Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Oleh: Bangkit Widodo

Ketahanan pangan nasional (food security) bukan semata urusan pertanian, melainkan persoalan strategis yang melibatkan energi, industri, logistik, dan kebijakan publik (FAO, 1996). Dalam konteks Indonesia, sistem pangan nasional bertumpu pada jutaan petani kecil yang sangat bergantung pada ketersediaan pupuk kimia dan organik. Oleh karena itu, industri pupuk menjadi strategic sector dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.

PT Petrokimia Gresik (PG), didirikan pada tahun 1972 dan kini berada di bawah naungan PT Pupuk Indonesia (Persero), berperan sebagai produsen pupuk terlengkap di Indonesia. PG menghasilkan berbagai jenis pupuk seperti urea, NPK, ZA, SP-36, Petroganik, serta sejumlah produk kimia dasar seperti asam sulfat, amonia, dan asam fosfat (Petrokimia Gresik, 2023). Keberadaan PG bukan hanya menopang sektor pertanian, tetapi juga menjadi bagian dari strategi industrialisasi nasional berbasis agroindustri.

Ketahanan Pangan sebagai Agenda Nasional

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga individu, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, bergizi, merata, dan terjangkau. Ketersediaan pupuk, terutama bagi petani kecil, menjadi instrumen penting dalam mencapai tujuan tersebut (Sukma, 2019). Pemerintah menyalurkan pupuk bersubsidi melalui holding Pupuk Indonesia, di mana Petrokimia Gresik berperan sebagai pemasok utama bagi wilayah-wilayah strategis pertanian di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Keterkaitan antara pupuk dan ketahanan pangan dapat dijelaskan melalui model input-output agrikultur: peningkatan input pupuk yang efisien akan berdampak langsung terhadap produktivitas lahan, yang pada gilirannya menentukan pasokan dan harga pangan nasional (Booth, 2016). Dengan demikian, stabilitas produksi dan distribusi pupuk menjadi kepentingan publik sekaligus instrumen kebijakan ekonomi-politik.

Peran Strategis PT Petrokimia Gresik dalam Sistem Pupuk Nasional

Sebagai anak perusahaan terbesar Pupuk Indonesia, PG berperan ganda: (1) sebagai entitas bisnis dengan orientasi profitabilitas, dan (2) sebagai instrumen kebijakan publik melalui program pupuk bersubsidi. Kapasitas produksinya yang besar, mencakup pabrik amonia, asam sulfat, asam fosfat, serta lini produksi NPK dan pupuk organik, menjadikan PG satu-satunya produsen dengan portofolio lengkap dalam ekosistem pupuk Indonesia (Pupuk Indonesia, 2024).

Selain memasok pupuk subsidi, PG juga mengembangkan segmen non-subsidi seperti NPK Kebomas, SP-36 Plus, dan pupuk organik cair untuk petani komersial. Pendekatan ini menciptakan keseimbangan antara misi sosial dan keberlanjutan finansial, sekaligus memperkuat ketahanan pangan melalui diversifikasi sumber input pertanian.

*Inovasi dan Transformasi Menuju Perusahaan Solusi Agroindustri*

Transformasi PT Petrokimia Gresik (PG) dari produsen pupuk konvensional menjadi perusahaan solusi agroindustri merupakan manifestasi perubahan paradigma dalam tata kelola industri pupuk nasional. Jika pada masa sebelumnya industri pupuk berorientasi pada produksi massal dan distribusi input pertanian dalam kerangka kebijakan subsidi, maka kini PG mengadopsi pendekatan berbasis nilai tambah (value creation) yang menempatkan petani bukan sekadar sebagai konsumen, tetapi sebagai mitra strategis dalam ekosistem agribisnis berkelanjutan.

Berkaitan dengan paradigma baru dari Product-Oriented ke Solution-Oriented Enterprise, hal ini menandai pergeseran dari model product-oriented menuju solution-oriented enterprise. Dalam kerangka ekonomi industri, transformasi semacam ini menunjukkan upaya functional upgrading, yakni perluasan fungsi perusahaan dari produksi barang ke penyediaan solusi berbasis pengetahuan dan teknologi (Hobday, 1995). Bagi PG, hal ini berarti bahwa keberhasilan tidak lagi diukur hanya dari volume pupuk yang terjual, tetapi dari peningkatan produktivitas lahan dan kesejahteraan petani yang menggunakan produknya.

Transformasi ini juga sejalan dengan logika knowledge-based agriculture, di mana data dan inovasi menjadi faktor produksi baru dalam sistem pertanian modern (World Bank, 2020). Dalam konteks ini, PG berperan sebagai knowledge broker yang menghubungkan hasil riset tanah, data agroklimatologi, dan teknologi pupuk dengan praktik pertanian lapangan. Model ini mendekati konsep precision agriculture, yaitu sistem pertanian berbasis data (soil mapping, weather analytics, varietal adaptation) yang bertujuan mengoptimalkan dosis input dan hasil panen per hektar.

Digitalisasi Layanan Agronomi dan Big Data Pertanian merupakan inovasi selanjutnya dari PG. Sebagai langkah konkret, PG mengembangkan platform digital agronomi yang menyediakan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi. Platform ini mengintegrasikan data hasil uji tanah, curah hujan, kelembapan udara, jenis varietas, dan fase pertumbuhan tanaman untuk merumuskan dosis pupuk yang presisi dan efisien. Dengan demikian, PG tidak hanya menjual pupuk, tetapi juga menjual “pengetahuan agronomis” yang berbasis sains.

Dalam perspektif absorptive capacity (Cohen & Levinthal, 1990), digitalisasi ini menunjukkan kemampuan PG untuk menyerap, menginternalisasi, dan mengkomersialisasikan pengetahuan eksternal (data tanah, iklim, dan varietas) menjadi inovasi internal yang bernilai ekonomi. Kemampuan ini merupakan modal intelektual yang menentukan daya saing perusahaan dalam jangka panjang, karena pengetahuan agronomis lokal sulit ditiru oleh pesaing, terutama di wilayah tropis dengan kondisi agroekologi yang sangat heterogen seperti Indonesia.

Lebih jauh, pemanfaatan big data memungkinkan PG berkontribusi dalam perumusan kebijakan pangan nasional melalui predictive analytics mengenai kebutuhan pupuk dan tren hasil panen. Integrasi data antara PG, Pupuk Indonesia, dan Kementerian Pertanian dapat memperbaiki akurasi perencanaan produksi dan distribusi, sekaligus mengurangi potensi kelangkaan pupuk di masa tanam kritis.

Selain digitalisasi, dimensi inovasi penting lainnya adalah pengembangan biofertilizer dan bioproducts berbasis mikroorganisme lokal. Biofertilizer merupakan pupuk hayati yang mengandung mikroba menguntungkan (misalnya Rhizobium, Azotobacter, Bacillus subtilis) yang berfungsi menambat nitrogen, melarutkan fosfat, atau meningkatkan penyerapan hara oleh tanaman. Melalui riset bioteknologi, PG mengembangkan formulasi biofertilizer dan probiotik untuk perikanan dan peternakan yang mendukung siklus pertanian terpadu (integrated farming system).

Upaya ini menandai pergeseran strategis menuju low-carbon agriculture, di mana efisiensi hara dan penurunan intensitas energi menjadi ukuran utama keberlanjutan. Secara teoritis, inovasi biofertilizer mencerminkan strategi eco-innovation (Rennings, 2000), yaitu inovasi yang tidak hanya meningkatkan daya saing ekonomi, tetapi juga memberikan manfaat ekologis dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian.

Dari sisi kebijakan industri, pengembangan biofertilizer juga relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) terutama tujuan 2 (Zero Hunger), tujuan 12 (Responsible Consumption and Production), dan tujuan 13 (Climate Action). Dengan demikian, riset bioteknologi yang dilakukan PG memiliki signifikansi lintas-sektor: memperkuat ketahanan pangan, menurunkan jejak karbon, serta memperluas portofolio produk berkelanjutan perusahaan.

Transformasi menuju perusahaan solusi agroindustri juga tidak dapat dilepaskan dari sinergi triple helix antara industri, akademisi, dan pemerintah (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000). PG menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset untuk mengembangkan formulasi NPK spesifik lokasi, riset pupuk hayati, serta pengujian efisiensi di lapangan. Kolaborasi ini memungkinkan transfer teknologi dua arah: laboratorium memberikan inovasi sains, sementara PG memberikan konteks aplikatif dan skala industri.

Dalam jangka panjang, pendekatan triple helix dapat menjadi fondasi bagi terbentuknya regional innovation ecosystem di kawasan Gresik dan Jawa Timur. Klaster semacam ini dapat memperkuat daya saing industri pupuk Indonesia di tingkat ASEAN, dengan Gresik sebagai pusat riset dan manufaktur agroindustri berbasis keberlanjutan.

Inovasi dan transformasi PG memiliki implikasi luas terhadap ketahanan pangan nasional. Pertama, peningkatan efisiensi pemupukan menurunkan biaya produksi petani dan meningkatkan hasil panen, sehingga memperkuat dimensi availability dan accessibility pangan. Kedua, pengembangan biofertilizer mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor seperti fosfat dan kalium, memperkuat resilience sistem input nasional. Ketiga, digitalisasi agronomi membuka jalan bagi sistem informasi pangan yang lebih akurat, meningkatkan respons kebijakan terhadap dinamika produksi dan distribusi.

Namun demikian, transformasi ini memerlukan governance reform yang mendukung inovasi lintas sektor. Dukungan regulasi terhadap riset pupuk hayati, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan insentif pajak untuk investasi hijau menjadi prasyarat agar PG mampu memperluas inovasi tanpa mengorbankan stabilitas komersialnya sebagai BUMN strategis.

Kontribusi terhadap Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan pangan nasional merupakan konsep multidimensional yang mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kestabilan pangan sebagaimana dirumuskan oleh FAO (1996). Dalam konteks Indonesia, konsep tersebut tidak hanya mencerminkan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, tetapi juga menjadi bagian integral dari sistem ketahanan nasional yang menghubungkan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik (Sukma, 2019). PT Petrokimia Gresik (PG), sebagai produsen pupuk dan bahan kimia dasar terbesar di bawah holding Pupuk Indonesia, memainkan peranan penting dalam menjaga agar ketiga dimensi tersebut dapat berfungsi secara simultan dan berkelanjutan.

Dalam dimensi ketersediaan, peran PG tampak melalui kapasitas produksinya yang besar dan terintegrasi. Perusahaan ini memiliki infrastruktur industri pupuk yang meliputi pabrik amonia, urea, ZA, SP-36, serta NPK yang secara langsung menopang suplai nasional. Ketersediaan ini bukan hanya soal volume produksi, tetapi juga menyangkut keamanan pasokan input strategis bagi sektor pertanian. Dalam konteks ekonomi politik, PG berfungsi sebagai penyangga utama terhadap risiko ketergantungan impor pupuk dan bahan kimia dasar. Pada periode krisis global, seperti lonjakan harga gas dunia atau disrupsi rantai pasok akibat konflik geopolitik, kemampuan PG memproduksi dan mendistribusikan pupuk secara mandiri menjadi instrumen pertahanan ekonomi nasional (Bitzinger, 2016). Dengan demikian, kapasitas produksi PG tidak hanya menjamin ketersediaan input pertanian, tetapi juga memperkuat kedaulatan produksi pangan yang merupakan fondasi dari kedaulatan bangsa.

Selain memproduksi pupuk, PG juga mendukung aspek ilmiah dan teknis dalam pengelolaan kesuburan tanah nasional. Melalui fasilitas laboratorium dan kerja sama riset dengan lembaga penelitian pertanian, PG berkontribusi dalam pemetaan tanah, analisis kebutuhan hara, dan pengembangan formula pupuk spesifik lokasi. Pendekatan berbasis sains ini memperkuat transformasi dari pertanian tradisional menuju pertanian berbasis pengetahuan (knowledge-based agriculture), di mana efisiensi dan produktivitas menjadi tolok ukur utama keberhasilan pembangunan sektor pangan.

Pada dimensi keterjangkauan, kebijakan subsidi pupuk menjadi instrumen utama negara untuk memastikan petani kecil tetap mampu membeli pupuk dengan harga terjangkau. Dalam struktur ekonomi pertanian Indonesia, harga pupuk sangat rentan terhadap fluktuasi energi dan nilai tukar karena sebagian bahan baku, seperti fosfat dan kalium, masih diimpor. PG, sebagai bagian dari ekosistem BUMN pupuk, menjalankan mandat publik untuk menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang dikelola oleh pemerintah. Melalui mekanisme ini, PG memastikan bahwa subsidi pupuk benar-benar diterima oleh petani yang berhak, terutama mereka yang menanam komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, dan kedelai. Pada tahun 2024, pemerintah meningkatkan alokasi subsidi pupuk menjadi 9,55 juta ton, dan PG menjadi pemasok utama NPK serta ZA, dua jenis pupuk yang sangat vital dalam menjaga produktivitas lahan pertanian (Cabinet Secretariat RI, 2024). Distribusi pupuk bersubsidi yang lancar terbukti menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas harga pangan di pasar domestik, terutama pada masa-masa ketika inflasi global meningkat akibat krisis energi (Antara News, 2025).

Keterlibatan PG dalam kebijakan subsidi ini menunjukkan fungsi ganda BUMN sebagai entitas bisnis sekaligus instrumen pelayanan publik. Dalam kerangka teori embedded developmental state (Johnson, 1982), BUMN seperti PG tidak hanya mengejar efisiensi ekonomi, tetapi juga berperan aktif dalam pembangunan sosial melalui penyediaan input pertanian yang esensial. Dengan demikian, keberhasilan PG dalam menjaga keterjangkauan pupuk bagi petani mencerminkan keseimbangan antara logika pasar dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Sementara itu, dimensi kestabilan menunjukkan peran PG dalam menjamin distribusi pupuk yang tepat waktu dan merata ke seluruh wilayah Indonesia. Stabilitas pasokan pupuk sangat penting karena keterlambatan distribusi dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian secara signifikan. PG telah membangun sistem logistik terintegrasi yang mencakup pelabuhan bongkar muat di Gresik, jaringan gudang regional, dan distribusi hingga ke tingkat pengecer di kabupaten. Keberhasilan PG menjaga rantai distribusi ini merupakan bukti kapasitas kelembagaan dalam mengelola sistem yang kompleks dan padat modal. Selain itu, digitalisasi rantai pasok dan sistem pengawasan stok di tingkat lapangan memperkuat kemampuan perusahaan untuk merespons kebutuhan petani berdasarkan pola musim tanam dan wilayah agroekologis.

Dalam konteks ketahanan pangan global yang semakin rentan, stabilitas distribusi pupuk yang dikelola oleh PG juga berfungsi sebagai mekanisme penyangga terhadap krisis pangan. Ketika pandemi COVID-19 dan perang Rusia–Ukraina mengganggu pasokan pupuk dunia, PG menjadi elemen penting dalam memastikan Indonesia tidak mengalami kekurangan pasokan pupuk secara signifikan. Peran ini menunjukkan bahwa industri pupuk domestik bukan hanya sektor ekonomi, melainkan komponen strategis dari pertahanan nasional yang berbasis pada kesejahteraan masyarakat.

Kontribusi PG terhadap ketahanan pangan nasional, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari agenda besar pembangunan berkelanjutan. Dengan memastikan ketersediaan input pertanian, menjamin keterjangkauan bagi petani kecil, serta menjaga stabilitas pasokan di seluruh wilayah, PG turut membangun fondasi bagi kedaulatan pangan Indonesia. Lebih jauh lagi, keberhasilan ini memperkuat posisi PG sebagai perusahaan yang tidak hanya menjalankan mandat ekonomi, tetapi juga tanggung jawab sosial dan politik dalam menjaga keutuhan bangsa melalui jalur pembangunan agraris yang berkeadilan.

Dalam perspektif jangka panjang, kontribusi tersebut perlu terus diperkuat melalui inovasi, efisiensi energi, serta reformasi tata kelola subsidi yang berbasis data dan transparansi publik. Ketahanan pangan yang tangguh hanya dapat dicapai apabila sistem produksi pupuk nasional, yang salah satunya ditopang oleh PG, mampu beradaptasi dengan dinamika global, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan memperluas partisipasi petani dalam rantai nilai pertanian yang lebih inklusif dan berdaya saing.

Potensi Pengembangan ke Depan

PT Petrokimia Gresik (PG) memiliki potensi pengembangan yang sangat besar di masa mendatang, baik dari sisi kapasitas industri, inovasi teknologi, maupun reposisi strategisnya dalam ekosistem ketahanan pangan nasional dan transformasi ekonomi hijau. Potensi tersebut berakar pada keunggulan struktural yang telah lama dibangun perusahaan ini, yakni integrasi vertikal antara proses produksi, logistik, dan jaringan distribusi yang kuat. Infrastruktur industri di Gresik, termasuk pelabuhan bongkar muat dan fasilitas utilitas terintegrasi, memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan. Lokasi strategis di jalur perdagangan Jawa Timur memungkinkan efisiensi rantai pasok bahan baku sekaligus mempercepat distribusi produk ke berbagai wilayah sentra pertanian di Indonesia. Dalam konteks ekonomi industri, konfigurasi seperti ini memperkuat economies of scale sekaligus menurunkan biaya transaksi dan transportasi yang menjadi hambatan utama dalam sektor pupuk nasional.

Potensi besar PG juga terletak pada kapasitas inovasinya, baik dari sisi riset internal maupun kemampuan menyerap pengetahuan eksternal atau absorptive capacity. Kolaborasi yang telah dijalin dengan berbagai universitas dan lembaga penelitian membuka peluang besar bagi pengembangan produk-produk bernilai tambah tinggi, termasuk pupuk ramah lingkungan, biofertilizer, dan formulasi NPK spesifik lokasi yang disesuaikan dengan karakteristik agroekosistem Indonesia. Dalam perspektif resource-based view (Barney, 1991), kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan sumber daya teknologi, pengetahuan agronomi, dan kemitraan riset menjadi aset tak berwujud yang sulit ditiru oleh pesaing. Di tengah meningkatnya kesadaran global terhadap pertanian berkelanjutan dan efisiensi sumber daya, arah inovasi seperti ini akan memperkuat posisi PG sebagai pionir dalam green agroindustry di Asia Tenggara.

Selain keunggulan teknologi, peluang pengembangan PG juga dapat ditemukan dalam diversifikasi pasar non-subsidi. Selama beberapa dekade, sebagian besar penjualan pupuk di Indonesia masih terkonsentrasi pada pasar bersubsidi yang diatur oleh kebijakan pemerintah. Meskipun hal ini memberikan stabilitas pasar, ketergantungan yang tinggi terhadap subsidi juga membuat perusahaan rentan terhadap perubahan kebijakan fiskal. Dalam beberapa tahun terakhir, tren pertumbuhan permintaan pupuk non-subsidi, terutama pupuk organik, biofertilizer, dan pupuk cair, menunjukkan potensi besar untuk memperluas segmen pasar komersial. Diversifikasi ini tidak hanya dapat meningkatkan fleksibilitas pendapatan PG, tetapi juga berkontribusi pada transformasi sistem pertanian menuju praktik yang lebih berkelanjutan dan efisien.

Dimensi penting lainnya adalah transformasi digital yang kini menjadi arah strategis korporasi modern. PG mulai menerapkan digitalisasi dalam proses produksi, logistik, dan layanan agronomi bagi petani. Digitalisasi memungkinkan pengawasan real-time terhadap stok, distribusi, dan penggunaan pupuk, sehingga meningkatkan akurasi data dan transparansi dalam sistem subsidi nasional. Melalui pemanfaatan teknologi seperti Internet of Things (IoT) dan big data analytics, PG dapat memperluas ekosistem agribisnis digital yang menghubungkan petani, distributor, dan pemerintah dalam satu sistem terintegrasi. Pendekatan ini akan memperkuat posisi PG sebagai perusahaan solusi agroindustri yang tidak hanya memproduksi pupuk, tetapi juga mengelola informasi dan pengetahuan pertanian yang strategis bagi ketahanan pangan nasional.

Tantangan Struktural dan Operasional

Di balik potensi yang besar, PG juga dihadapkan pada sejumlah tantangan struktural dan operasional yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah ketergantungan terhadap bahan baku impor, terutama fosfat, kalium, dan sulfur yang sebagian besar masih didatangkan dari negara seperti Tiongkok, Maroko, dan Kanada. Ketergantungan ini menimbulkan kerentanan terhadap fluktuasi harga global dan disrupsi rantai pasok akibat dinamika geopolitik internasional. Matthews dan Maharani (2022) menegaskan bahwa kemandirian industri pertahanan dan pupuk di negara berkembang sering kali terhambat oleh keterbatasan akses terhadap bahan baku strategis yang bersumber dari pasar global yang oligopolistik. Oleh karena itu, pengembangan strategi jangka panjang dalam bentuk kemitraan tambang atau joint procurement lintas BUMN menjadi kebutuhan mendesak untuk menjamin kontinuitas pasokan bahan baku.

Tantangan berikutnya berkaitan dengan biaya energi yang tinggi. Proses produksi pupuk, terutama amonia, sangat intensif energi karena memerlukan gas alam sebagai bahan baku utama. Harga gas di Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan negara produsen pupuk besar seperti Qatar, Rusia, atau Amerika Serikat. Kondisi ini menurunkan daya saing biaya produksi nasional dan mengurangi margin keuntungan perusahaan. Upaya efisiensi energi melalui optimalisasi teknologi proses, pemanfaatan panas buang, dan penggunaan sumber energi alternatif seperti biomassa dan energi surya menjadi langkah strategis yang tidak hanya ekonomis tetapi juga berorientasi keberlanjutan.

Selain itu, perubahan kebijakan subsidi pupuk menjadi tantangan tersendiri. Reformasi sistem subsidi berbasis Kartu Tani dan digitalisasi distribusi menuntut PG untuk beradaptasi dengan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Pengetatan anggaran pemerintah juga mendorong efisiensi tinggi di seluruh rantai nilai, mulai dari produksi hingga penyaluran. Dalam situasi seperti ini, inovasi organisasi dan tata kelola distribusi yang adaptif menjadi faktor kunci agar PG tetap relevan dalam menjalankan perannya sebagai penyedia pupuk nasional tanpa mengorbankan profitabilitas.

Tantangan strategis lainnya adalah transisi menuju ekonomi hijau dan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang semakin ketat. Pasar global kini menuntut transparansi emisi karbon dan tanggung jawab lingkungan dari seluruh rantai produksi industri kimia. Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor intensif energi dan bahan kimia, PG dituntut untuk melakukan dekarbonisasi proses produksi, memperkuat efisiensi energi, dan memperluas penggunaan teknologi ramah lingkungan. Pemenuhan standar ESG tidak hanya menjadi kewajiban moral dan regulatif, tetapi juga menentukan daya saing di pasar ekspor yang semakin dipengaruhi oleh kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa.

Dimensi Keberlanjutan dan ESG

Keberlanjutan kini menjadi medan baru bagi persaingan korporasi global, dan bagi PG, hal ini merupakan peluang sekaligus tantangan untuk melakukan reposisi strategis. Laporan keberlanjutan tahun 2023 menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. PG telah mengimplementasikan program efisiensi energi, pengelolaan limbah cair dan padat, serta pelibatan masyarakat lokal melalui berbagai inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Upaya tersebut memperlihatkan komitmen korporasi terhadap pembangunan berkelanjutan sebagaimana sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan ke-2 tentang pengentasan kelaparan dan tujuan ke-13 tentang aksi iklim (Petrokimia Gresik, 2023).

Namun, tantangan ke depan akan semakin berat seiring meningkatnya standar global terhadap pelaporan keberlanjutan dan carbon disclosure. Perusahaan diharuskan untuk tidak hanya melaporkan emisi karbon secara kuantitatif, tetapi juga melakukan life-cycle assessment (LCA) untuk setiap produk yang dihasilkan. Dalam konteks ini, PG perlu memperkuat integrasi strategi ESG ke dalam seluruh proses bisnis, mulai dari desain produk, pemilihan bahan baku, hingga distribusi dan purna jual. Pengembangan konsep circular economy menjadi salah satu solusi yang relevan, misalnya dengan memanfaatkan limbah gypsum dan sulfuric acid recovery sebagai bahan baku sekunder untuk industri lain. Pendekatan semacam ini tidak hanya mengurangi jejak lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru melalui efisiensi sumber daya dan inovasi lintas industri.

Selain aspek lingkungan, dimensi sosial dan tata kelola juga menjadi fokus penting. Keterlibatan masyarakat sekitar kawasan industri Gresik dalam program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan pelatihan menjadi bentuk konkret dari tanggung jawab sosial perusahaan. Dari sisi tata kelola, penguatan transparansi dan sistem pelaporan digital memperkuat akuntabilitas PG sebagai BUMN strategis yang dikelola secara profesional dan berorientasi pada nilai publik. Integrasi ESG yang komprehensif bukan hanya soal kepatuhan regulatif, melainkan strategi untuk membangun legitimasi sosial dan keberlanjutan korporasi dalam jangka panjang.

Secara keseluruhan, potensi pengembangan, tantangan struktural, dan agenda keberlanjutan yang dihadapi PG menunjukkan dinamika sebuah perusahaan nasional yang sedang bertransformasi dari produsen pupuk konvensional menjadi pemain utama dalam ekonomi agroindustri hijau. Keberhasilan PG dalam mengelola transisi ini akan menjadi indikator penting bagi kemampuan Indonesia membangun ketahanan pangan dan kemandirian industri yang selaras dengan prinsip keberlanjutan global.

Keberlanjutan, ESG, dan Pelaporan

Komitmen PT Petrokimia Gresik (PG) terhadap keberlanjutan tercermin dalam praktik pelaporan dan tata kelola yang konsisten dengan standar global. Setiap tahun, PG menerbitkan Laporan Keberlanjutan yang disusun sesuai dengan pedoman Global Reporting Initiative (GRI) versi 2021, yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terukur dan terintegrasi. Penilaian akademik independen terhadap laporan ini menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan informasi PG termasuk tinggi dibandingkan perusahaan industri kimia lain di kawasan Asia Tenggara (UPN Veteran Jawa Timur, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa PG tidak sekadar menjalankan kewajiban pelaporan, tetapi telah menempatkan keberlanjutan sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang.

Dalam konteks ekonomi industri modern, keberlanjutan bukan lagi dimaknai sebagai kewajiban filantropis, melainkan sebagai strategic imperative yang menentukan daya saing global. PG telah memperluas cakupan pelaporan keberlanjutannya ke arah yang lebih substantif, meliputi pengelolaan emisi karbon, efisiensi energi, konservasi air, dan pengelolaan limbah. Proses produksi pupuk, terutama amonia dan asam sulfat, dikenal sangat intensif energi. Oleh karena itu, langkah dekarbonisasi menjadi prioritas utama perusahaan, antara lain melalui revamping unit reformer, heat recovery system, dan integrasi energi antarproses. Upaya ini tidak hanya bertujuan menurunkan jejak karbon perusahaan, tetapi juga menekan biaya operasional melalui efisiensi energi. Dalam kerangka Paris Agreement dan agenda nasional menuju net-zero emissions 2060, strategi ini akan menempatkan PG sebagai salah satu pionir industri pupuk berkarbon rendah di kawasan regional.

Selain aspek energi, keberlanjutan PG juga berfokus pada efisiensi bahan baku mineral seperti fosfat dan sulfur yang sebagian besar masih diimpor. Optimalisasi rantai pasok mineral kritis menjadi isu penting, mengingat gangguan geopolitik global berpotensi mengancam stabilitas pasokan. Dalam hal ini, PG perlu memperluas strategi diversifikasi sumber bahan baku dan memperkuat kerja sama dengan pemasok domestik untuk mengurangi ketergantungan eksternal. Lebih jauh, pengelolaan air limbah dan by-product seperti gypsum dan sulfuric acid recovery menjadi bagian dari inovasi circular economy yang tengah dikembangkan perusahaan. Pemanfaatan kembali hasil samping proses produksi tidak hanya menekan limbah, tetapi juga menghasilkan nilai ekonomi baru, misalnya sebagai bahan baku industri konstruksi atau semen.

Aspek sosial dari keberlanjutan PG diwujudkan melalui program tanggung jawab sosial yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Program-program seperti pengembangan usaha mikro di sekitar pabrik, pelatihan keterampilan bagi pemuda lokal, serta konservasi lingkungan di pesisir Gresik dan Lamongan merupakan contoh konkret dari praktik shared value creation. Sementara dari sisi tata kelola, perusahaan memperkuat transparansi dan akuntabilitas melalui sistem audit internal, pelaporan digital, serta integrasi ESG ke dalam kebijakan pengadaan dan investasi. Penguatan tata kelola biodiversitas di wilayah operasional, termasuk pemulihan vegetasi penyangga dan konservasi sumber daya air, juga menjadi agenda prioritas seiring meningkatnya tekanan terhadap sumber daya ekologis di kawasan industri. Dengan demikian, keberlanjutan di PG bukan sekadar pelengkap korporasi modern, melainkan pondasi transformasi menuju industri pupuk hijau yang berdaya saing tinggi.

Digitalisasi, Layanan Agronomi, dan Ekosistem Petani

Transformasi digital menjadi salah satu elemen paling penting dalam evolusi PG dari perusahaan yang berfokus pada produk (product-centric) menuju perusahaan yang berorientasi solusi (solution-centric). Dalam paradigma baru ini, nilai tambah tidak lagi hanya berasal dari hasil produksi fisik pupuk, tetapi dari kemampuan perusahaan untuk menyediakan layanan agronomi terintegrasi berbasis data. Melalui digitalisasi, PG berupaya mengembangkan ekosistem agribisnis yang menghubungkan petani, distributor, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan dalam satu sistem yang terkoordinasi.

Platform digital yang dikembangkan PG menyediakan layanan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang berbasis pada hasil uji tanah, analisis daun (leaf test), dan data cuaca mikro. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip precision agriculture, yaitu sistem pertanian presisi yang mengandalkan data untuk menentukan dosis dan jenis pupuk yang optimal bagi setiap komoditas dan wilayah. Dengan demikian, PG tidak hanya memasarkan pupuk, tetapi juga menjual “pengetahuan agronomis” yang dapat meningkatkan produktivitas petani sekaligus efisiensi penggunaan input. Penggunaan teknologi digital ini juga memungkinkan perusahaan melakukan pelacakan distribusi pupuk secara real-time, mengurangi risiko penyelewengan, dan mempercepat mekanisme subsidi pemerintah agar lebih tepat sasaran.

Selain layanan teknis, PG juga mengembangkan model bisnis baru berbasis layanan keuangan pertanian (agri-finance). Melalui kolaborasi dengan lembaga keuangan dan start-up agri-tech, petani dapat mengakses skema kredit input untuk pembelian pupuk, benih, dan alat pertanian, dengan pembayaran berbasis hasil panen. Integrasi antara data agronomi dan sistem pembiayaan ini membuka peluang monetisasi layanan berbasis data, sekaligus memperluas jangkauan PG ke segmen petani kecil yang sebelumnya sulit dijangkau secara komersial. Dalam perspektif digital agrarian capitalism (Jack, 2021), langkah ini memperlihatkan bagaimana teknologi digital bukan hanya instrumen efisiensi, tetapi juga sarana inklusi ekonomi dan modernisasi struktur sosial pedesaan.

Selain itu, PG berperan penting dalam membangun ekosistem inovasi agribisnis nasional. Kemitraan dengan universitas, lembaga penelitian, dan pemerintah daerah menciptakan kolaborasi triple helix yang mempercepat adopsi teknologi baru. Melalui pendekatan ini, data agronomi mikro seperti varietas tanaman, pola tanam, dan curah hujan dapat diintegrasikan ke dalam portofolio formulasi NPK site-specific dan bioinput yang sesuai dengan karakteristik agroekologi Indonesia. Sinergi tersebut memperkuat kemampuan PG untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan kebutuhan pangan nasional yang semakin kompleks. Dengan demikian, digitalisasi tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga membentuk sistem pertanian cerdas (smart farming system) yang berkelanjutan dan inklusif.

Analisis Strategis: Struktur Industri, RBV, dan Kapabilitas Dinamis

Dari perspektif ekonomi industri, struktur pasar pupuk nasional yang padat modal dan berteknologi tinggi menciptakan hambatan masuk yang signifikan bagi pendatang baru. Besarnya biaya investasi (capital expenditure) untuk membangun fasilitas produksi amonia, urea, asam sulfat, dan asam fosfat, serta kebutuhan akses terhadap gas alam dan perizinan lingkungan, menjadikan industri ini cenderung oligopolistik. Dalam struktur semacam ini, perusahaan incumbent seperti PG memperoleh keuntungan kompetitif melalui barriers to entry alami yang tinggi. Namun demikian, munculnya substitusi parsial dalam bentuk pupuk organik, biofertilizer, dan praktik pertanian presisi yang mengurangi dosis pupuk kimia dapat menciptakan tekanan jangka panjang terhadap permintaan produk konvensional. Oleh karena itu, kemampuan PG untuk melakukan diversifikasi produk dan inovasi proses menjadi penentu utama keberlanjutan bisnisnya.

Dalam kerangka Resource-Based View (RBV), keunggulan kompetitif PG tidak hanya berasal dari aset fisik seperti pabrik dan infrastruktur logistik, tetapi juga dari aset tak berwujud yang sulit ditiru, seperti pengetahuan teknis, sistem mutu (QA/QC), data pasar dan petani, serta reputasi merek seperti Phonska dan Petroganik. Aset-aset ini merupakan hasil akumulasi pengalaman panjang perusahaan dalam riset, produksi, dan pelayanan agronomi. Namun, untuk mempertahankan keunggulan tersebut, PG memerlukan dynamic capabilities, kemampuan untuk terus melakukan sensing terhadap peluang baru, seizing terhadap inovasi yang bernilai ekonomis, dan transforming proses internal agar sesuai dengan dinamika lingkungan bisnis global (Teece, 2007). Kapabilitas dinamis inilah yang memungkinkan perusahaan beradaptasi terhadap perubahan mendasar seperti volatilitas harga energi, kebijakan subsidi yang fluktuatif, dan tuntutan dekarbonisasi industri.

Integrasi antara riset dan pengembangan (R&D), operasi, serta strategi komersial menjadi kunci bagi PG dalam mempercepat inovasi. Keberhasilan perusahaan merancang formulasi pupuk baru, mengadopsi teknologi hemat energi seperti heat integration, serta mengembangkan model bisnis berbasis layanan agronomi akan sangat menentukan posisi kompetitifnya di masa depan. Dalam konteks global, tekanan regulatif seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa akan menuntut industri pupuk Indonesia untuk memiliki produk dengan jejak karbon rendah dan pelacakan rantai pasok yang transparan. Oleh karena itu, integrasi ESG dengan strategi industri dan kapabilitas dinamis PG bukan hanya pilihan strategis, melainkan kebutuhan eksistensial bagi keberlanjutan perusahaan di era transformasi hijau global.

Peluang Pertumbuhan

Dalam lanskap agroindustri global yang kian kompetitif, PT Petrokimia Gresik (PG) memiliki peluang pertumbuhan yang luas baik pada level produk, pasar, maupun sistem nilai. Arah pengembangan strategis perusahaan terletak pada kemampuan melakukan diferensiasi formulasi pupuk NPK dan bio-stimulan yang spesifik terhadap kondisi lokal. Pendekatan ini merupakan kelanjutan dari paradigma precision agriculture yang menuntut efisiensi penggunaan input melalui formulasi yang disesuaikan dengan karakteristik tanah, iklim, dan varietas tanaman. Dalam konteks ini, PG dapat mengoptimalkan basis data agronomi dan hasil riset internal untuk menghasilkan produk yang tidak hanya meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga menekan tingkat kehilangan hara dan faktor emisi gas rumah kaca dari proses pemupukan.

Peluang lainnya muncul dari peningkatan penetrasi pasar non-subsidi yang bernilai tambah tinggi. Selama ini, mayoritas pasar pupuk di Indonesia masih ditopang oleh sistem subsidi pemerintah, namun dalam jangka menengah tren liberalisasi sektor pertanian membuka ruang bagi produk komersial premium. PG memiliki reputasi portofolio lengkap, mulai dari pupuk anorganik, organik, hingga biofertilizer, yang menjadi modal penting untuk memasuki segmen petani modern dan korporasi agribisnis. Produk-produk seperti SP-36, ZA, dan NPK inovatif dengan efisiensi pemupukan tinggi (enhanced efficiency fertilizers) berpotensi menjadi tulang punggung pertumbuhan baru. Formulasi semacam ini mampu menurunkan biaya produksi per ton hasil dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon sektor pangan, sehingga selaras dengan komitmen nasional terhadap Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement.

Dimensi pertumbuhan lainnya adalah ekspansi ke pasar regional, terutama ASEAN dan Asia Selatan, melalui ekspor produk kimia industri antara (intermediate chemical products) seperti amonia, asam sulfat, atau aluminium fluorida. Peningkatan kerja sama intra-ASEAN dalam sektor agroindustri membuka peluang integrasi rantai nilai lintas negara yang dapat dimanfaatkan PG melalui kemitraan strategis dengan produsen lokal di negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina. Dengan reputasi teknologi proses yang mapan dan portofolio produk yang luas, PG memiliki potensi menjadi regional hub untuk pasokan bahan kimia pertanian yang efisien dan berkelanjutan.

Peluang ini diperkuat oleh transformasi digital yang telah dilakukan PG melalui layanan agronomi digital. Sistem informasi berbasis aplikasi memungkinkan petani mendapatkan rekomendasi pemupukan, memesan produk secara daring, dan melacak distribusi pupuk secara transparan. Digitalisasi ini membuka peluang monetisasi data pertanian dan menciptakan model bisnis baru yang menggabungkan input, layanan, pembiayaan, dan jaminan penyerapan hasil (offtake guarantee). Melalui kolaborasi sinergis dengan holding Pupuk Indonesia, PG dapat memimpin orkestrasi agro-solution stack, sebuah platform yang mengintegrasikan rantai nilai pertanian dari hulu hingga hilir secara digital dan finansial.

Agenda Reformasi dan Rekomendasi

Agar potensi pertumbuhan tersebut dapat diwujudkan secara optimal, PG perlu menempuh serangkaian reformasi struktural dan operasional yang berbasis pada efisiensi energi, diversifikasi pasokan, dan tata kelola inovasi. Salah satu prioritas utama adalah memperkuat ketahanan energi dan efisiensi proses melalui modernisasi fasilitas produksi yang berintensitas energi tinggi. Revamping unit amonia dan reformer, integrasi panas buang (heat recovery), serta elektrifikasi utilitas industri menjadi langkah krusial untuk menurunkan intensitas energi dan emisi. Bersamaan dengan itu, strategi kontrak pasokan gas jangka menengah yang adaptif terhadap dinamika harga energi global perlu dikembangkan untuk menjaga stabilitas biaya produksi.

Kebijakan pasokan bahan baku strategis, terutama fosfat dan kalium, juga menuntut perhatian jangka panjang. Diversifikasi negara asal impor, kemitraan dengan tambang luar negeri, serta penerapan hedging logistics dapat meminimalkan risiko volatilitas harga dan keterlambatan pengiriman. Dalam jangka menengah, Indonesia dapat memanfaatkan cadangan mineral dalam negeri seperti batuan fosfat dari Kalimantan Timur sebagai langkah menuju kemandirian bahan baku pupuk. Strategi ini tidak hanya memperkuat ketahanan industri, tetapi juga mendukung kedaulatan ekonomi nasional.

Digitalisasi sistem subsidi pupuk menjadi aspek reformasi berikutnya yang memiliki dimensi ganda, baik dari sisi transparansi fiskal maupun efisiensi layanan. Validasi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Induk Berusaha (NIB) petani akan memastikan akurasi penerima manfaat. Pelacakan distribusi pupuk secara end-to-end hingga tingkat kios resmi, disertai dashboard publik yang dapat diakses secara transparan, akan memperkuat kepercayaan publik terhadap tata kelola subsidi dan meminimalkan potensi kebocoran.

Reformasi lainnya terkait peningkatan kualitas layanan agronomi presisi. PG dapat memperluas uji tanah massal, memperkuat sistem rekomendasi dosis berbasis data geospasial, dan bekerja sama dengan lembaga keuangan BUMN untuk menyediakan paket kredit input-output yang terintegrasi bagi petani. Pendekatan ini akan memperluas akses petani terhadap teknologi modern sekaligus memperkuat inklusi keuangan sektor pertanian.

Dalam konteks keberlanjutan, PG perlu menetapkan sasaran ESG berbasis sains (science-based targets initiative, SBTi) dengan fokus pada dekarbonisasi emisi scope 1 dari proses produksi dan scope 3 dari rantai pasok bahan baku fosfat dan kalium. Inovasi circular economy seperti pemanfaatan by-product, pengolahan gypsum, dan substitusi energi fosil dengan sumber terbarukan harus diinstitusionalisasikan sebagai bagian dari strategi industri hijau. Selain itu, absorptive capacity internal perlu diperkuat melalui kolaborasi riset antara universitas, lembaga litbang, dan penyedia teknologi proses (original equipment manufacturer). Untuk mempercepat inovasi, PG dapat membentuk mekanisme insentif internal bagi karyawan dan tim litbang yang berhasil menghasilkan ide atau teknologi yang berdampak langsung pada profitabilitas dan pengurangan dampak lingkungan.

Reformasi yang dirancang secara komprehensif ini akan menempatkan PG bukan hanya sebagai perusahaan pupuk, tetapi sebagai institusi strategis yang mendukung transisi ekonomi Indonesia menuju sistem produksi rendah karbon dan pertanian berkelanjutan.

Kesimpulan

PT Petrokimia Gresik merupakan aktor utama dalam arsitektur ketahanan pangan dan transformasi industri pupuk Indonesia. Dengan sejarah panjang, portofolio produk yang komprehensif, dan posisi strategis dalam ekosistem Pupuk Indonesia, perusahaan ini memiliki seluruh prasyarat untuk memimpin perubahan menuju model agro-solution enterprise yang efisien, inovatif, dan berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi, mulai dari ketergantungan energi, fluktuasi pasokan bahan baku, hingga tuntutan standardisasi ESG, sejatinya membuka ruang bagi inovasi teknologi dan perbaikan tata kelola.

Kunci keberhasilan PG di masa depan terletak pada kemampuannya mengorkestrasi kapabilitas internal dan eksternal: mengintegrasikan efisiensi energi, inovasi formulasi pupuk presisi, digitalisasi sistem subsidi, serta pelaporan ESG yang kredibel. Dalam konteks ekonomi nasional, penguatan peran PG tidak hanya berimplikasi pada produktivitas pertanian, tetapi juga pada stabilitas sosial dan ekonomi, menjadikan industri pupuk sebagai instrumen strategis pembangunan nasional.

Dengan visi jangka panjang yang berorientasi pada transformasi hijau dan keunggulan teknologi, PG berpotensi menjadi simbol keberhasilan industrialisasi berkelanjutan Indonesia, sebuah perusahaan yang tidak hanya menghasilkan pupuk bagi tanah yang subur, tetapi juga menumbuhkan masa depan yang tangguh, inklusif, dan berdaulat bagi bangsa.

Daftar Referensi

Antara News. (2025, March 3). Distribusi pupuk bersubsidi bantu stabilisasi harga pangan di tengah tekanan inflasi global. Antara News Indonesia. https://www.antaranews.com

Barney, J. B. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17(1), 99–120. https://doi.org/10.1177/014920639101700108

Bitzinger, R. A. (2016). Defense industries in the 21st century: A comparative analysis. Routledge.

Booth, A. (2016). Agricultural development in Indonesia. Routledge.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2024). Government increases fertilizer subsidy quota to 9.55 million tons. Jakarta: Setkab RI.

Cohen, W. M., & Levinthal, D. A. (1990). Absorptive capacity: A new perspective on learning and innovation. Administrative Science Quarterly, 35(1), 128–152. https://doi.org/10.2307/2393553

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The dynamics of innovation: From National Systems and “Mode 2” to a Triple Helix of university–industry–government relations. Research Policy, 29(2), 109–123. https://doi.org/10.1016/S0048-7333(99)00055-4

Food and Agriculture Organization (FAO). (1996). Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit Plan of Action. Rome: FAO.

Hobday, M. (1995). Innovation in East Asia: The challenge to Japan. Edward Elgar Publishing.

Jack, A. (2021). Digital agrarian capitalism and the future of small farmers. Journal of Peasant Studies, 48(7), 1512–1532. https://doi.org/10.1080/03066150.2020.1856097

Johnson, C. (1982). MITI and the Japanese miracle: The growth of industrial policy, 1925–1975. Stanford University Press.

Matthews, R., & Maharani, C. (2022). Defence industrial participation and technological learning in Indonesia. Defence Studies, 22(3), 347–369. https://doi.org/10.1080/14702436.2022.2051342

Petrokimia Gresik. (2023). Laporan Keberlanjutan 2023: Inovasi hijau dan keberlanjutan industri pupuk nasional. Gresik: PT Petrokimia Gresik.

Pupuk Indonesia. (2024). Annual Report 2024: Strengthening national fertilizer resilience. Jakarta: PT Pupuk Indonesia (Persero).

Rennings, K. (2000). Redefining innovation—eco-innovation research and the contribution from ecological economics. Ecological Economics, 32(2), 319–332. https://doi.org/10.1016/S0921-8009(99)00112-3

Sukma, R. (2019). Indonesia’s defense transformation and the challenges of professionalism. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 159–182. https://doi.org/10.1355/cs41-2b

Teece, D. J. (2007). Explicating dynamic capabilities: The nature and microfoundations of (sustainable) enterprise performance. Strategic Management Journal, 28(13), 1319–1350. https://doi.org/10.1002/smj.640

UPN Veteran Jawa Timur. (2024). Kajian akademik tingkat pengungkapan ESG dan GRI Reporting pada industri pupuk nasional. Surabaya: UPN Veteran Jatim.

World Bank. (2020). Data-driven agriculture: The future of farming in the digital age. Washington, DC: World Bank Group.

Posted in

Leave a comment