Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Paradoks PT PAL Indonesia: Kemandirian Alutsista di Tengah Ketergantungan, Reformasi BUMN, dan Dinamika Pasar Pertahanan

Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

PT PAL Indonesia (Persero) merupakan salah satu entitas paling strategis dalam arsitektur industri pertahanan nasional. Berdiri di Surabaya sebagai galangan kapal milik negara, perusahaan ini kini bernaung dalam ekosistem DEFEND ID, yaitu holding industri pertahanan nasional di bawah koordinasi PT Len Industri, yang dibentuk untuk menyinergikan produksi, inovasi, dan tata kelola lintas BUMN strategis di sektor alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan). Melalui kerangka tersebut, PT PAL mengemban mandat ganda: pertama, sebagai pelaksana misi negara untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) matra laut; kedua, sebagai korporasi yang dituntut beroperasi secara efisien, berdaya saing, dan berorientasi profit dalam pasar global industri maritim (PAL Indonesia, 2019; “Company Profile,” n.d.).

Dalam dua dekade terakhir, PT PAL menunjukkan kurva pembelajaran industri (industrial learning curve) yang signifikan. Sejumlah capaian konkret menggambarkan kemampuan perusahaan ini untuk mengadopsi sekaligus mengadaptasi teknologi tinggi: pembangunan frigat modular SIGMA 10514 (Martadinata-class) bekerja sama dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding Belanda; perakitan kapal selam KRI Alugoro-405, kapal selam pertama yang dirakit di Asia Tenggara melalui kerja sama transfer teknologi dengan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea Selatan; pengembangan frigat Merah Putih (Arrowhead 140) berlisensi dari Babcock Inggris; serta desain dan produksi KCR-60M (Sampari-class) dan kapal rumah sakit kelas Sudirohusodo yang memperluas portofolio ke arah operasi militer selain perang (Naval News, 2019, 2021; Asian Military Review, 2021; Babcock, 2023; Naval Technology, 2024; Malufti, 2023; NTI, n.d.).

Namun, di balik capaian tersebut terdapat paradoks-struktural yang menonjol. Pada satu sisi, PT PAL menjadi simbol kemandirian industri pertahanan nasional, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang menekankan kemandirian, transfer teknologi, dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Pada sisi lain, kemandirian ini masih bertumpu pada jaringan global teknologi dan finansial yang membuatnya bergantung pada pemasok, lisensi, serta kontrol ekspor negara mitra (Maharani, 2023; Matthews, 2025). Ketergantungan semacam ini menimbulkan asimetri kapabilitas antara kemampuan produksi fisik dan penguasaan desain teknologi inti, sebuah kondisi yang sering disebut dalam literatur sebagai assembly without assimilation (Bruneau & Matei, 2008; Sukma, 2019).

Lebih jauh, transformasi PT PAL dari badan industri strategis era Orde Baru menuju korporasi modern pasca-reformasi memperlihatkan dilema antara misi publik (public mission) dan disiplin pasar (market discipline). Sebagai BUMN, PT PAL diwajibkan mencapai corporate profitability, sementara sebagai entitas strategis negara ia harus menjalankan fungsi keamanan nasional yang tidak selalu dapat diukur dengan logika efisiensi ekonomi. Dengan kata lain, PT PAL menghadapi ketegangan inheren antara state capacity, yakni kemampuan negara untuk mengarahkan sumber daya strategis demi tujuan kedaulatan, dan market rationality, yang menuntut efisiensi biaya, kecepatan proyek, serta daya saing ekspor (ADB, 2022; OECD, 2023).

Dalam konteks ekonomi politik, paradoks ini merepresentasikan dilema klasik industrialisasi pertahanan di negara berkembang: bagaimana menumbuhkan basis manufaktur strategis yang otonom namun tetap terintegrasi dengan rantai pasok global yang sangat terkonsentrasi dan dikontrol oleh rezim ekspor teknologi tinggi negara maju (Matthews, 2025). Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dapat menghindari dependence pathway ini, karena pengembangan alutsista modern selalu menuntut investasi litbang jangka panjang, kapasitas teknologi tinggi, dan keberlanjutan finansial, ketiganya sulit dicapai tanpa kemitraan internasional (Bitzinger, 2016; Brzoska, 2020).

Paradoks PT PAL dengan demikian bukanlah penyimpangan dari jalur modernisasi, melainkan konsekuensi logis dari reformasi industri pertahanan yang berada di antara dua rezim rasionalitas: logika kedaulatan yang menuntut kontrol nasional atas produksi pertahanan, dan logika pasar global yang menuntut efisiensi, daya saing, dan kolaborasi internasional. Dengan memeriksa ketegangan ini, kajian tentang PT PAL membuka jendela yang lebih luas untuk memahami arah strategic autonomy Indonesia di tengah konstelasi geopolitik Indo-Pasifik yang semakin kompleks.

Capaian Nyata: Kurva Pembelajaran, Modularisasi, dan Ekspor

Dalam dua dekade terakhir, PT PAL Indonesia menjadi contoh penting dari proses industrial learning di sektor pertahanan maritim negara berkembang. Capaian-capaian empirisnya memperlihatkan pola incremental upgrading, yakni peningkatan bertahap dalam kompleksitas teknis dan manajerial, yang merupakan ciri khas negara-negara yang berupaya mencapai otonomi industri pertahanan melalui mekanisme co-development dan co-production (Matthews & Maharani, 2022; Bitzinger, 2016).

1. Frigat SIGMA 10514: Modularisasi dan Pembelajaran Integratif

Program pembangunan dua frigat SIGMA 10514 (Martadinata-class) menandai titik balik transformasi PT PAL dari galangan assembler menuju system integrator. Skema modular construction, di mana empat modul dibangun di Surabaya dan dua di Belanda, memungkinkan transfer keterampilan pada aspek desain, fabrikasi baja kapal, serta integrasi sistem senjata dan komando (Sewaco) (Naval Technology, 2017; Wertheim, 2023). Dalam perspektif teori learning by doing, proyek ini berfungsi sebagai fase “absorptive learning”, yakni internalisasi kemampuan produksi dan integrasi sistem melalui interaksi langsung dengan mitra asing (Cohen & Levinthal, 1990).

Keberhasilan menyelesaikan dua frigat antara 2017–2018 memperkuat reputasi PT PAL di kawasan ASEAN sebagai galangan dengan kemampuan modularisasi kelas kombatan. Namun, pada tingkat yang lebih dalam, kapasitas tersebut masih bergantung pada design authority Damen Schelde dan impor subsistem utama seperti radar, CMS, dan sistem propulsi, sehingga posisi PT PAL masih dalam spektrum semi-dependent industrial autonomy (Matthews, 2025). Meski demikian, proyek ini membangun fondasi penting bagi kemampuan integrasi kompleks, kapasitas yang menjadi kunci untuk semua proyek berikutnya.

2. Kapal Selam KRI Alugoro-405: Tonggak Transfer Teknologi Bawah Laut

Perakitan KRI Alugoro-405 dari kelas Nagapasa menandai lompatan kuantum dalam sejarah industri pertahanan Indonesia. Kapal ini merupakan kapal selam pertama yang dirakit di dalam negeri dan pertama di Asia Tenggara, melalui kemitraan transfer of technology (ToT) dengan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea Selatan (Naval News, 2019, 2021; Asian Military Review, 2021).

Dalam kerangka teori technological catch-up, proyek Alugoro menunjukkan mekanisme capability leveraging—yakni pemanfaatan proyek bersama untuk memperpendek kesenjangan teknologi melalui transfer pengetahuan terstruktur (Hobday, 1995). Melalui ToT, PT PAL memperoleh pengalaman dalam pressure hull assembly, outfitting, dan integrasi sistem bawah air yang kompleks, walaupun komponen strategis seperti sonar, torpedo tube, dan sistem navigasi tetap dikendalikan oleh pemasok luar negeri (NTI, n.d.).

Secara strategis, proyek ini membentuk base capability yang dapat digunakan untuk pengembangan kapal selam generasi berikutnya. Akan tetapi, tanpa kesinambungan program dan investasi R&D domestik, pengetahuan yang diperoleh berisiko menjadi tacit dependency, yakni kemampuan yang bersifat sementara karena tidak diikuti dengan proses kodifikasi dan inovasi mandiri (Maharani, 2023).

3. Merah Putih Frigate (MPF140): Lompatan Menuju Kelas Kombatan Besar

Pada 2021, penandatanganan lisensi desain Arrowhead 140 (AH140) antara PT PAL dan Babcock International menandai ambisi Indonesia untuk beralih dari pengguna teknologi menjadi licensed designer. Program Merah Putih Frigate (MPF140) dirancang sebagai kapal kombatan berukuran 140 meter dengan sistem peluncur vertikal (Vertical Launching System, VLS) 64-cell, radar multifungsi, serta kombinasi senjata dan sensor dari Eropa, Inggris, dan Turki (Babcock, 2023; Janes, 2025; Naval Today, 2025).

Secara teoritis, proyek ini merepresentasikan tahap integration learning, yakni fase di mana industri lokal tidak hanya menyerap teknologi, tetapi juga mulai mengombinasikan subsistem lintas vendor dan negara (Nelson & Winter, 1982). Namun, kompleksitas proyek ini juga memperlihatkan paradoks industrial upgrading: semakin tinggi ambisi kemandirian, semakin besar ketergantungan pada ekosistem global untuk subsistem kritikal (CMS, radar AESA, sistem propulsi). Akibatnya, “kemandirian” harus dibaca sebagai strategic interdependence, bukan technological autarky (Matthews, 2025; Bitzinger, 2016).

Selain itu, dinamika proyek MPF140 menunjukkan policy learning di tingkat institusional, bagaimana PT PAL dan Kementerian Pertahanan mulai merancang strategi jangka panjang untuk menjaga kesinambungan production line guna mencegah hilangnya kurva pembelajaran sebagaimana terjadi pasca-proyek SIGMA 10514.

4. KCR-60M (Sampari-class): Desain Lokal dan Iterasi Berkelanjutan

Pada segmen kapal serang cepat (Fast Attack Craft), KCR-60M menandai kemampuan desain dan produksi penuh di dalam negeri. Kapal ini merupakan hasil pengembangan berulang dari batch ke batch, di mana setiap seri mengalami peningkatan sistem senjata, elektronik, dan propulsi (Malufti, 2023; Naval News, 2021, 2023).

Dalam perspektif continuous innovation, iterasi berulang pada KCR-60M memperlihatkan bentuk learning by improving, yakni mekanisme akumulasi pengalaman teknis yang dilakukan tanpa ketergantungan besar pada mitra asing (Hobday, 1995). Melalui proyek ini, PT PAL memperkuat kemampuan project management dan design optimization berbasis pengalaman lapangan TNI AL, sekaligus menunjukkan kesiapan industri nasional dalam memproduksi kapal tempur taktis dengan siklus produksi berkelanjutan.

5. Sudirohusodo-class Hospital Ship: Dual-Use Technology dan Diplomasi Pertahanan

Pengembangan kapal rumah sakit kelas Sudirohusodo (KRI dr. Wahidin Sudirohusodo-991 dan unit berikutnya) merepresentasikan dual-use innovation di sektor pertahanan: kombinasi antara fungsi militer dan kemanusiaan. Kapal ini dirancang sebagai floating hospital dengan kemampuan helicopter deck, ruang operasi modern, dan fasilitas tanggap bencana, yang relevan dengan misi Humanitarian Assistance and Disaster Relief (HADR) (Naval News, 2022; Post-Courier, 2024).

Dalam perspektif defense economics, diversifikasi portofolio ke arah HADR mencerminkan rasionalisasi strategi pertahanan Indonesia yang menekankan non-traditional security dan defense diplomacy (Sukma, 2019). Keberhasilan kapal ini dalam misi ke Pasifik Selatan pada 2024 memperlihatkan nilai tambah industri pertahanan sebagai instrumen soft power nasional.

6. Tarlac-class LPD: Ekspor dan Diplomasi Industri Pertahanan

Pada tingkat regional, ekspor kapal pendarat dok (Landing Platform Dock, LPD) ke Filipina, dua unit pada 2016–2017 dan dua unit tambahan pada 2022, mewakili babak baru bagi PT PAL sebagai eksportir alutsista berskala besar di Asia Tenggara (Naval News, 2022; Janes, 2025). Transaksi ini bukan hanya memperluas pasar industri pertahanan Indonesia, tetapi juga memperkuat peran diplomatiknya sebagai security provider di kawasan.

Namun, keberhasilan ini juga membuka paradoks baru: ekspor menuntut ketepatan waktu, kualitas, dan kepastian rantai pasok global, sementara sebagian besar subsistem utama tetap bergantung pada mitra asing. Dengan demikian, ekspor LPD memperlihatkan keberhasilan komersial sekaligus menegaskan batasan struktural dari kemandirian industri pertahanan Indonesia.

Sintesis: Kurva Pembelajaran yang Belum Tuntas

Rangkaian capaian di atas menegaskan bahwa strategi “naik kelas” melalui co-development, co-production, dan transfer of technology (ToT) telah efektif memperkuat kemampuan teknis dan manajerial PT PAL. Setiap proyek memberikan learning dividend berbeda: SIGMA 10514 memperkuat modularisasi; Alugoro memperluas kapasitas integrasi bawah laut; MPF140 membuka lisensi desain besar; KCR-60M menumbuhkan desain organik; Sudirohusodo-class memperluas fungsi ganda; dan ekspor LPD mempertegas kepercayaan internasional.

Namun demikian, industrial learning ini belum menutup kesenjangan struktural terhadap autarky teknologi. Komponen kunci seperti sistem sensor, Combat Management System (CMS), mesin, dan senjata masih berada di bawah kendali pemasok asing dan terikat rezim kontrol ekspor yang dinamis. Dengan kata lain, PT PAL telah memasuki tahap “intermediate autonomy”, fase di mana kemampuan manufaktur dan integrasi tumbuh pesat, tetapi kedaulatan teknologi inti belum sepenuhnya tercapai (Matthews, 2025; Maharani, 2023).

Kemandirian vs Ketergantungan ToT dan Impor

Paradoks paling mendasar dalam industrialisasi pertahanan Indonesia, yang tercermin dalam dinamika PT PAL Indonesia (Persero), adalah kemandirian yang bertumpu pada ketergantungan. Dalam wacana pembangunan industri strategis, paradoks ini bukan anomali, melainkan karakter struktural dari proses late industrialization di negara-negara berkembang yang berupaya menyeimbangkan ambisi kedaulatan teknologi dengan realitas globalisasi industri pertahanan (Evans, 1995; Amsden, 2001; Matthews, 2025).

Secara empiris, sebagian besar proyek besar PT PAL, mulai dari frigat SIGMA 10514 (Martadinata-class), kapal selam Nagapasa-class, hingga frigat Merah Putih (MPF140), dilaksanakan melalui skema transfer of technology (ToT) dan lisensi desain dari mitra asing: Damen Schelde (Belanda), DSME (Korea Selatan), hingga Babcock dan konsorsium industri pertahanan Turki (Babcock, 2023; Asian Military Review, 2021; Naval Technology, 2017; Janes, 2025; Naval Today, 2025). Dalam kerangka industrial upgrading theory, model ini dapat dikategorikan sebagai contractual technology transfer, yaitu proses pembelajaran teknologi berbasis proyek jangka pendek dengan keterlibatan teknis terbatas (Hobday, 1995).

Pada tahap awal, pendekatan semacam ini bersifat rasional. Negara yang baru membangun industri pertahanannya membutuhkan mekanisme technological shortcut untuk memperoleh keterampilan desain, fabrikasi, dan integrasi sistem tanpa harus menanggung biaya litbang yang masif (Cohen & Levinthal, 1990; Lall, 1992). Melalui ToT, PT PAL berhasil meningkatkan kapasitas engineering, outfitting, dan system integration, terutama dalam proyek SIGMA 10514 dan Alugoro-405. Namun, di balik keberhasilan ini, muncul tiga konsekuensi struktural yang memperlihatkan paradoks kemandirian semu (illusory autonomy).

1. Risiko Kontrol Ekspor dan Ketergantungan Politik

Ketergantungan pada pemasok asing menciptakan vulnerabilitas geopolitik. Banyak komponen penting yang digunakan dalam kapal perang Indonesia berasal dari negara-negara yang menerapkan rezim kontrol ekspor ketat, seperti International Traffic in Arms Regulations (ITAR) di Amerika Serikat atau Common Position 2008/944/CFSP di Uni Eropa. Setiap perubahan kebijakan luar negeri negara pemasok dapat berdampak langsung pada kelancaran proyek, baik berupa penundaan pengiriman, pembatasan pembaruan sistem tempur, maupun pelarangan re-ekspor (Matthews, 2025).

Sebagai contoh, proyek Merah Putih Frigate (MPF140) menampilkan potensi risiko ini secara jelas. Meskipun Indonesia memilih kombinasi subsistem Eropa–Turki untuk memperluas otonomi politik dan teknologinya, keputusan tersebut sekaligus menempatkan proyek pada lintasan ketergantungan multi-negara. Sistem peluncur vertikal Midlas VLS dari Roketsan, Combat Management System (CMS) ADVENT dari HAVELSAN, radar dan sensor dari Aselsan, meriam Leonardo OTO Melara, serta sistem CIWS Rheinmetall, semuanya berada di bawah yurisdiksi kontrol ekspor berbeda-beda. Kondisi ini menciptakan risiko coordination overload dan keterlambatan sertifikasi interoperabilitas sistem (Janes, 2025; Naval Today, 2025).

Dalam literatur defense dependency, fenomena semacam ini disebut sebagai “technological hostage effect” (Brzoska, 2020), di mana negara penerima teknologi tidak sepenuhnya menguasai rantai pasok, tetapi harus menyesuaikan kebijakan pertahanannya dengan kepentingan negara pemasok agar proyek tetap berlanjut. Dengan demikian, ToT yang semula diharapkan menjadi alat kemandirian justru berpotensi menjadi sumber kerentanan strategis jangka panjang.

2. Fragmentasi Arsitektur Sewaco dan Kompleksitas Integrasi

Paradoks kedua dalam ToT terletak pada fragmentasi arsitektur sistem tempur (Sensor–Weapon–Command, atau Sewaco) yang dihasilkan oleh strategi multi-vendor. Dalam upaya mengurangi ketergantungan tunggal (single-source dependency), Indonesia mengadopsi pendekatan mosaic integration, yakni penggabungan berbagai subsistem dari berbagai negara ke dalam satu platform (Janes, 2025). Secara teoritis, strategi ini memperkuat posisi tawar negara pengguna dan meningkatkan otonomi pilihan, tetapi di sisi lain menambah kerumitan dalam aspek rekayasa integrasi, sertifikasi interoperabilitas, dan sustainment jangka panjang.

Berbeda dengan platform monolitik seperti kapal perang Korea Selatan (yang mayoritas komponennya diproduksi oleh konsorsium nasional seperti Hanwha dan LIG Nex1), PT PAL harus mengelola interaksi lintas sistem dengan protokol, bahasa data, dan lisensi perangkat lunak yang berbeda. Tantangan ini bukan hanya teknis, tetapi juga administratif, karena melibatkan kontrak lintas yurisdiksi dan koordinasi antar-mitra internasional.

Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi fenomena yang oleh Bruneau dan Matei (2008) disebut sebagai “civil–military technological gap”, yaitu kesenjangan antara kemampuan industri domestik dalam mengintegrasikan sistem kompleks dan kebutuhan operasional angkatan bersenjata. Akibatnya, walaupun kemampuan platform manufacturing meningkat, kemampuan combat system integration masih tergantung pada dukungan eksternal.

3. Ketimpangan Learning Curve antara Platform dan Subsystem

Paradoks ketiga adalah ketimpangan kurva pembelajaran (learning curve asymmetry). PT PAL telah membuktikan learning-by-doing yang kuat dalam pembuatan lambung kapal, sistem propulsi dasar, dan pengelolaan proyek modular, tetapi masih relatif lemah dalam penguasaan core technologies seperti radar AESA maritim, sonar canggih, dan sistem kendali tembakan (Maharani, 2023; Matthews, 2025).

Dalam teori absorptive capacity (Cohen & Levinthal, 1990), transfer pengetahuan akan efektif hanya jika penerima memiliki kemampuan dasar yang memadai untuk menginternalisasi, memodifikasi, dan menginovasi pengetahuan baru. Dalam konteks PT PAL, keterbatasan investasi litbang (R&D) dan masih lemahnya ekosistem akademik–industri–militer menyebabkan sebagian besar hasil ToT bersifat tacit knowledge yang tidak terdokumentasi atau dikodifikasi dalam bentuk desain mandiri. Akibatnya, setelah proyek selesai, kurva pembelajaran mengalami plateau effect, sehingga berhenti pada tingkat kompetensi tertentu tanpa peningkatan signifikan dalam kemampuan desain dan sistem.

Fenomena ini menggarisbawahi tesis technological dependency klasik (Frank, 1967): bahwa industrialisasi di negara berkembang sering kali menciptakan bentuk baru ketergantungan, karena struktur pasar global dan hak kekayaan intelektual menahan akses terhadap lapisan teknologi yang paling strategis. Dengan demikian, ToT dalam proyek pertahanan tanpa strategi absorptive upgrading justru mereproduksi ketergantungan baru dalam bentuk yang lebih kompleks dan tersembunyi.

Sintesis: Dari Dependent Autonomy menuju Strategic Interdependence

Paradoks kemandirian–ketergantungan PT PAL menunjukkan bahwa kemandirian industri pertahanan tidak dapat dipahami sebagai kondisi absolut, melainkan sebagai kontinum dinamis antara “dependent autonomy” dan “strategic interdependence” (Matthews, 2025). Indonesia tidak mungkin mencapai autarky teknologi penuh, tetapi dapat mengonversi ketergantungan menjadi interdependensi yang dikelola (governed interdependence) melalui strategi berikut: Pertama, Memperkuat absorptive capacity nasional dengan memperluas investasi litbang dan kolaborasi universitas–industri; Kedua, Menegosiasikan offset agreement berbasis capability outcome (misalnya hak desain, data teknis, dan software source code); Ketiga, Mengembangkan open architecture CMS domestik yang kompatibel dengan berbagai sistem untuk mengurangi vendor lock-in; Keempat, Meningkatkan peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Pusat Riset TNI AL dalam penguasaan teknologi sensor dan sistem tempur.

Dengan strategi tersebut, PT PAL dapat bertransformasi dari sekadar penerima lisensi menjadi selective co-creator dalam ekosistem global pertahanan, mengubah paradoks ketergantungan menjadi instrumen technological diplomacy yang menguntungkan.

Mandat Strategis vs Disiplin Korporasi BUMN

Dalam arsitektur ekonomi pertahanan Indonesia, PT PAL Indonesia (Persero) menempati posisi unik sebagai entitas ganda, sebuah state-owned enterprise (SOE) yang sekaligus menjadi strategic defense asset. Posisi ganda ini menimbulkan paradoks mendasar antara dua rasionalitas yang sering kali saling bertentangan: rasionalitas strategis negara (state logic) dan rasionalitas pasar korporasi (market logic).

Di satu sisi, PT PAL diproyeksikan sebagai instrumen kebijakan industri pertahanan nasional untuk mencapai kemandirian alat utama sistem senjata (alutsista), peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan penguasaan teknologi melalui offset dan transfer teknologi (ToT). Namun, di sisi lain, sebagai BUMN yang tunduk pada sistem akuntabilitas publik dan reformasi korporasi yang dicanangkan Kementerian BUMN, PT PAL juga diwajibkan menjaga profitabilitas, efisiensi biaya, dan tata kelola berbasis risiko (risk-based management) (ADB, 2022; OECD, 2023).

Paradoks tersebut berakar pada sifat ambivalen BUMN pertahanan: ia bukan murni korporasi yang mengejar keuntungan, tetapi juga bukan lembaga pemerintah yang dibiayai penuh oleh APBN. Dalam literatur ekonomi politik, konfigurasi semacam ini disebut sebagai “dual accountability regime” (Mazzucato, 2013; Tan, 2019), di mana perusahaan negara harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada dua rezim berbeda, yaitu: pasar dan negara, yang masing-masing memiliki logika evaluasi dan orientasi hasil yang kontras.

1. Ketegangan antara Profitabilitas dan Kedaulatan Teknolog

Sektor pertahanan, khususnya industri galangan kapal, memiliki karakteristik high capital expenditure (CAPEX), low short-term return, dan long gestation period. Artinya, investasi besar diperlukan di muka, sementara hasil finansial baru terlihat setelah proyek selesai dalam jangka panjang. Dalam konteks PT PAL, setiap proyek besar seperti frigat Merah Putih (MPF140) atau kapal selam Alugoro-405 merupakan proyek multi-tahun yang kompleks, dengan kebutuhan investasi teknologi tinggi, biaya sertifikasi, dan ketergantungan pada kurs mata uang asing (OECD, 2023).

Di sisi lain, BUMN dituntut menghasilkan dividen dan menjaga likuiditas tahunan sebagaimana korporasi swasta. Ketegangan muncul karena indikator finansial korporasi (misalnya laba bersih, return on asset, dan rasio leverage) tidak selalu sejalan dengan logika jangka panjang kemandirian pertahanan. Ketika proyek pertahanan mengalami keterlambatan atau perubahan spesifikasi karena faktor strategis, dampaknya langsung terasa pada laporan keuangan dan cash flow (Janes, 2025; Naval News, 2024).

Dalam teori mission-oriented public enterprise (Mazzucato, 2018), dilema ini dikenal sebagai “financial discipline paradox”: semakin ketat aturan finansial diterapkan pada perusahaan negara yang menjalankan misi publik, semakin terbatas fleksibilitasnya untuk berinovasi atau menanggung risiko strategis. Akibatnya, perusahaan seperti PT PAL harus menavigasi ruang sempit antara kepatuhan fiskal dan kebutuhan strategis.

2. Tantangan Tata Kelola dan Siklus Anggaran Negara

Paradoks kedua muncul dari sinkronisasi yang sulit antara siklus fiskal negara dan siklus proyek industri pertahanan. Sistem keuangan publik Indonesia masih berbasis tahun anggaran (annual budgeting), sedangkan proyek pembangunan kapal perang dapat berlangsung 3–6 tahun. Ketidaksinkronan ini menciptakan tekanan pada arus kas (cash flow management), terutama karena mekanisme pembayaran proyek pertahanan sering kali bersifat milestone-based, bergantung pada tahapan teknis seperti steel cutting, keel laying, launching, dan sea trial. Deviasi sedikit saja pada curva S teknis dapat menunda pencairan dana dan mengganggu rantai pembayaran ke subkontraktor (Naval News, 2024).

Selain itu, sistem audit publik terhadap BUMN pertahanan (melalui BPK, BPKP, atau Kementerian BUMN) sering kali menuntut bukti dokumentasi administratif yang tidak selalu kompatibel dengan dinamika proyek teknologi tinggi yang kompleks. Dalam hal ini, PT PAL menghadapi bureaucratic friction, yaitu gesekan antara fleksibilitas industri dan rigiditas sistem administrasi publik.

Lebih jauh, implementasi kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan offset industri pertahanan juga memperpanjang siklus pengadaan. Setiap komponen yang akan digunakan harus melalui verifikasi tingkat kandungan lokal, sementara proses negosiasi offset dan lisensi membutuhkan waktu tambahan. Akibatnya, upaya meningkatkan kemandirian industri dapat secara paradoksal menunda proses modernisasi alutsista TNI AL yang mendesak (Maharani, 2023).

3. Reformasi BUMN dan Disiplin Efisiensi

Program reformasi BUMN yang dicanangkan pemerintah sejak 2020, termasuk pembentukan holding DEFEND ID, bertujuan menciptakan integrasi vertikal dan efisiensi lintas industri pertahanan nasional (ADB, 2022). Di bawah paradigma ini, PT PAL diharapkan tidak hanya efisien secara operasional, tetapi juga mampu menghasilkan economic value creation melalui ekspor dan kolaborasi internasional.

Namun, paradigma efisiensi pasar (market discipline) tidak sepenuhnya kompatibel dengan sifat industri pertahanan yang memiliki security externalities. Dalam public economics, industri pertahanan dikategorikan sebagai quasi-public good, karena manfaat strategisnya (seperti deterrence, kedaulatan, dan stabilitas nasional) tidak dapat dimonetisasi secara langsung (Bitzinger, 2016). Dengan demikian, penerapan logika korporasi secara murni berpotensi mengabaikan nilai strategis non-finansial dari proyek-proyek pertahanan nasional.

Untuk menjaga keseimbangan, PT PAL mengadopsi pendekatan dual performance indicator: mengukur keberhasilan tidak hanya dari sisi finansial, tetapi juga dari sisi strategic impact, seperti peningkatan kapabilitas desain, penguasaan teknologi baru, serta pencapaian TKDN yang lebih tinggi (Matthews, 2025). Model ini sejalan dengan konsep “strategic performance governance” dalam literatur state-owned enterprise reform, yang menekankan bahwa evaluasi BUMN strategis harus mempertimbangkan dimensi security, innovation, dan long-term national resilience, bukan hanya profitabilitas jangka pendek (OECD, 2023).

4. PT PAL di Persimpangan Rasionalitas Negara dan Pasar

Paradoks mandat strategis vs disiplin korporasi menempatkan PT PAL dalam posisi yang secara metaforis “berjalan di atas tali.” Di satu sisi, perusahaan harus cukup ketat secara finansial untuk tetap sehat, kredibel, dan bankable di mata lembaga keuangan global. Di sisi lain, PT PAL harus tetap cukup fleksibel untuk menjalankan proyek strategis negara yang sering kali tidak menguntungkan secara komersial.

Dalam kerangka teori embedded autonomy (Evans, 1995), keberhasilan industri pertahanan nasional bergantung pada kemampuan negara menciptakan autonomi yang terlembaga, yaitu keseimbangan antara otonomi birokrasi dalam mengambil keputusan strategis dan keterhubungan (embeddedness) dengan dunia usaha dan inovasi. Dengan kata lain, PT PAL memerlukan tata kelola hibrid yang menggabungkan state mission governance dan corporate performance governance dalam satu sistem terpadu.

Kunci untuk menyeimbangkan kedua rasionalitas tersebut adalah menciptakan mekanisme “strategic buffer”, yakni kebijakan fiskal, pembiayaan jangka panjang, dan instrumen risiko yang memungkinkan PT PAL menjalankan proyek-proyek strategis tanpa terjebak pada tekanan likuiditas tahunan. Mekanisme ini dapat berupa defense sovereign fund, performance-based grant, atau kontrak multi-tahun lintas pemerintahan yang menjamin stabilitas pembiayaan.

Ambisi Kapabilitas vs Kapasitas Produksi dan Rantai Pasok

Ambisi industri pertahanan maritim Indonesia untuk menembus kategori first-tier shipbuilder melalui proyek frigat Merah Putih (MPF140) merupakan pencapaian strategis sekaligus sumber paradoks baru dalam tata kelola industri pertahanan nasional. Kapal sepanjang 140 meter dengan sistem peluncur vertikal (Vertical Launching System, VLS) berkapasitas 64 sel, radar multifungsi, dan integrasi Combat Management System (CMS) lintas vendor menandai technological leap yang belum pernah dicapai sebelumnya oleh PT PAL Indonesia (Babcock, 2023; Janes, 2025; Naval Technology, 2024). Namun, ambisi besar ini berlangsung paralel dengan agenda industri lain yang tidak kalah kompleks: pembangunan kapal selam batch berikutnya, KCR-60M fast attack craft, kapal bantu rumah sakit (Sudirohusodo-class), dan proyek ekspor Tarlac-class LPD untuk Filipina.

Secara konseptual, situasi ini menggambarkan apa yang oleh Lall (1992) dan Matthews (2025) disebut sebagai fase “industrial overstretch,”yaitu kondisi ketika ekspansi teknologi dan volume proyek meningkat lebih cepat daripada kapasitas internal organisasi dan rantai pasok yang mendukungnya. PT PAL menghadapi dilema klasik defense prime contractor di negara berkembang: antara memperluas cakupan kapabilitas teknologi dan menjaga efisiensi produksi agar tidak kehilangan daya saing komersial.

1. Strategi Phased Capability: Rasionalitas dan Risiko

Indikasi publik mengenai tahapan proyek, mulai dari steel cutting, keel laying, peluncuran, hingga pemasangan sistem Sewaco (Sensor–Weapon–Command), menunjukkan bahwa PT PAL menerapkan pendekatan “phased capability strategy”. Strategi ini lazim digunakan dalam industri pertahanan modern untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dan pembiayaan, dengan prinsip fitted for but not with (FFBNW): platform diluncurkan terlebih dahulu, sementara subsistem strategis (misalnya radar, VLS, CMS, atau rudal) dipasang ketika teknologi dan anggaran sudah tersedia (Babcock, 2023).

Pendekatan ini memiliki rasionalitas kuat. Dari perspektif project management, FFBNW memungkinkan galangan menjaga kesinambungan ritme produksi tanpa menunggu ketersediaan subsistem impor. Ini penting untuk menghindari bottleneck dalam proses manufaktur, menjaga learning curve, dan mempertahankan kapasitas tenaga kerja yang sudah terlatih (Cooper, 2014). Namun secara strategis, model ini menimbulkan paradoks kesiapan tempur: meskipun platform telah selesai, kapal tidak langsung siap beroperasi penuh karena sistem tempurnya belum terintegrasi.

Dalam konteks industri pertahanan negara berkembang, hal ini menimbulkan dua implikasi kritis. Pertama, dari sisi operasional, kapal dengan konfigurasi FFBNW membutuhkan strategi logistik dan perawatan yang lebih kompleks karena sistem-sistem baru akan dipasang secara bertahap. Kedua, dari sisi fiskal, pendekatan ini menciptakan deferred cost liability, biaya tambahan di masa depan yang harus ditanggung oleh pemerintah atau perusahaan untuk penyelesaian sistem tempur. Dengan demikian, strategi FFBNW berfungsi sebagai risk transfer mechanism yang menggeser sebagian risiko proyek dari fase produksi ke fase pasca-produksi (Matthews, 2025).

2. Ketegangan antara Kapasitas Produksi dan Portofolio Proyek

Ambisi simultan untuk menjalankan proyek frigat besar, kapal selam, dan kapal bantu menimbulkan tekanan berat pada kapasitas produksi dan manajemen portofolio proyek PT PAL. Kapasitas galangan di Surabaya memiliki keterbatasan lahan, fasilitas dry dock, dan crane lift capacity untuk menangani proyek dengan bobot besar dan kompleksitas tinggi secara bersamaan. Dalam teori industrial capability lifecycle (Hobday, 1995), kondisi ini disebut sebagai capacity misalignment, yaitu ketidakseimbangan antara kapasitas teknis (technical capability) dan kapasitas organisasi (organizational capability).

Ketidakseimbangan ini dapat memunculkan beberapa risiko manajerial: Pertama, Trade-off antarproyek strategis. Ketika prioritas sumber daya manusia dan fasilitas dialokasikan ke proyek berteknologi tinggi seperti MPF140, proyek lain seperti KCR-60M atau kapal bantu dapat mengalami penundaan atau penurunan kualitas. Kedua, Erosi kurva pembelajaran. Jika proyek besar tidak diikuti dengan kesinambungan batch, maka tenaga kerja dan tim teknik kehilangan momentum pembelajaran setelah proyek selesai, fenomena yang dikenal sebagai knowledge decay (Nelson & Winter, 1982). Ketiga, Over-centralization. Kecenderungan untuk mengonsentrasikan seluruh aktivitas di satu galangan utama meningkatkan risiko gangguan sistemik apabila terjadi masalah teknis atau gangguan pasokan.

Untuk mengatasi hal ini, PT PAL harus mengadopsi pendekatan “distributed production network,” yakni model kolaboratif antar-BUMN pertahanan di bawah DEFEND ID (misalnya PT Dahana, PT Len, PT Pindad) untuk mendistribusikan sebagian beban produksi, integrasi sistem elektronik, dan logistik ke unit yang lebih spesifik. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat efisiensi, tetapi juga menciptakan efek pengganda teknologi di dalam negeri (Maharani, 2023).

3. Rantai Pasok Global: Kerentanan dan Kompleksitas Geopolitik

Keterlibatan multi-vendor internasional dalam proyek MPF140, mulai dari Babcock (Inggris) hingga Roketsan dan Aselsan (Turki), menciptakan interdependensi rantai pasok global (global supply chain interdependence) yang semakin kompleks (Naval Today, 2025). Seiring meningkatnya fragmentasi geopolitik, rantai pasok industri pertahanan menjadi semakin rentan terhadap shock eksternal, seperti embargo ekspor, krisis logistik pasca-pandemi, atau konflik perdagangan internasional.

OECD (2023) mencatat bahwa sektor perkapalan militer memiliki lead time pasokan terpanjang di antara industri manufaktur strategis. Komponen berteknologi tinggi seperti radar, sonar array, dan sistem misil membutuhkan waktu produksi dan sertifikasi hingga 18–36 bulan. Dalam kondisi ini, setiap perubahan kebijakan ekspor negara asal dapat berdampak langsung pada jadwal proyek. Kasus keterlambatan pengiriman subsistem di proyek Tarlac-class generasi lanjutan ke Filipina memperlihatkan bagaimana supply chain disruption dapat mengganggu reputasi dan kepercayaan internasional terhadap industri pertahanan nasional (Naval News, 2022; Janes, 2025).

Dalam teori resilient supply chain management (Christopher & Peck, 2004), ketahanan rantai pasok industri pertahanan tidak hanya ditentukan oleh diversifikasi pemasok, tetapi juga oleh kemampuan visibility dan responsiveness, yakni kemampuan untuk memantau, mengantisipasi, dan beradaptasi terhadap gangguan secara cepat. Oleh karena itu, PT PAL perlu membangun strategi rantai pasok adaptif, misalnya melalui sistem supplier intelligence, long-term procurement contracts, dan strategic inventory buffering untuk komponen impor yang krusial.

4. Diplomasi Industri dan Manajemen Ekspektasi Pasar Ekspor

Di pasar ekspor, proyek Tarlac-class Landing Platform Dock (LPD) untuk Filipina menjadi contoh konkret dari paradoks antara komersialisasi dan kredibilitas strategis. Di satu sisi, ekspor LPD memperkuat posisi Indonesia sebagai emerging defense exporter di Asia Tenggara dan memperdalam hubungan diplomatik pertahanan (Sukma, 2019). Namun, di sisi lain, pasar ekspor bersifat sangat sensitif terhadap jadwal pengiriman, kepastian spesifikasi, dan kualitas produk akhir. Perubahan spesifikasi atau gangguan rantai pasok dapat mengakibatkan contractual penalties dan merusak reputasi nasional.

Dalam kerangka defense industrial diplomacy, ekspor semacam ini memiliki dimensi politik yang melampaui transaksi ekonomi. Setiap keterlambatan atau penyimpangan teknis dapat memengaruhi kepercayaan antarnegara dan citra Indonesia sebagai penyedia alutsista yang andal. Oleh karena itu, manajemen ekspektasi pemangku kepentingan (stakeholder management) menjadi krusial: PT PAL perlu mengembangkan sistem komunikasi kontraktual yang transparan dan berbasis project risk disclosure, sebagaimana diterapkan oleh perusahaan pertahanan besar seperti Damen, Navantia, atau Babcock (Matthews, 2025).

Sintesis: Dari Industrial Overstretch menuju Adaptive Capacity

Paradoks antara ambisi kapabilitas dan kapasitas nyata menunjukkan bahwa industrialisasi pertahanan bukan sekadar persoalan kemampuan teknologi, melainkan juga kapasitas kelembagaan (institutional capacity). PT PAL telah menunjukkan ambition-driven upgrading, tetapi keberlanjutan keberhasilan tersebut bergantung pada kemampuan membangun adaptive capacity, yakni kemampuan organisasi untuk menyesuaikan skala, jadwal, dan sumber daya sesuai dinamika eksternal tanpa kehilangan efektivitas jangka panjang (Bitzinger, 2016; OECD, 2023).

Dengan demikian, kemandirian industri pertahanan tidak hanya berarti kemampuan memproduksi alutsista kompleks, tetapi juga kemampuan mengelola risiko kompleksitas itu sendiri. Transformasi dari industrial overstretch menuju industrial resilience akan menjadi kunci bagi PT PAL untuk mengubah paradoks kapabilitas menjadi sumber inovasi dan daya saing berkelanjutan.

Membaca Paradoks Melalui Lensa Kebijakan Industri

Paradoks yang melekat pada PT PAL Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kerangka makro kebijakan industri pertahanan global. Dalam laporan OECD (2023), industri galangan kapal dikategorikan sebagai sektor strategis berintensitas modal tinggi (capital-intensive) dengan siklus investasi panjang dan tingkat kerentanan tinggi terhadap guncangan ekonomi makro seperti fluktuasi harga baja, nilai tukar, dan disrupsi rantai pasok. Karakteristik ini menyebabkan banyak negara menerapkan intervensi kebijakan industri strategis, baik dalam bentuk subsidi selektif, fasilitas pembiayaan ekspor, maupun kebijakan offset dan local content requirement, guna mempertahankan daya saing dan kesinambungan kapasitas industri pertahanan (OECD, 2023; Bitzinger, 2016).

Dalam konteks Indonesia, paradoks kemandirian dan ketergantungan PT PAL perlu dibaca sebagai bagian dari proyek besar rekonstruksi kebijakan industri pertahanan nasional, yang berupaya menggeser logika import-dependence menuju strategic self-reliance melalui reformasi kelembagaan dan pembentukan defense industrial cluster. Dua kebijakan utama menjadi pilar transformatif: reformasi BUMN strategis dan pembentukan holding DEFEND ID pada 2022.

1. Konsolidasi Rantai Nilai Pertahanan Domestik

Pembentukan DEFEND ID bertujuan menyatukan berbagai BUMN pertahanan, yaitu: PT PAL, PT Pindad, PT Dahana, dan PT Len Industri, dalam satu ekosistem vertikal terintegrasi yang mencakup desain, manufaktur, perawatan (maintenance, repair, overhaul / MRO), amunisi, sensor, dan sistem elektronika. Dengan model ini, pemerintah berharap menciptakan efek pengganda industri (industrial multiplier) yang memperkuat keterhubungan antara sektor pertahanan dan ekonomi nasional (ADB, 2022; Matthews, 2025).

Secara teoretis, strategi ini sejalan dengan konsep national system of innovation (Lundvall, 1992), di mana keberhasilan industrialisasi pertahanan tidak hanya ditentukan oleh kapasitas teknis satu entitas, melainkan oleh koordinasi antaraktor dalam sistem produksi, riset, dan pembiayaan. Integrasi melalui DEFEND ID diharapkan mampu mengurangi redundansi, mengefisienkan rantai pasok, serta memperkuat daya serap teknologi lintas BUMN.

2. Tata Kelola dan Akuntabilitas Baru

Selain konsolidasi struktur, reformasi BUMN juga memperkenalkan sistem tata kelola berbasis Key Performance Indicators (KPI) yang lebih tajam, mencakup indikator keuangan, operasional, dan strategic impact. KPI baru ini menuntut PT PAL dan anggota holding lain untuk tidak hanya melaporkan laba, tetapi juga menunjukkan peningkatan kemampuan desain, transfer teknologi, dan kontribusi terhadap sovereign capability nasional. Dengan demikian, akuntabilitas korporasi bergeser dari logika administratif menuju logika strategic governance (OECD, 2023; Mazzucato, 2018).

Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh literatur mission-oriented industrial policy (Mazzucato & Penna, 2016), perubahan paradigma ini menimbulkan dilema baru: bagaimana menyeimbangkan tuntutan akuntabilitas fiskal jangka pendek dengan visi jangka panjang kemandirian pertahanan. Dalam konteks PT PAL, efisiensi finansial tetap harus dijaga tanpa mengorbankan proyek jangka panjang yang belum menghasilkan keuntungan langsung, seperti pengembangan kapal kombatan atau sistem bawah laut.

3. Ekspor Sebagai Mesin Pembelajaran dan Diplomasi Teknologi

Salah satu arah kebijakan DEFEND ID adalah menjadikan ekspor pertahanan sebagai learning engine, sumber pembelajaran teknologi dan peningkatan daya saing global. Kasus ekspor Tarlac-class LPD ke Filipina memperlihatkan bagaimana transaksi komersial juga berfungsi sebagai diplomasi industri, memperluas jejaring internasional dan meningkatkan reputasi Indonesia di sektor pertahanan kawasan (Naval News, 2022).

Dalam teori defense industrial globalization (Matthews & Maharani, 2022), keterlibatan aktif dalam pasar ekspor mempercepat learning cycle dan membuka peluang reverse innovation, yakni kemampuan untuk menyerap umpan balik dari pengguna asing untuk penyempurnaan produk domestik. Dengan demikian, ekspor bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga sarana technological socialization bagi industri pertahanan nasional.

4. Resiliensi Rantai Pasok dan Diversifikasi Mitra

Paradoks kemandirian PT PAL juga menuntut kebijakan untuk membangun resiliensi rantai pasok (supply chain resilience) melalui diversifikasi mitra teknologi dan substitusi impor bertahap. Ketergantungan tunggal pada pemasok Eropa meningkatkan kerentanan terhadap embargo atau sanksi geopolitik. Oleh karena itu, strategi diversifikasi kemitraan dengan Asia Timur (Korea Selatan, Jepang), Timur Tengah (Turki, UEA), serta Eropa Tengah (Polandia, Republik Ceko) merupakan upaya untuk membangun interdependensi yang terkendali (governed interdependence) (Matthews, 2025).

Selain itu, kebijakan local content substitution secara bertahap harus difokuskan pada komponen bernilai strategis, misalnya: sensor, radar, sistem komunikasi, dan CMS, yang selama ini menjadi titik lemah struktur impor. Pusat riset integrasi sistem dan rekayasa elektronika di bawah DEFEND ID dapat berfungsi sebagai katalis transformasi ini.

Implikasi Operasional: Integrasi Sistem dan Sustainment

Paradoks kebijakan industri yang dihadapi PT PAL memiliki konsekuensi langsung terhadap operasionalisasi dan sustainment alutsista TNI Angkatan Laut (TNI AL). Sebagai pengguna akhir, TNI AL kini berhadapan dengan heterogenitas sistem platform dan subsistem hasil kolaborasi multi-negara: SIGMA 10514 dengan DNA Belanda–Eropa, Nagapasa-class dengan kombinasi teknologi Korea Selatan dan Turki untuk sistem countermeasure, Merah Putih Frigate (MPF140) dengan campuran subsistem Eropa–Turki, dan KCR-60M yang dikembangkan domestik dengan integrasi subsistem impor (Janes, 2025; Wikipedia, 2025).

Keanekaragaman ini memperkuat otonomi strategis Indonesia, tetapi juga menciptakan tantangan besar dalam manajemen konfigurasi, interoperabilitas, dan dukungan life-cycle management.

1. Arsitektur Terbuka untuk Menghindari Vendor Lock-in

Langkah prioritas yang direkomendasikan adalah penerapan arsitektur terbuka (open architecture) pada sistem manajemen tempur (Combat Management System) dan antarmuka sensor–efektor. Dengan arsitektur terbuka, integrasi lintas vendor dapat dilakukan tanpa ketergantungan pada proprietary software tunggal, sehingga mengurangi risiko vendor lock-in dan memperpanjang umur ekonomis kapal (Matthews, 2025; Janes, 2025).

Model ini telah diterapkan dalam industri pertahanan AS dan Eropa melalui konsep Modular Open Systems Architecture (MOSA) yang memungkinkan pembaruan subsistem tanpa mengganti platform utama. Implementasi MOSA versi Indonesia dapat dilakukan melalui kerja sama antara PT PAL, PT Len Industri, dan Pusat Riset Elektronika Pertahanan BRIN.

2. Performance-Based Logistics untuk Keberlanjutan Jangka Panjang

Keberagaman sistem dan pemasok menuntut penerapan skema Performance-Based Logistics (PBL), yakni kontrak jangka panjang yang menekankan ketersediaan (availability) dan keandalan sistem daripada jumlah suku cadang yang dikirim. Pendekatan ini lebih efisien dibanding sistem pembelian suku cadang konvensional karena berbasis kinerja nyata di lapangan (DoD, 2016).

Dengan PBL, PT PAL dapat bekerja sama dengan pemasok utama untuk menjamin keberlanjutan dukungan purna jual dan upgrade cycle kapal selama 25–30 tahun masa pakai operasionalnya.

3. Land-Based Test Site (LBTS) untuk Validasi Integrasi Sistem

Kompleksitas integrasi Sewaco menuntut keberadaan Pusat Uji Integrasi Darat (Land-Based Test Site / LBTS) yang berfungsi sebagai laboratorium pengujian sistem sebelum instalasi di kapal. LBTS memungkinkan uji interoperabilitas subsistem dalam lingkungan simulasi realistis, sehingga menurunkan risiko rework dan post-launch failure (Naval Technology, 2024).

Di banyak negara, seperti Korea Selatan dan Italia, LBTS menjadi tulang punggung proses sertifikasi sistem kapal perang modern. Pendirian fasilitas semacam ini di Indonesia akan memperkuat technical sovereignty sekaligus mempercepat proses sertifikasi platform baru.

4. Standardisasi dan Lifecycle Cost Reduction

Heterogenitas sistem kapal TNI AL dapat dikelola melalui roadmap standardisasi antarkelas kapal, meliputi domain komunikasi taktis, CMS, sistem decoy, dan peperangan elektronik (EW). Standardisasi ini akan menurunkan biaya siklus hidup (life-cycle cost) dan meningkatkan interoperabilitas armada. Strategi serupa diterapkan Angkatan Laut Jepang dan Prancis, yang berhasil menghemat hingga 30% biaya perawatan armada dengan unifikasi sistem komunikasi dan manajemen tempur (OECD, 2023).

Dengan demikian, implikasi operasional dari paradoks PT PAL menuntut perubahan paradigma dari sekadar “produksi kapal” menuju “governance of naval system integration,” sebuah pendekatan sistemik yang menempatkan interoperabilitas, sustainment, dan efisiensi siklus hidup sebagai komponen integral dari kemandirian pertahanan.

Agenda Kebijakan: Menjembatani Kedaulatan, Efisiensi, dan Daya Saing

Membaca kompleksitas paradoks PT PAL Indonesia melalui kacamata kebijakan industri pertahanan menegaskan perlunya pendekatan baru yang mampu menjembatani tiga rasionalitas utama: kedaulatan strategis, efisiensi korporasi, dan daya saing global. Ketiganya tidak selalu berjalan linier; upaya memperkuat satu aspek sering kali menimbulkan tekanan pada dua aspek lainnya. Oleh karena itu, strategi industrialisasi pertahanan Indonesia harus mengadopsi paradigma adaptive governance, yakni sistem kebijakan yang mampu menyeimbangkan tujuan jangka pendek dan panjang melalui instrumen kelembagaan yang fleksibel namun terukur (Matthews, 2025; Mazzucato, 2018).

Agenda kebijakan berikut dirancang untuk memperkuat daya tahan industri pertahanan maritim nasional sekaligus menjawab paradoks kemandirian, tata kelola, dan integrasi global.

1. Strategi “Selective Deep-Indigenization”: Realisme Tekno-Strategis

Dalam literatur industrial upgrading, konsep deep-indigenization berarti kemampuan untuk memproduksi dan menguasai komponen-komponen inti yang menentukan performa dan kemandirian strategis (Lall, 1992; Hobday, 1995). Namun, pengalaman banyak negara berkembang menunjukkan bahwa pendekatan substitusi total terhadap impor justru tidak efisien dan sering kali menimbulkan resource dilution, penyebaran sumber daya litbang tanpa fokus.

Indonesia perlu menerapkan model “selective deep-indigenization”, yakni prioritized localization terhadap komponen bernilai strategis yang berisiko tinggi terhadap embargo atau kontrol ekspor. Prioritas tersebut meliputi: Pengembangan Combat Management System (CMS) berarsitektur terbuka agar kompatibel lintas vendor; Pembuatan lokal VLS canister dan peluncur rudal melalui joint manufacturing dengan mitra seperti Roketsan; Modularisasi radar, sonar, dan sistem komunikasi berbasis plug-and-play; Pembangunan lini MRO untuk mesin, gearbox, dan propulsi guna menjamin kemandirian perawatan jangka panjang (Janes, 2025; Naval Today, 2025).

Model ini realistis karena menempatkan kapasitas nasional dalam spektrum strategic autonomy, bukan autarki absolut. Dengan demikian, Indonesia dapat membangun ekosistem industri pertahanan yang lean but sovereign—fokus, efisien, namun berdaulat secara fungsional.

2. Kontrak Berbasis Kinerja dan Manajemen Risiko Rantai Pasok

Pengalaman proyek-proyek besar seperti frigat MPF140 menunjukkan bahwa keberhasilan industri pertahanan tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh desain kontrak dan manajemen risiko rantai pasok. Untuk itu, pemerintah dan PT PAL perlu mengadopsi kontrak berbasis kinerja (Performance-Based Contracting) yang mengaitkan pembayaran (milestone payment) dengan pencapaian deliverable terukur, bukan sekadar tahapan administratif (DoD, 2016).

Selain itu, perlu diterapkan buffer logistik untuk komponen impor yang berisiko tinggi terhadap keterlambatan akibat kontrol ekspor, serta pengembangan sistem multi-sourcing regional agar tidak terjadi single point of failure (OECD, 2023). Langkah ini memperkuat resilience dan visibility rantai pasok sebagaimana direkomendasikan oleh Global Shipbuilding Policy Forum (OECD, 2023).

Kebijakan ini juga sejalan dengan teori dynamic capabilities (Teece, 2018), yang menekankan pentingnya kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap lingkungan bisnis yang berubah dengan cepat melalui sistem kontrak dan mitigasi risiko yang proaktif.

3. Penguatan Tata Kelola dan Pembiayaan BUMN Pertahanan

Paradoks PT PAL sebagai korporasi publik sekaligus entitas strategis menuntut reformasi pada tingkat tata kelola dan pembiayaan. Pemerintah perlu menyelaraskan Key Performance Indicators (KPI) keuangan, seperti profitabilitas dan arus kas operasi, dengan KPI strategis, seperti peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) efektif, validasi hasil transfer teknologi, dan kesiapan operasional TNI AL (ADB, 2022).

Untuk mendukung keseimbangan ini, diperlukan instrumen keuangan khusus bagi proyek pertahanan multi-tahun, seperti: Sovereign guarantee atau jaminan negara terhadap proyek strategis berisiko tinggi; Skema Performance-Based Logistics (PBL) yang menyalurkan pembiayaan berdasarkan kinerja sistem selama siklus hidupnya; Pembentukan Dana Ketahanan Industri Pertahanan (Defense Industrial Resilience Fund) yang menyediakan revolving credit facility untuk menjaga stabilitas likuiditas produksi (ADB, 2022; Mazzucato, 2018).

Dengan model ini, PT PAL tidak lagi dipaksa memilih antara efisiensi finansial dan misi kedaulatan, tetapi dapat mengintegrasikan keduanya dalam kerangka strategic corporate governance.

4. Ekosistem R&D Kooperatif: Sinergi Akademi–Industri–Negara

Kemandirian teknologi pertahanan tidak dapat dicapai tanpa fondasi riset yang kuat. Karena itu, Indonesia perlu membangun ekosistem R&D kooperatif yang mempertemukan universitas, lembaga litbang (BRIN, Balitbang Kemhan), dan industri pertahanan melalui model consortia tematik (OECD, 2023).

Konsorsium ini harus diarahkan pada pengembangan modul prioritas, sensor, elektronika pertahanan, material komposit, dan otomasi galangan, dengan mekanisme hibah kompetitif, Technology Readiness Measurement (TRM) yang terukur, dan sistem joint intellectual property ownership untuk menjamin knowledge retention.

Dalam perspektif teori triple helix (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000), sinergi akademi–industri–negara semacam ini menciptakan innovation corridor yang memfasilitasi transisi dari ToT berbasis proyek menuju inovasi endogen berkelanjutan.

5. Standardisasi Sistem dan Manajemen Siklus Hidup

Fragmentasi sistem platform yang dimiliki TNI AL, dari SIGMA hingga MPF140, menuntut kebijakan standardisasi lintas kelas kapal untuk menekan biaya jangka panjang dan meningkatkan interoperabilitas. Langkah ini meliputi: Penyusunan roadmap standardisasi pada domain komunikasi, CMS, dan sistem peperangan elektronik; Pembentukan Land-Based Integration Facility (LBIF) permanen untuk uji Sewaco lintas platform; Penerapan Digital Twin dan Integrated Product Support (IPS) guna mengoptimalkan lifecycle management (Janes, 2025; Naval Technology, 2024).

Standardisasi tidak hanya menurunkan life-cycle cost hingga 30% (OECD, 2023), tetapi juga menciptakan efek sinergis antara pengadaan, logistik, dan litbang. Dalam konteks jangka panjang, kebijakan ini mengarah pada terbentuknya “Modular Naval Architecture,” sebuah pendekatan desain terpadu yang memungkinkan interoperabilitas antarkelas kapal melalui keseragaman sistem antarmuka dan data.

6. Strategi Ekspor yang Terkelola: Diplomasi Industri dan Pembelajaran Global

Ekspor industri pertahanan harus dilihat bukan hanya sebagai sumber devisa, tetapi juga sebagai alat diplomasi industri (industrial diplomacy) dan sarana pembelajaran global (learning-by-exporting) (Matthews & Maharani, 2022). PT PAL perlu memperluas pasar ekspor di sektor dual-use platforms, seperti Landing Platform Dock (LPD) dan hospital ship, yang memiliki dimensi ganda, pertahanan dan kemanusiaan (Naval News, 2022; Post-Courier, 2024).

Namun, ekspor juga harus dikelola dengan tata kelola yang lebih adaptif. Pengalaman dari proyek Tarlac-class menunjukkan pentingnya kontrak dengan klausul mitigasi risiko rantai pasok dan transparansi jadwal. Dalam literatur defense trade governance, ini dikenal sebagai governed export strategy, yakni kebijakan ekspor yang mengintegrasikan manajemen kontrak, kepastian pasokan, dan diplomasi antarnegara (Bitzinger, 2016; Matthews, 2025).

Selain itu, perlu dibentuk Pusat Koordinasi Ekspor Pertahanan Nasional di bawah DEFEND ID untuk memfasilitasi sertifikasi, pembiayaan ekspor (export credit guarantee), dan diplomasi teknis lintas kementerian. Dengan langkah ini, ekspor dapat menjadi strategic leverage bagi penguatan teknologi domestik dan jejaring industri global.

Sintesis: Dari Industrial Learning Menuju Governed Autonomy

Keseluruhan agenda di atas berupaya memindahkan orientasi kebijakan industri pertahanan Indonesia dari paradigma “state-controlled manufacturer” menuju “governed autonomous enterprise,” yakni entitas yang mampu berinovasi, beroperasi efisien, namun tetap berpijak pada misi kedaulatan. Dengan strategi selective indigenization, kontrak berbasis kinerja, tata kelola hibrid, dan ekosistem R&D kooperatif, PT PAL dapat menjadi laboratorium kelembagaan untuk model pembangunan industri strategis Indonesia menuju 2045: berdaulat, efisien, dan kompetitif secara global.

Penutup

Paradoks PT PAL Indonesia, yang dapat dikatakan maju karena globalisasi teknologi namun berisiko lock-in; menorehkan prestasi ekspor tetapi pernah menghadapi ujian reputasi; memiliki ambisi besar di bawah tekanan disiplin fiskal, mencerminkan dilema klasik kemandirian pertahanan di negara berkembang. Paradoks semacam ini bukan sekadar anomali struktural, melainkan bagian inheren dari proses pembangunan industri strategis di bawah ketergantungan global. Dalam terminologi teori late industrialization (Amsden, 2001; Chang, 2003), kemandirian industri pertahanan tidak dibangun dalam isolasi, melainkan melalui asimilasi selektif terhadap pengetahuan eksternal dan internalisasi progresif terhadap fungsi-fungsi strategis produksi dan desain.

PT PAL Indonesia berdiri di titik krusial dari spektrum tersebut. Di satu sisi, keberhasilannya dalam proyek frigat SIGMA 10514, kapal selam Nagapasa-class, hingga program Merah Putih Frigate (MPF140) menandai pencapaian signifikan dalam penguasaan rekayasa sistem kompleks (systems integration capability). Namun di sisi lain, keberlanjutan kemajuan ini masih dibayangi keterikatan pada rantai nilai global dan lisensi teknologi asing yang menciptakan risiko path dependency, yaitu ketergantungan jangka panjang pada pemasok dan rezim kontrol ekspor (Matthews, 2025; Janes, 2025).

Dengan demikian, jalan menuju kemandirian pertahanan tidak dapat ditempuh melalui autarki, melainkan melalui kemitraan yang terstruktur, terkendali, dan berorientasi pada transfer kapabilitas nyata. Artinya, kemitraan internasional harus dikelola dengan prinsip governed interdependence, yaitu hubungan saling ketergantungan yang diatur secara institusional agar tidak berubah menjadi subordinasi teknologi. Model ini sejalan dengan konsep technological sovereignty yang menekankan kedaulatan atas kemampuan mendesain, memodifikasi, dan mengintegrasikan teknologi, bukan semata-mata memproduksinya (Bitzinger, 2016; Mazzucato, 2018).

Untuk keluar dari paradoks tersebut, PT PAL perlu melampaui posisi sebagai “license-based builder,” yakni produsen kapal yang bergantung pada lisensi desain luar negeri, menuju “design-holding integrator”: institusi yang tidak hanya memproduksi, tetapi juga menguasai arsitektur desain, integrasi sistem, dan hak kekayaan intelektual. Evolusi ini menuntut perubahan paradigma dalam empat dimensi utama: Pertama, Dimensi epistemik: kemampuan rekayasa sistem (system engineering) harus menjadi kompetensi inti (core competency), dengan pembangunan laboratorium desain digital, simulation-based integration, dan digital twin yang memungkinkan iterasi desain mandiri. Kedua, Dimensi institusional: tata kelola BUMN pertahanan perlu menyeimbangkan akuntabilitas komersial dengan misi publik, melalui skema pembiayaan multi-tahun dan performance-based management (ADB, 2022; OECD, 2023).Ketiga, Dimensi jaringan (networked autonomy): kemitraan internasional harus diarahkan pada co-development jangka panjang, bukan sekadar assembly contracts. Model kolaborasi dengan mitra seperti Babcock, Roketsan, atau Aselsan dapat dijadikan batu loncatan menuju knowledge co-ownership. Keempat, Dimensi strategis: transformasi PT PAL harus dikaitkan langsung dengan visi Poros Maritim Dunia dan strategi blue economy, di mana industri galangan menjadi tulang punggung bukan hanya pertahanan, tetapi juga ekonomi kelautan nasional.

Dengan orientasi tersebut, PT PAL dapat menjadi episentrum bagi “Indonesian Maritime Industrial Complex,” suatu ekosistem industri yang menyatukan pertahanan, teknologi, dan diplomasi maritim dalam kerangka pembangunan nasional.

Paradoks bukan hambatan, tetapi motor pembelajaran institusional. Sebagaimana ditunjukkan oleh teori learning-by-doing dan learning-by-interacting (Lundvall, 1992; Nelson & Winter, 1982), kemajuan industri sering kali justru lahir dari pengelolaan ketegangan antara efisiensi jangka pendek dan kedaulatan jangka panjang. Dalam konteks PT PAL, setiap paradoks, antara keterbukaan global dan otonomi nasional, antara disiplin fiskal dan ambisi strategis, menjadi laboratorium pembelajaran bagi inovasi kebijakan industri pertahanan Indonesia.

Jika arah kebijakan industri pertahanan mampu menjaga kesinambungan antara efisiensi korporasi, kedaulatan teknologi, dan kolaborasi global yang terkelola, maka PT PAL dapat bertransformasi dari penerima teknologi menjadi pengelola ekosistem kapabilitas nasional. Inilah bentuk kemandirian yang tidak tertutup, melainkan berakar pada kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan memanfaatkan interdependensi global secara strategis.

Dengan demikian, transformasi PT PAL dari license-based builder menuju design-holding integrator bukan sekadar perubahan teknis, tetapi juga metamorfosis epistemik, dari industrial dependency menuju governed autonomy. Paradoks yang semula tampak sebagai hambatan, pada akhirnya dapat menjadi fondasi bagi kemandirian pertahanan yang adaptif, terukur, dan berkelanjutan dalam kerangka Indonesia Emas 2045.

Referensi Akademik

ADB. (2022, October 24). State-Owned Enterprises’ Reform Program, Subprogram 1 (Report and Recommendation of the President). Asian Development Bank. https://www.adb.org/sites/default/files/project-documents/55235/55235-001-rrp-en.pdf

Amsden, A. H. (2001). The rise of “the rest”: Challenges to the West from late-industrializing economies. Oxford University Press.

Asian Military Review. (2021, March 25). Indonesian Navy receives first locally assembled submarine. https://www.asianmilitaryreview.com/2021/03/indonesian-navy-receives-first-locally-assembled-submarine/

Babcock International. (2023, August 25). Celebrating the first of two frigates for the Indonesian Navy. https://www.babcockinternational.com/news/celebrating-the-first-of-two-frigates-for-the-indonesian-navy/

Bitzinger, R. A. (2016). Defense industries in the 21st century: A comparative analysis. Routledge.

Bruneau, T. C., & Matei, F. C. (2008). Towards a new conceptualization of democratization and civil–military relations. Democratization, 15(5), 909–929.

Brzoska, M. (2020). The economics of arms production and trade. In P. Lawrence & M. Brzoska (Eds.), Security economics and arms trade (pp. 43–62). Springer.

Chang, H.-J. (2003). Kicking away the ladder: Development strategy in historical perspective. Anthem Press.

Christopher, M., & Peck, H. (2004). Building the resilient supply chain. The International Journal of Logistics Management, 15(2), 1–13.

Cohen, W. M., & Levinthal, D. A. (1990). Absorptive capacity: A new perspective on learning and innovation. Administrative Science Quarterly, 35(1), 128–152.

Cooper, R. G. (2014). Winning at new products: Creating value through innovation. Basic Books.

DoD (U.S. Department of Defense). (2016). Performance-Based Logistics: A Program Manager’s Product Support Guide.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The dynamics of innovation: From national systems and “Mode 2” to a triple helix of university–industry–government relations. Research Policy, 29(2), 109–123.

Evans, P. (1995). Embedded autonomy: States and industrial transformation. Princeton University Press.

Frank, A. G. (1967). Capitalism and underdevelopment in Latin America. Monthly Review Press.

Hobday, M. (1995). Innovation in East Asia: The challenge to Japan. Edward Elgar.

Janes. (2025). Indonesia’s frigate modernization and Arrowhead program overview.

Lall, S. (1992). Technological capabilities and industrialization. World Development, 20(2), 165–186.

Lundvall, B.-Å. (1992). National systems of innovation: Towards a theory of innovation and interactive learning. Pinter Publishers.

Maharani, C. (2023). The role of offset in the enduring gestation of Indonesia’s defence industry. The Pacific Review, 36(6), 1090–1112.

Malufti, A. (2023). KCR-60M as a symbol of Indonesia’s naval innovation. Jurnal Teknologi Pertahanan, 9(2), 55–72.

Matthews, R. (2025). Indonesia’s defense acquisition strategy. Defense & Security Analysis, 41(1), 1–18.

Matthews, R., & Maharani, C. (2022). Defence industrial participation and technological learning in Indonesia. Defence Studies, 22(3), 347–369.

Mazzucato, M. (2013). The entrepreneurial state: Debunking public vs private sector myths. Anthem Press.

Mazzucato, M. (2018). Mission-oriented innovation policy: Challenges and opportunities. Industrial and Corporate Change, 27(5), 803–815.

Mazzucato, M., & Penna, C. C. R. (2016). The Brazilian innovation system: A mission-oriented policy approach. Economia e Sociedade, 25(1), 95–123.

Naval News. (2019, April 12). Indonesia’s PT PAL launched its first locally built submarine for TNI AL. https://www.navalnews.com/naval-news/2019/04/indonesias-pt-pal-launched-its-first-locally-built-submarine-for-tni-al/

Naval News. (2021, March 17). First Indonesian-built submarine handed over to TNI AL. https://www.navalnews.com/naval-news/2021/03/first-indonesian-built-submarine-handed-over-to-tni-al/

Naval News. (2022). Philippines procures two more LPD from Indonesia’s PT PAL.

Naval News. (2024). Indonesia’s frigate program update.

Naval Technology. (2017). Damen hands over first SIGMA 10514 PKR frigate to Indonesia.

Naval Technology. (2024, November 18). PT PAL Indonesia, Kemhan lay keel for second Merah Putih frigate. https://www.naval-technology.com/news/pt-pal-kemhan-merah-putih-frigate/

Naval Today. (2025). PT PAL taps Roketsan to provide weapon systems for Indonesia’s Red White frigates.

Nelson, R. R., & Winter, S. G. (1982). An evolutionary theory of economic change. Harvard University Press.

NTI. (n.d.). Indonesia submarine capabilities.

OECD. (2023, October 6). Policy and market developments in non-WP6 economies (C/WP6(2023)3/FINAL). OECD. https://one.oecd.org/document/C/WP6(2023)3/FINAL/en/pdf

PAL Indonesia. (2019). Annual report 2019: Building Indonesia’s maritime defense capability. PT PAL Indonesia (Persero).

Post-Courier. (2024). Indonesian hospital ship visits Pacific Island states for humanitarian mission.

Sukma, R. (2019). Indonesia’s defense transformation and the challenges of professionalism. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 159–182.

Tan, J. (2019). Governing the market: State-owned enterprises and industrial policy in Southeast Asia. Cambridge University Press.

Wertheim, E. (2023). Indonesia’s SIGMA solution. USNI Proceedings, 149(2).

Posted in

Leave a comment