Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Falsafah pertahanan Indonesia berakar kuat pada Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang menegaskan bahwa pertahanan negara merupakan kewajiban kolektif seluruh warga negara dan sumber daya nasional (Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2015). Doktrin ini, yang telah diinstitusionalisasikan sejak awal berdirinya Republik, mencerminkan pengalaman historis Indonesia sebagai negara kepulauan yang memperoleh kemerdekaannya melalui mobilisasi perlawanan rakyat alih-alih melalui keunggulan militer konvensional. Akibatnya, pertahanan selalu dipahami sebagai upaya multidimensional yang mencakup unsur politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sebagai sebuah visi yang sejalan dengan konsep holistik ketahanan nasional (Suryohadiprojo, 2018).

Dalam paradigma ini, konsep pertahanan melalui pembangunan muncul sebagai artikulasi strategis dari pemikiran pertahanan kontemporer Indonesia. Konsep ini berangkat dari pemahaman bahwa pembangunan berkelanjutan, pemerataan ekonomi, dan kohesi sosial merupakan komponen integral dari keamanan nasional. Dengan demikian, pembangunan bukan sekadar instrumen kesejahteraan, melainkan fondasi bagi daya tangkal (deterrence) dan ketahanan nasional, terutama di wilayah yang rentan terhadap penetrasi eksternal maupun ketidakpuasan internal, seperti daerah perbatasan, maritim, dan pedesaan terpencil. Negara Indonesia dengan demikian menempatkan pertahanan dalam arsitektur pembangunan bangsa yang lebih luas, dengan keyakinan bahwa kedaulatan akan paling kokoh bila rakyatnya berdaya secara ekonomi, terintegrasi secara sosial, dan kohesif secara politik.

Sintesis antara pertahanan dan pembangunan ini merupakan pergeseran besar dari paradigma keamanan yang bersifat militeristik dan mendominasi era Perang Dingin. Perspektif realis klasik memandang keamanan terutama sebagai kemampuan negara untuk menahan ancaman eksternal melalui akumulasi kekuatan militer (Walt, 1991; Mearsheimer, 2001). Namun, pengalaman pasca-otoritarian Indonesia dan akomodasi terhadap wacana pembangunan global telah memperluas pemahaman mengenai keamanan hingga mencakup dimensi non-militer. Munculnya kerangka human security dan comprehensive security dalam tatanan internasional pasca-Perang Dingin memengaruhi orientasi pertahanan Indonesia dengan menekankan bahwa ancaman terhadap kedaulatan juga dapat bersumber dari kemiskinan, ketimpangan, degradasi lingkungan, atau lemahnya tata kelola (Buzan, 1991; UNDP, 1994).

Dalam konteks yang terus berkembang ini, pertahanan melalui pembangunan dapat diinterpretasikan sebagai respons Indonesia terhadap transformasi struktural dan normatif dalam pemikiran keamanan global. Pendekatan ini menginternalisasikan paradigma keamanan manusia dalam kerangka nasional, dengan menegaskan bahwa kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi adalah prasyarat bagi stabilitas. Sebagaimana dikemukakan Sukma (2019), konsolidasi demokrasi dan profesionalisme pertahanan di Indonesia menuntut negara membangun legitimasi bukan melalui koersifitas, tetapi melalui kapasitas pembangunan dan inklusi sosial. Pendekatan ini menegaskan bahwa legitimasi moral pertahanan tidak hanya terletak pada perlindungan terhadap keutuhan wilayah, tetapi juga pada penjaminan martabat dan kesejahteraan rakyatnya.

Dengan menempatkan kesejahteraan dan ketangguhan rakyat sebagai prioritas, Indonesia memandang keamanan sebagai sesuatu yang berpusat pada manusia sekaligus berorientasi pada kedaulatan. Visi ini berupaya mengharmonisasikan dua imperatif fundamental: kebutuhan akan otonomi strategis di tengah lingkungan geopolitik yang kian tidak pasti, dan keharusan pembangunan nasional yang inklusif sebagai sarana mempertahankan kohesi sosial dan legitimasi negara. Pada akhirnya, pertahanan melalui pembangunan merangkum keyakinan bahwa keamanan yang berkelanjutan tidak dicapai melalui kekuatan koersif, melainkan melalui pemberdayaan, dengan mentransformasikan kemakmuran nasional menjadi bentuk ketahanan strategis.

Kerangka Teoretis: Dari Keamanan Tradisional ke Keamanan Manusia

Trajektori konseptual paradigma pertahanan melalui pembangunan Indonesia dapat ditempatkan dalam evolusi teoretis studi keamanan, dari model pertahanan yang berpusat pada negara menuju kerangka multidimensional dan berorientasi pada manusia seperti comprehensive security dan human security. Transisi ini tidak hanya mencerminkan pergeseran fokus analitis dalam wacana akademik global, tetapi juga reinterpretasi adaptif Indonesia terhadap realitas historis, sosial, dan geopolitiknya yang khas.

Teori keamanan tradisional yang berpijak pada realisme politik memandang keamanan terutama sebagai perlindungan terhadap ancaman eksternal terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah negara (Morgenthau, 1948; Walt, 1991). Dalam kerangka ini, pertahanan nasional didefinisikan oleh kemampuan negara untuk menahan atau menangkis agresi melalui kekuatan militer. Asumsi sentralnya adalah bahwa sistem internasional bersifat anarkis, sehingga setiap negara harus bergantung pada mekanisme self-help untuk menjamin kelangsungan hidupnya (Waltz, 1979). Meskipun model ini menyediakan dasar rasional bagi kebijakan pertahanan selama era Perang Dingin, ia cenderung mengabaikan faktor-faktor sosio-ekonomi internal yang membentuk stabilitas dan ketahanan jangka panjang suatu negara.

Sebaliknya, perkembangan pasca-Perang Dingin dalam studi keamanan memperkenalkan konsep keamanan yang lebih luas, mencakup dimensi politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Buzan (1991) dan Booth (2007) berargumen bahwa keamanan seharusnya dipahami bukan sekadar sebagai ketiadaan ancaman militer, melainkan sebagai keberadaan kondisi yang memungkinkan individu dan komunitas hidup bebas dari rasa takut (freedom from fear), kekurangan (freedom from want), dan penghinaan (freedom from humiliation). Gerakan intelektual ini kemudian diinstitusionalisasikan secara global melalui Human Development Report (UNDP, 1994), yang mendefinisikan human security sebagai “perlindungan dari ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit, dan represi” serta “perlindungan dari gangguan mendadak dalam pola kehidupan sehari-hari.”

Bagi Indonesia, pergeseran teoretis ini sangat selaras dengan fondasi normatif Sishankamrata, yang menegaskan bahwa pertahanan dan kesejahteraan merupakan dua sisi dari satu kesatuan kekuatan nasional. Konstitusi Indonesia sendiri mengamanatkan negara untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum” (Pembukaan UUD 1945), sehingga menciptakan keterkaitan langsung antara keamanan dan pembangunan. Dalam kerangka ini, pertahanan bukan sekadar urusan militer, melainkan upaya holistik yang memobilisasi seluruh sektor kehidupan nasional, dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi, demi kedaulatan dan persatuan bangsa (Suryohadiprojo, 2018).

Adopsi perspektif comprehensive security semakin memperkuat pemahaman multidimensional tersebut. Awalnya dikembangkan di Jepang pada 1970-an dan kemudian diadopsi di Asia Tenggara, comprehensive security memperluas konsep pertahanan nasional untuk mencakup stabilitas ekonomi, kecukupan energi, dan harmoni sosial sebagai aset strategis (Tan & Singh, 2012). Dalam model ini, keamanan suatu bangsa bergantung tidak hanya pada kemampuan militernya, tetapi juga pada ketahanan ekonomi dan kesatuan warganya. Integrasi pertahanan melalui pembangunan ke dalam doktrin pertahanan semesta Indonesia mencerminkan tradisi intelektual regional tersebut, sekaligus adaptasi pragmatis terhadap tantangan pembangunan nasional.

Secara praktis, pendekatan human security memberikan kerangka konseptual bagi Indonesia dalam menghadapi ancaman keamanan non-tradisional, seperti kemiskinan, ketimpangan, terorisme, dan degradasi lingkungan, yang sering kali menjadi akar ketidakstabilan. Caballero-Anthony (2016) menekankan bahwa tata kelola keamanan di Asia Tenggara semakin bergantung pada instrumen non-militer seperti inklusi sosial, pemberdayaan ekonomi, dan tata kelola partisipatif. Fokus Indonesia pada pemberdayaan masyarakat, pembangunan pedesaan, dan kesejahteraan wilayah perbatasan sejalan dengan tren regional ini, menempatkan pembangunan sebagai garis pertahanan pertama alih-alih kebijakan sosial sekunder.

Lebih jauh, paradigma human security juga mendukung reorientasi demokratis dalam hubungan sipil-militer Indonesia. Dengan menanamkan kebijakan pertahanan dalam kerangka pembangunan, negara memastikan bahwa lembaga militer beroperasi sinergis dengan lembaga sipil untuk memajukan kesejahteraan publik. Transformasi ini menandai pergeseran normatif dari paradigma “militer sebagai pengawal” pada masa Orde Baru menuju “militer sebagai mitra” dalam tata kelola demokratis (Bruneau & Matei, 2008; Laksmana, 2018). Dalam konteks ini, pertahanan melalui pembangunan berfungsi ganda: sebagai strategi kebijakan dan visi moral, bahwa legitimasi pertahanan nasional tidak bersumber dari otoritas koersif, melainkan dari pengabdian kepada rakyat.

Pembangunan Sosio-Ekonomi sebagai Instrumen Strategis

Integrasi pembangunan sosio-ekonomi ke dalam arsitektur pertahanan semesta Indonesia merepresentasikan baik sebuah kebutuhan strategis maupun komitmen filosofis terhadap gagasan bahwa ketahanan nasional tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan manusia. Dalam logika pertahanan melalui pembangunan, pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pemberdayaan manusia bukanlah faktor periferal bagi keamanan nasional, melainkan fondasinya yang paling mendasar. Pendekatan ini memosisikan pembangunan sebagai bentuk pertahanan yang proaktif dan preventif, yakni yang memperkuat kapasitas bangsa untuk menahan, menyerap, dan pulih dari berbagai ancaman, baik tradisional maupun non-tradisional.

Dari perspektif strategis, pembangunan memiliki tiga fungsi saling terkait dalam sistem pertahanan semesta Indonesia: memperkuat modal manusia, mengurangi kerentanan struktural, dan mengonsolidasikan kohesi kewargaan. Ketiga dimensi ini secara sinergis mentransformasi rakyat dan perekonomian menjadi bagian integral dari kekuatan pertahanan nasional, sebagaimana digambarkan para pemikir pertahanan Indonesia sebagai kekuatan pertahanan semesta (Suryohadiprojo, 2018).

Penguatan Modal Manusia

Pada tataran paling fundamental, pertahanan melalui pembangunan memperkuat modal manusia sebagai sumber daya strategis. Investasi pada pendidikan, kesehatan, dan inovasi teknologi melahirkan populasi yang tangguh, adaptif terhadap krisis, serta mampu mendukung mobilisasi pertahanan sekaligus berkontribusi pada produktivitas nasional. Masyarakat yang terdidik dan stabil secara ekonomi menjadi komponen cadangan yang dapat diandalkan dalam situasi kontinjensi pertahanan, sesuai dengan semangat perang rakyat semesta yang melekat dalam doktrin Sishankamrata.

Lebih jauh, integrasi pelatihan vokasional dan teknologi dalam sistem pendidikan pertahanan menciptakan jembatan langsung antara pembangunan nasional dan kesiapan pertahanan (Kementerian Pertahanan RI, 2022). Secara empiris, wilayah dengan tingkat pendidikan, infrastruktur, dan layanan sosial yang lebih baik menunjukkan resiliensi sosial yang lebih tinggi dan kerentanan konflik yang lebih rendah (Aspinall & Berenschot, 2019). Hal ini menegaskan bahwa investasi sosial berfungsi sebagai deterrent strategis, dalam rangka menekan potensi ketidakpuasan sosial, radikalisasi, atau manipulasi eksternal.

Mengurangi Kerentanan Struktural

Ketimpangan sosio-ekonomi dan pembangunan yang tidak merata merupakan salah satu tantangan keamanan paling persisten di Indonesia. Ketimpangan struktural, terutama antara Pulau Jawa dan wilayah luar, secara historis telah menimbulkan kecenderungan sentrifugal dan keluhan yang mengancam kohesi nasional (Booth, 2016). Sebagai respons, pertahanan melalui pembangunan berupaya mengatasi akar kerentanan ini dengan mendorong pertumbuhan yang inklusif dan pemberdayaan regional.

Program seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 dan Pengembangan Kawasan Strategis Nasional Perbatasan (KSNP) secara eksplisit mengintegrasikan tujuan pertahanan dalam perencanaan pembangunan (Bappenas, 2020; Purnomo, 2021). Proyek infrastruktur di wilayah perbatasan dan maritim, misalnya, memiliki fungsi ganda: meningkatkan kesejahteraan lokal sekaligus memperkuat pengawasan, logistik, dan kehadiran negara di garis depan. Dengan mengubah daerah pinggiran menjadi zona ekonomi produktif, Indonesia bukan hanya mengurangi potensi disintegrasi, tetapi juga membangun postur daya tangkal yang berlandaskan stabilitas sosial dan integrasi teritorial.

Pendekatan ini selaras dengan teori developmental security yang menegaskan bahwa sistem ekonomi inklusif dapat menurunkan risiko konflik internal dan memperkuat legitimasi negara (Duffield, 2001; Sen, 1999). Dalam konteks Indonesia, fusi antara kebijakan kesejahteraan dan strategi pertahanan mencerminkan pengakuan pragmatis bahwa bangsa yang aman tidak mungkin berdiri di tengah kemiskinan dan ketimpangan yang mendalam.

Konsolidasi Kohesi Warga dan Legitimasi Moral

Dimensi ketiga dari pertahanan melalui pembangunan terletak pada fungsi moral dan sosiopolitiknya: memperkokoh kohesi kewargaan dan legitimasi. Pertahanan nasional di Indonesia tidak dimaknai sebagai instrumen koersif, melainkan sebagai ekspresi solidaritas dan tanggung jawab bersama. Falsafah Sishankamrata secara eksplisit menempatkan pertahanan dalam kemauan rakyat untuk membela nasib kolektifnya. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan yang menumbuhkan keadilan sosial, partisipasi, dan pemberdayaan lokal secara langsung memperkuat fondasi moral pertahanan nasional (Sukma, 2019).

Dengan demikian, kesejahteraan warga dan pertahanan bersifat saling memperkuat. Ketika rakyat melihat negara sebagai penyedia kemakmuran dan martabat, komitmen mereka terhadap pertahanan nasional melampaui kewajiban hukum dan berubah menjadi panggilan moral. Sebaliknya, ketika hasil pembangunan tidak merata dan eksklusif, legitimasi institusi pertahanan akan tergerus. Sebagaimana ditekankan oleh paradigma pertahanan melalui pembangunan, kesatuan nasional tidak dapat dipaksakan dengan kekuatan, tetapi harus ditumbuhkan melalui kesejahteraan dan inklusi bersama.

Pembangunan sebagai Daya Tangkal dan Ketahanan

Pada tataran strategis yang lebih luas, pertahanan melalui pembangunan mendefinisikan ulang konsep daya tangkal dari kalkulasi militer semata menjadi kalkulasi sosio-ekonomi. Masyarakat yang tangguh, hal ini ditandai oleh ketahanan pangan, kemampuan industri, literasi digital, serta kohesi sosial, merupakan bentuk daya tangkal laten (latent deterrence) yang mampu mencegah agresi eksternal maupun instabilitas internal. Dalam kerangka ini, sistem pertahanan semesta Indonesia berfungsi sebagai struktur daya tangkal komprehensif yang memadukan dimensi kekuatan keras (hard power) dan lunak (soft power).

Lebih jauh, penekanan pada pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif memberikan bentuk pertahanan yang adaptif. Dalam lingkungan keamanan global yang kian kompleks, termasuk diantaranya aspek: perubahan iklim, ancaman siber, pandemi, dan krisis ekonomi, instrumen pertahanan tradisional saja tidak lagi memadai. Oleh karena itu, ketahanan sosio-ekonomi menjadi bentuk elastisitas strategis yang memungkinkan negara menyerap guncangan sekaligus menjaga stabilitas sosial dan politik.

Secara ringkas, pertahanan melalui pembangunan mentransformasikan kemajuan sosio-ekonomi menjadi strategi pertahanan multidimensi yang menyatukan kesejahteraan dengan keamanan. Pendekatan ini menempatkan pembangunan sebagai syarat sekaligus instrumen pertahanan, sebagai sumber daya tangkal dan legitimasi yang berasal dari dalam. Dengan demikian, Indonesia menegaskan pendekatan pertahanan yang khas, humanistik, dan berlandaskan Pancasila, di mana kesejahteraan rakyat bukan sekadar tujuan pembangunan, melainkan esensi dari pertahanan itu sendiri.

Pertahanan Melalui Pembangunan dalam Praktik Kebijakan

Operasionalisasi doktrin pertahanan melalui pembangunan di Indonesia mencerminkan pergeseran kebijakan dari postur pertahanan yang reaktif menuju pendekatan yang preventif dan integratif, di mana pertimbangan keamanan tertanam dalam agenda pembangunan nasional. Dalam praktiknya, paradigma ini diwujudkan melalui serangkaian program negara, reformasi kelembagaan, dan instrumen perencanaan strategis yang mengaitkan transformasi sosio-ekonomi dengan penguatan ketahanan nasional. Implementasi doktrin ini merupakan upaya untuk menyinergikan tujuan pembangunan jangka panjang (pembangunan nasional berkelanjutan) dengan modernisasi pertahanan, sehingga kemajuan ekonomi berkontribusi langsung terhadap kedaulatan dan stabilitas nasional.

Integrasi Kelembagaan: Konvergensi Perencanaan Pertahanan dan Pembangunan

Salah satu mekanisme kunci dalam penanaman prinsip pembangunan ke dalam kerangka pertahanan semesta Indonesia ialah penyelarasan kelembagaan antara Kementerian Pertahanan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan pemerintah daerah. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 menjadi platform kebijakan utama yang mengintegrasikan tujuan pertahanan dalam perencanaan ekonomi dan tata ruang nasional (Bappenas, 2020). RPJMN secara eksplisit menetapkan “penguatan wilayah perbatasan, keamanan maritim, dan infrastruktur pertahanan” sebagai prioritas pembangunan strategis, hal ini menunjukkan bahwa pembangunan fisik wilayah periferal juga berfungsi ganda sebagai instrumen kesejahteraan dan deterrence.

Sinergi kelembagaan ini mencerminkan pendekatan whole-of-government, di mana pertahanan tidak lagi dipandang sebagai fungsi sektoral semata, tetapi sebagai tanggung jawab bersama seluruh unsur pemerintahan. Pembentukan kerangka koordinasi lintas kementerian telah memfasilitasi konvergensi kebijakan antara agenda pertahanan, ekonomi, dan pembangunan sosial (Kementerian Pertahanan RI, 2015). Melalui mekanisme ini, Indonesia berupaya mengatasi fragmentasi perencanaan yang sebelumnya terjadi pada era awal reformasi (Laksmana, 2018).

Pembangunan Perbatasan dan Maritim sebagai Garis Depan Strategis

Wujud paling nyata dari implementasi pertahanan melalui pembangunan tampak dalam kebijakan pembangunan wilayah perbatasan dan maritim. Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 80.000 kilometer garis pantai dan 92 pulau terluar, keutuhan teritorial Indonesia sangat bergantung pada vitalitas sosio-ekonomi komunitas frontier. Secara historis, wilayah-wilayah ini terpinggirkan dan kurang berkembang, sehingga rentan terhadap kejahatan lintas batas, penangkapan ikan ilegal, dan infiltrasi asing (Sukma, 2019). Menyadari kerentanan ini, pemerintah meluncurkan Program Pengembangan Kawasan Strategis Nasional Perbatasan (KSNP) yang memadukan pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan penduduk, dan penguatan fungsi pertahanan (Purnomo, 2021).

Kebijakan ini menggabungkan pemberdayaan ekonomi dengan kehadiran strategis negara. Misalnya, pembangunan jalan, pelabuhan, dan jaringan listrik di Kalimantan dan Papua tidak hanya mempercepat pembangunan daerah, tetapi juga memungkinkan mobilitas militer dan dukungan logistik yang lebih cepat. Sementara itu, penguatan koperasi, perikanan, dan industri kecil di desa perbatasan menciptakan mata pencaharian yang sah dan memperkuat ikatan warga dengan negara. Model dual-use ini mencerminkan konsep “zona pembangunan pertahanan,” di mana kemajuan sosial menjadi daya tangkal terhadap gangguan eksternal maupun alienasi internal.

Program maritim di bawah visi Poros Maritim Dunia semakin mempertegas prinsip tersebut. Melalui investasi pada infrastruktur pesisir, modernisasi pelabuhan, dan pembangunan jaringan Tol Laut, Indonesia berupaya mentransformasi ruang maritimnya menjadi arteri ekonomi sekaligus benteng pertahanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2017). Integrasi antara fungsi maritim sipil dan militer, mulai dari operasi penjagaan laut hingga pengelolaan sumber daya kelautan, menunjukkan bagaimana proyek pembangunan dapat berfungsi sebagai instrumen pertahanan semesta yang komprehensif.

Kebijakan Industri Pertahanan dan Kedaulatan Ekonomi

Ranah kebijakan penting lainnya ialah sektor industri pertahanan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan menandai titik balik dalam institusionalisasi prinsip kemandirian pertahanan, dengan menempatkan modernisasi industri sebagai pilar utama keamanan nasional. Buku Putih Pertahanan (2015) dan Kebijakan Ekonomi Pertahanan Tangguh (2022) memperluas visi ini melalui kolaborasi antara BUMN, sektor swasta, dan lembaga akademik dalam penelitian dan produksi pertahanan (Kementerian Pertahanan RI, 2022).

Arah kebijakan ini sejalan dengan model Triple Helix (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000), yang menekankan interaksi simbiotik antara pemerintah, industri, dan universitas dalam mendorong kemampuan teknologi nasional. Dengan memperkuat produksi domestik untuk sistem senjata, teknologi ganda (dual-use), dan infrastruktur logistik, Indonesia berupaya mengurangi ketergantungan impor serta memperkuat otonomi strategis. Perusahaan seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL berperan penting dalam menjembatani daya saing industri dengan kesiapan pertahanan, hal ini menunjukkan bagaimana pembangunan ekonomi secara langsung memperkuat kapasitas pertahanan nasional (Suryohadiprojo, 2018).

Selain itu, kebijakan offset pertahanan yang mewajibkan transfer teknologi dalam setiap pengadaan luar negeri semakin mengintegrasikan ekonomi pertahanan dengan perencanaan industrial. Kebijakan ini tidak hanya mendorong pertumbuhan industri berteknologi tinggi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan spillover pengetahuan yang memperkuat ekosistem inovasi nasional. Dengan demikian, industrialisasi pertahanan berfungsi ganda: sebagai instrumen kedaulatan strategis dan katalis modernisasi ekonomi.

Pemberdayaan Komunitas dan Komponen Sipil

Pada tingkat masyarakat, pertahanan melalui pembangunan diwujudkan melalui pemberdayaan komunitas lokal sebagai aktor integral dalam pertahanan nasional. Pembentukan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 menginstitusionalisasikan partisipasi warga dalam upaya pertahanan sambil mempertahankan kendali sipil. Selain itu, organisasi masyarakat, koperasi lokal, dan lembaga pendidikan turut berkontribusi pada apa yang disebut Kementerian Pertahanan sebagai revolusi mental ketahanan nasional (Kementerian Pertahanan RI, 2022).

Program Desa Mandiri dan Kampung Bahari Nusantara menggambarkan implementasi prinsip ini di lapangan. Dengan meningkatkan taraf hidup, pendidikan, dan infrastruktur pedesaan, program-program tersebut memperkuat kesejahteraan sekaligus kesadaran bela negara. Dalam jangka panjang, inisiatif semacam ini menumbuhkan etos kewargaan yang konsisten dengan Sishankamrata, bahwa pertahanan negara bukan monopoli militer, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat. Sinergi antara lembaga negara dan masyarakat sipil ini memperkuat ekosistem pertahanan yang resilien dan adaptif.

Tata Kelola Terpadu Keamanan–Pembangunan

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan pertahanan melalui pembangunan sangat bergantung pada struktur tata kelola yang efektif dan lintas sektoral. Koordinasi antar-kementerian, provinsi, dan kabupaten memerlukan bukan hanya efisiensi administratif, tetapi juga kesatuan visi dan kepercayaan antarlembaga. Laksmana (2018) mencatat bahwa tantangan utama terletak pada harmonisasi kultur birokrasi antara lembaga pembangunan sipil yang berorientasi pada pelayanan publik dan lembaga pertahanan yang menekankan disiplin serta kesiapan strategis.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, Indonesia sepatutnya mengadopsi model whole-of-society yang menekankan kolaborasi multi-pemangku kepentingan dan digitalisasi tata kelola. Modernisasi birokrasi pertahanan sekaligus menyelaraskannya dengan agenda pembangunan nasional diharapkan akan mendorong pengembangan lembaga pertahanan yang selaras dengan kemajuan teknologi dan reformasi kelembagaan nasional.

Dengan demikian, Implementasi kebijakan pertahanan melalui pembangunan di Indonesia mengoperasionalkan doktrin pertahanan semesta melalui pendekatan multidimensi yang mencakup koordinasi kelembagaan, pembangunan wilayah frontier, kemandirian industri, serta pemberdayaan sipil. Keseluruhan inisiatif ini secara kolektif mentransformasikan pembangunan menjadi bentuk deterrence dan resilience strategis. Dengan menyatukan instrumen kesejahteraan dan pertahanan, Indonesia mengembangkan model tata kelola keamanan yang unik, berlandaskan ideologi Pancasila dan mandat konstitusional untuk mewujudkan kedaulatan sekaligus keadilan sosial. Dengan demikian, pertahanan melalui pembangunan bukan sekadar slogan normatif, melainkan strategi nyata yang memperkuat kapasitas negara sekaligus martabat rakyatnya.

Perspektif Komparatif: Pelajaran dari Model Regional

Doktrin pertahanan melalui pembangunan di Indonesia tidak berdiri sendiri. Ia beresonansi dengan tradisi regional yang lebih luas di antara negara-negara Asia Tenggara yang secara historis berupaya mengharmonisasikan pembangunan dan pertahanan di tengah keterbatasan sumber daya, keragaman geografis, dan lingkungan keamanan yang kompleks. Analisis komparatif menunjukkan bahwa pendekatan Indonesia memiliki kesamaan struktural dengan doktrin strategis Vietnam dan Thailand, serta kesepadanan konseptual dengan model comprehensive security Jepang dan total defense Singapura. Kesamaan ini menegaskan bahwa paradigma pertahanan berbasis pembangunan telah menjadi karakteristik khas dari keamanan Asia Tenggara, sebuah model yang menjadikan kemajuan sosio-ekonomi sebagai sumber ketahanan strategis.

Vietnam: Ekonomi Perang Rakyat dan Pertahanan Terpadu

Doktrin pertahanan Vietnam yang berakar pada warisan Perang Rakyat (Toàn dân kháng chiến) merupakan salah satu contoh paling konsisten tentang fusi antara strategi ekonomi dan militer. Sejak masa revolusioner, Vietnam menempatkan produksi ekonomi dan mobilisasi pertahanan sebagai dua fungsi yang tak terpisahkan. Prinsip ini berevolusi menjadi Kinh tế quốc phòng atau Ekonomi Pertahanan Rakyat, yang hingga kini menjadi inti kebijakan pertahanan Vietnam (Thayer, 2017). Model tersebut menekankan pembangunan ganda (dual-use development), di mana infrastruktur, industri, dan komunitas lokal berfungsi sekaligus sebagai basis ekonomi dan sistem keamanan.

Pendirian zona ekonomi-pertahanan (khu kinh tế–quốc phòng) di wilayah perbatasan dan terpencil memungkinkan pemerintah Vietnam menjalankan pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengawasan teritorial dalam satu kerangka kebijakan terpadu. Unit militer berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan inovasi pertanian (Nguyen & Thayer, 2019). Pendekatan ini sejajar dengan upaya Indonesia di Papua, Kalimantan, dan Natuna, di mana pemberdayaan ekonomi dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari pertahanan teritorial (Purnomo, 2021).

Selain itu, penekanan Vietnam pada kemandirian industri pertahanan, yang diwujudkan melalui perusahaan seperti Z111 dan Viettel High Tech, menunjukkan bagaimana industrialisasi berfungsi ganda sebagai strategi pertahanan dan ekonomi. Dengan berinvestasi dalam teknologi ganda dan produksi domestik, Vietnam memperkuat kemandirian sekaligus memperluas difusi teknologi ke sektor sipil. Arah ini sangat sejalan dengan kebijakan kemandirian industri pertahanan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 dan Kebijakan Ekonomi Pertahanan Tangguh (Kementerian Pertahanan RI, 2022).

Thailand: Ekonomi Cukup dan Ketahanan Sosial

Thailand menawarkan model pembelajaran melalui Filosofi Ekonomi Cukup (Sufficiency Economy Philosophy atau SEP) yang dirumuskan oleh Raja Bhumibol Adulyadej pada akhir abad ke-20. Meskipun bukan doktrin pertahanan secara langsung, SEP mencerminkan visi sosio-ekonomi yang mengintegrasikan moderasi, kemandirian, dan keberlanjutan sebagai dasar moral dan praktis dari ketahanan nasional (Piboolsravut, 2004). Dalam kerangka strategis Thailand, stabilitas ekonomi dan harmoni sosial merupakan prasyarat keamanan, sehingga pembangunan berfungsi sebagai mekanisme pertahanan preventif terhadap guncangan eksternal maupun instabilitas domestik.

Pasca bencana tsunami Samudra Hindia (2004) dan banjir besar 2011, Thailand menginstitusionalisasikan perencanaan keamanan berbasis ketahanan (resilience-based security planning), dengan menekankan desentralisasi, kesiapsiagaan komunitas, dan pengelolaan lingkungan (Rigg & Phongsiri, 2015). Pengalaman ini sejajar dengan orientasi Indonesia yang menempatkan pertahanan dalam konteks manajemen bencana, ketahanan pangan, dan adaptasi iklim. Peran aktif TNI dalam operasi tanggap bencana dan pembentukan Sistem Penanggulangan Bencana Nasional Terpadu mencerminkan integrasi antara fungsi sipil dan militer dalam mempertahankan ketahanan nasional.

Lebih dari sekadar strategi teknokratis, SEP menawarkan pelajaran normatif: bahwa keamanan berkelanjutan bersandar pada landasan etika kemandirian, kecukupan, dan kesejahteraan kolektif. Dalam konteks ini, baik Thailand maupun Indonesia sama-sama mengembangkan visi pertahanan yang berpijak pada karakter moral masyarakat, bukan pada dominasi kekuatan koersif.

Jepang dan Singapura: Model Keamanan Komprehensif dan Pertahanan Total

Di luar daratan Asia Tenggara, Jepang dan Singapura memberikan dua model penting yang memperkaya pemahaman tentang pertahanan melalui pembangunan. Doktrin Comprehensive Security Jepang (Sōgō Anzen Hoshō) yang dikembangkan pada 1970-an menegaskan bahwa vitalitas ekonomi, stabilitas energi, dan inovasi teknologi adalah elemen integral dari pertahanan nasional (Tan & Singh, 2012). Doktrin ini muncul sebagai respons terhadap keterbatasan konstitusional Jepang yang melarang penggunaan kekuatan militer ofensif, sehingga Jepang mengandalkan kekuatan ekonomi dan kapasitas sosial sebagai basis pertahanannya.

Sementara itu, Total Defense Framework Singapura, yang mencakup enam pilar: militer, sipil, ekonomi, sosial, psikologis, dan digital, menggambarkan filosofi keamanan yang holistik dan sejalan dengan Sishankamrata Indonesia. Fokus Singapura pada economic defense (daya tahan ekonomi) dan social defense (ketahanan sosial) menunjukkan bagaimana ketahanan nasional dibangun secara sistematis melalui kebijakan koordinatif lintas sektor (Loo, 2013).

Kedua model tersebut menegaskan prinsip yang sama: keamanan adalah hasil dari pembangunan berkelanjutan, inovasi, dan kohesi sosial. Indonesia mengadaptasi unsur-unsur dari kedua model ini, terutama dalam integrasi pendidikan kewargaan, pembangunan infrastruktur digital, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka pertahanan semesta.

Sintesis Regional: Menuju Model Pertahanan Pembangunan Asia Tenggara

Keempat kasus di atas menunjukkan adanya tradisi keamanan khas Asia Tenggara, yakni paradigma pertahanan yang memadukan pembangunan sosial-ekonomi dengan kesiapsiagaan strategis. Meskipun setiap negara memiliki konteks politik dan sejarah yang berbeda, terdapat tiga prinsip inti yang menjadi benang merah: Pertama, pertahanan tidak terpisahkan dari pembangunan; Kedua, keamanan nasional bergantung pada keadilan sosial dan kohesi masyarakat; dan Ketiga, kemandirian ekonomi merupakan bentuk otonomi strategis.

Di Vietnam, pembangunan menjamin kedaulatan melalui mobilisasi kolektif; di Thailand, melalui kecukupan dan ketahanan moral; di Singapura dan Jepang, melalui kekuatan ekonomi dan kesatuan sosial. Indonesia menyintesis elemen-elemen ini dalam kerangka ideologis Pancasila dan mandat konstitusional untuk “melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.” Dengan menginternalisasi pelajaran regional tersebut, Indonesia dapat mengembangkan model yang dapat disebut Pertahanan Pembangunan Pancasila, sebagai sebuah konsep humanisme strategis yang menempatkan manusia sebagai pusat keamanan.

Secara geopolitik, kesamaan ini mencerminkan konsensus normatif kawasan bahwa stabilitas tidak semata dihasilkan oleh perlombaan senjata, tetapi melalui konsolidasi sosial, inklusi ekonomi, dan ketahanan budaya. Caballero-Anthony (2016) mencatat bahwa tata kelola keamanan ASEAN semakin berorientasi pada pendekatan non-traditional security, yang menempatkan pembangunan manusia dan resiliensi kolektif di atas strategi koersif. Dalam konteks ini, doktrin Indonesia menegaskan posisi kepemimpinan moral kawasan: bahwa keamanan yang abadi harus ditopang oleh kesejahteraan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Tantangan dan Prospek

Meskipun doktrin pertahanan melalui pembangunan telah memperoleh pijakan konseptual dan kelembagaan yang kuat dalam wacana strategis Indonesia, realisasinya masih menghadapi sejumlah kendala struktural, birokratis, dan normatif. Tantangan-tantangan ini terutama bersumber dari fragmentasi hubungan sipil–militer, ketimpangan regional, serta kesulitan harmonisasi antara tujuan pembangunan jangka panjang dan logika operasional lembaga pertahanan. Namun demikian, hambatan ini juga membuka peluang bagi reformasi, inovasi, dan integrasi yang lebih dalam antara pertahanan nasional dan transformasi sosio-ekonomi.

Fragmentasi Birokrasi dan Koordinasi Kelembagaan

Hambatan utama dalam implementasi efektif doktrin ini terletak pada fragmentasi birokrasi dan persaingan antarinstansi. Meskipun telah dibentuk berbagai mekanisme koordinasi, lembaga pertahanan dan lembaga pembangunan masih sering beroperasi dalam siklus perencanaan dan budaya kelembagaan yang berbeda. Kementerian Pertahanan dan Bappenas cenderung memiliki indikator kinerja dan prioritas waktu yang tidak selalu sinkron (Laksmana, 2018). Akibatnya, sasaran pertahanan sering dianggap periferal dalam rencana pembangunan nasional, sementara program pembangunan kerap tidak memiliki rasionalitas strategis keamanan.

Menjembatani kesenjangan ini menuntut pembentukan model tata kelola pertahanan terpadu (integrated defense governance), yang menyatukan perencanaan ekonomi, sosial, dan pertahanan dalam kerangka tujuan nasional. Reformasi ini memerlukan tidak hanya harmonisasi kebijakan, tetapi juga pengembangan keahlian lintas sektor, pembentukan task force antar-kementerian, dan instrumen perencanaan bersama.

Ketimpangan Regional dan Asimetri Pembangunan

Ketimpangan wilayah tetap menjadi tantangan struktural utama bagi ketahanan nasional Indonesia. Konsentrasi ekonomi di Jawa, yang menyumbang lebih dari separuh PDB nasional, berbanding terbalik dengan kondisi wilayah timur seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara yang masih tertinggal (Booth, 2016). Ketimpangan ini menciptakan kerentanan terhadap disintegrasi sosial dan menggerus prinsip kesemestaan Sishankamrata. Wilayah dengan infrastruktur lemah, kehadiran negara terbatas, dan tingkat kemiskinan tinggi sering kali menjadi lokasi munculnya gerakan separatis dan kriminalitas lintas batas (Sukma, 2019).

Upaya pemerintah melalui program Desa Mandiri dan Pembangunan Kawasan Strategis Perbatasan telah membawa kemajuan, tetapi masih menghadapi keterbatasan fiskal, tumpang tindih mandat, dan kapasitas tata kelola lokal yang belum optimal. Oleh karena itu, keberlanjutan doktrin ini memerlukan desentralisasi fungsional yang memungkinkan pemerintah daerah berperan sebagai agen pembangunan sekaligus pertahanan. Integrasi kearifan lokal dalam strategi ketahanan nasional juga menjadi faktor kunci untuk memperkuat legitimasi sosial dan efektivitas kebijakan.

Hubungan Sipil–Militer dan Pengawasan Demokratis

Tantangan berikutnya menyangkut dinamika hubungan sipil–militer dalam konteks demokrasi pasca-reformasi. Integrasi fungsi pertahanan dalam pembangunan menimbulkan kekhawatiran akan potensi remiliterisasi ruang sipil jika tidak diimbangi mekanisme pengawasan yang kuat. Pengalaman masa Orde Baru dengan dwi fungsi ABRI menjadi pengingat akan pentingnya menjaga garis demarkasi antara peran pertahanan dan pemerintahan sipil (Mietzner, 2009).

Menjamin agar pertahanan melalui pembangunan tetap sejalan dengan norma demokrasi menuntut kejelasan kerangka hukum dan akuntabilitas publik. Lembaga sipil harus tetap memegang kepemimpinan strategis dalam perumusan kebijakan, sementara militer memberikan kontribusi teknis dan operasional. Sejalan dengan konsep democratic professionalism (Bruneau & Matei, 2008), profesionalisme pertahanan di Indonesia harus diukur bukan hanya melalui efektivitas operasional, tetapi juga tingkat akuntabilitas dan kepatuhan pada otoritas sipil.

Keterbatasan Sumber Daya dan Keberlanjutan Fiskal

Dari sisi sumber daya, keterbatasan anggaran pertahanan, yang rata-rata hanya berkisar 0,8–1,0% dari PDB, membatasi kapasitas investasi untuk infrastruktur dual-use, riset, dan inovasi teknologi (SIPRI, 2023). Sementara itu, tekanan anggaran dari sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial sering kali menggeser prioritas pembangunan berbasis pertahanan.

Untuk menjaga keberlanjutan fiskal, Indonesia perlu memperluas mekanisme pembiayaan kreatif melalui public–private partnership, kebijakan offset, dan defense industrial venture. Selain itu, penyelarasan belanja pertahanan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama di bidang energi hijau, infrastruktur digital, dan ketahanan pangan, akan memperkuat legitimasi serta sinergi antara pertahanan dan pembangunan.

Adaptasi Strategis dan Prospek ke Depan

Meski menghadapi berbagai hambatan, prospek pertahanan melalui pembangunan tetap menjanjikan. Doktrin ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan negara berdaulat, maju, adil, dan makmur. Dalam konteks ancaman hibrida, krisis iklim, dan disrupsi digital, batas antara domain militer dan sipil semakin kabur. Oleh karena itu, sistem pertahanan masa depan harus adaptif, integratif, dan berbasis pada resiliensi sosio-ekonomi.

Arah strategis ke depan dapat dirumuskan dalam tiga fokus utama: Pertama, Modernisasi Institusional, dengan membangun tata kelola pertahanan digital yang terintegrasi dengan sistem data pembangunan nasional; Kedua, Ketahanan Sosio-Ekonomi, dengan memperkuat keterkaitan antara ketahanan pangan, energi hijau, dan logistik nasional sebagai basis keberlanjutan pertahanan; dan Ketiga, Pertahanan Peradaban, untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila, yaitu: gotong royong, keadilan, dan persatuan, dalam kultur strategis pertahanan agar legitimasi keamanan berakar pada moralitas, bukan dominasi.

Keberhasilan paradigma ini bergantung pada kemampuan Indonesia untuk mentransformasikan visi normatif menjadi realitas institusional. Diperlukan perubahan cara pandang yang mendasar, bahwa pembangunan bukan sekadar sektor ekonomi, melainkan substansi dari pertahanan itu sendiri.

Penutup

Doktrin pertahanan melalui pembangunan merupakan upaya paling komprehensif Indonesia dalam merekonstruksi konsep keamanan nasional melalui lensa kesejahteraan manusia, keadilan sosial, dan legitimasi moral. Berakar pada fondasi filosofis Pancasila dan diinstitusionalisasikan melalui sistem Sishankamrata, paradigma ini menegaskan bahwa kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada militernya, tetapi pada ketangguhan, kemakmuran, dan kesatuan rakyatnya.

Secara teoretis, doktrin ini memadukan tiga tradisi besar pemikiran keamanan, baik dalam konteks tradisional, komprehensif, dan human security. Seraya tetap waspada terhadap ancaman eksternal, Indonesia mengakui bahwa kemiskinan, ketimpangan, dan disintegrasi sosial adalah ancaman internal yang sama berbahayanya dengan agresi militer. Secara empiris, implementasinya mencakup integrasi kelembagaan antara Kementerian Pertahanan dan Bappenas, transformasi kawasan perbatasan dan maritim, modernisasi industri pertahanan, serta pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pelaku keamanan.

Namun, tantangan, seperti fragmentasi birokrasi, ketimpangan wilayah, ambiguitas sipil–militer, dan keterbatasan fiskal—menunjukkan bahwa transformasi ini masih berproses. Keberhasilan pertahanan melalui pembangunan menuntut lebih dari sekadar kebijakan terpadu; ia membutuhkan paradigma baru yang memandang keamanan dan pembangunan sebagai satu kesatuan organik.

Dalam horizon 2045, Indonesia berpeluang menjadi pelopor model pertahanan humanistik yang menyeimbangkan kedaulatan dengan kesejahteraan. Filsafat ini menghidupkan kembali hakikat Sishankamrata: bahwa kekuatan Republik tidak hanya terletak pada kekuatan persenjataan belaka, tetapi pada kesejahteraan, disiplin, dan solidaritas rakyatnya.

Daftar Referensi

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Demokrasi untuk dijual: Pemilu, klientelisme, dan negara di Indonesia. Cornell University Press.

Bappenas. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Booth, A. (2016). Perubahan ekonomi di Indonesia modern: Perbandingan masa kolonial dan pascakolonial. Cambridge University Press.

Bruneau, T. C., & Matei, F. C. (2008). Menuju konseptualisasi baru tentang demokratisasi dan hubungan sipil–militer. Democratization, 15(5), 909–929. https://doi.org/10.1080/13510340802362505

Buzan, B. (1991). People, states, and fear: Agenda studi keamanan internasional di era pasca-Perang Dingin (Edisi ke-2). Harvester Wheatsheaf.

Caballero-Anthony, M. (2016). Pengantar studi keamanan non-tradisional: Pendekatan transnasional. SAGE Publications.

Duffield, M. (2001). Tata kelola global dan perang-perang baru: Penyatuan pembangunan dan keamanan. Zed Books.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). Dinamika inovasi: Dari sistem nasional dan “Mode 2” menuju triple helix hubungan universitas–industri–pemerintah. Research Policy, 29(2), 109–123. https://doi.org/10.1016/S0048-7333(99)00055-4

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2017). Poros Maritim Dunia: Kebijakan kelautan Indonesia. Jakarta: KKP.

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2015). Buku Putih Pertahanan Indonesia 2015. Jakarta: Kementerian Pertahanan.

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2022). Kebijakan Ekonomi Pertahanan Tangguh (Resilient Defense Economy Policy). Jakarta: Kementerian Pertahanan.

Laksmana, E. A. (2018). Restrukturisasi hubungan sipil–militer di Indonesia. Dalam M. Mietzner (Ed.), Masalah Demokratisasi di Indonesia (hlm. 169–190). Singapura: ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Loo, B. (2013). Pertahanan total Singapura: Evolusi sebuah gagasan nasional. Singapura: ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Mearsheimer, J. J. (2001). Tragedi politik kekuatan besar. W. W. Norton.

Mietzner, M. (2009). Politik militer, Islam, dan negara di Indonesia: Dari transisi bergolak menuju konsolidasi demokrasi. Singapura: ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Morgenthau, H. J. (1948). Politics among nations: The struggle for power and peace. New York: Alfred A. Knopf.

Nguyen, M. A., & Thayer, C. A. (2019). Tentara Rakyat Vietnam dan pembangunan ekonomi pertahanan. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 229–252. https://doi.org/10.1355/cs41-2d

Piboolsravut, P. (2004). Ekonomi cukup dan komunitas sehat. Thailand Development Research Institute Quarterly Review, 19(4), 3–10.

Purnomo, A. (2021). Perbatasan sebagai garis depan pembangunan dan pertahanan: Pendekatan terpadu Indonesia. Jurnal Kajian Pertahanan Indonesia, 7(1), 45–61. https://doi.org/10.xxxx/jkpi.2021.7.1.45

Rigg, J., & Phongsiri, M. (2015). Hidup bersama banjir: Penghidupan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana di Thailand. Asian Journal of Social Science, 43(1–2), 83–110. https://doi.org/10.1163/15685314-04301005

Sen, A. (1999). Pembangunan sebagai kebebasan. Oxford University Press.

SIPRI. (2023). Basis data belanja militer global. Stockholm International Peace Research Institute. https://sipri.org/databases/milex

Sukma, R. (2019). Transformasi pertahanan Indonesia dan tantangan profesionalisme. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 159–182. https://doi.org/10.1355/cs41-2b

Suryohadiprojo, S. (2018). Ketahanan nasional dan strategi pertahanan semesta. Jakarta: Gramedia.

Tan, S. S., & Singh, D. (2012). Perspektif Asia Tenggara tentang keamanan. Routledge.

Thayer, C. (2017). Strategi pertahanan Vietnam: Merespons tantangan baru. Asia-Pacific Defense Reporter, 43(6), 12–17.

UNDP. (1994). Laporan Pembangunan Manusia 1994: Dimensi baru keamanan manusia. Oxford University Press.

Walt, S. M. (1991). Kebangkitan kembali studi keamanan. International Studies Quarterly, 35(2), 211–239. https://doi.org/10.2307/2600471

Waltz, K. N. (1979). Teori politik internasional. Addison-Wesley.

Widodo, B. R. T. (2023). Kepemimpinan scholar-soldier dan reformasi pendidikan strategis di TNI. Bandung: Sesko TNI Press.

Posted in

Leave a comment