Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu institusi negara yang merepresentasikan kepribadian kolektif bangsa Indonesia. Sejak awal pembentukannya pada masa revolusi kemerdekaan, TNI tumbuh dari rahim perjuangan rakyat yang bersatu melawan kolonialisme. Dalam konteks historis tersebut, hubungan antara rakyat dan tentara tidak bersifat hierarkis, melainkan simbiotik, dimana kedua-duanya berjuang dalam satu kesadaran eksistensial untuk mempertahankan kemerdekaan dan martabat bangsa (Anderson, 2006). Karenanya, TNI tidak hanya lahir sebagai alat negara, tetapi juga sebagai ekspresi sosial dari solidaritas nasional yang berakar dalam budaya komunal Indonesia.
Dalam kerangka antropologi politik, karakter kolektivistik bangsa Indonesia berakar pada sistem nilai masyarakat agraris-komunal yang menekankan harmoni sosial, musyawarah, kepatuhan terhadap norma bersama, serta pengorbanan individual demi kepentingan kolektif (Koentjaraningrat, 1985; Mulder, 1998). Struktur sosial seperti ini membentuk orientasi budaya yang mengutamakan kebersamaan (togetherness) dan kesalingterhubungan (interconnectedness), di mana identitas individu melebur ke dalam identitas kelompok. Kearifan lokal semacam ini kemudian bertransformasi menjadi nilai dasar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, termasuk dalam pembentukan etos militer Indonesia.
Secara historis, semangat kebersamaan ini termanifestasi dalam praktik gotong royong, yang menurut Geertz (1963) merupakan basis moral masyarakat desa dan refleksi dari nilai kerja sama tanpa pamrih. Prinsip gotong royong inilah yang menjadi akar kultural bagi semangat kolektif di tubuh TNI, hal ini tercermin dalam struktur organisasi, pola kepemimpinan, maupun hubungan antara satuan dengan masyarakat sipil. Dalam konteks pertahanan nasional, nilai-nilai kolektivistik ini menjadi instrumen sosial yang memperkuat kohesi internal dan legitimasi eksternal TNI sebagai “tentara rakyat” (Sukma, 2019).
TNI dengan demikian bukan hanya entitas militer yang menjalankan fungsi koersif negara, tetapi juga lembaga sosial yang merepresentasikan nilai-nilai kultural bangsa. Doktrin “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat” merefleksikan perpaduan antara dua orientasi utama: pertama, orientasi tradisional berbasis kolektivisme yang menekankan kesatuan rakyat dan tentara; kedua, orientasi modern yang mengarah pada profesionalisme, meritokrasi, dan adaptasi terhadap sistem pertahanan global (Laksmana, 2018).
Keterpaduan dua orientasi tersebut menjadikan TNI unik dalam lanskap hubungan sipil-militer di negara demokrasi berkembang. Di satu sisi, TNI menginternalisasi nilai-nilai modern militer profesional sebagaimana diuraikan Huntington (1957), seperti netralitas politik, efisiensi, dan keahlian teknis. Namun di sisi lain, TNI tetap mempertahankan ciri khas lokal berupa kedekatan emosional dengan rakyat dan keterikatan pada nilai sosial-komunal. Dengan demikian, TNI menjadi manifestasi dari sintesis antara tradisi kolektif dan modernitas militer, antara civic virtue dan martial professionalism, yang membedakan karakter pertahanan Indonesia dari model-model Barat.
Lebih jauh, pendekatan kolektivistik dalam tubuh TNI juga memiliki dimensi strategis. Dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti ancaman non-tradisional, disinformasi, dan fragmentasi sosial, nilai kebersamaan dan disiplin komunal menjadi landasan penting untuk menjaga integrasi nasional. Oleh sebab itu, memahami TNI bukan hanya melalui kacamata militer formal, tetapi juga sebagai institusi kebudayaan yang mengemban misi sosial dan moral bangsa Indonesia.
Dengan demikian, TNI dapat dipandang sebagai representasi ideal dari jati diri bangsa yang menggabungkan rasionalitas strategis dengan kearifan kultural. Dalam era modernisasi pertahanan, nilai-nilai kolektivisme tidak sekadar menjadi warisan budaya, tetapi menjadi modal sosial strategis bagi penguatan integritas, profesionalisme, dan legitimasi institusional TNI di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Kolektivisme sebagai Karakter Sosial Bangsa Indonesia
Kolektivisme merupakan salah satu ciri fundamental dalam struktur sosial dan budaya bangsa Indonesia. Sebagai konsep sosiologis, kolektivisme menggambarkan orientasi nilai di mana individu menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi, serta mengutamakan keharmonisan sosial sebagai tujuan utama kehidupan bersama (Hofstede, 2001). Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai kolektivisme telah menjadi fondasi moral bagi terbentuknya masyarakat yang menjunjung tinggi solidaritas, kerja sama, dan tanggung jawab sosial.
Secara historis, akar kolektivisme Indonesia dapat dilacak dari sistem sosial masyarakat agraris Nusantara yang menuntut kerja sama komunal untuk bertahan hidup. Koentjaraningrat (1985) mencatat bahwa hubungan sosial dalam masyarakat desa tradisional diatur melalui prinsip gotong royong, yaitu kerja sama tanpa pamrih untuk kepentingan bersama, yang bukan hanya aktivitas sosial, tetapi juga simbol keterikatan moral dan eksistensial antarwarga. Gotong royong menjadi instrumen integratif yang mengikat individu dalam satu sistem nilai bersama, di mana keberhasilan satu orang dianggap sebagai keberhasilan seluruh komunitas.
Geertz (1963) dalam studi klasiknya tentang Agricultural Involution menegaskan bahwa struktur sosial Indonesia bersifat involutif, yaitu suatu struktur yang semakin kompleks namun tetap mempertahankan bentuk solidaritas dasar yang menjaga kohesi masyarakat di tengah tekanan ekonomi dan politik. Dalam pengertian ini, kolektivisme bukanlah bentuk konservatisme sosial, melainkan mekanisme adaptif untuk menjaga keberlangsungan komunitas di tengah perubahan. Dengan kata lain, kolektivisme berfungsi sebagai “lem sosial” (social glue) yang menjaga stabilitas sosial dan solidaritas nasional.
Dimensi normatif dari kolektivisme Indonesia juga dijelaskan oleh Magnis-Suseno (1997), yang menekankan bahwa etika sosial masyarakat Indonesia berpijak pada prinsip harmoni dan keselarasan (rukun). Prinsip ini menuntut setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan bersama demi menghindari konflik dan menjaga keseimbangan sosial. Dalam kerangka ini, kebebasan individual tidak dipahami secara liberal, tetapi dikontrol oleh kesadaran moral akan kesejahteraan kolektif. Nilai-nilai ini kemudian dilembagakan secara ideologis melalui Pancasila, terutama dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia, yang menekankan semangat solidaritas dan kesatuan nasional di atas perbedaan individu maupun kelompok (Nasikun, 2003).
Kolektivisme Indonesia juga memiliki dimensi spiritual yang kuat. Dalam banyak masyarakat tradisional Nusantara, hubungan sosial tidak hanya bersifat horizontal (antar-manusia), tetapi juga vertikal (antara manusia dan alam semesta). Kesadaran ini menumbuhkan bentuk moralitas sosial yang holistik, di mana kesejahteraan pribadi hanya dapat dicapai melalui keseimbangan dengan komunitas dan alam (Mulder, 1998). Nilai-nilai spiritual-komunal ini menciptakan moral economy yang berorientasi pada keadilan sosial dan tanggung jawab kolektif terhadap kehidupan bersama.
Ketika nilai-nilai ini diadopsi dalam sistem sosial modern, termasuk dalam institusi militer seperti TNI, kolektivisme menjadi landasan moral yang membedakan militer Indonesia dari model militer Barat. Dalam sistem Barat, militer sering dipandang sebagai institusi yang otonom, rasional, dan terpisah dari masyarakat sipil (Huntington, 1957). Sebaliknya, dalam konteks Indonesia, TNI lahir dan tumbuh dari tradisi sosial yang tidak mengenal pemisahan tegas antara masyarakat dan militer, melainkan mengutamakan integrasi sosial-politik berbasis kebersamaan dan tanggung jawab moral terhadap rakyat (Sukma, 2019).
Dengan demikian, kolektivisme Indonesia bukan hanya konstruksi budaya, tetapi juga capital sosial (Bourdieu, 1986) yang memperkuat legitimasi politik dan moral TNI. Nilai-nilai seperti kebersamaan, kepatuhan sosial, dan solidaritas komunal menjadi modal budaya (cultural capital) yang mengukuhkan kedudukan TNI sebagai institusi yang tidak hanya menjaga pertahanan negara, tetapi juga memelihara integrasi sosial bangsa. Dalam kerangka ini, kolektivisme bukanlah hambatan bagi profesionalisme, melainkan fondasi etis yang menopang karakter militer yang berakar kuat dalam kebudayaan nasional.
Dengan memahami kolektivisme sebagai karakter sosial bangsa Indonesia, kita dapat menafsirkan bahwa kekuatan TNI bukan semata pada alutsista atau doktrin militernya, melainkan pada kemampuannya menjaga kepercayaan sosial bersama rakyat melalui nilai-nilai kebersamaan dan pengabdian kolektif. Inilah bentuk soft power kultural yang menjadi keunggulan strategis TNI di tengah transformasi global, sekaligus warisan moral yang menjaga kontinuitas identitas kebangsaan Indonesia.
Manifestasi Kolektivisme dalam Budaya Organisasi TNI
Budaya organisasi TNI merupakan cerminan konkret dari nilai-nilai kolektivisme yang mengakar dalam struktur sosial dan budaya bangsa Indonesia. Sebagai institusi militer yang lahir dari rahim perjuangan rakyat, TNI tidak sekadar dibentuk berdasarkan prinsip hierarki komando dan disiplin militer, tetapi juga pada dasar moralitas sosial yang menekankan kebersamaan, kesetiaan, dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam konteks teori organisasi, TNI dapat dipahami sebagai sistem sosial yang menyeimbangkan antara formal authority (otoritas formal) dan communal solidarity (solidaritas komunal), di mana kedua aspek ini bersumber dari nilai-nilai kolektivisme tradisional Indonesia (Soemardjan, 1990; Hofstede, 2001).
Struktur Komando dan Kohesi Sosial
Kohesi sosial merupakan elemen kunci dalam efektivitas organisasi militer. Dalam TNI, kohesi tersebut tidak hanya dibangun melalui aturan formal dan kedisiplinan struktural, tetapi juga melalui ikatan emosional dan solidaritas antar prajurit. Hal ini sesuai dengan konsep collective identity yang dikemukakan oleh Kelman (2006), di mana identitas individu melebur ke dalam identitas kelompok, menciptakan rasa memiliki yang kuat terhadap institusi.
Dalam konteks TNI, konsep ini diwujudkan dalam semboyan-semboyan dan dalam praktik lapangan yang menekankan keberhasilan kolektif di atas pencapaian personal. Prinsip ini sejalan dengan nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia, di mana keberhasilan individu tidak dapat dilepaskan dari kontribusi kelompok (Koentjaraningrat, 1985). Solidaritas semacam ini memperkuat efektivitas tempur sekaligus menjadi benteng moral dalam menghadapi tekanan, baik di medan perang maupun dalam operasi non-tempur.
Penelitian militer kontemporer menunjukkan bahwa unit militer dengan tingkat solidaritas sosial yang tinggi memiliki ketahanan psikologis dan moral yang lebih kuat dibandingkan unit yang didominasi kompetisi individual (Wong et al., 2003). Hal ini menjelaskan mengapa TNI secara historis mampu mempertahankan kohesi institusional bahkan di tengah tekanan politik dan krisis nasional pasca-1998 (Mietzner, 2009). Dengan demikian, struktur komando TNI bukan hanya instrumen kendali, tetapi juga mekanisme pembentukan solidaritas sosial yang merefleksikan kearifan kolektivistik bangsa.
Kepemimpinan Paternalistik dan Etika Komunal
Dimensi kolektivisme dalam budaya TNI juga tercermin melalui pola kepemimpinan yang bersifat paternalistik. Pemimpin dalam konteks militer Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai pengendali atau pengambil keputusan, tetapi juga sebagai bapak moral yang membimbing, melindungi, dan menumbuhkan loyalitas bawahannya. Model kepemimpinan ini sejalan dengan struktur sosial yang menekankan relasi patron–klien berbasis asih, asah, dan asuh (Magnis-Suseno, 1997; Mulder, 1998).
Kepemimpinan semacam ini bukan bentuk feodalisme, melainkan wujud etika kolektif yang menempatkan pemimpin sebagai teladan moral. Dalam konteks militer, hal ini menciptakan iklim organisasi yang stabil, penuh kepercayaan, dan loyalitas vertikal yang kuat. Sebagaimana dijelaskan oleh Schein (2010), budaya organisasi yang berlandaskan nilai sosial dan kepercayaan kolektif lebih mampu mempertahankan legitimasi internal dibandingkan yang hanya bertumpu pada aturan rasional-birokratik.
Kepemimpinan paternalistik dalam TNI memiliki implikasi strategis terhadap pembentukan esprit de corps. Keteladanan, pengorbanan, dan rasa tanggung jawab kolektif yang diwujudkan oleh pemimpin menjadi sumber motivasi moral bagi prajurit untuk mengutamakan tugas di atas kepentingan pribadi. Dalam kerangka ini, nilai-nilai kepemimpinan TNI menjadi cerminan langsung dari filsafat sosial Indonesia yang menempatkan harmoni dan kebersamaan sebagai sumber legitimasi kekuasaan (Anderson, 1972).
Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Peran TNI
Manifestasi paling nyata dari kolektivisme dalam budaya TNI tampak dalam pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Keterlibatan TNI dalam penanggulangan bencana alam, program pembangunan nasional, dan pelayanan sosial mencerminkan transformasi nilai militer menjadi instrumen solidaritas sosial (Anwar, 2020). Dalam konteks ini, TNI tidak hanya bertindak sebagai pelindung negara, tetapi juga sebagai agen integrasi sosial dan pembangunan masyarakat.
Kegiatan seperti pembukaan akses jalan di daerah terpencil, bantuan logistik saat bencana, dan misi kemanusiaan di wilayah konflik menunjukkan bahwa TNI berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara dalam menghadirkan keadilan sosial (Sukma, 2019). Secara antropologis, peran semacam ini memperkuat social embeddedness TNI, berupa keterikatan emosional dan moral dengan masyarakat yang menjadi sumber kekuatan sosialnya (Granovetter, 1985).
Peran sosial TNI juga menegaskan paradigma tentara rakyat, yang menempatkan militer bukan sebagai entitas terpisah dari masyarakat, melainkan bagian integral dari kehidupan sosial bangsa. Pendekatan ini berbeda secara paradigmatik dengan konsep militer profesional Barat yang menekankan pemisahan total antara militer dan sipil (Huntington, 1957). Dengan tetap menjaga profesionalisme dan netralitas politik, TNI mampu mempertahankan hubungan simbiotik dengan rakyat tanpa kehilangan disiplin institusional. Hal ini menegaskan bahwa profesionalisme militer dalam konteks Indonesia tidak berarti pemisahan sosial, melainkan keseimbangan antara kemandirian struktural dan kedekatan sosial.
Sinergi Nilai Tradisional dan Modernisasi Pertahanan
Dalam era transformasi global dan revolusi militer modern, TNI berupaya menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional kolektivistik dan tuntutan profesionalisme modern. Modernisasi alutsista dan digitalisasi komando tidak menghapus nilai-nilai kebersamaan, tetapi justru memperluasnya ke dalam dimensi strategis, di mana kerja sama antar-matra menjadi bentuk baru dari gotong royong pertahanan (Kementerian Pertahanan RI, 2023). Dengan kata lain, integrasi pertahanan nasional bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga ekspresi kontemporer dari semangat kolektif bangsa.
Dengan demikian, budaya organisasi TNI merupakan manifestasi modern dari nilai kolektivisme Indonesia, sebagai sebuah integrasi antara solidaritas tradisional dan profesionalisme modern yang menghasilkan kekuatan moral, sosial, dan strategis. Dalam konteks ini, TNI bukan hanya penjaga kedaulatan, tetapi juga penjaga nilai-nilai keindonesiaan yang menjadi dasar ketahanan nasional.
Kolektivisme dan Profesionalisme dalam Era Modernisasi Pertahanan
Modernisasi pertahanan nasional Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses transformasi nilai-nilai internal TNI yang berakar pada budaya kolektivisme. Dalam menghadapi tantangan geopolitik dan keamanan multidimensi abad ke-21, TNI berupaya untuk tetap profesional tanpa kehilangan akar kulturalnya. Profesionalisme di sini bukan hanya persoalan kemampuan teknis dan penguasaan teknologi militer, tetapi juga mencakup dimensi moral, sosial, dan kultural yang menjadi inti dari jati diri TNI sebagai tentara rakyat (Sukma, 2019).
Profesionalisme TNI dalam Kerangka Budaya Kolektivistik
Dalam literatur klasik mengenai hubungan sipil-militer, Huntington (1957) menekankan bahwa profesionalisme militer idealnya bertumpu pada objective control, yaitu otonomi fungsional militer dalam bidang pertahanan, disertai subordinasi terhadap otoritas sipil. Namun, dalam konteks Indonesia, model ini mengalami penyesuaian karena karakter budaya bangsa yang bersifat kolektivistik dan komunal. TNI mengembangkan bentuk professionalism with collectivist ethos, di mana integritas profesional selalu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial terhadap rakyat dan negara (Mietzner, 2009).
Orientasi kolektivistik ini menjadikan TNI berbeda dari model militer Barat yang cenderung menekankan rasionalitas instrumental dan efisiensi operasional. Dalam TNI, profesionalisme dipahami sebagai kesempurnaan pengabdian (dedication-based professionalism) yang diukur dari sejauh mana prajurit mampu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan diri (Laksmana, 2018). Dengan demikian, standar profesionalisme TNI bersifat holistik: menggabungkan technical competence, ethical integrity, dan collective responsibility.
Kolektivisme sebagai Modal Sosial dalam Transformasi Pertahanan
Nilai-nilai kolektivisme berperan penting sebagai modal sosial (social capital) dalam mendukung modernisasi pertahanan nasional. Menurut Bourdieu (1986), modal sosial adalah jaringan nilai, kepercayaan, dan norma yang memungkinkan individu maupun institusi bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks TNI, modal sosial ini terwujud dalam bentuk kepercayaan internal (trust) antar prajurit, loyalitas terhadap institusi, serta hubungan simbiotik antara militer dan masyarakat sipil.
Kekuatan sosial ini terbukti menjadi faktor stabilitas ketika TNI menghadapi masa transisi pasca-Reformasi. Di saat banyak institusi negara mengalami krisis legitimasi, TNI tetap menjadi salah satu lembaga paling dipercaya publik (Mietzner, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kebersamaan, disiplin kolektif, dan etika pengabdian menjadi sumber legitimasi sosial yang tidak dapat digantikan oleh sekadar modernisasi teknologi atau restrukturisasi kelembagaan.
Dalam konteks geopolitik Indo-Pasifik yang semakin kompleks, kolektivisme juga berperan sebagai basis moral bagi sinergi lintas matra. Prinsip jointness (integrasi Matra Darat, Laut, Dan Udara) dapat dibaca sebagai ekspresi baru dari gotong royong strategis (strategic collectivism), yaitu kerja sama antar-matra dan antar-lembaga untuk menciptakan efek gentar yang komprehensif (Freedman, 2004). Dalam hal ini, kearifan kolektivisme tradisional mengalami transformasi menjadi nilai strategis modern yang memperkuat postur pertahanan nasional (Kementerian Pertahanan RI, 2023).
Tantangan Profesionalisme dan Disiplin dalam Masyarakat Demokratis
Kendati demikian, penerapan profesionalisme dalam konteks budaya kolektivistik menghadapi tantangan tersendiri di era demokrasi. Salah satu tantangan utama adalah menjaga keseimbangan antara loyalitas internal dan akuntabilitas publik. Demokratisasi menuntut transparansi, akuntabilitas, dan supremasi sipil, sedangkan nilai kolektivisme menekankan solidaritas internal dan kesetiaan korps (Mietzner, 2009).
Dalam situasi ini, TNI berupaya menegakkan disiplin yang demokratis, yaitu disiplin yang tidak bersifat koersif, tetapi lahir dari kesadaran moral dan tanggung jawab kolektif. Disiplin semacam ini bukan hasil dari ketakutan terhadap hukuman, melainkan bentuk internalisasi nilai-nilai kebangsaan dan etika profesi. Sebagaimana ditegaskan oleh Foucault (1977), disiplin yang efektif dalam masyarakat modern bukan yang memaksa, melainkan yang membentuk subjek rasional dan bermoral. Dalam konteks TNI, hal ini berarti membangun prajurit yang taat pada negara bukan karena perintah, tetapi karena kesadaran nilai kolektif bahwa ketaatan tersebut adalah bentuk tertinggi dari pengabdian.
Dengan demikian, TNI menghadirkan model profesionalisme yang khas Indonesia, yaitu modern namun bermoral, disiplin namun humanistik, kolektif namun bertanggung jawab. Kombinasi antara collective discipline dan civic professionalism ini menjadi landasan penting bagi keberlanjutan reformasi pertahanan di masa depan.
Kearifan Kolektivistik sebagai Pilar Ketahanan Nasional
Pada tingkat yang lebih luas, kolektivisme juga berfungsi sebagai pilar ketahanan nasional. Dalam konsep total defense system Indonesia, pertahanan negara bersifat semesta, dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, baik militer maupun sipil (Kementerian Pertahanan RI, 2023). Model pertahanan semesta ini merupakan penerjemahan praktis dari nilai-nilai kolektivisme: kebersamaan, kesetiaan, dan gotong royong dalam menjaga kedaulatan.
TNI berperan sebagai motor penggerak dalam sistem pertahanan ini, bukan sebagai kekuatan yang terpisah dari rakyat, melainkan sebagai pengorganisasi potensi nasional secara kolektif. Paradigma ini sejalan dengan pandangan Buzan, Wæver, dan de Wilde (1998) tentang comprehensive security, di mana keamanan negara tidak hanya diukur dari aspek militer, tetapi juga dari stabilitas sosial, keutuhan identitas, dan solidaritas nasional.
Dengan demikian, kearifan kolektivisme Indonesia memberikan legitimasi kultural dan moral bagi keberlangsungan sistem pertahanan nasional. Ia memastikan bahwa modernisasi militer tidak mengarah pada dehumanisasi, tetapi pada pembentukan militer yang cerdas secara teknologi, kuat secara moral, dan kokoh secara sosial. Nilai-nilai ini menjadikan TNI bukan hanya alat pertahanan negara, melainkan penjaga integritas bangsa dan representasi paling nyata dari kebijaksanaan kolektif Indonesia.
Penutup
Dalam delapan dekade pengabdiannya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah menunjukkan bahwa kekuatan sebuah institusi pertahanan tidak semata ditentukan oleh superioritas teknologi, jumlah personel, atau kecanggihan doktrin, tetapi juga oleh fondasi nilai dan moralitas yang menopang eksistensinya. Dalam konteks Indonesia, fondasi tersebut adalah kolektivisme, sebagai suatu kearifan sosial yang menempatkan kebersamaan, solidaritas, dan pengabdian di atas kepentingan individu. Nilai-nilai inilah yang menjadikan TNI tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga kokoh secara sosial dan legitimate secara moral.
Kearifan kolektivistik Indonesia yang berakar pada budaya gotong royong, musyawarah mufakat, dan rasa rukun (Koentjaraningrat, 1985; Magnis-Suseno, 1997) membentuk basis sosial dari etos pengabdian TNI. Sejak masa revolusi kemerdekaan, TNI tumbuh bukan sebagai entitas koersif yang memisahkan diri dari masyarakat, tetapi sebagai perwujudan kehendak kolektif bangsa untuk mempertahankan kedaulatan dan kehormatan nasional (Anderson, 2006). Dalam kerangka teori civil–military relations, hal ini menandai model khas Indonesia di mana profesionalisme militer tidak berarti pemisahan dari rakyat, tetapi justru memperkuat keterikatan sosial melalui disiplin moral dan tanggung jawab publik (Mietzner, 2009; Laksmana, 2018).
Dalam era modernisasi pertahanan, TNI berupaya mengharmonikan nilai-nilai tradisional tersebut dengan tuntutan profesionalisme global. Melalui program reformasi kelembagaan, digitalisasi komando, dan pendidikan perwira berbasis paradigma scholar-soldier. TNI menunjukkan bahwa transformasi militer tidak harus mengorbankan akar budaya bangsa. Sebaliknya, nilai kolektivisme justru menjadi modal sosial strategis (strategic social capital) yang memastikan bahwa modernisasi pertahanan tetap berpihak pada rakyat dan berorientasi pada kesejahteraan nasional (Bourdieu, 1986).
Lebih jauh, nilai kolektivisme juga berfungsi sebagai pilar ketahanan nasional. Dalam kerangka sistem pertahanan semesta, seluruh warga negara memiliki tanggung jawab kolektif untuk membela dan menjaga kedaulatan negara (Kementerian Pertahanan RI, 2023). Prinsip ini menegaskan bahwa keamanan nasional tidak hanya merupakan urusan militer, tetapi juga ekspresi dari partisipasi sosial yang luas, sebagai sebuah bentuk comprehensive security yang menggabungkan dimensi pertahanan, kesejahteraan, dan persatuan bangsa (Buzan et al., 1998). TNI, dalam hal ini, menjadi aktor utama yang menjembatani semangat kebersamaan tradisional dengan kebutuhan pertahanan modern.
Dalam konteks teoretis, hubungan antara kolektivisme dan profesionalisme TNI menunjukkan sintesis antara tradisi dan modernitas, yaitu antara akar budaya dan rasionalitas strategis. TNI bukan sekadar lembaga militer, tetapi juga institusi kebudayaan yang menjaga kesinambungan nilai-nilai bangsa di tengah perubahan zaman. Ketika militer di banyak negara berkembang menghadapi dilema legitimasi, TNI tetap bertahan sebagai lembaga yang dipercaya rakyat (Sukma, 2019). Kepercayaan ini tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari trust sosial yang dibangun melalui praktik kolektif pengabdian dan solidaritas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kearifan kolektivisme Indonesia merupakan inti dari identitas TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara profesional. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara nilai-nilai lokal dan strategi global, serta antara kekuatan fisik dan moral bangsa. Dalam kerangka pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045, peran TNI yang berlandaskan nilai kolektivistik akan semakin relevan: menjaga kedaulatan, memperkuat persatuan, dan menginspirasi semangat kebersamaan dalam setiap lini kehidupan berbangsa. TNI yang berakar pada kearifan kolektivisme bukan hanya institusi pertahanan, tetapi juga simbol integritas nasional, sebagai penjaga kedaulatan dan penjaga jiwa bangsa.
Referensi
Anderson, B. (1972). The idea of power in Javanese culture. In C. Holt (Ed.), Culture and politics in Indonesia (pp. 1–69). Ithaca, NY: Cornell University Press.
Anderson, B. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism. London: Verso.
Anwar, D. F. (2020). Indonesia’s vision as the world maritime fulcrum: Contested identity and implications for regional order. Asia Policy, 27(1), 99–116. https://doi.org/10.1353/asp.2020.0006
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). New York: Greenwood Press.
Buzan, B., Wæver, O., & de Wilde, J. (1998). Security: A new framework for analysis. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison. New York: Pantheon Books.
Freedman, L. (2004). Deterrence. Cambridge: Polity Press.
Geertz, C. (1963). Agricultural involution: The processes of ecological change in Indonesia. Berkeley: University of California Press.
Granovetter, M. (1985). Economic action and social structure: The problem of embeddedness. American Journal of Sociology, 91(3), 481–510.
Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations(2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Huntington, S. P. (1957). The soldier and the state: The theory and politics of civil–military relations. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Kelman, H. C. (2006). Interests, relationships, identities: Three central issues for individuals and groups in negotiating their social environment. Annual Review of Psychology, 57(1), 1–26.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2023). Buku Putih Pertahanan Negara 2023. Jakarta: Kementerian Pertahanan RI.
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Laksmana, E. A. (2018). Restructuring civil–military relations in Indonesia: The armed forces, civilian supremacy, and democracy. In M. Mietzner (Ed.), Problems of democratisation in Indonesia (pp. 169–190). Singapore: ISEAS.
Magnis-Suseno, F. (1997). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic consolidation. Singapore: ISEAS.
Mulder, N. (1998). Inside Indonesian society: Cultural change in Java. Amsterdam: The Pepin Press.
Nasikun. (2003). Sistem sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Schein, E. H. (2010). Organizational culture and leadership (4th ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Soemardjan, S. (1990). Kepemimpinan dan perubahan sosial di Indonesia. Jakarta: UI Press.
Sukma, R. (2019). Indonesia’s defense transformation and the challenges of professionalism. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 159–182.
Wong, L., Kolditz, T., Millen, R., & Potter, T. (2003). Why they fight: Combat motivation in the Iraq War. Carlisle, PA: Strategic Studies Institute, U.S. Army War College.

Leave a comment