Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Merajut Keamanan dan Perdamaian Berkelanjutan  di Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Nanggroe Aceh Darussalam menempati posisi unik dalam sejarah Indonesia. Di ujung barat kepulauan Nusantara, Aceh telah lama dikenal sebagai “Serambi Mekkah,” yaitu gerbang awal masuknya Islam ke Asia Tenggara, sekaligus sebagai wilayah dengan tradisi perlawanan yang gigih terhadap kolonialisme. Sejak masa Sultan Iskandar Muda hingga perjuangan melawan Belanda dan Jepang, semangat kemandirian dan harga diri kolektif telah menjadi ciri identitas masyarakat Aceh. Namun di balik kemuliaan sejarah itu, Aceh juga menyimpan babak panjang konflik bersenjata dan penderitaan sosial yang berkepanjangan, terutama selama tiga dekade terakhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21.

Konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dimulai pada 1976 muncul dari ketegangan antara sentralisasi kekuasaan nasional dan aspirasi otonomi lokal yang berakar pada identitas, keadilan, dan distribusi sumber daya alam. Ketimpangan ekonomi, pengelolaan minyak dan gas bumi yang dianggap tidak adil, serta praktik kekerasan negara pada masa darurat militer menimbulkan luka sosial mendalam di tengah masyarakat. Konflik ini bukan hanya pertempuran bersenjata antara militer dan kelompok separatis, melainkan juga sebuah tragedi kemanusiaan yang melibatkan hilangnya ribuan nyawa, pengungsian besar-besaran, dan keretakan sosial antarkomunitas.

Gelombang tsunami pada Desember 2004 mengubah arah sejarah Aceh secara dramatis. Bencana dahsyat yang menelan lebih dari 160.000 korban jiwa itu menjadi titik balik kesadaran kolektif bangsa Indonesia bahwa penderitaan Aceh bukan hanya persoalan politik, melainkan juga kemanusiaan. Momentum inilah yang membuka jalan bagi perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, dengan mediasi Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perjanjian damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menandai berakhirnya konflik bersenjata dan membuka babak baru dalam sejarah Aceh.

Namun, perdamaian sejati tidak semata berarti ketiadaan perang. Johan Galtung membedakan antara negative peace, yaitu berhentinya kekerasan langsung, dan positive peace, yakni hadirnya keadilan sosial serta transformasi struktur yang melahirkan kesejahteraan dan kepercayaan. Dalam konteks Aceh, perjanjian Helsinki menciptakan negative peace, yaitu senjata diletakkan, pasukan ditarik, pemerintahan lokal terbentuk, tetapi tantangan menuju positive peace masih terbentang panjang. Setelah hampir dua dekade, Aceh menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam stabilitas keamanan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun juga menghadapi paradoks baru berupa politik transaksional, korupsi, ketimpangan ekonomi, serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap elite lokal yang lahir dari rahim perdamaian itu sendiri.

Oleh sebab itu, merajut keamanan dan perdamaian di Aceh yang berkelanjutan menuntut pendekatan yang lebih komprehensif, tidak hanya berhenti pada penyelesaian konflik bersenjata, melainkan juga menyentuh dimensi sosial, ekonomi, dan budaya yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat. Pembangunan harus diarahkan untuk menciptakan rasa memiliki dan rasa aman yang tumbuh dari keadilan dan partisipasi. Dalam hal ini, konsep defense by development yang dikembangkan dalam paradigma pertahanan Indonesia menemukan relevansinya. Pertahanan tidak lagi dipahami hanya sebagai kekuatan militer yang menangkis ancaman eksternal, melainkan sebagai hasil dari pembangunan manusia dan masyarakat yang sejahtera, berpendidikan, dan berdaya.

TNI, dalam konteks Aceh, memainkan peran ganda yang sangat penting. Di masa konflik, TNI menjadi aktor keamanan yang menegakkan kedaulatan negara; di masa damai, TNI harus bertransformasi menjadi penjaga stabilitas sosial, penggerak pembangunan, dan simbol persatuan. Melalui operasi teritorial, kegiatan pembinaan masyarakat, serta kerja sama lintas sektor, TNI membantu membangun kepercayaan yang sempat terkoyak antara negara dan rakyat. Pengalaman Aceh menjadi pembelajaran penting bagi transformasi hubungan sipil–militer di Indonesia, bahwa kekuatan sejati pertahanan bukan terletak pada kekuasaan senjata, melainkan pada legitimasi moral dan kepercayaan publik yang tumbuh dari peran sosial yang konstruktif.

Pembangunan perdamaian berkelanjutan juga menuntut hadirnya pemerintahan yang inklusif dan berintegritas. Desentralisasi yang diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan sejumlah qanun lokal memberikan ruang politik yang luas bagi partisipasi masyarakat. Namun, keleluasaan tersebut harus diimbangi dengan tata kelola yang baik, transparansi fiskal, serta keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. Ketika otonomi hanya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan, bukan tanggung jawab kolektif, maka perdamaian mudah tergelincir menjadi persaingan elite dan pelembagaan korupsi. Di sinilah pentingnya menempatkan pembangunan sebagai instrumen moral untuk memperkuat harmoni sosial, bukan sekadar agenda ekonomi.

Kajian tentang Aceh juga memiliki nilai akademik dan strategis yang lebih luas bagi Indonesia. Dalam kerangka nation-building, Aceh dapat dilihat sebagai cermin perjalanan bangsa dalam mengelola keragaman dan konflik internal. Jika perdamaian Aceh dapat dijaga secara berkelanjutan, maka hal itu menjadi bukti bahwa integrasi nasional Indonesia tidak dibangun melalui dominasi, melainkan melalui keadilan, dialog, dan pemberdayaan. Dari perspektif keamanan nasional, stabilitas Aceh memiliki arti penting karena letak geografisnya yang strategis di perlintasan Samudra Hindia dan Selat Malaka, sebagai jalur vital perdagangan global dan kawasan dengan potensi sumber daya yang besar. Keamanan di Aceh dengan demikian adalah bagian integral dari keamanan nasional dan maritim Indonesia.

Tulisan ini berangkat dari kesadaran bahwa perdamaian yang sejati bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus berkembang. Ia memerlukan komitmen lintas generasi, sinergi antaraktor, dan visi pembangunan yang berpihak pada manusia. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dan kerangka teori peacebuilding serta human security, tulisan ini akan menelusuri perjalanan Aceh dari konflik menuju stabilitas, sekaligus menawarkan kerangka konseptual bagi pembangunan keamanan dan perdamaian yang berkelanjutan. Melalui refleksi atas dua dekade pasca-Helsinki, naskah ini berupaya menunjukkan bahwa keamanan di Aceh bukan sekadar hasil dari kesepakatan politik, tetapi buah dari proses panjang transformasi sosial dan moral, di mana masyarakat, pemerintah, dan TNI bersama-sama menenun kembali tenunan kebangsaan yang sempat terurai.

Dengan demikian, Aceh bukan hanya sebagai studi kasus konflik dan perdamaian, tetapi juga sebagai metafora bagi perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dari luka menuju penyembuhan, dari kekerasan menuju dialog, dari kecurigaan menuju kepercayaan, Aceh menjadi cermin tentang bagaimana keamanan sejati hanya dapat tumbuh ketika negara hadir bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan keadilan dan kasih sayang terhadap rakyatnya.

Kerangka Teoretis: Dari Perdamaian Negatif Menuju Perdamaian Positif

Setiap upaya membangun perdamaian berkelanjutan membutuhkan fondasi konseptual yang kokoh. Aceh, dengan sejarah panjang konflik dan rekonsiliasi, menghadirkan medan empirik yang kaya bagi perumusan teori tentang hubungan antara keamanan, pembangunan, dan keadilan sosial. Untuk memahami dinamika pasca-konflik di Aceh, penting membedakan antara dua bentuk perdamaian sebagaimana dikemukakan Johan Galtung: negative peace dan positive peace. Konsep ini menjadi batu pijakan utama dalam menganalisis transformasi Aceh dari daerah konflik menuju wilayah yang relatif stabil dalam dua dekade terakhir.

Negative peace merujuk pada ketiadaan kekerasan langsung, sebuah situasi di mana perang atau pertempuran bersenjata telah berhenti. Namun keadaan ini belum tentu mencerminkan keseimbangan sosial atau keadilan struktural. Dalam konteks Aceh, perjanjian Helsinki 2005 berhasil menciptakan kondisi negative peace dengan penghentian operasi militer, perlucutan senjata, dan penarikan pasukan non-organik. Keheningan senjata ini menjadi titik awal yang menentukan, tetapi bukan akhir dari proses perdamaian itu sendiri. Banyak daerah pasca-konflik di dunia menunjukkan bahwa kedamaian yang dibangun hanya di atas kesepakatan politik tanpa transformasi sosial sering kali rapuh dan berisiko kembali pecah.

Sementara itu, positive peace menuntut lebih dari sekadar ketiadaan perang. Ia memerlukan perubahan mendasar dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik agar ketidakadilan yang menjadi akar konflik dapat diatasi. Galtung (1969) menyebutnya sebagai proses penciptaan kondisi sosial yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar manusia: keadilan, partisipasi, martabat, dan kesejahteraan. Dalam kerangka ini, perdamaian Aceh yang berkelanjutan mensyaratkan terciptanya keadilan ekonomi, pemerataan pembangunan, penghormatan terhadap hak-hak sipil, dan ruang politik yang benar-benar partisipatif. Perdamaian bukanlah hasil akhir dari negosiasi elite, melainkan produk dari interaksi sosial yang adil dan berkelanjutan di tingkat akar rumput.

John Paul Lederach (1997) melengkapi pemikiran tersebut dengan memperkenalkan konsep peacebuilding sebagai arsitektur sosial yang dibangun lintas lapisan: akar rumput, menengah, dan elite. Bagi Lederach, perdamaian yang sejati hanya dapat terwujud apabila hubungan antaraktor di berbagai tingkat sosial berubah dari relasi kekuasaan menjadi relasi kepercayaan. Dalam konteks Aceh, gagasan ini tampak dalam bagaimana masyarakat lokal, ulama, tokoh adat, dan mantan kombatan berperan dalam membangun kembali jaringan sosial yang hancur akibat perang. Proses reintegrasi mantan kombatan ke dalam kehidupan sipil, meskipun tidak selalu sempurna, merupakan bentuk nyata dari relational transformation yang ditekankan oleh Lederach. Perdamaian di Aceh lahir bukan semata dari meja perundingan di Helsinki, tetapi dari ribuan percakapan, ritual adat, dan proses sosial yang berlangsung di kampung-kampung, pesantren, dan lembaga masyarakat.

Kerangka teoritis lain yang relevan untuk membaca proses perdamaian Aceh adalah konsep human security yang diperkenalkan oleh UNDP dalam Human Development Report tahun 1994. Pendekatan ini memperluas pengertian keamanan dari yang bersifat militeristik menjadi berpusat pada manusia. Keamanan manusia mencakup dimensi ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas, dan politik. Dengan kerangka ini, perdamaian tidak lagi diukur dari jumlah senjata yang diturunkan, melainkan dari sejauh mana manusia terbebas dari rasa takut dan kekurangan. Dalam konteks Aceh, keamanan manusia berarti memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan lingkungan yang aman. Ancaman terhadap keamanan di Aceh hari ini tidak lagi datang dari senjata, melainkan dari kemiskinan, ketimpangan, degradasi lingkungan, dan keterasingan sosial yang dapat menumbuhkan frustrasi kolektif.

Transformasi keamanan Aceh juga dapat dipahami melalui pendekatan security sector reform (SSR), yakni proses menata ulang peran dan fungsi lembaga keamanan agar sejalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Pasca-Helsinki, kehadiran TNI dan Polri di Aceh beralih dari paradigma represif menuju paradigma protektif dan partisipatif. Reformasi sektor keamanan ini tidak hanya soal restrukturisasi kelembagaan, tetapi juga tentang membangun trust antara aparat dan warga. TNI belajar untuk hadir sebagai pelindung rakyat, bukan kekuatan yang menakutkan. Proses ini penting karena kepercayaan publik terhadap aparat keamanan merupakan salah satu indikator utama dari positive peace. Ketika masyarakat percaya bahwa negara hadir untuk melindungi, bukan menindas, maka pondasi perdamaian menjadi jauh lebih kuat.

Dalam konteks pembangunan pasca-konflik, teori peace dividend memberikan penjelasan tentang pentingnya manfaat ekonomi yang segera dirasakan masyarakat setelah perdamaian tercapai. Jika perdamaian tidak menghasilkan kesejahteraan, masyarakat akan kehilangan insentif untuk mempertahankannya. Pembangunan ekonomi yang adil, pemerataan hasil otonomi khusus, serta penciptaan lapangan kerja bagi mantan kombatan dan generasi muda menjadi syarat mutlak bagi stabilitas sosial jangka panjang. Oleh sebab itu, perdamaian di Aceh harus dipertahankan bukan dengan kekuatan keamanan semata, tetapi melalui kehadiran ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Di sinilah prinsip defense by development menemukan konteksnya yang paling konkret: pembangunan menjadi instrumen pertahanan yang memperkuat kohesi sosial.

Paradigma defense by development yang dikembangkan dalam wacana strategis TNI menegaskan bahwa pertahanan nasional tidak dapat dilepaskan dari kesejahteraan rakyat. Kekuatan bangsa bukan hanya diukur dari jumlah pasukan atau persenjataan, tetapi dari sejauh mana rakyat memiliki ketahanan ekonomi, moral, dan sosial. Dalam konteks Aceh, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi lokal tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga untuk menguatkan rasa nasionalisme dan integrasi. Ketika masyarakat Aceh merasa menjadi bagian dari proyek besar kebangsaan yang memberi mereka martabat dan harapan, maka tidak ada ruang bagi ide separatisme untuk tumbuh kembali.

Kerangka teoretis tentang pembangunan perdamaian berkelanjutan juga dapat dihubungkan dengan konsep resilience-based peacebuilding. Pendekatan ini melihat perdamaian sebagai kemampuan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan dan krisis, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Aceh, yang telah menghadapi perang dan bencana besar, menunjukkan kapasitas adaptif yang luar biasa. Namun, ketahanan sosial ini perlu terus diperkuat melalui pendidikan, kolaborasi antar generasi, serta kebijakan publik yang memperkuat modal sosial. Pembangunan sekolah, pesantren, dan universitas bukan hanya tentang transmisi ilmu, tetapi juga tentang membangun generasi baru yang memiliki memori kolektif tentang arti perdamaian dan pentingnya menjaga keutuhan bangsa.

Dari berbagai perspektif teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa perdamaian yang berkelanjutan di Aceh hanya dapat terwujud apabila tiga dimensi berjalan secara sinergis: keadilan sosial sebagai basis moral, pembangunan ekonomi sebagai basis material, dan kepercayaan sosial sebagai basis emosional. Ketiganya harus diperkuat oleh kebijakan pertahanan dan keamanan yang adaptif, demokratis, dan berorientasi pada rakyat. Lintasan sejarah di Aceh mengajarkan bahwa keamanan sejati tidak dapat dipaksakan dari atas, tetapi harus tumbuh dari bawah, dari kesadaran kolektif masyarakat bahwa perdamaian adalah kebutuhan bersama dan warisan bagi generasi mendatang.

Transformasi Aceh bukan hanya kisah tentang keberhasilan perundingan politik, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat yang pernah terpecah dapat menenun kembali rasa kebersamaan melalui pendidikan, pembangunan, dan rekonsiliasi. Dari perspektif inilah, merajut keamanan dan perdamaian di Aceh tidak hanya berbicara tentang masa lalu yang harus dipulihkan, tetapi juga tentang masa depan yang harus dijaga bersama dengan kebijaksanaan, empati, dan keteguhan moral bangsa.

Konflik Aceh dan Perjalanan Menuju Perdamaian

Sejarah konflik Aceh merupakan perjalanan panjang antara perjuangan identitas, tuntutan keadilan, dan pencarian bentuk hubungan yang ideal antara pusat dan daerah. Konflik ini tidak dapat dipahami semata sebagai peristiwa politik atau militer, tetapi sebagai gejala sosial yang berakar pada sejarah panjang interaksi antara Aceh dan kekuasaan negara. Akar persoalannya terletak pada relasi yang tidak seimbang antara kebanggaan kolektif masyarakat Aceh terhadap masa lalunya yang otonom dengan model integrasi nasional yang cenderung sentralistik. Di sinilah tumbuh ketegangan laten yang berulang dari masa ke masa, sejak awal kemerdekaan hingga menjelang abad ke-21.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Aceh memainkan peran penting dalam menjaga keutuhan republik. Para ulama dan tokoh Aceh mendukung penuh perjuangan diplomatik dan militer, bahkan memberikan sumbangan besar bagi pembelian pesawat pertama Republik Indonesia. Namun, dukungan moral dan material ini tidak diikuti dengan pengakuan politik yang setara. Pada tahun 1950-an, keputusan pemerintah pusat untuk menggabungkan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan masyarakat. Penghapusan status otonomi keagamaan Aceh dianggap mengingkari semangat perjuangan mereka, sehingga memicu perlawanan bersenjata di bawah panji Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Gerakan ini bukan hanya protes terhadap struktur kekuasaan Jakarta, tetapi juga refleksi dari pandangan dunia Aceh yang menempatkan Islam dan keadilan sosial sebagai dasar legitimasi politik.

Pemberontakan DI/TII di Aceh berakhir pada awal 1960-an setelah pemerintah memberikan status Daerah Istimewa kepada Aceh, yang menjamin otonomi di bidang agama, pendidikan, dan adat. Namun, perdamaian ini bersifat sementara. Dalam praktiknya, sentralisasi politik di bawah pemerintahan Orde Baru membatasi otonomi tersebut. Pembangunan ekonomi yang dijanjikan melalui proyek-proyek besar seperti eksploitasi gas alam di Arun, Lhokseumawe, justru memperdalam kesenjangan. Kekayaan alam Aceh mengalir ke pusat, sementara masyarakat lokal hanya menyaksikan dampak lingkungan dan sosial dari industrialisasi tanpa kompensasi yang memadai. Kekecewaan terhadap ketidakadilan distribusi sumber daya ini menjadi lahan subur bagi lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan oleh Hasan di Tiro pada tahun 1976.

GAM memosisikan diri sebagai gerakan politik dan militer yang menuntut kemerdekaan penuh dari Republik Indonesia. Dalam narasi yang mereka bangun, Aceh digambarkan sebagai bangsa terjajah yang hak-hak politik dan ekonominya dirampas oleh negara pusat. Pemerintah Indonesia menanggapi gerakan ini dengan kebijakan keamanan yang keras. Sejak 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), yang menandai periode paling kelam dalam sejarah modern Aceh. Dalam masa itu, kekerasan bersenjata, penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara meluas. DOM berhasil menekan perlawanan bersenjata, tetapi meninggalkan trauma kolektif yang mendalam. Aceh menjadi wilayah yang di satu sisi relatif stabil secara militer, namun secara sosial penuh ketakutan dan kebisuan.

Jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 membuka kembali ruang politik bagi ekspresi kekecewaan Aceh. Reformasi memberi harapan baru akan demokrasi dan desentralisasi, namun di Aceh ia justru memunculkan kembali gelombang kemarahan terhadap pusat. Tuntutan referendum menggema di berbagai daerah, dipicu oleh akumulasi ketidakadilan masa lalu. Pemerintah yang baru terbentuk menghadapi dilema: mempertahankan kedaulatan nasional atau mengakomodasi aspirasi lokal dengan risiko disintegrasi. Upaya negosiasi antara pemerintah dan GAM mulai dilakukan pada tahun 2000 melalui perantaraan Henry Dunant Centre (HDC), menghasilkan kesepakatan penghentian permusuhan (humanitarian pause). Namun, perjanjian ini rapuh karena kedua pihak masih saling mencurigai. Pemerintah menilai GAM memanfaatkan gencatan senjata untuk memperkuat diri, sementara GAM menilai pemerintah tidak konsisten dalam memberikan jaminan politik. Konflik kembali pecah, kali ini dengan intensitas yang lebih tinggi dan korban yang lebih besar.

Tsunami 26 Desember 2004 menjadi titik balik sejarah. Bencana tersebut memporakporandakan Aceh, menghancurkan infrastruktur dan menelan ratusan ribu korban jiwa. Dalam sekejap, batas antara pihak yang berperang menjadi kabur di bawah gelombang air yang memusnahkan segalanya. Dalam situasi inilah lahir kesadaran baru tentang rapuhnya kekuasaan manusia di hadapan alam, serta urgensi untuk mengakhiri permusuhan yang telah terlalu lama berlangsung. Dunia internasional yang datang membantu penanggulangan bencana juga mendorong kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan. Dengan perantaraan Martti Ahtisaari dan Crisis Management Initiative (CMI), negosiasi yang selama ini gagal menemukan kesepakatan akhirnya mencapai hasil pada 15 Agustus 2005: lahirnya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

MoU Helsinki bukan sekadar dokumen politik, melainkan fondasi moral bagi tatanan sosial baru di Aceh. Kesepakatan itu mencakup penghentian permusuhan, perlucutan senjata GAM, penarikan pasukan non-organik TNI, serta jaminan bagi pembentukan partai lokal dan penyelenggaraan pemerintahan otonomi khusus. Dalam implementasinya, misi monitoring internasional (Aceh Monitoring Mission/AMM) yang melibatkan Uni Eropa dan negara-negara ASEAN memainkan peran penting dalam memastikan kepatuhan kedua pihak. Dalam waktu enam bulan, proses demobilisasi dan reintegrasi berjalan relatif damai. Mantan kombatan mulai kembali ke masyarakat, beberapa di antaranya memasuki dunia politik, sementara pemerintah melaksanakan pembangunan infrastruktur dan pemberian kompensasi ekonomi.

Namun, sebagaimana lazim terjadi dalam banyak kasus post-conflict reconstruction, masa damai membawa tantangan baru yang tak kalah kompleks. Keberhasilan politik di tingkat elite belum selalu diterjemahkan menjadi kesejahteraan di tingkat rakyat. Banyak eks-kombatan yang tidak memperoleh pekerjaan tetap, sementara ekonomi lokal bergerak lamban. Di sisi lain, muncul elite-elite baru yang memanfaatkan simbol perjuangan untuk kepentingan politik pribadi. Fenomena ini melahirkan paradoks: damai secara politik, namun tetap bergejolak secara sosial. Dalam dua dekade terakhir, Aceh mengalami stabilitas keamanan yang cukup terjaga, tetapi kualitas tata kelola dan tingkat kesejahteraan masyarakat belum sebanding dengan potensi sumber daya yang dimiliki.

Dari perspektif hubungan sipil–militer, pasca-Helsinki juga menandai perubahan peran TNI di Aceh. TNI tidak lagi beroperasi dalam kerangka operasi militer untuk menumpas pemberontakan, tetapi bertransformasi menjadi bagian dari upaya pembangunan dan stabilisasi sosial. Melalui pendekatan teritorial yang adaptif dan humanis, TNI hadir sebagai kekuatan penjaga perdamaian, pelindung rakyat, dan motor penggerak solidaritas nasional. Pendekatan ini menunjukkan evolusi konseptual yang penting dalam pemikiran pertahanan Indonesia: bahwa keamanan bukan hanya monopoli militer, tetapi merupakan hasil dari kemitraan antara negara, rakyat, dan seluruh elemen sosial. Perubahan inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa perdamaian di Aceh relatif stabil hingga kini.

Konflik Aceh, dengan demikian, bukan sekadar kisah perlawanan terhadap negara, melainkan refleksi dari perjalanan bangsa Indonesia dalam mencari keseimbangan antara kesatuan dan keanekaragaman, antara sentralisasi dan desentralisasi, antara keamanan dan keadilan. Dari perjuangan bersenjata menuju perundingan damai, dari kekerasan menuju rekonsiliasi, Aceh telah melalui siklus sejarah yang sarat dengan penderitaan sekaligus pembelajaran. Pengalaman ini mengajarkan bahwa perdamaian yang sejati hanya dapat bertahan jika akar-akar ketidakadilan diatasi, jika ruang partisipasi dijamin, dan jika pembangunan dijalankan sebagai bentuk keadilan, bukan dominasi.

Dalam perspektif yang lebih luas, transformasi Aceh pasca-konflik mencerminkan upaya Indonesia untuk membangun civilized peace, perdamaian yang tidak hanya dipertahankan oleh kekuatan negara, tetapi juga oleh kesadaran moral masyarakat. Proses ini masih terus berlangsung. Tantangan baru muncul dalam bentuk korupsi, ekstremisme, dan ketimpangan sosial. Namun pengalaman Aceh menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki kapasitas untuk belajar, memperbaiki diri, dan menenun kembali persatuan yang sempat robek. Sejarah Aceh adalah cermin bahwa luka terdalam pun dapat sembuh ketika keadilan, empati, dan komitmen bersama ditempatkan di atas kepentingan kekuasaan.

Transformasi Paska Perjanjian Helsinki  (2005–2025)

Dua dekade pasca-penandatanganan Memorandum of Understanding Helsinki menandai perjalanan panjang Aceh dari wilayah konflik menuju daerah yang relatif stabil dan demokratis. Namun, perjalanan ini tidak berlangsung linear. Ia adalah proses yang berliku, penuh kompromi, keberhasilan, dan kegagalan. Perdamaian yang dicapai di Helsinki tidak serta-merta menyelesaikan seluruh persoalan Aceh; ia membuka babak baru yang menuntut kemampuan kolektif untuk menata kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di bawah bayang-bayang masa lalu yang traumatis. Dalam konteks ini, periode 2005–2025 merupakan fase penting dalam membangun tatanan sosial baru Aceh, di mana gagasan tentang keadilan, identitas, dan pembangunan diuji dalam realitas politik dan birokrasi.

Implementasi perjanjian damai Helsinki berjalan relatif damai dan terukur. Salah satu keberhasilan paling nyata adalah berjalannya proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam kehidupan sipil. Melalui misi pemantauan internasional yang dipimpin Aceh Monitoring Mission (AMM), ribuan senjata diserahkan, dan pasukan non-organik TNI ditarik secara bertahap. Pemerintah pusat membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk menyalurkan bantuan ekonomi, tanah, dan modal usaha bagi mantan kombatan serta keluarga korban konflik. Meskipun proses ini tidak bebas dari ketidaksempurnaan dan praktik koruptif, langkah tersebut menjadi tonggak penting dalam membangun kepercayaan antara Aceh dan Jakarta.

Momentum politik berikutnya datang melalui penyelenggaraan Pilkada Aceh 2006, yang untuk pertama kalinya memperbolehkan partisipasi calon independen. Pemilihan ini melahirkan pemerintahan lokal baru yang berasal dari kalangan eks-kombatan. Bagi sebagian kalangan, kemenangan politik mantan anggota GAM merupakan bukti keberhasilan integrasi politik; bagi yang lain, hal itu menimbulkan kekhawatiran akan munculnya oligarki baru yang memonopoli kekuasaan atas nama perdamaian. Dalam satu dasawarsa pertama pasca-Helsinki, dinamika politik lokal diwarnai oleh euforia identitas dan semangat rekognisi, namun perlahan bergeser menjadi arena kompetisi kekuasaan yang sering kali terlepas dari semangat awal perjuangan.

Di sisi ekonomi, status Aceh sebagai daerah dengan special autonomy fund membawa peluang besar sekaligus tantangan struktural. Dana Otonomi Khusus yang digelontorkan sejak 2008 memberi ruang fiskal yang luas bagi pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik. Namun, dalam praktiknya, efektivitas penggunaan dana ini sering dipertanyakan. Banyak laporan menunjukkan bahwa sebagian besar dana terserap untuk belanja rutin, bukan investasi produktif yang mendorong transformasi ekonomi. Ketergantungan pada dana pusat menjadikan ekonomi Aceh rentan dan kurang inovatif. Tingkat kemiskinan di beberapa kabupaten tetap tinggi, sementara kesenjangan antarwilayah masih mencolok. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pasca-konflik tidak dapat bertumpu hanya pada transfer fiskal, melainkan membutuhkan perubahan paradigma dari konsumsi menuju produktivitas.

Meski demikian, Aceh juga mengalami kemajuan signifikan dalam bidang infrastruktur sosial. Pendidikan dan kesehatan mulai membaik, angka literasi masyarakat meningkat, dan layanan dasar menjangkau wilayah pedesaan. Peran lembaga pendidikan Islam dan pesantren kembali menguat, menjadi ruang rekonsiliasi moral dan spiritual bagi masyarakat yang sempat tercerai-berai oleh konflik. Rekonstruksi fisik pasca-tsunami yang dilakukan dengan dukungan lembaga internasional turut mendorong kebangkitan sosial. Jalan-jalan baru, pelabuhan, dan fasilitas publik yang dibangun di bawah program Rehabilitation and Reconstruction Agency for Aceh and Nias (BRR) menghubungkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi oleh konflik. Infrastruktur ini tidak hanya memulihkan mobilitas ekonomi, tetapi juga memperkuat kohesi sosial antarwilayah.

Dalam bidang politik, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjadi dasar legal bagi otonomi luas. Melalui peraturan ini, Aceh memiliki hak menetapkan qanun atau peraturan daerah yang berakar pada nilai Islam dan adat setempat. Eksperimen politik ini unik karena Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariat dalam skala daerah. Di satu sisi, penerapan syariat memperkuat identitas keislaman masyarakat Aceh; namun demikian, di sisi lain juga menimbulkan perdebatan tentang batas antara moralitas publik dan hak asasi manusia. Di luar kontroversinya, otonomi hukum ini menunjukkan keberanian negara untuk mengakomodasi keragaman normatif dalam bingkai kesatuan nasional.

Perubahan besar lainnya tampak dalam hubungan sipil–militer. Pasca-Helsinki, TNI menata ulang kehadirannya di Aceh melalui transformasi dari pendekatan operasi militer ke peran pembangunan dan kemanusiaan. Program pembinaan teritorial yang dikembangkan oleh Kodam Iskandar Muda diarahkan untuk memperkuat ketahanan masyarakat, membangun kembali kepercayaan publik, serta mendorong kolaborasi lintas sektor. Kegiatan karya bakti, pembinaan potensi maritim, dan pelatihan bela negara menjadi medium komunikasi sosial yang mempertemukan kembali tentara dan rakyat dalam suasana damai. TNI di Aceh kini lebih dikenal karena kiprahnya dalam penanggulangan bencana, pendidikan, dan pembangunan desa ketimbang operasi militer. Perubahan ini mencerminkan paradigma baru pertahanan Indonesia yang menempatkan kesejahteraan sebagai pilar utama keamanan nasional.

Namun, tidak semua perubahan berjalan tanpa ketegangan. Munculnya partai-partai lokal, terutama Partai Aceh yang lahir dari basis eks-kombatan, mengubah lanskap politik daerah secara drastis. Dalam sepuluh tahun pertama, dominasi Partai Aceh menciptakan stabilitas relatif, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan tersumbatnya regenerasi politik. Seiring waktu, fragmentasi internal dan munculnya generasi muda yang lebih kritis membuka ruang bagi pluralisme politik baru di Aceh. Kompetisi ini menjadi tanda kedewasaan demokrasi lokal, namun juga menimbulkan risiko polarisasi jika tidak dikelola dengan baik.

Tantangan lain yang muncul dalam periode pasca-konflik adalah ketimpangan sosial dan melemahnya etos kolektif. Bagi sebagian masyarakat, perdamaian belum sepenuhnya membawa kesejahteraan. Beberapa wilayah pedesaan masih terjebak dalam kemiskinan, sementara elite politik menikmati privilese ekonomi dan kekuasaan. Kondisi ini menciptakan rasa frustrasi yang, jika dibiarkan, dapat menumbuhkan apatisme dan memperlemah legitimasi pemerintahan lokal. Di sisi lain, muncul ancaman baru berupa intoleransi dan ekstremisme yang menumpang pada simbol keagamaan. Aceh yang dulu dikenal sebagai masyarakat religius dan toleran kini menghadapi ujian dalam menjaga keseimbangan antara nilai Islam, keterbukaan, dan kemanusiaan universal.

Dua puluh tahun pasca-perjanjian damai, Aceh berdiri di persimpangan antara konsolidasi dan stagnasi. Di satu sisi, perdamaian telah bertahan lebih lama dari yang diprediksi banyak pengamat; di sisi lain, kualitas perdamaian itu sendiri masih belum mencapai positive peace yang ditandai oleh keadilan sosial dan kesejahteraan merata. MoU Helsinki memang menghentikan konflik bersenjata, tetapi perdamaian sejati menuntut lebih dari sekadar ketiadaan kekerasan, namun menuntut kehadiran tata kelola yang baik, ekonomi yang inklusif, dan masyarakat yang berdaya.

Dari sudut pandang pertahanan nasional, keberhasilan menjaga stabilitas Aceh memiliki arti strategis bagi Indonesia. Aceh terletak di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Samudra Hindia dan Selat Malaka, kawasan yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan dan keamanan maritim global. Stabilitas Aceh bukan hanya kepentingan lokal, melainkan bagian dari strategi besar menjaga kedaulatan dan keseimbangan Indo-Pasifik. Keamanan yang tumbuh dari pembangunan dan kepercayaan sosial di Aceh memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim yang stabil dan berdaulat. Dalam kerangka ini, pengalaman Aceh dapat dijadikan model untuk pembangunan perdamaian di wilayah-wilayah lain yang memiliki sejarah konflik, seperti Papua atau Poso, dengan menekankan bahwa kekuatan militer dan kesejahteraan sosial bukan dua hal yang berlawanan, melainkan dua sisi dari satu kesatuan pertahanan bangsa.

Refleksi atas dua dekade pasca-Helsinki menunjukkan bahwa perdamaian Aceh adalah proses belajar kolektif. Meskipun tidak sempurna, namun terus bergerak menuju kematangan. Pemerintah pusat belajar untuk lebih sensitif terhadap aspirasi lokal; masyarakat Aceh belajar bahwa kemandirian tidak berarti keterpisahan dari republik; dan TNI belajar bahwa kekuatan moral dalam menjaga perdamaian sering kali lebih besar daripada kekuatan senjata. Dalam dialektika inilah terbentuk fondasi bagi apa yang dapat disebut sebagai sustainable peace, yang bermakna sebagai suatu perdamaian yang hidup, tumbuh, dan terus diperbarui oleh kesadaran bersama akan pentingnya keadilan dan persaudaraan nasional.

Perjalanan Aceh dari konflik menuju perdamaian adalah kisah tentang kemampuan Bangsa Indonesia untuk mengubah luka menjadi pelajaran, trauma menjadi tekad, dan perpecahan menjadi energi moral bagi pembangunan nasional. Tantangan masih banyak, tetapi setiap langkah kecil menuju keadilan sosial adalah bagian dari pertahanan yang paling kokoh: pertahanan yang berakar pada hati rakyat.

TNI dan Stabilitas Keamanan di NAD

Transformasi Aceh dari medan konflik menjadi wilayah yang damai tidak dapat dilepaskan dari peran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam sejarah panjang konflik Aceh, TNI bukan hanya aktor keamanan, tetapi juga simbol negara yang menghadapi ujian moral dan strategis: bagaimana menegakkan kedaulatan tanpa kehilangan legitimasi di mata rakyat. Perjalanan TNI di Aceh merepresentasikan evolusi paradigma pertahanan Indonesia itu sendiri, yang berkembang dari pendekatan represif menuju humanistik, dari operasi tempur menuju pertahanan melalui pembangunan (defense by development). Perubahan ini bukan hanya hasil kebijakan politik nasional, tetapi juga buah dari refleksi institusional yang mendalam tentang makna sejati pertahanan rakyat semesta dalam konteks masyarakat pasca-konflik.

Pada masa Orde Baru, TNI hadir di Aceh dalam kerangka doktrin keamanan nasional yang menempatkan stabilitas sebagai prasyarat pembangunan. Dalam situasi ancaman separatisme, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989. Kebijakan ini memberi wewenang luas bagi TNI untuk mengendalikan keamanan, tetapi juga melahirkan pelanggaran HAM dan trauma sosial yang mendalam. Banyak warga sipil mengalami kekerasan, penghilangan, dan pembatasan kebebasan. Operasi militer berhasil menekan perlawanan GAM secara taktis, namun gagal meraih kemenangan strategis karena mengikis kepercayaan rakyat terhadap negara. Pengalaman pahit masa DOM menjadi pelajaran historis yang berharga bagi TNI: bahwa kekuatan militer yang besar tanpa legitimasi moral justru dapat melemahkan posisi negara di mata rakyatnya sendiri.

Setelah perjanjian damai Helsinki tahun 2005, TNI dihadapkan pada tantangan baru, yakni: bagaimana menjaga keamanan tanpa mengulang luka masa lalu. Pasukan non-organik ditarik, pos-pos militer dibongkar, dan operasi tempur dihentikan. Dalam konteks inilah, TNI melakukan reposisi peran secara mendasar. Pendekatan keamanan digantikan oleh strategi pembinaan teritorial yang berorientasi pada kemanusiaan, pembangunan, dan rekonsiliasi sosial. Melalui Komando Daerah Militer Iskandar Muda, TNI menghidupkan kembali filosofi “tentara rakyat” dengan memperkuat keterlibatan sosial di tingkat desa. Kegiatan karya bakti, bantuan kemanusiaan, pelatihan bela negara, dan program ketahanan pangan menjadi instrumen baru yang menggantikan operasi militer. Keamanan tidak lagi dipertahankan dengan senjata, tetapi dengan kepercayaan.

Pendekatan teritorial TNI di Aceh pasca-konflik menunjukkan bentuk nyata dari konsep human security. Dalam konteks ini, keamanan dipahami bukan semata sebagai ketiadaan ancaman fisik, melainkan sebagai kondisi di mana masyarakat merasa aman secara sosial, ekonomi, dan psikologis. TNI menjadi fasilitator dalam membangun ketahanan sosial masyarakat, terutama di wilayah pedalaman dan perbatasan. Program pembinaan potensi pertahanan rakyat dilakukan bersamaan dengan pemberdayaan ekonomi lokal, misalnya melalui pelatihan usaha kecil, pengelolaan lahan pertanian, dan perbaikan infrastruktur desa. Pendekatan ini melahirkan efek ganda: memperkuat daya tahan ekonomi masyarakat sekaligus memperluas basis dukungan sosial terhadap negara.

Selain itu, TNI juga berperan penting dalam penanggulangan bencana di Aceh, terutama setelah tsunami 2004. Keterlibatan langsung dalam evakuasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi korban menunjukkan sisi kemanusiaan yang kuat dari militer Indonesia. Citra TNI yang sebelumnya identik dengan kekerasan berangsur berubah menjadi kekuatan yang melindungi dan menolong. Kecepatan TNI dalam memulihkan jaringan transportasi, membangun fasilitas publik, dan bekerja sama dengan lembaga internasional memperkuat kepercayaan masyarakat bahwa militer bukan hanya alat negara, tetapi juga bagian dari rakyat yang siap berkorban demi kemanusiaan. Momen ini menjadi fase penting dalam rekonsiliasi sosial antara TNI dan masyarakat Aceh.

Di bidang pendidikan dan kesadaran kebangsaan, TNI berperan sebagai penjaga ideologi dan semangat nasionalisme yang inklusif. Melalui kegiatan komunikasi sosial dan wawasan kebangsaan, TNI berupaya menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika di tengah masyarakat yang sempat terfragmentasi oleh ide separatisme. Pendekatan ini dilakukan dengan hati-hati dan berbasis kultural, menghargai identitas Islam dan adat Aceh yang kuat. Para Babinsa, sebagai ujung tombak TNI di lapangan, menjadi jembatan antara negara dan masyarakat, bukan sebagai pengawas, tetapi sebagai mitra sosial yang mendengarkan aspirasi rakyat. Hubungan yang egaliter antara prajurit dan warga sipil inilah yang memperkokoh fondasi perdamaian.

Transformasi TNI di Aceh juga mencerminkan perubahan konseptual yang lebih luas dalam doktrin pertahanan Indonesia. Jika pada masa lalu pertahanan difokuskan pada ancaman militer konvensional, kini TNI melihat bahwa ancaman non-militer seperti kemiskinan, bencana alam, radikalisme, dan disintegrasi sosial memiliki potensi yang sama besarnya dalam mengancam kedaulatan bangsa. Oleh karena itu, TNI menempatkan pembangunan sebagai bagian integral dari pertahanan. Konsep defense by development menjadi aktualisasi dari strategi pertahanan rakyat semesta dalam konteks modern. Pembangunan sosial dan ekonomi di Aceh bukan hanya urusan pemerintah sipil, tetapi juga bagian dari misi pertahanan nasional, karena rakyat yang sejahtera adalah benteng yang paling kuat.

Dalam hal diplomasi dan kerja sama sipil-militer, pengalaman TNI di Aceh telah menjadi model bagi pelaksanaan misi serupa di wilayah lain. Pengalaman ini menunjukkan bahwa keberhasilan menjaga stabilitas bukan semata karena kekuatan koersif, tetapi karena kemampuan beradaptasi, berempati, dan berinovasi dalam menjalankan tugas pertahanan. TNI di Aceh telah membangun citra baru sebagai institusi yang cerdas dan berorientasi pada kemanusiaan, selaras dengan visi TNI sebagai kekuatan yang profesional, tangguh, dan dicintai rakyat. Transformasi ini memperkuat legitimasi TNI di mata publik dan sekaligus memperkaya pemikiran akademis tentang hubungan sipil–militer di negara demokrasi berkembang.

Namun demikian, perjalanan TNI di Aceh bukan tanpa tantangan. Dalam dua dekade pasca-Helsinki, dinamika politik lokal yang sering diwarnai oleh pragmatisme dan fragmentasi elite berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Ketika politik kehilangan arah moral, masyarakat menoleh kembali kepada TNI sebagai simbol ketertiban dan disiplin. Kondisi ini menempatkan TNI pada posisi dilematis: di satu sisi harus menjaga jarak dari politik praktis, di sisi lain tidak dapat mengabaikan dampak politik terhadap keamanan masyarakat. TNI di Aceh mengelola dilema ini dengan strategi halus: hadir tanpa mendominasi, berperan tanpa mendikte. Keseimbangan antara netralitas politik dan tanggung jawab sosial menjadi fondasi profesionalisme yang sejati.

Selain aspek sosial-politik, TNI juga berkontribusi dalam memperkuat ekonomi lokal Aceh melalui pendekatan territorial economic empowerment. Program ketahanan pangan, pengelolaan sumber daya pesisir, dan pembangunan koperasi prajurit bekerja sama dengan masyarakat menjadi contoh konkret dari integrasi pertahanan dan pembangunan. Dengan memberdayakan masyarakat dalam rantai ekonomi produktif, TNI turut menurunkan potensi konflik sosial akibat pengangguran dan ketimpangan. Dalam banyak kasus, kehadiran TNI di lapangan bahkan berfungsi sebagai katalis untuk mempertemukan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat dalam kolaborasi pembangunan. Inilah esensi pertahanan semesta yang modern: kolaboratif, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan.

Dalam dimensi moral, pengalaman TNI di Aceh menghidupkan kembali semangat “tentara pejuang, tentara rakyat, tentara profesional.” Nilai pengabdian dan solidaritas sosial menjadi inti dari operasi non-tempur yang dijalankan dengan dedikasi tinggi. Para prajurit yang dulu berperang kini menjadi pelindung masyarakat yang mereka jaga. Transisi dari pertempuran ke perdamaian ini memerlukan ketahanan moral yang luar biasa, karena yang dihadapi bukan lagi musuh bersenjata, melainkan kompleksitas kemiskinan, ketimpangan, dan kerapuhan sosial. Dalam setiap langkahnya, TNI di Aceh tidak hanya menjaga keamanan teritorial, tetapi juga mengajarkan arti keberanian yang lebih tinggi: keberanian untuk mendengarkan, memaafkan, dan membangun.

Peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional di Aceh juga berdampak luas terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia. Keberhasilan TNI mengelola transisi pasca-konflik tanpa kembali pada pola militeristik memperkuat posisi militer sebagai institusi profesional dalam sistem demokrasi. TNI menunjukkan bahwa stabilitas dapat dicapai tanpa mengorbankan kebebasan, dan disiplin dapat berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aceh menjadi laboratorium hubungan sipil–militer yang berhasil, di mana militer menjadi mitra masyarakat dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan.

Kini, dua puluh tahun setelah senjata diletakkan, wajah TNI di Aceh telah berubah total. Ia bukan lagi bayangan yang menakutkan di balik pos jaga, melainkan sahabat dalam kehidupan sehari-hari rakyat Aceh. Dari pelatihan wirausaha hingga pembangunan masjid dan sekolah, dari membantu panen hingga mengawal logistik bencana, TNI hadir dengan wajah kemanusiaan yang sejuk. Transformasi ini membuktikan bahwa kekuatan terbesar TNI bukanlah pada kemampuan tempurnya, melainkan pada kemampuannya menjaga kepercayaan. Dalam kepercayaan itulah letak inti dari pertahanan yang sesungguhnya.

Maka, ketika Aceh kini berdiri sebagai provinsi yang damai dan berdaulat dalam kerangka NKRI, di dalamnya tersimpan kontribusi besar TNI sebagai penjaga perdamaian yang tidak hanya mempertahankan wilayah, tetapi juga memulihkan martabat bangsa. Dengan lahirnya  solidaritas baru dan tumbuhnya kekuatan moral yang memperteguh semangat kebangsaan, Aceh telah mengajarkan kepada Bangsa Indonesia bahwa stabilitas nasional tidak pernah dibangun di atas ketakutan, melainkan di atas kepercayaan dan kesejahteraan yang dirajut bersama antara rakyat dan segenap komponen bangsa, termasuk tentara di dalamnya.

Pembangunan Inklusif Sebagai Pilar Perdamaian Yang Berkelanjutan

Perdamaian sejati tidak pernah berdiri di atas ketiadaan konflik bersenjata semata; namun tumbuh dari tumbuh suburnya keadilan, kerja sama, dan kesejahteraan. Bagi Aceh, dua dekade pasca-Helsinki menunjukkan bahwa keamanan yang berkelanjutan hanya dapat dijaga bila ditopang oleh pembangunan yang inklusif, pembangunan yang memulihkan martabat manusia, memperkuat solidaritas sosial, dan membuka ruang partisipasi bagi setiap warga tanpa memandang latar belakang masa lalu. Dalam hal ini, pembangunan bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan jembatan moral antara negara dan rakyat, antara masa lalu yang terbelah dan masa depan yang ingin disatukan.

Dalam konteks pasca-konflik, pembangunan memiliki makna ganda: pemulihan dan transformasi. Pemulihan berarti memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial yang hancur akibat perang dan bencana, sementara transformasi mengandung upaya untuk mengubah pola hubungan sosial yang sebelumnya sarat kecurigaan menjadi kerja sama yang produktif. Aceh telah melalui fase pemulihan yang cukup intensif dengan bantuan internasional dan dukungan pemerintah pusat, tetapi transformasi yang lebih mendalam masih terus berjalan. Tantangan terbesar bukan lagi membangun jalan, jembatan, atau gedung pemerintahan, melainkan membangun kepercayaan, mentalitas, dan kapasitas manusia.

Konsep pembangunan inklusif berakar pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bermakna apabila menghasilkan keadilan sosial. Dalam masyarakat yang pernah mengalami konflik, ketimpangan ekonomi mudah berubah menjadi sumber ketegangan baru. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan di Aceh harus diarahkan pada pemerataan kesempatan, bukan sekadar peningkatan angka makroekonomi. Penguatan ekonomi lokal melalui pertanian, perikanan, dan usaha kecil menjadi kunci untuk menumbuhkan ketahanan masyarakat dari bawah. Ketika masyarakat di desa-desa pesisir mampu mengelola sumber daya lautnya secara berkelanjutan, atau petani di pedalaman dapat menikmati akses terhadap pasar dan teknologi, maka rasa aman akan tumbuh secara alami. Rakyat yang memiliki penghidupan layak tidak mudah diseret ke dalam konflik baru, karena mereka telah memiliki investasi emosional terhadap perdamaian.

Pembangunan inklusif di Aceh juga menuntut integrasi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial. Pendidikan, misalnya, memainkan peran fundamental dalam mencegah reproduksi siklus kemiskinan dan kekerasan. Sekolah dan pesantren tidak hanya menjadi ruang transfer pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan nilai-nilai toleransi, disiplin, dan solidaritas. Pendidikan yang sensitif terhadap trauma konflik dapat membantu generasi muda memahami masa lalu tanpa mewarisi dendamnya. Dalam banyak komunitas di Aceh, inisiatif pendidikan berbasis masyarakat telah menjadi media efektif untuk rekonsiliasi. Semua yang berasal dari berbagai latar belakang duduk di ruang kelas yang sama, belajar bersama tentang perdamaian dan kebangsaan. Dari ruang kecil itulah masa depan damai Aceh dibentuk.

Dimensi lain dari pembangunan inklusif adalah kesetaraan gender. Perempuan Aceh memainkan peran yang luar biasa dalam menjaga kehidupan selama perang dan memulihkan tatanan sosial pasca-konflik. Mereka bukan sekadar korban, tetapi juga aktor perdamaian. Banyak program pemberdayaan perempuan yang muncul setelah 2005, mulai dari pelatihan kewirausahaan hingga partisipasi dalam pemerintahan desa. Namun, kendala budaya dan struktural masih membatasi ruang gerak mereka. Untuk menjadikan perdamaian berkelanjutan, kebijakan publik harus memberi ruang yang lebih besar bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, baik di ranah ekonomi maupun politik. Keadilan gender bukan hanya persoalan moral, melainkan juga fondasi pragmatis bagi stabilitas sosial.

Pembangunan yang berkelanjutan juga memerlukan perhatian serius terhadap lingkungan hidup. Aceh yang kaya hutan dan sumber daya alam menghadapi ancaman deforestasi, penambangan ilegal, dan degradasi ekosistem pesisir. Pengelolaan lingkungan yang tidak bijak berpotensi memunculkan konflik sumber daya di masa depan. Dalam kerangka human security, kerusakan lingkungan adalah bentuk kekerasan struktural yang mengancam kehidupan generasi mendatang. Oleh karena itu, pembangunan Aceh harus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ekologis, dengan menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasanya. Program reboisasi, energi terbarukan, dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas dapat menjadi jalan untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab ekologis.

Di bidang tata kelola, pembangunan inklusif mensyaratkan transparansi dan partisipasi. Otonomi khusus memberikan ruang fiskal besar kepada Aceh, namun tanpa pengawasan yang kuat, dana itu mudah terjebak dalam praktik patronase dan korupsi. Pembangunan yang tertutup hanya memperpanjang ketimpangan dan memperlemah legitimasi pemerintah. Sebaliknya, keterbukaan anggaran, partisipasi masyarakat sipil, dan kolaborasi lintas sektor akan memperkuat kepercayaan sosial. Dalam hal ini, model penta-helix governance yang melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, dan media dapat menjadi platform strategis untuk memastikan pembangunan berjalan secara transparan dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.

Peran TNI dalam konteks pembangunan inklusif sejatinya sangat signifikan. Dengan jaringan teritorial yang menjangkau hingga pelosok, TNI memiliki kapasitas untuk mendukung program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Melalui pendekatan kemitraan, TNI dapat berperan sebagai penggerak partisipasi warga dan pelindung sumber daya vital. Sinergi antara TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil akan memperkuat pondasi keamanan manusia yang menjadi inti dari perdamaian berkelanjutan.

Dalam dua dekade terakhir, Aceh telah menunjukkan kemajuan yang substansial. Namun, perdamaian belum sepenuhnya berakar kuat bila kesenjangan sosial masih terasa dan generasi muda belum merasakan manfaat konkret dari otonomi. Oleh karena itu, arah pembangunan Aceh ke depan harus mengedepankan nilai inklusivitas dan keberlanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa pemerataan hanya akan melahirkan ketidakpuasan baru, sementara keadilan sosial tanpa produktivitas ekonomi tidak akan mampu menopang kemandirian daerah. Sinergi antara keduanya menjadi kunci.

Pembangunan inklusif di Aceh bukan semata proyek pemerintah, melainkan gerakan sosial yang menuntut kesadaran kolektif. Ia memerlukan integritas politik, kreativitas ekonomi, dan kepekaan moral. Ketika setiap warga merasa dilibatkan dan dihargai, ketika pembangunan tidak hanya berbicara tentang angka tetapi tentang martabat, maka perdamaian akan memiliki akar yang dalam. Dari sanalah keamanan sejati tumbuh, bukan dari rasa takut, melainkan dari rasa memiliki terhadap tanah air dan masa depan yang diperjuangkan bersama.

Dengan demikian, pembangunan inklusif menjadi bukan hanya pilar ekonomi, melainkan juga pilar moral bagi perdamaian Aceh. Ia mengubah paradigma dari “pembangunan untuk rakyat” menjadi “pembangunan oleh rakyat dan bersama rakyat.” Dalam semangat itu, perdamaian Aceh tidak lagi bergantung pada perjanjian di atas kertas, tetapi hidup dalam keseharian masyarakatnya, baik di sawah dan pasar, di sekolah dan masjid, hingga di ruang dialog antara pemerintah, ulama, dan rakyat. Selama pembangunan dijalankan dengan semangat keadilan, maka perdamaian akan terus bersemi; dan selama rakyat merasa memiliki masa depannya sendiri, maka tidak ada kekuatan yang mampu memecahkannya lagi.

Kemanan Manusia dan Ketahanan Sosial di Era Globalisasi

Perdamaian yang telah dibangun di Aceh selama dua dekade terakhir tidak dapat dipisahkan dari dinamika global yang terus berubah. Dunia pasca-Perang Dingin memasuki era yang ditandai oleh keterhubungan ekonomi, arus informasi yang tanpa batas, dan munculnya ancaman-ancaman non-tradisional yang melampaui batas negara. Dalam konteks ini, konsep keamanan bergeser secara mendasar dari paradigma militeristik menuju paradigma manusia-sentris. Aceh, sebagai wilayah yang pernah menjadi titik rawan konflik dan kini menjadi bagian integral dari sistem global, menghadapi tantangan baru yang menuntut redefinisi terhadap apa yang dimaksud dengan “aman” dan “tangguh” di abad ke-21.

Konsep human security, sebagaimana diperkenalkan oleh UNDP (1994), memberikan kerangka konseptual yang relevan untuk membaca transformasi Aceh. Keamanan manusia menempatkan individu bukan hanya sebagai objek perlindungan, tetapi juga sebagai subjek pembangunan. Keamanan tidak lagi diukur dari kekuatan militer, melainkan dari kemampuan manusia untuk hidup bebas dari rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want). Dalam konteks Aceh, pendekatan ini menuntut pemahaman baru terhadap keamanan: bahwa ancaman terbesar bagi masyarakat mungkin bukan lagi peluru atau bom, melainkan kemiskinan, degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan radikalisme yang tumbuh dari frustrasi dan keterasingan.

Globalisasi membawa peluang sekaligus risiko. Integrasi ekonomi global memberikan akses yang lebih luas terhadap pasar, teknologi, dan investasi, namun pada saat yang sama memperbesar kesenjangan antara mereka yang memiliki akses dan yang tidak. Di NAD, keterhubungan global membuka peluang baru dalam sektor pariwisata, perikanan, dan perdagangan halal, tetapi juga menimbulkan tantangan bagi ketahanan budaya dan ekonomi lokal. Produk-produk dari luar masuk dengan cepat, sementara nilai-nilai tradisional yang menjadi fondasi sosial masyarakat Aceh menghadapi tekanan modernisasi. Dalam situasi ini, ketahanan sosial menjadi benteng utama untuk memastikan bahwa perubahan global tidak menggerus identitas lokal, melainkan memperkaya dan memperkuatnya.

Ketahanan sosial (social resilience) dapat dipahami sebagai kemampuan komunitas untuk beradaptasi terhadap perubahan, mempertahankan fungsi sosialnya, dan bangkit dari krisis. Dalam masyarakat Aceh, ketahanan sosial terwujud melalui jaringan solidaritas berbasis adat, agama, dan komunitas. Tradisi gotong royong, lembaga keagamaan seperti dayah, serta norma-norma adat seperti meusyawarah dan peumulia jamee (memuliakan tamu) menjadi modal sosial yang luar biasa kuat. Nilai-nilai ini terbukti memainkan peran penting dalam mempercepat pemulihan pasca-konflik dan pasca-tsunami. Namun di era digital, bentuk-bentuk solidaritas ini menghadapi ujian baru. Media sosial, misalnya, dapat menjadi sarana memperkuat komunikasi, tetapi juga dapat memicu polarisasi dan disinformasi yang mengancam kohesi sosial.

Dalam dua dekade terakhir, ancaman terhadap keamanan manusia di Aceh semakin kompleks. Radikalisme ideologis, kejahatan siber, perdagangan manusia, dan degradasi lingkungan menuntut pendekatan keamanan yang lebih integratif. Radikalisme, misalnya, sering muncul bukan karena pengaruh ideologi semata, tetapi karena kekecewaan sosial dan ekonomi yang belum terselesaikan. Ketika sebagian generasi muda merasa terpinggirkan dari manfaat perdamaian, mereka rentan terhadap narasi ekstrem yang menawarkan identitas dan makna baru. Oleh karena itu, strategi keamanan di Aceh harus berpijak pada pencegahan yang bersifat sosial dan edukatif, bukan semata represif. Pendidikan damai, literasi digital, dan pemberdayaan ekonomi generasi muda merupakan bentuk baru dari preventive defense yang lebih relevan di era global.

Selain ancaman sosial, Aceh juga menghadapi ancaman ekologis yang semakin nyata. Perubahan iklim global telah meningkatkan frekuensi banjir, longsor, dan kenaikan permukaan laut di wilayah pesisir. Sebagai daerah yang pernah hancur oleh bencana alam besar, Aceh memiliki memori kolektif tentang pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi. Namun, memori itu harus diubah menjadi kebijakan yang sistematis dan terencana. Ketahanan sosial tidak dapat dipisahkan dari ketahanan ekologis. Masyarakat yang hidup berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya akan memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik terhadap perubahan iklim. Dalam konteks ini, program reboisasi, konservasi hutan, dan energi terbarukan bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga bagian dari strategi pertahanan non-militer yang memperkuat stabilitas jangka panjang.

TNI dan lembaga-lembaga keamanan lainnya memiliki peran penting dalam memperkuat ketahanan sosial dan keamanan manusia di Aceh. Melalui pendekatan whole of society, TNI menjadi mitra strategis pemerintah daerah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana, pemberdayaan ekonomi, dan edukasi kebangsaan. Pengalaman TNI dalam operasi kemanusiaan dan pembangunan infrastruktur pedesaan menjadi model yang efektif untuk memperkuat ketahanan sosial. Kolaborasi lintas sektor ini memperlihatkan bahwa pertahanan nasional bukan lagi semata urusan angkatan bersenjata, melainkan sinergi seluruh elemen bangsa yang bergerak dalam semangat kolektif untuk menjaga kehidupan.

Selain itu, dalam konteks globalisasi digital, keamanan informasi menjadi dimensi baru dari keamanan manusia. Disinformasi, ujaran kebencian, dan propaganda online dapat merusak tatanan sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Di NAD, penyebaran narasi-narasi intoleran atau berita palsu tentang agama dan identitas berpotensi menimbulkan konflik horizontal baru. Oleh karena itu, penguatan literasi digital, kontrol sosial berbasis komunitas, dan kehadiran negara di ruang siber menjadi aspek penting dari resilience-based peacebuilding. Keamanan di era modern tidak lagi hanya dijaga oleh batas wilayah, tetapi juga oleh kualitas kesadaran masyarakat dalam menggunakan informasi secara bijak.

Keamanan manusia dan ketahanan sosial juga menuntut adanya inklusivitas dalam partisipasi warga. Generasi muda Aceh harus diberi ruang yang lebih luas untuk berkontribusi dalam pembangunan dan pemerintahan. Mereka adalah generasi yang tidak mengalami perang secara langsung, namun mewarisi dampaknya. Bagi mereka, perdamaian bukanlah kenangan, melainkan tugas yang harus dilanjutkan. Menumbuhkan kesadaran generasi muda tentang nilai perdamaian dan tanggung jawab sosial menjadi investasi strategis bagi stabilitas masa depan. Sekolah, universitas, dan organisasi kepemudaan perlu menjadi pusat pembelajaran nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan kepemimpinan yang berakar pada budaya Aceh.

Dengan demikian, keamanan manusia di Aceh tidak dapat dicapai tanpa ketahanan sosial, dan ketahanan sosial tidak dapat terpelihara tanpa keadilan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Keduanya membentuk ekosistem perdamaian yang dinamis, di mana masyarakat bukan hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Globalisasi mungkin membawa ancaman, tetapi ia juga menyediakan peluang besar bagi Aceh untuk menjadi model perdamaian adaptif di kawasan Asia Tenggara, sebagai sebuah wilayah yang mampu berdialog antara tradisi dan modernitas, antara identitas lokal dan keterbukaan global.

Pada akhirnya, ketahanan sosial Aceh tidak hanya bergantung pada struktur pemerintahan atau program pembangunan, tetapi pada kesadaran moral masyarakatnya sendiri. Selama nilai-nilai solidaritas, gotong royong, dan religiositas tetap hidup, maka Aceh akan mampu melewati setiap badai zaman. Keamanan manusia sejati bukanlah ketiadaan ancaman, melainkan kemampuan kolektif untuk tetap berdiri dan melangkah bersama, apapun tantangannya. Dalam semangat itulah, Aceh yang pernah terpecah kini berdiri sebagai simbol bahwa perdamaian bukan warisan yang rapuh, melainkan keteguhan jiwa yang terus diperbarui di tengah perubahan dunia.

Nanggroe Aceh Darussalam dalam Bingkai NKRI

Proses memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI, dimana Nanggroe Aceh Darussalam adalah bagian esensial didalamnya, merupakan salah satu proses politik dan sosial paling penting dalam sejarah modern bangsa ini. Proses ini bukan sekadar peristiwa administratif yang diatur melalui perjanjian damai, tetapi juga proses psikologis, moral, dan budaya yang menuntut perubahan cara pandang dari kedua belah pihak, baik cara pandang negara terhadap Aceh, dan Aceh terhadap negara. Dua dekade setelah perjanjian Helsinki, proses ini telah menghasilkan stabilitas politik yang relatif kokoh, tetapi perjalanan menuju integrasi yang sepenuhnya matang masih terus berlangsung. Dalam konteks ini, diplomasi dan rekonsiliasi menjadi dua wajah dari satu proses yang sama: membangun kembali jembatan kepercayaan antara pusat dan daerah, antara kenangan luka dan cita-cita kebangsaan yang baru.

Sejarah hubungan Aceh dengan negara Indonesia sejak awal kemerdekaan selalu diwarnai oleh dialektika antara integrasi dan otonomi. Dari peran besar Aceh dalam mendukung perjuangan kemerdekaan, hingga pemberontakan Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka, narasi politik Aceh selalu menempatkan dirinya dalam posisi “berdialog keras” dengan negara. Dalam perspektif sejarah, konflik yang panjang itu adalah ekspresi dari dua kebutuhan yang sama-sama sah: kebutuhan Aceh untuk diakui martabat dan identitasnya, serta kebutuhan negara untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatannya. Perjanjian Helsinki menjadi titik temu dari dua kebutuhan tersebut, bukan dengan memaksakan keseragaman, tetapi dengan memberikan ruang bagi keragaman untuk tumbuh dalam kesatuan.

Diplomasi nasional yang dijalankan pemerintah Indonesia pasca-Helsinki menunjukkan kematangan politik dalam mengelola pluralitas. Pemberian status otonomi khusus kepada Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 adalah bentuk pengakuan negara terhadap sejarah dan kekhasan Aceh, sekaligus komitmen untuk menyelesaikan konflik melalui jalur politik, bukan kekerasan. Dalam kerangka ini, diplomasi tidak hanya berarti hubungan antarnegara, tetapi juga cara negara berdialog dengan rakyatnya sendiri. Diplomasi domestik semacam ini menjadi elemen penting dari nation-building, karena memperkuat legitimasi moral negara di mata masyarakat. Aceh bukan lagi diposisikan sebagai wilayah yang harus dikendalikan, melainkan sebagai mitra dalam membangun republik yang adil dan damai.

Namun, reintegrasi politik tidak serta-merta berarti reintegrasi sosial dan kultural. Trauma masa konflik masih hidup dalam memori kolektif masyarakat. Banyak keluarga kehilangan anggota, banyak desa kehilangan generasi produktifnya. Karena itu, proses rekonsiliasi di Aceh tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme hukum atau politik, tetapi membutuhkan ruang penyembuhan sosial yang lebih dalam. Upaya seperti pembangunan monumen perdamaian, penyelenggaraan doa bersama lintas kelompok, dan pemberian kompensasi kepada korban hanyalah sebagian dari proses yang lebih luas: membangun narasi baru tentang kebersamaan. Aceh harus belajar memandang masa lalunya bukan sebagai beban yang memisahkan, tetapi sebagai pelajaran yang menyatukan.

Dalam proses ini, budaya dan agama memainkan peran diplomatik yang sangat penting. Identitas keislaman Aceh yang kuat bukan ancaman bagi nasionalisme Indonesia, tetapi justru kekayaan yang memperkuat fondasi moral negara. Islam Aceh yang berakar pada tradisi tasawuf dan nilai-nilai damai memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antara lokalitas dan universalitas. Ulama, dayah, dan lembaga adat seperti Majelis Adat Aceh menjadi aktor penting dalam memperkuat narasi kebangsaan yang sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Dalam banyak kesempatan, mereka berperan sebagai mediator sosial yang meredam potensi konflik dan mengarahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, diplomasi kebudayaan Aceh berlangsung bukan di forum internasional, tetapi dalam keseharian masyarakatnya sendiri, diantaranya melalui khutbah, pengajian, upacara adat, dan kehidupan sosial yang menanamkan semangat cinta damai dan cinta tanah air.

Proses ini juga tercermin dalam partisipasi Aceh dalam politik nasional. Munculnya tokoh-tokoh Aceh di tingkat nasional, baik di pemerintahan, parlemen, maupun dunia akademik, menjadi tanda bahwa proses rekonsiliasi berjalan menuju arah yang sehat. Namun, dinamika politik lokal sering kali menunjukkan paradoks. Di satu sisi, otonomi memberikan ruang bagi ekspresi politik lokal; di sisi lain, ia menciptakan fragmentasi dan persaingan antar-elite yang terkadang memperlemah kohesi sosial. Tantangan bagi Aceh ke depan adalah bagaimana mengubah otonomi politik menjadi wahana kolaborasi, bukan kompetisi. Otonomi harus dimaknai bukan sebagai pemisahan dari pusat, tetapi sebagai bentuk kematangan dalam mengelola kemandirian di dalam kerangka kebangsaan yang lebih besar.

Dari perspektif hubungan sipil–militer, diplomasi integrasi NAD dalam bingkai NKRI memperlihatkan model kemitraan yang konstruktif. TNI, yang pernah menjadi simbol kekuatan negara dalam konflik, kini menjadi simbol kehadiran negara yang melindungi. Hubungan antara aparat keamanan dan masyarakat Aceh pasca-Helsinki menunjukkan transformasi mendasar: dari relasi vertikal menjadi relasi horizontal. Prajurit dan warga berinteraksi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan keagamaan yang sama, menghapus sekat-sekat psikologis masa lalu. Dalam setiap operasi kemanusiaan, TNI menjadi representasi diplomasi moral negara, memperlihatkan bahwa kekuatan militer dapat menjadi kekuatan yang memulihkan, bukan menghancurkan.

Diplomasi reintegrasi Aceh juga memiliki dimensi internasional yang strategis. Kesuksesan Indonesia mengelola perdamaian di Aceh menjadi contoh positif bagi dunia, terutama dalam konteks penyelesaian konflik internal di negara berkembang. Banyak lembaga internasional menjadikan Aceh sebagai studi kasus post-conflict peacebuilding yang berhasil. Pengalaman ini memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi global, memperlihatkan bahwa pendekatan damai dan inklusif lebih efektif daripada pendekatan koersif. Dalam hal ini, Aceh bukan hanya penerima manfaat dari diplomasi nasional, tetapi juga kontributor bagi reputasi internasional Indonesia sebagai negara demokrasi yang mampu mengelola perbedaan dengan bijaksana.

Dalam skala domestik, integrasi Aceh ke dalam kehidupan kebangsaan perlu terus diperkuat melalui pendidikan, media, dan pertukaran budaya. Generasi muda Indonesia di luar Aceh perlu mengenal Aceh bukan sebagai daerah konflik, tetapi sebagai bagian dari sejarah nasional yang kaya. Demikian pula, generasi muda Aceh perlu melihat Indonesia bukan sebagai kekuasaan yang jauh di Jakarta, tetapi sebagai rumah bersama yang menyediakan ruang bagi mereka untuk tumbuh dan berkontribusi. Dalam pengertian inilah, pendidikan kebangsaan menjadi instrumen diplomasi paling kuat, karena ia membangun kesadaran yang melampaui sekat-sekat geografis dan ideologis.

Proses ini pada akhirnya bukan hanya persoalan politik, tetapi juga persoalan moral dan imajinasi kolektif. Selama Aceh dan Indonesia dapat terus berusaha mewujudkan masa depan bersama yang lebih baik, yaitu masa depan yang damai, sejahtera, dan berkeadilan, maka rekonsiliasi akan selalu menemukan jalannya. Perdamaian Aceh adalah kisah tentang diplomasi yang berakar pada kemanusiaan, bukan kepentingan sempit kekuasaan. Ia adalah bukti bahwa negara yang kuat bukanlah negara yang menundukkan rakyatnya, tetapi yang mampu merangkul mereka dengan rasa hormat dan kasih.

Dari Aceh, bangsa Indonesia belajar bahwa reintegrasi bukan berarti penyeragaman, melainkan penyatuan dalam keberagaman. Diplomasi yang sejati bukan dilakukan di ruang rapat internasional, tetapi di hati rakyat yang kembali percaya pada negaranya. Dan perdamaian yang sejati bukanlah hasil dari kesepakatan di atas kertas, tetapi buah dari komitmen yang terus diperbarui di antara mereka yang pernah berseberangan. Dalam semangat itulah, Aceh berdiri hari ini, bukan sebagai simbol perpecahan, tetapi sebagai lambang bahwa bangsa ini mampu menyembuhkan dirinya sendiri melalui kekuatan dialog, keadilan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Arsitektur Perdamaian Berkelanjutan di NAD

Dua dekade perjalanan Aceh dari konflik menuju stabilitas menawarkan sebuah laboratorium sosial-politik yang kaya untuk memahami bagaimana perdamaian dapat dibangun, dipelihara, dan diperkuat di dalam masyarakat pasca-konflik. Dari pengalaman historis dan dinamika sosial yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, muncul kebutuhan untuk merumuskan sebuah model konseptual yang mampu menjelaskan bagaimana perdamaian di Aceh bekerja sebagai sistem yang hidup. Model ini dapat disebut sebagai Arsitektur Perdamaian Berkelanjutan Aceh, sebagai sebuah kerangka multidimensi yang menempatkan keamanan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan moralitas sebagai elemen-elemen yang saling menopang dalam membangun fondasi perdamaian yang kokoh.

Arsitektur perdamaian bukanlah bangunan statis, melainkan jaringan hubungan yang terus bergerak dan beradaptasi. Ia mencerminkan keseimbangan antara kepentingan negara dan kebutuhan masyarakat, antara keadilan dan stabilitas, antara memori masa lalu dan cita-cita masa depan. Dalam konteks Aceh, arsitektur ini terbentuk melalui interaksi antara empat pilar utama: keamanan yang reformatif, politik yang inklusif, ekonomi yang berkeadilan, dan rekonsiliasi sosial yang berakar pada budaya lokal. Keempatnya saling berhubungan seperti struktur yang menopang atap besar bernama perdamaian.

Pilar pertama adalah keamanan yang reformatif. Keamanan Aceh hari ini tidak lagi ditentukan oleh jumlah pasukan atau kekuatan senjata, melainkan oleh kualitas kepercayaan antara aparat dan masyarakat. Reformasi sektor keamanan yang dijalankan sejak perjanjian Helsinki telah mengubah wajah TNI dan Polri di Aceh dari instrumen koersif menjadi agen pembangunan dan perlindungan rakyat. Dengan menerapkan paradigma human security, keamanan dipahami sebagai kondisi di mana setiap individu merasa terlindungi secara fisik, ekonomi, dan psikologis. Pendekatan ini menuntut sinergi antara kekuatan negara dan ketahanan sosial masyarakat. TNI, dengan peran teritorialnya yang berorientasi pada pembangunan dan kemanusiaan, menjadi contoh konkret bagaimana pertahanan dapat berfungsi sebagai pelayan perdamaian, bukan penguasa kekuasaan. Dalam kerangka ini, keamanan reformatif menekankan fungsi persuasif, bukan represif; melindungi, bukan menaklukkan.

Pilar kedua adalah politik yang inklusif. Salah satu keberhasilan Aceh pasca-Helsinki adalah kemampuan untuk mentransformasikan konflik bersenjata menjadi kompetisi politik yang damai. Pembentukan partai lokal, penyelenggaraan pemilu demokratis, dan integrasi mantan kombatan ke dalam struktur pemerintahan menjadi tonggak penting dalam perjalanan tersebut. Namun, politik yang inklusif bukan hanya berarti representasi formal, melainkan juga keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat sipil, perempuan, dan generasi muda dalam pengambilan keputusan. Demokrasi lokal yang berakar pada nilai adat dan syariat Islam dapat berfungsi dengan baik bila dijalankan dengan semangat musyawarah dan etika pelayanan publik, bukan semangat dominasi kelompok. Inklusivitas politik juga menuntut tata kelola yang transparan dan akuntabel agar otonomi khusus tidak terjebak dalam patronase atau korupsi. Dalam model ini, politik bukan arena perebutan kekuasaan, tetapi wadah negosiasi moral untuk menyeimbangkan kepentingan publik dan lokal.

Pilar ketiga dari arsitektur perdamaian Aceh adalah ekonomi yang berkeadilan. Pembangunan ekonomi di daerah pasca-konflik memiliki fungsi ganda: menurunkan potensi kekerasan struktural dan memperkuat kohesi sosial. Namun, pertumbuhan ekonomi hanya akan mendukung perdamaian apabila ia dirasakan secara merata oleh masyarakat. Dalam konteks Aceh, dana otonomi khusus harus diarahkan tidak hanya untuk membangun infrastruktur fisik, tetapi juga untuk memperkuat kapasitas manusia dan ekonomi rakyat. Transformasi sektor pertanian, perikanan, dan industri kecil menengah menjadi pendorong kemandirian ekonomi lokal. Model ekonomi berkeadilan yang diusulkan di sini berakar pada prinsip inclusive growth, yaitu pertumbuhan yang memberi ruang bagi semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dan menikmati hasilnya. Pembangunan harus berpihak pada masyarakat miskin, perempuan, dan generasi muda, karena dari sanalah tumbuh rasa memiliki terhadap perdamaian. Ekonomi yang berkeadilan bukan sekadar urusan angka pertumbuhan, melainkan ekspresi konkret dari keadilan sosial sebagai sila kelima Pancasila.

Pilar keempat adalah rekonsiliasi sosial yang berakar pada budaya lokal. Perdamaian di Aceh tidak mungkin bertahan tanpa penyembuhan sosial yang mendalam. Luka kolektif akibat konflik tidak dapat dihapus oleh peraturan hukum semata; namun memerlukan proses spiritual dan kultural. Tradisi Aceh yang kaya dengan nilai-nilai Islam, adat, dan gotong royong menyediakan sumber moral yang kuat untuk memulihkan hubungan sosial. Upacara adat seperti peusijuek (penyucian) dan kenduri perdamaian berfungsi bukan sekadar sebagai ritual simbolik, tetapi sebagai ruang sosial untuk mengembalikan kepercayaan antarwarga. Rekonsiliasi juga berarti membangun narasi baru tentang kebersamaan, di mana masa lalu diakui tanpa menjadi belenggu, dan masa depan dibangun atas dasar pengampunan dan tanggung jawab bersama. Dari sinilah lahir cultural peacebuilding, pendekatan pembangunan perdamaian yang menempatkan budaya lokal sebagai medium utama transformasi sosial.

Empat pilar ini bersandar pada satu fondasi konseptual: moral resilience atau ketahanan moral. Fondasi ini menegaskan bahwa perdamaian sejati tidak dapat bertahan tanpa kejujuran, empati, dan integritas moral dari para pemimpin dan masyarakatnya. Ketahanan moral adalah kemampuan kolektif untuk menolak kembali pada pola kekerasan, meskipun peluang dan provokasi muncul. Hal ini merupakan suatu kesadaran bahwa kekuasaan tanpa keadilan adalah kekosongan, dan keadilan tanpa belas kasih adalah kekerasan yang lain dalam bentuk baru. Nilai-nilai spiritual dan religius dalam masyarakat Aceh menjadi energi moral yang menopang ketahanan ini. Di sinilah peran pendidikan, dakwah, dan kepemimpinan etis menjadi sangat menentukan.

Jika keempat pilar dan fondasi moral ini digambarkan secara konseptual, maka Arsitektur Perdamaian Berkelanjutan Aceh tampak seperti rumah sosial yang hidup. Atapnya adalah keutuhan NKRI, dindingnya terdiri dari kepercayaan sosial dan politik, pondasinya adalah moralitas publik, dan penghuninya adalah rakyat Aceh yang terus belajar untuk hidup dalam damai. Struktur ini hanya akan bertahan bila setiap elemen dirawat secara seimbang. Jika salah satu pilar melemah, misalnya ketika keadilan ekonomi diabaikan atau etika politik rusak, maka seluruh bangunan akan goyah. Karena itu, perdamaian yang berkelanjutan bukanlah kondisi yang dicapai sekali untuk selamanya, melainkan proses yang terus-menerus diperbaharui melalui dialog, refleksi, dan pembaruan kebijakan.

Model ini juga dapat dijadikan referensi bagi pembangunan perdamaian di wilayah lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Papua, Poso, dan Maluku, misalnya, dapat belajar dari arsitektur Aceh bahwa kekuatan perdamaian tidak terletak pada pemaksaan kehendak, tetapi pada penciptaan sistem yang memungkinkan manusia untuk hidup dengan martabat. Dalam konteks pertahanan nasional, arsitektur perdamaian Aceh memperkuat gagasan defense by development, bahwa keamanan nasional tidak dibangun melalui dominasi militer, tetapi melalui keadilan sosial dan pembangunan manusia.

Pada akhirnya, model ini memperlihatkan bahwa perdamaian bukanlah tujuan akhir, melainkan cara hidup. Ia adalah kontrak moral antara rakyat dan negara, antara masa lalu dan masa depan. Aceh telah membuktikan bahwa bangsa yang mampu memaafkan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada bangsa yang terus terperangkap dalam dendam ataupun permusuhan. Arsitektur perdamaian Aceh bukan sekadar kerangka analisis, tetapi juga cermin bagi perjalanan bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang kuat karena keadilan di dalamnya.

Penutup

Dua puluh tahun perjalanan perdamaian Aceh menunjukkan bahwa perdamaian bukanlah hadiah dari sejarah, melainkan hasil dari kerja keras, kebijaksanaan, dan keikhlasan kolektif sebuah bangsa yang belajar dari luka. Aceh, yang dahulu menjadi simbol perlawanan dan konflik, kini berdiri sebagai laboratorium perdamaian yang paling menonjol di Asia Tenggara. Dari kehancuran akibat perang dan tsunami, masyarakat Aceh membangun kembali kehidupannya dengan semangat resilien yang luar biasa. Namun, sebagaimana rumah yang terus dihuni, perdamaian Aceh juga menuntut perawatan berkelanjutan. Ia bukan kondisi yang final, tetapi proses yang terus diperbaharui oleh kesadaran, dialog, dan tindakan moral.

Jika dilihat secara retrospektif, perjalanan Aceh dari masa konflik hingga pasca-Helsinki memperlihatkan perubahan paradigma besar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pada masa lalu, keamanan sering dimaknai sebagai dominasi negara atas wilayah dan rakyatnya. Kini, keamanan dilihat sebagai kolaborasi antara negara dan masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Pergeseran paradigma ini tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui pengalaman sejarah yang pahit. Dari konflik Aceh, bangsa Indonesia belajar bahwa kekerasan hanya melahirkan luka baru, sementara keadilan melahirkan kesetiaan. Negara yang kuat bukan yang menundukkan rakyatnya, tetapi yang mampu memulihkan kepercayaannya.

Dalam perspektif pembangunan nasional, perdamaian Aceh memberikan pelajaran penting bahwa pembangunan tidak dapat dipisahkan dari keamanan, dan keamanan tidak dapat dipertahankan tanpa pembangunan. Ketika rakyat hidup dalam kemiskinan, kehilangan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, maka akar-akar konflik akan selalu tumbuh kembali dalam bentuk baru. Karena itu, defense by development bukan sekadar slogan, melainkan strategi pertahanan yang paling manusiawi dan berkelanjutan. Kekuatan sejati TNI tidak hanya diukur dari kemampuan tempur, tetapi dari kemampuannya membangun kesejahteraan, menguatkan solidaritas, dan menjaga nilai moral bangsa. Dalam konteks Aceh, TNI telah menunjukkan wajah kemanusiaan yang luhur, dari penjaga kedaulatan menjadi penjaga perdamaian, dari pengendali kekerasan menjadi penggerak rekonsiliasi sosial.

Namun, perjalanan menuju perdamaian yang berkelanjutan belum berakhir. Masih ada tantangan berupa ketimpangan sosial yang belum sepenuhnya teratasi, tata kelola yang masih rentan terhadap korupsi, dan semangat generasi muda yang terkadang kehilangan arah dalam ruang politik yang pragmatis. Di sisi lain, globalisasi dan kemajuan teknologi menghadirkan ancaman baru berupa radikalisme digital, krisis lingkungan, dan ketidakpastian ekonomi. Semua ini menuntut pembaruan strategi pembangunan dan keamanan yang lebih adaptif, holistik, dan berbasis nilai.

Karena itu, menjaga perdamaian Aceh ke depan memerlukan tiga kesadaran utama. Pertama, kesadaran moral bahwa perdamaian adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar urusan pemerintah atau lembaga keamanan. Setiap individu Aceh memiliki peran dalam merawat kepercayaan sosial, menolak provokasi kekerasan, dan menanamkan nilai-nilai damai kepada generasi berikutnya. Kedua, kesadaran institusional bahwa lembaga-lembaga negara, baik sipil maupun militer, harus terus menjaga profesionalisme, transparansi, dan keadilan dalam setiap kebijakan yang menyentuh masyarakat. TNI, Polri, dan pemerintah daerah harus menjadi teladan dalam etika pengabdian, bukan sekadar pelaksana kekuasaan. Ketiga, kesadaran struktural bahwa pembangunan ekonomi dan sosial harus berjalan secara inklusif. Dana otonomi khusus harus diarahkan bukan hanya untuk membangun infrastruktur, tetapi juga membangun manusia Aceh, untuk mendidik, memberdayakan, dan menciptakan lapangan kerja yang bermartabat.

Dalam konteks kebijakan nasional, pengalaman Aceh memberikan arah yang jelas bagi pembangunan perdamaian di daerah lain. Pemerintah pusat perlu memperkuat kebijakan peace-sensitive development planning, yaitu perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan aspek keadilan sosial, sejarah konflik, dan kebutuhan komunitas lokal. Di tingkat pendidikan, nilai-nilai perdamaian harus diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional dan lembaga pendidikan militer, agar generasi penerus bangsa memahami bahwa mempertahankan negara berarti juga memelihara kehidupan dan kemanusiaan. Di tingkat diplomasi, keberhasilan Aceh perlu diartikulasikan sebagai bagian dari citra strategis Indonesia di dunia internasional, bahwa Indonesia adalah negara besar yang mampu menyelesaikan konflik internalnya dengan damai, demokratis, dan berkeadilan.

Bagi TNI sendiri, pelajaran dari Aceh menegaskan pentingnya pendidikan dan kepemimpinan yang reflektif. TNI harus terus memperkuat paradigma scholar-soldier, di mana setiap perwira tidak hanya menguasai taktik militer, tetapi juga memahami dinamika sosial, politik, dan kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin kompleks, kekuatan moral dan intelektual menjadi senjata paling penting. Aceh membuktikan bahwa prajurit yang berempati lebih kuat dari prajurit yang hanya berdisiplin; bahwa pertahanan yang dibangun atas dasar cinta tanah air dan kasih kepada rakyat jauh lebih kokoh daripada pertahanan yang dibangun atas rasa takut dan permusuhan.

Dari perspektif masyarakat sipil, perdamaian Aceh akan berlanjut jika nilai-nilai lokalnya terus dijaga dan dikontekstualisasikan. Tradisi Islam yang damai, adat yang menjunjung keadilan, dan etos kolektif masyarakat Aceh adalah sumber daya moral yang tak ternilai. Dalam dunia yang serba kompetitif dan individualistik, nilai-nilai tersebut menjadi jangkar spiritual yang mencegah disintegrasi sosial. Oleh karena itu, rekonsiliasi budaya dan spiritual harus terus dijaga melalui pendidikan, media, dan kegiatan sosial. Ulama, cendekiawan, dan seniman memiliki peran besar dalam menjaga kesadaran moral masyarakat agar perdamaian tidak sekadar menjadi kebijakan, tetapi menjadi kebiasaan hidup.

Dalam tataran normatif, perdamaian Aceh juga mengandung pesan universal bagi umat manusia: bahwa kekuatan sejati bangsa terletak pada kemampuannya memaafkan dan membangun kembali. Konflik Aceh telah meninggalkan luka yang dalam, tetapi dari luka itu lahir kebijaksanaan. Dari penderitaan muncul kesadaran baru tentang nilai hidup bersama, dan dari kehancuran muncul semangat untuk menciptakan tatanan yang lebih adil. Inilah makna terdalam dari sustainable peace, sebagai suatu perdamaian yang tidak lahir dari paksaan, tetapi dari kesadaran moral dan spiritual yang tumbuh di hati rakyat.

Maka, ketika kita berbicara tentang merajut keamanan dan perdamaian di Aceh yang berkelanjutan, sejatinya kita berbicara tentang masa depan Indonesia itu sendiri. Aceh adalah cermin bangsa, sebagai cermin yang memperlihatkan bahwa kekuasaan tanpa keadilan adalah kesia-siaan belaka, dan keadilan tanpa kasih adalah kekerasan dalam bentuk lain. Perdamaian Aceh adalah bukti bahwa bangsa ini masih memiliki kemampuan untuk belajar, memaafkan, dan memperbaiki diri. Hal ini adalah bukti bahwa NKRI tidak sekadar berdiri di atas luasnya wilayah, tetapi di atas kebesaran hati manusia-manusia yang berani memilih jalan damai di tengah badai sejarah.

Pada akhirnya, tugas terbesar kita bukan hanya menjaga perdamaian, tetapi mewariskannya. Generasi mendatang harus menerima Aceh bukan sebagai cerita tentang konflik, tetapi sebagai kisah tentang kebangkitan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan. Ketika mereka belajar bahwa perdamaian adalah kekuatan terbesar sebuah bangsa, maka cita-cita Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera bukan lagi sekadar visi, melainkan kenyataan yang hidup di setiap jengkal NKRI.

Daftar Referensi

Aspinall, E. (2009). Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia. Stanford University Press.

Aspinall, E., & Crouch, H. (2003). The Aceh Peace Process: Why It Failed. Washington, DC: East-West Center.

Aspinall, E., & Feith, H. (2010). Rebellion and Reconciliation in Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Bappenas. (2024). Indonesia Green Industrial Strategy 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Bertrand, J. (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge University Press.

Booth, A. (2016). Economic Change in Modern Indonesia: Colonial and Post-Colonial Comparisons. Cambridge University Press.

Braithwaite, J., Charlesworth, H., & Reddy, S. (2010). Reconciliation and Architectures of Commitment: Sequencing Peace in Bougainville. ANU Press.

Cohen, W. M., & Levinthal, D. A. (1990). Absorptive capacity: A new perspective on learning and innovation. Administrative Science Quarterly, 35(1), 128–152.

Djalal, D., & Djafar, A. (2005). The Helsinki Agreement: A Step Toward Peace in Aceh. Jakarta: CSIS Indonesia.

Feaver, P. (2003). Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations. Harvard University Press.

Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191.

Galtung, J. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. Sage Publications.

Hill, H. (2023). The Indonesian Economy in Transition: Policy Challenges in the Jokowi Era and Beyond. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Human Rights Watch. (2001). Aceh under Martial Law. New York: HRW Publications.

ICG (International Crisis Group). (2005). Aceh: A New Chance for Peace. Asia Briefing No. 40. Brussels: ICG.

ICG (International Crisis Group). (2007). Indonesia: How GAM Won in Aceh. Asia Briefing No. 61. Brussels: ICG.

Kingsbury, D. (2006). Peace in Aceh: A Personal Account of the Helsinki Peace Process. Equinox Publishing.

Kingsbury, D., & McCulloch, L. (2007). Military Reform and Democratization in Indonesia. New York: Routledge.

Lederach, J. P. (1997). Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. Washington, DC: United States Institute of Peace Press.

Lederach, J. P. (2005). The Moral Imagination: The Art and Soul of Building Peace. Oxford University Press.

Lilja, J., & Nordquist, K. (Eds.). (2017). Peacebuilding and Friction: Global and Local Encounters in Post Conflict Societies. Routledge.

Maharani, C., & Matthews, R. (2022). Defence industrial participation and technological learning in Indonesia. Defence Studies, 22(3), 347–369.

Matthews, R., & Maharani, C. (2025). Indonesia’s defense acquisition strategy: Between autonomy and dependence. Asian Security Review, 19(2), 145–172.

McGibbon, R. (2004). Secessionist Challenges in Aceh and Papua: Is Special Autonomy the Solution? Canberra: ANU E Press.

Ministry of Defense of Indonesia. (2015). White Paper on Defense of the Republic of Indonesia. Jakarta: MoD Publications.

Ministry of Defense of Japan. (2022). National Security Strategy of Japan. Tokyo: MOD Publications.

Ministry of Foreign Affairs of Indonesia. (2020). Indonesia’s Peacebuilding Diplomacy in the Region. Jakarta: MOFA Publications.

Mitchell, C. (2002). Beyond resolution: What does conflict transformation actually transform? Peace and Conflict Studies, 9(1), 1–23.

Nasution, A. (2019). Aceh’s post-conflict governance: Challenges of autonomy and accountability. Journal of Southeast Asian Studies, 50(4), 672–694.

Nordquist, K. (2018). Everyday Politics of Peacebuilding: Infrastructures of Security in Post-Conflict Societies. Palgrave Macmillan.

Reid, A. (1979). The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Oxford University Press.

Reid, A. (2014). Aceh and the Turkish Connection: Notes on an Early Asian Muslim Kingdom. Kuala Lumpur: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.

Said, E. W. (2003). Humanism and Democratic Criticism. New York: Columbia University Press.

Sulaiman, M. I. (2013). From Conflict to Peace: Lessons from Aceh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.

Sukma, R. (2019). Indonesia and the quest for peace: From internal conflict to regional diplomacy. Contemporary Southeast Asia, 41(3), 331–354.

Tadjoeddin, M. Z. (2011). Explaining Collective Violence in Contemporary Indonesia: From Conflict to Cooperation. Palgrave Macmillan.

UNDP. (1994). Human Development Report 1994: New Dimensions of Human Security. New York: Oxford University Press.

UNESCAP. (2024). Asia-Pacific Sustainable Development Report 2024: Resilience and Inclusive Growth. Bangkok: United Nations.

World Bank. (2022). Aceh: Two Decades of Peace and Reconstruction. Washington, DC: World Bank Office Indonesia.

Posted in

Leave a comment