan Mao, tetapi sering memadukan unsur gerilya, politik, informasi, dan bahkan perang siber sebagaimana terlihat dalam bentuk perang hibrida kontemporer. Dengan demikian, memahami tiga tahap Mao tetap penting, bukan untuk menirunya secara ideologis, tetapi untuk mengantisipasi bentuk-bentuk ancaman non-konvensional dan asimetris yang terus berevolusi dalam lingkungan strategis Indo-Pasifik.
Penutup
Teori perang revolusioner Mao Zedong, dengan kerangka tiga tahapnya, menegaskan bahwa perang bukan hanya persoalan militer, tetapi juga politik, sosial, dan ideologis. Mao menempatkan rakyat sebagai pusat gravitasi revolusi, sehingga kekuatan militer hanya dapat berkembang apabila memiliki legitimasi politik dan basis sosial yang kokoh. Kerangka ini terbukti efektif dalam revolusi Tiongkok dan menjadi inspirasi bagi berbagai gerakan bersenjata di Vietnam, Kamboja, hingga Amerika Latin. Lebih jauh, teori Mao juga menjadi rujukan bagi literatur insurgensi modern, di mana pemikir seperti Galula dan Kilcullen menekankan hal serupa dari perspektif kontra-insurgensi: tanpa dukungan rakyat, tidak ada insurgensi yang bertahan lama, tetapi tanpa legitimasi politik pula, negara tidak dapat memenangkan perang melawan insurgensi (Galula, 1964; Kilcullen, 2009).
Dalam diskursus militer kontemporer, relevansi teori Mao dapat dibaca melalui lensa small wars dan hybrid warfare. Teori small wars menekankan pentingnya operasi militer non-konvensional yang dilakukan oleh aktor lemah melawan aktor negara yang lebih kuat, yang pada hakikatnya merupakan warisan langsung dari kerangka Mao. Sementara itu, konsep hybrid warfare yang dikembangkan Hoffman (2007) dan kemudian diperluas melalui Gerasimov Doctrine Rusia menunjukkan bahwa konflik modern tidak lagi berlangsung secara bertahap sebagaimana dalam model Mao, melainkan dalam bentuk integrasi simultan antara dimensi militer, politik, ekonomi, informasi, dan bahkan siber. Dengan kata lain, jika Mao menekankan progresi dari lemah ke kuat, maka perang hibrida menekankan penggunaan serentak berbagai instrumen kekuatan untuk menciptakan efek strategis yang asimetris.
Posisi teori Mao dalam literatur perang modern dapat dilihat sebagai fondasi dari pemahaman konflik asimetris. Ia bukan hanya doktrin revolusi komunis, tetapi juga kerangka analitis universal yang membantu menjelaskan mengapa aktor lemah mampu bertahan melawan kekuatan besar, bagaimana insurgensi dapat berkembang, serta apa yang menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalannya. Namun, untuk konteks kontemporer, kerangka Mao harus dibaca secara kritis: dunia kini tidak hanya mengenal perang gerilya dan konvensional, melainkan juga perang multidimensi di ranah informasi, dunia maya, dan opini publik global.
Bagi Indonesia, refleksi akademis atas teori Mao memiliki makna strategis. Sebagai negara kepulauan dengan keragaman sosial yang tinggi, ancaman insurgensi, separatisme, dan terorisme tetap menjadi faktor penting dalam perencanaan pertahanan. Mengkaji model Mao dapat membantu memahami bagaimana konflik dapat berkembang dari tahap mobilisasi sosial menuju konfrontasi militer, sekaligus memberi pelajaran bahwa pembangunan legitimasi politik dan kesejahteraan rakyat adalah kunci utama untuk mencegah konflik asimetris. Di saat yang sama, pemahaman tentang perang hibrida memperluas perspektif TNI untuk mengantisipasi bentuk-bentuk perang masa depan yang lebih kompleks, di mana dimensi informasi, cyber, dan diplomasi memainkan peran setara dengan kekuatan militer konvensional.
Dengan demikian, Mao’s Three Stages of Revolutionary Warfare bukan hanya doktrin historis, melainkan juga landasan teoretis yang menjembatani studi perang klasik dengan strategi pertahanan modern. Memadukan pemahaman Mao dengan literatur insurgensi, small wars, dan hybrid warfare memungkinkan TNI merumuskan doktrin yang lebih adaptif, responsif, dan relevan dengan lingkungan strategis Indo-Pasifik yang dinamis.
Daftar Referensi
Byman, D. (2020). Road warriors: Foreign fighters in the armies of jihad. Oxford University Press.
Clausewitz, C. von. (1976). On war (M. Howard & P. Paret, Eds. and Trans.). Princeton University Press. (Original work published 1832)
Fairbank, J. K., & Feuerwerker, A. (Eds.). (1986). The Cambridge history of China: Republican China 1912–1949, Part 1. Cambridge University Press.
Galula, D. (1964). Counterinsurgency warfare: Theory and practice. Praeger.
Giustozzi, A. (2019). The Taliban at war, 2001–2018. Oxford University Press.
Griffith, S. B. (1961). Mao Tse-tung on guerrilla warfare. Praeger.
Hoffman, F. G. (2007). Conflict in the 21st century: The rise of hybrid wars. Potomac Institute for Policy Studies.
Kilcullen, D. (2009). The accidental guerrilla: Fighting small wars in the midst of a big one. Oxford University Press.
Kolko, G. (1994). Anatomy of a war: Vietnam, the United States, and the modern historical experience. The New Press.
Leech, G. (2011). The FARC: The longest insurgency. Zed Books.
Lister, C. (2015). The Islamic State: A brief introduction. Brookings Institution Press.
Mao, Z. (2015). On guerrilla warfare (S. B. Griffith, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1937)
Sawyer, R. D. (1994). The seven military classics of ancient China. Basic Books.
Selden, M. (1995). China in revolution: The Yenan way revisited. M. E. Sharpe.
Snow, E. (1968). Red star over China. Grove Press.
Truong, N. (1985). Vietnamese revolutionary warfare. Ministry of National Defense.
Wickham-Crowley, T. (1992). Guerrillas and revolution in Latin America: A comparative study of insurgents and regimes since 1956. Princeton University Press.
Leave a comment