Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Aceh merupakan wilayah yang diberkahi dengan posisi geografis strategis di ujung barat Nusantara. Terletak di persimpangan antara Samudra Hindia dan Selat Malaka, yang merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia, Aceh memiliki potensi maritim yang luar biasa besar. Lautnya kaya sumber daya hayati, perikanan tangkap dan budidaya tumbuh subur, cadangan energi lepas pantainya melimpah, dan bentang pesisirnya menyimpan peluang besar bagi pariwisata bahari. Namun di balik anugerah alam yang demikian melimpah, Aceh juga menghadapi paradoks yang nyata: tingkat kemiskinan yang masih tinggi, pengangguran yang belum tertangani optimal, dan produktivitas ekonomi laut yang relatif rendah dibandingkan potensi yang tersedia. Kondisi ini mencerminkan ketimpangan antara potensi dan realisasi, antara sumber daya yang berlimpah dengan daya kelola yang belum efisien.
Fenomena ini sering disebut sebagai paradoks Aceh, sebagai daerah kaya modal yang justru membutuhkan modal. Meski memperoleh dana otonomi khusus, dana bagi hasil migas, serta transfer fiskal dalam jumlah besar, dampaknya terhadap ekonomi riil dan kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya terasa. Dana besar belum otomatis menjelma menjadi kesejahteraan yang berkelanjutan apabila tidak disertai tata kelola ekonomi yang berbasis produktivitas, inovasi, dan keberpihakan kepada rakyat. Oleh karena itu, paradigma pembangunan Aceh perlu diarahkan menuju pemanfaatan potensi maritim sebagai lokomotif pertumbuhan baru yang berkeadilan, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Dalam konteks pembangunan nasional, ekonomi maritim merupakan sektor strategis yang mampu memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia. Melalui pengelolaan laut yang bijak dan berkelanjutan, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita menjadi poros maritim dunia. Bagi Aceh, cita-cita ini menemukan maknanya secara lokal: menjadikan laut sebagai pusat kemakmuran dan sumber kehidupan masyarakat. Akan tetapi, pembangunan maritim di Aceh tidak dapat dilepaskan dari karakteristik sosial budaya daerah ini yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, integrasi antara ekonomi maritim dan ekonomi syariah menjadi landasan ideal untuk membangun model pembangunan yang bukan hanya mengejar pertumbuhan, melainkan juga keberkahan dan keadilan.
Ekonomi syariah menawarkan kerangka normatif dan etis untuk menata ulang arah pembangunan. Prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, memberikan panduan bahwa ekonomi harus diarahkan bagi kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Pendekatan ini menolak ketimpangan dan spekulasi yang tidak produktif, menolak eksploitasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan, serta menegaskan pentingnya keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Ketika prinsip-prinsip tersebut diterapkan dalam pengelolaan sumber daya maritim, akan lahir model pembangunan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran moral dan sosial bahwa laut adalah amanah, bukan sekadar komoditas.
Integrasi antara ekonomi syariah dan ekonomi maritim membuka jalan bagi lahirnya konsep yang dapat disebut sebagai blue and green syariah economy. Ekonomi biru menekankan pengelolaan sumber daya laut yang produktif sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistemnya, sementara ekonomi hijau menegaskan pentingnya keseimbangan ekologis dan sosial dalam seluruh kegiatan ekonomi. Dalam bingkai syariah, keduanya bertemu dalam satu cita moral: menghadirkan pembangunan yang menyejahterakan manusia tanpa merusak alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian, pembangunan ekonomi Aceh yang berbasis maritim-syariah bukan hanya proyek ekonomi, melainkan juga bentuk ibadah sosial dan perwujudan nilai-nilai keadilan ilahiah.
Konteks empiris Aceh memberikan pembelajaran penting. Dua dekade pascakonflik dan pascatsunami 2004 telah menunjukkan kemampuan masyarakat Aceh untuk bangkit dan menata ulang arah pembangunan. Otonomi khusus memberi ruang bagi inovasi kebijakan fiskal dan penguatan identitas daerah. Transformasi Bank Aceh menjadi bank syariah merupakan tonggak penting dalam memperkuat fondasi keuangan yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat Aceh. Sementara itu, pembangunan infrastruktur strategis seperti pelabuhan Krueng Geukueh, Sabang, dan Lhokseumawe, serta integrasi Aceh ke dalam sistem tol laut nasional, membuka peluang besar bagi keterhubungan Aceh dengan pasar regional dan global. Namun, sebagaimana sering disampaikan oleh Prof. Dr. Apridar dalam berbagai tulisan akademik dan opini publiknya, tantangan terbesar bagi Aceh bukanlah kekurangan sumber daya, melainkan lemahnya ekonomi riil yang berpihak pada produktivitas masyarakat.
Pembangunan ekonomi Aceh ke depan memerlukan paradigma baru yang menggabungkan spiritualitas, rasionalitas, dan keberlanjutan. Pembangunan tidak boleh berhenti pada angka pertumbuhan ekonomi, tetapi harus mengarah pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kesejahteraan sejati tidak dapat diukur semata oleh PDRB, tetapi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan lingkungan hidup yang layak. Dengan kata lain, orientasi pembangunan Aceh harus beralih dari paradigma growth-centric menuju wellbeing-centric. Pendekatan ini sejalan dengan berbagai inisiatif internasional seperti Islamic Wellbeing Index dan Sustainable Development Goals (SDGs) yang menekankan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan ekologi.
Dalam kerangka tersebut, tulisan ini berupaya menggali secara mendalam potensi dan tantangan pembangunan ekonomi maritim Aceh, serta menawarkan strategi integratif berbasis prinsip ekonomi syariah untuk meningkatkan kemakmuran berkelanjutan. Pembangunan ekonomi maritim yang inklusif dan beretika diharapkan dapat memperkuat kedaulatan ekonomi daerah, menciptakan lapangan kerja yang layak, memperluas inklusi keuangan berbasis syariah, serta meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dalam rantai nilai ekonomi global. Lebih jauh, arah pembangunan ini diharapkan melahirkan masyarakat Aceh yang sejahtera lahir dan batin, kuat secara ekonomi, adil secara sosial, dan lestari secara ekologis, hal ini selaras dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin yang menjadi fondasi identitas Serambi Mekkah.
Landasan Teoretis dan Konseptual
Pemahaman tentang pembangunan ekonomi Aceh berbasis maritim dan ekonomi syariah tidak dapat dilepaskan dari fondasi teoretis yang menjelaskan bagaimana kemakmuran, keberlanjutan, dan keadilan dapat saling terjalin. Dalam literatur ekonomi modern, pembangunan dipandang tidak sekadar sebagai peningkatan pendapatan per kapita, melainkan sebagai transformasi struktural yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menekankan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai perluasan kebebasan manusia, bukan hanya akumulasi kekayaan. Dalam konteks Aceh, kebebasan tersebut mencakup kemampuan masyarakat pesisir untuk mengakses sumber daya laut secara adil, mendapatkan manfaat ekonomi yang seimbang, serta menikmati kehidupan yang bermartabat sesuai nilai-nilai Islam.
Ekonomi syariah menawarkan perspektif alternatif terhadap paradigma kapitalistik yang sering kali berorientasi pada pertumbuhan material semata. Dalam pandangan Islam, tujuan utama ekonomi bukanlah akumulasi kekayaan, tetapi pencapaian falah, kesejahteraan dunia dan akhirat. Konsep ini mengandaikan keseimbangan antara aspek spiritual dan material, antara kepemilikan individu dan tanggung jawab sosial. Prinsip dasar ekonomi syariah seperti larangan riba, gharar, dan maisir, serta anjuran terhadap zakat, sedekah, dan bagi hasil, mencerminkan sistem yang berorientasi pada keadilan distributif dan solidaritas sosial. Teori maqāṣid al-syarī‘ah yang dikembangkan oleh al-Ghazali dan diperluas oleh ulama kontemporer seperti Jasser Auda memberikan kerangka moral bahwa seluruh kebijakan ekonomi harus mengarah pada perlindungan dan pemajuan kemaslahatan manusia secara menyeluruh.
Dalam konteks pembangunan maritim, pendekatan syariah dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan yang memastikan pengelolaan laut secara berkeadilan dan berkelanjutan. Laut bukanlah milik individu, tetapi merupakan amanah bersama yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan prinsip keberlanjutan. Dalam ekonomi modern, konsep ini sejajar dengan blue economy, sebuah paradigma yang menekankan optimalisasi sumber daya laut tanpa merusak ekosistem. Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, 2023), ekonomi biru mencakup sektor-sektor seperti perikanan, transportasi laut, energi terbarukan lepas pantai, dan pariwisata bahari yang dikelola dengan prinsip efisiensi dan konservasi. Bagi Aceh, pengembangan ekonomi biru harus dipadukan dengan nilai-nilai syariah sehingga melahirkan model ekonomi blue shariah economy, yakni sistem produksi dan distribusi berbasis laut yang beretika, transparan, dan berpihak pada masyarakat pesisir.
Dalam literatur pembangunan berkelanjutan, konsep keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan menjadi pilar utama. Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) menegaskan pentingnya pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun (no one left behind). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam tentang keadilan sosial dan keseimbangan ekologis (mīzān). Dalam Al-Qur’an, manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi, bukan untuk mengeksploitasi, tetapi untuk memakmurkan dan menjaga keseimbangan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi di Aceh harus dirancang untuk memastikan keberlanjutan sumber daya laut, pelestarian pesisir, dan kesejahteraan masyarakat secara adil antar generasi.
Selain dimensi teologis dan ekologis, teori pembangunan juga menyoroti pentingnya institusi dalam menciptakan kemakmuran berkelanjutan. Douglas North (1990) menegaskan bahwa institusi, baik formal maupun informal, menjadi faktor kunci dalam mendorong efisiensi ekonomi dan stabilitas sosial. Dalam konteks Aceh, keberadaan lembaga seperti Bank Aceh Syariah, Majelis Adat Aceh, dan pemerintah daerah merupakan bagian dari struktur institusional yang dapat memperkuat tata kelola ekonomi syariah. Jika ketiganya berfungsi harmonis dalam ekosistem maritim, maka akan tercipta sinergi antara keuangan syariah, kearifan lokal, dan kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Peningkatan kualitas hidup juga tidak dapat dipisahkan dari dimensi manusiawi pembangunan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh UNDP menilai kesejahteraan berdasarkan tiga dimensi: pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Namun dalam konteks Islam, ukuran kesejahteraan diperluas melalui Islamic Wellbeing Index (IWI) yang mencakup spiritualitas, moralitas, dan harmoni sosial. Dengan demikian, pembangunan maritim Aceh yang berbasis syariah harus diarahkan untuk meningkatkan IPM sekaligus memperkuat kesejahteraan spiritual masyarakat. Ketika masyarakat pesisir memiliki akses terhadap pendidikan maritim, layanan kesehatan, permodalan syariah, dan lingkungan yang lestari, maka kualitas hidup akan meningkat secara holistik.
Secara teoretis, hubungan antara ekonomi syariah, ekonomi maritim, dan pembangunan berkelanjutan dapat dijelaskan melalui model integratif yang menempatkan kemaslahatan manusia sebagai tujuan utama. Di dalam model ini, ekonomi syariah berperan sebagai sistem nilai yang mengatur perilaku ekonomi, sementara ekonomi maritim menjadi sektor riil yang menghasilkan nilai tambah. Pembangunan berkelanjutan berfungsi sebagai kerangka kebijakan yang menjamin keseimbangan jangka panjang antara eksploitasi dan konservasi. Dengan demikian, pembangunan Aceh dapat dipahami sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan tiga serangkai: spiritualitas, produktivitas, dan keberlanjutan.
Di sisi lain, teori endogenous growth yang dikemukakan oleh Romer (1990) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang ditentukan oleh inovasi, pengetahuan, dan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks Aceh, ini berarti bahwa keberhasilan ekonomi maritim berbasis syariah tidak hanya bergantung pada sumber daya alam, tetapi juga pada kemampuan manusia untuk berinovasi dalam teknologi kelautan, digitalisasi keuangan syariah, dan pengembangan produk halal berbasis laut. Transformasi digital, sebagaimana dibahas dalam artikel Ekonomi Syariah Digital: Jalan Baru Menuju Indonesia Emas 2045, membuka ruang bagi inklusi keuangan dan ekspansi pasar global yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha kecil dan menengah di Aceh.
Dengan demikian, fondasi teoretis dari pembangunan kemakmuran Aceh melalui ekonomi maritim berbasis syariah berakar pada tiga kerangka utama: nilai-nilai Islam yang menuntun arah moral pembangunan, teori ekonomi maritim yang menekankan efisiensi dan keberlanjutan, serta teori pembangunan manusia yang menempatkan kesejahteraan sebagai ukuran utama kemajuan. Ketiganya berpadu membentuk paradigma baru yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menumbuhkan keadilan, menjaga lingkungan, dan memperkuat spiritualitas masyarakat. Paradigma ini menjadi dasar konseptual untuk memahami bagaimana Aceh dapat melangkah menuju kemakmuran yang berkelanjutan dan berkualitas, selaras dengan identitasnya sebagai Serambi Mekkah dan sebagai gerbang ekonomi maritim Indonesia di ujung barat Nusantara.
Potensi dan Kondisi Ekonomi Maritim Aceh
Sebagai daerah yang menempati jalur silang antara Samudra Hindia dan Selat Malaka, Aceh memiliki keunggulan geografis yang tidak dimiliki oleh provinsi lain di Indonesia. Posisi ini menjadikan Aceh bukan hanya gerbang maritim barat Indonesia, tetapi juga simpul penting bagi konektivitas antara Asia Tenggara dan Asia Selatan. Letak strategis ini membawa potensi ekonomi maritim yang luar biasa besar, baik dalam sektor perikanan, logistik pelabuhan, industri hasil laut, pariwisata bahari, maupun energi lepas pantai. Potensi tersebut, apabila dikelola dengan prinsip syariah dan keberlanjutan, dapat menjadi fondasi bagi kemakmuran Aceh yang berkeadilan dan lestari.
Dalam sektor perikanan, laut Aceh dikenal sebagai salah satu wilayah penangkapan ikan paling produktif di Indonesia bagian barat. Zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang membentang luas di Samudra Hindia menyediakan berbagai jenis ikan bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, cakalang, dan tongkol, sementara wilayah pesisir timur menghasilkan udang, kepiting, serta kerang mutiara. Komoditas tiram mutiara bahkan mulai dikembangkan secara intensif di beberapa kabupaten seperti Aceh Selatan dan Simeulue, menandakan bahwa Aceh tidak hanya kaya dalam hasil tangkap tradisional, tetapi juga memiliki potensi dalam industri perikanan bernilai tambah tinggi. Namun demikian, sebagian besar kegiatan perikanan di Aceh masih dilakukan secara tradisional dengan teknologi rendah dan sistem rantai pasok yang belum efisien. Rendahnya kapasitas pendinginan, pengolahan pascapanen, dan akses pasar menjadi kendala struktural yang menahan peningkatan pendapatan nelayan.
Selain sektor perikanan, kekuatan strategis Aceh juga terletak pada logistik pelabuhan. Pelabuhan Sabang dan Lhokseumawe memiliki posisi ideal untuk menjadi simpul perdagangan internasional yang menghubungkan rute barat dan timur Nusantara. Pembangunan infrastruktur pelabuhan yang terintegrasi dengan sistem tol laut nasional membuka peluang besar bagi peningkatan arus barang dan efisiensi logistik. Gagasan tentang tol logistik Aceh menuju pasar dunia, sebagaimana banyak dibahas dalam artikel Tribun Aceh tahun 2025, menunjukkan arah kebijakan yang berpijak pada pemanfaatan geografis strategis tersebut. Namun untuk menjadikan Aceh sebagai gerbang logistik dunia Islam, diperlukan pembenahan manajemen pelabuhan, percepatan digitalisasi layanan, dan penguatan sistem keuangan syariah agar transaksi ekspor-impor berjalan sesuai prinsip halal dan transparan.
Potensi energi maritim juga menjadi aset penting yang belum tergarap sepenuhnya. Wilayah pesisir Aceh menyimpan cadangan energi terbarukan seperti angin, gelombang laut, dan energi pasang surut yang dapat dikembangkan untuk mendukung transisi energi hijau nasional. Selain itu, keberadaan ladang gas Arun dan sumber daya energi lepas pantai di Lhokseumawe membuka peluang bagi pembentukan klaster industri maritim-energi terpadu. Apabila dikombinasikan dengan prinsip investasi syariah, sektor ini dapat menarik pembiayaan internasional berbasis sukuk hijau (green sukuk) yang sedang berkembang di pasar global. Pendekatan ini akan memperkuat posisi Aceh sebagai laboratorium ekonomi hijau syariah yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan.
Aspek lain yang menjadi kekuatan ekonomi maritim Aceh adalah pariwisata bahari berbasis syariah. Keindahan alam laut Sabang, Pulau Weh, dan gugusan pantai barat menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun yang membuat Aceh unik adalah kemampuannya menggabungkan potensi wisata alam dengan identitas religius sebagai Serambi Mekkah. Konsep pariwisata halal yang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir telah membentuk citra Aceh sebagai destinasi wisata yang ramah, religius, dan berkarakter. Dalam perspektif ekonomi syariah, pengembangan pariwisata semacam ini bukan hanya bisnis rekreasi, tetapi juga sarana dakwah dan pemberdayaan ekonomi lokal. Dengan pengelolaan yang profesional dan partisipatif, sektor pariwisata syariah dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir, dan memperkuat keterikatan budaya Islam dalam ruang ekonomi modern.
Meskipun demikian, seluruh potensi tersebut belum memberikan dampak optimal terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Aceh masih berada di atas rata-rata nasional, sementara ketimpangan sosial belum banyak berubah. Banyak nelayan dan pelaku UMKM maritim masih kesulitan memperoleh akses pembiayaan, pasar, dan teknologi. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan struktural antara potensi ekonomi dan kapasitas kelembagaan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi maritim Aceh harus disertai dengan reformasi tata kelola dan penguatan sistem ekonomi riil yang menekankan produktivitas, efisiensi, dan keadilan distribusi. Pandangan ini sejalan dengan kritik Prof. Apridar mengenai lemahnya orientasi ekonomi riil di Aceh yang terlalu bergantung pada belanja pemerintah dan kurang menggerakkan sektor-sektor produktif.
Penting pula untuk memahami dimensi sosial dari pembangunan ekonomi maritim Aceh. Masyarakat pesisir menghadapi tantangan kompleks yang mencakup keterbatasan pendidikan, ketidakpastian cuaca, dan kerentanan terhadap eksploitasi sumber daya laut. Pemberdayaan mereka harus menjadi prioritas dalam kerangka pembangunan syariah. Prinsip ta’awun (tolong-menolong) dan ukhuwwah (persaudaraan) dapat diterjemahkan dalam kebijakan koperasi nelayan syariah, lembaga keuangan mikro berbasis zakat dan wakaf produktif, serta skema asuransi nelayan yang sesuai dengan prinsip takaful. Dengan demikian, masyarakat pesisir tidak lagi menjadi objek kebijakan, melainkan subjek pembangunan yang memiliki kedaulatan ekonomi.
Selain itu, pengembangan ekonomi maritim Aceh juga harus memperhatikan dimensi digital dan globalisasi pasar. Transformasi digital berbasis syariah dapat memperkuat akses pelaku usaha kecil terhadap pasar internasional. Aplikasi pembayaran syariah, platform halal marketplace, dan sertifikasi digital produk laut dapat memperluas jangkauan ekspor hasil perikanan dan industri olahan. Bank Aceh Syariah sebagai institusi keuangan lokal memiliki peran penting dalam ekosistem ini, tidak hanya sebagai penyedia pembiayaan, tetapi juga sebagai katalis digitalisasi ekonomi syariah di tingkat daerah. Dengan dukungan literasi keuangan dan teknologi yang memadai, Aceh berpotensi menjadi pelopor ekonomi maritim syariah di Asia Tenggara.
Dari keseluruhan potensi yang ada, dapat disimpulkan bahwa Aceh memiliki tiga kekuatan utama yang saling melengkapi: sumber daya laut yang kaya, posisi geografis yang strategis, dan identitas keagamaan yang kuat. Tantangannya bukan pada kekurangan sumber daya, melainkan pada bagaimana ketiga kekuatan tersebut dapat diintegrasikan dalam satu kerangka pembangunan yang terencana, berkelanjutan, dan berkeadilan. Dengan memadukan potensi ekonomi biru, prinsip ekonomi syariah, dan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat, Aceh dapat mewujudkan transformasi menuju kemakmuran berkelanjutan yang sejati, yaitu kemakmuran yang tumbuh dari laut, berakar pada nilai, dan berorientasi pada keberkahan.
Integrasi Ekonomi Syariah dalam Ekonomi Maritim Aceh
Pembangunan ekonomi Aceh tidak dapat dilepaskan dari identitas keagamaannya yang kuat. Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal, dan dalam konteks ekonomi, hal ini memberikan peluang unik untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi syariah ke dalam seluruh sektor pembangunan, termasuk sektor maritim. Integrasi ini bukan sekadar wacana normatif, tetapi dapat diwujudkan dalam kebijakan, instrumen keuangan, dan praktik bisnis yang berorientasi pada keberkahan, keadilan, serta kemaslahatan masyarakat pesisir.
Ekonomi syariah dalam konteks maritim Aceh memiliki makna strategis. Di satu sisi, ia menjadi sistem nilai yang mengatur perilaku ekonomi agar selaras dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Di sisi lain, ia merupakan sistem kelembagaan yang menyediakan instrumen keuangan dan mekanisme distribusi kekayaan yang inklusif. Prinsip keadilan dalam ekonomi syariah menolak monopoli, eksploitasi, dan ketimpangan, serta mengutamakan kemitraan produktif berbasis bagi hasil. Nilai-nilai tersebut sangat relevan untuk diterapkan dalam sektor perikanan dan kelautan Aceh yang selama ini didominasi oleh praktik ekonomi tradisional dan rentan terhadap ketimpangan antara pelaku besar dan nelayan kecil.
Salah satu pilar utama dalam integrasi ekonomi syariah ke sektor maritim adalah pengembangan halal value chain atau rantai nilai halal. Konsep ini menekankan bahwa seluruh proses produksi, distribusi, dan konsumsi dalam aktivitas ekonomi harus memenuhi standar halal dan thayyib. Dalam konteks Aceh, halal value chain dapat diterapkan pada industri hasil laut, mulai dari penangkapan ikan, pengolahan, pengemasan, hingga pemasaran produk ekspor. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan pasar global terhadap produk Aceh, tetapi juga memperkuat identitas daerah sebagai pusat ekonomi halal di kawasan barat Indonesia. Pembangunan kawasan industri halal berbasis maritim di Lhokseumawe dan Sabang dapat menjadi tonggak bagi transformasi struktur ekonomi Aceh dari berbasis sumber daya mentah menuju industri bernilai tambah tinggi.
Dalam sistem keuangan, peran lembaga keuangan syariah menjadi sangat penting sebagai motor penggerak ekonomi riil. Transformasi Bank Aceh menjadi bank syariah bukan hanya langkah administratif, melainkan simbol kemandirian ekonomi yang berbasis nilai. Bank Aceh Syariah berpotensi menjadi engine of growth bagi ekonomi maritim Aceh melalui pembiayaan sektor perikanan, usaha kecil dan menengah, serta infrastruktur pelabuhan yang sesuai dengan prinsip syariah. Skema pembiayaan berbasis mudharabah dan musyarakah dapat menggantikan pola pinjaman konvensional yang seringkali menjerat pelaku usaha kecil dengan bunga tinggi. Dengan sistem bagi hasil, risiko dan keuntungan dibagi secara adil antara bank dan nasabah, sehingga tercipta hubungan ekonomi yang setara dan berkeadilan.
Lebih jauh, integrasi ekonomi syariah juga harus memanfaatkan instrumen sosial seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf produktif. Dana sosial ini dapat diarahkan untuk mendukung pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir. Misalnya, wakaf perikanan dapat diwujudkan dalam bentuk pengadaan kapal tangkap bersama atau fasilitas penyimpanan ikan yang dikelola secara kolektif oleh koperasi syariah. Demikian pula, dana zakat dapat digunakan untuk memberikan modal bergulir kepada pelaku usaha mikro di sektor pengolahan hasil laut. Dengan cara ini, ekonomi syariah tidak hanya menjadi sistem keuangan alternatif, tetapi juga menjadi mekanisme redistribusi kekayaan yang memperkuat solidaritas sosial.
Transformasi digital dalam ekonomi syariah turut membuka ruang baru bagi penguatan sektor maritim Aceh. Digitalisasi keuangan syariah memungkinkan terciptanya ekosistem ekonomi pesisir yang lebih inklusif dan efisien. Melalui platform pembayaran syariah, aplikasi halal marketplace, serta sertifikasi produk digital, pelaku UMKM maritim dapat memperluas akses pasar hingga tingkat global. Inovasi ini sejalan dengan tren ekonomi syariah digital yang menjadi bagian dari visi Indonesia Emas 2045. Dalam konteks Aceh, digitalisasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang demokratisasi akses ekonomi bagi masyarakat kecil agar dapat berpartisipasi aktif dalam rantai nilai global. Bank Aceh Syariah dapat berperan sebagai fasilitator ekosistem ini dengan menyediakan layanan pembiayaan digital dan integrasi data usaha berbasis blockchain syariah yang transparan dan terpercaya.
Pemberdayaan UMKM maritim menjadi elemen kunci dalam integrasi ekonomi syariah. UMKM merupakan tulang punggung ekonomi daerah yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Melalui pelatihan manajemen syariah, sertifikasi halal, dan akses pembiayaan berbasis nilai keadilan, UMKM maritim dapat tumbuh menjadi pelaku utama dalam rantai pasok ekonomi halal global. Konsep UMKM syariah berkeadilan sebagaimana diserukan dalam berbagai forum ekonomi Aceh mencerminkan semangat untuk menumbuhkan wirausaha berbasis moral dan keberlanjutan. Pemberdayaan semacam ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya kerja keras, tanggung jawab sosial, dan keberkahan rezeki.
Selain aspek ekonomi, integrasi syariah dalam sektor maritim juga menyentuh dimensi tata kelola dan kebijakan publik. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi berkembangnya ekonomi maritim syariah. Regulasi fiskal, insentif investasi halal, dan program sertifikasi industri perikanan perlu dirancang agar sesuai dengan prinsip maqasid syariah. Kebijakan ini harus memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan ekologi laut, sekaligus menjamin bahwa manfaat ekonomi didistribusikan secara adil kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah Aceh dapat berkolaborasi dengan lembaga akademik, ulama, dan sektor swasta untuk membentuk Aceh Maritime Syariah Council sebagai lembaga koordinasi lintas sektor yang mengawasi penerapan prinsip-prinsip ekonomi syariah di bidang maritim.
Integrasi ekonomi syariah dalam sektor maritim Aceh pada akhirnya bukan hanya strategi ekonomi, melainkan juga strategi kultural dan spiritual. Melalui pendekatan ini, pembangunan tidak hanya mengejar efisiensi dan profitabilitas, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, amanah, dan tanggung jawab sosial. Dengan menghubungkan laut sebagai sumber rezeki dengan ajaran Islam sebagai panduan moral, Aceh dapat menghadirkan model pembangunan yang menyatukan antara iman dan kemakmuran. Model ini bukan hanya relevan bagi Aceh, tetapi juga dapat menjadi inspirasi bagi provinsi lain di Indonesia dalam membangun ekonomi daerah yang mandiri, beretika, dan berkelanjutan
Strategi Pelaksanaan dan Tata Kelola
Keberhasilan pembangunan ekonomi maritim berbasis syariah di Aceh tidak hanya bergantung pada potensi alam atau prinsip nilai yang diusung, tetapi juga pada kemampuan untuk membangun sistem tata kelola yang efektif, transparan, dan berkeadilan. Tata kelola yang dimaksud mencakup dimensi kelembagaan, regulasi, partisipasi masyarakat, dan kolaborasi lintas sektor yang berlandaskan nilai maqāṣid al-syarī‘ah. Dalam konteks ini, Aceh memiliki keunggulan unik melalui status otonomi khususnya yang memberikan keleluasaan untuk mengatur kebijakan ekonomi dan sosial sesuai dengan karakteristik daerah. Namun, otonomi tersebut hanya akan bermakna apabila diiringi dengan kemampuan institusional untuk mengelola sumber daya dan mengimplementasikan kebijakan dengan akuntabilitas tinggi.
Otonomi khusus Aceh sejatinya bukan semata instrumen politik, tetapi juga ruang strategis untuk melakukan inovasi ekonomi yang berbasis nilai. Dalam dua dekade terakhir, Aceh telah mengalokasikan dana otonomi dalam jumlah besar untuk pembangunan infrastruktur, sosial, dan ekonomi. Namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa dampak fiskal terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan belum sebanding dengan potensi anggaran yang dikeluarkan. Kondisi ini menunjukkan perlunya reposisi paradigma fiskal dari sekadar pengeluaran konsumtif menuju investasi produktif. Dalam konteks ekonomi maritim syariah, reposisi tersebut dapat dilakukan melalui penganggaran berbasis nilai manfaat (value-based budgeting), di mana setiap program dinilai berdasarkan sejauh mana ia berkontribusi terhadap kemaslahatan masyarakat dan keberlanjutan sumber daya laut.
Kebijakan fiskal Aceh perlu diarahkan untuk memperkuat ekonomi riil maritim. Hal ini dapat diwujudkan dengan prioritas pembiayaan terhadap sektor-sektor produktif seperti perikanan tangkap, industri pengolahan hasil laut, logistik pelabuhan, dan pariwisata bahari. Pendekatan fiskal berbasis syariah menuntut pemerintah daerah untuk meminimalkan praktik rente dan korupsi yang sering menggerogoti efektivitas pembangunan. Prinsip amanah dan hisbah dalam Islam harus menjadi dasar pengawasan publik terhadap penggunaan dana publik. Dengan memperkuat transparansi anggaran dan partisipasi masyarakat, tata kelola fiskal Aceh dapat bergerak dari model birokratik yang kaku menuju sistem ekonomi yang adaptif dan kolaboratif.
Selain dimensi fiskal, strategi pelaksanaan pembangunan ekonomi maritim berbasis syariah juga memerlukan sinergi antara tiga pilar utama pembangunan: pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi. Kolaborasi ini dapat dirumuskan dalam kerangka triple helix yang menempatkan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, dunia usaha sebagai pelaku ekonomi, dan perguruan tinggi sebagai penghasil pengetahuan serta inovasi. Pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog kebijakan dengan pelaku industri dan akademisi untuk merumuskan strategi jangka panjang yang realistis dan terukur. Dunia usaha, terutama sektor swasta lokal dan BUMD, harus dilibatkan secara aktif dalam pembangunan infrastruktur dan pengembangan industri maritim, sementara universitas seperti Universitas Syiah Kuala dan Politeknik Aceh dapat menjadi pusat riset dan inkubasi inovasi kelautan berbasis teknologi dan syariah.
Integrasi antara pengetahuan ilmiah dan nilai keagamaan menjadi penting untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak mengabaikan aspek moralitas dan sosial. Perguruan tinggi dapat memainkan peran penting dalam membangun kapasitas sumber daya manusia maritim yang berakhlak dan berkompetensi. Kurikulum pendidikan tinggi di Aceh perlu menggabungkan pengetahuan tentang ekonomi syariah, kelautan, dan keberlanjutan lingkungan dalam satu kesatuan ilmu terapan yang relevan dengan kebutuhan lokal. Model scholar-sailor dapat dikembangkan, yakni lahirnya generasi muda Aceh yang memiliki pengetahuan teknis maritim, semangat kewirausahaan syariah, dan etos spiritual yang kuat. Generasi semacam ini akan menjadi penggerak utama transformasi ekonomi Aceh menuju masyarakat maritim yang berdaya dan berkeadilan.
Kebijakan tata kelola ekonomi maritim Aceh juga harus berpijak pada prinsip desentralisasi inklusif, di mana pemerintah kabupaten dan kota diberi ruang untuk mengembangkan sektor unggulannya masing-masing. Pesisir barat Aceh dapat difokuskan pada pariwisata bahari dan konservasi ekosistem laut, sementara pesisir timur lebih diarahkan pada industri perikanan dan logistik pelabuhan. Namun perbedaan fokus tersebut harus berada dalam satu rencana induk pembangunan maritim Aceh yang terpadu. Rencana induk ini akan menjadi peta jalan bagi pembangunan ekonomi biru syariah, menghubungkan setiap kabupaten pesisir dalam jejaring ekonomi yang saling mendukung. Dalam kerangka ini, keberadaan Aceh Maritime Corridor dapat menjadi konsep strategis untuk mengintegrasikan kegiatan perikanan, perdagangan, dan pariwisata dalam satu sistem logistik yang efisien dan halal.
Untuk menjamin keberlanjutan kebijakan, penguatan tata kelola kelembagaan menjadi keharusan. Pemerintah Aceh perlu membentuk lembaga koordinasi lintas sektor seperti Majelis Ekonomi dan Keuangan Syariah Daerah (MEKSD) yang berfungsi sebagai forum strategis antara ulama, birokrat, akademisi, dan pelaku usaha. Lembaga ini dapat memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi dan investasi di sektor maritim sesuai dengan prinsip syariah sekaligus selaras dengan arah pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, sistem hukum ekonomi daerah perlu diperkuat dengan regulasi yang memberikan kepastian investasi halal, perlindungan nelayan, dan insentif bagi usaha ramah lingkungan. Tata kelola hukum yang jelas akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menarik minat investor domestik maupun internasional.
Aspek penting lainnya adalah penguatan tata kelola lingkungan. Pembangunan ekonomi maritim yang berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga keseimbangan ekosistem laut. Setiap kegiatan ekonomi, mulai dari eksploitasi sumber daya ikan hingga pembangunan pelabuhan, harus didasarkan pada kajian lingkungan yang mendalam. Dalam konteks syariah, menjaga kelestarian alam merupakan bagian dari tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu, kebijakan green policing yang menekankan pengawasan terhadap pencemaran laut, penggunaan plastik, dan praktik penangkapan ikan ilegal, harus diintegrasikan dalam strategi tata kelola ekonomi maritim Aceh. Pendekatan ini bukan hanya melindungi sumber daya alam, tetapi juga memastikan keberlangsungan ekonomi pesisir bagi generasi mendatang.
Akhirnya, keberhasilan tata kelola ekonomi maritim berbasis syariah bergantung pada konsistensi politik dan kepemimpinan moral. Pemerintah daerah perlu menampilkan kepemimpinan yang bersih, transparan, dan visioner, yaitu kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan antara rasionalitas ekonomi dan integritas spiritual. Kepemimpinan semacam ini akan menjadi teladan bagi birokrasi dan masyarakat dalam membangun kepercayaan sosial yang menjadi modal dasar pembangunan. Dalam pandangan Islam, keberkahan ekonomi lahir dari niat dan tindakan yang jujur, bukan semata dari kekayaan sumber daya. Maka strategi pelaksanaan ekonomi maritim Aceh yang berkeadilan dan berkelanjutan tidak hanya membutuhkan perencanaan teknokratis, tetapi juga keteladanan moral yang menuntun arah pembangunan menuju kemaslahatan bersama.
Dampak terhadap Kemakmuran dan Kualitas Hidup Masyarakat
Pembangunan ekonomi maritim berbasis syariah yang dirancang secara komprehensif membawa konsekuensi positif yang luas terhadap kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat Aceh. Integrasi antara prinsip keberlanjutan, keadilan ekonomi, dan nilai spiritual menciptakan kerangka pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan angka-angka makroekonomi, tetapi juga pada perbaikan kesejahteraan yang nyata di tingkat keluarga, komunitas, dan lingkungan. Dalam konteks ini, keberhasilan pembangunan tidak semata diukur melalui peningkatan produk domestik regional bruto, tetapi juga dari sejauh mana masyarakat merasakan keadilan ekonomi, peningkatan kapasitas manusia, dan terjaganya keseimbangan ekologis.
Dampak paling nyata dari pembangunan ekonomi maritim syariah terlihat pada penguatan ekonomi riil dan perluasan lapangan kerja. Ketika sektor perikanan, pengolahan hasil laut, dan pariwisata bahari tumbuh secara inklusif, maka akan tercipta efek pengganda ekonomi yang signifikan. Nelayan memperoleh pendapatan yang lebih stabil melalui sistem kemitraan berbasis bagi hasil, sementara pelaku UMKM maritim mendapatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan syariah dengan risiko yang lebih adil. Dalam model seperti ini, kekayaan tidak terakumulasi pada segelintir pihak, melainkan beredar secara produktif di antara masyarakat pesisir. Pola distribusi yang adil inilah yang menjadi inti dari maqāṣid al-syarī‘ah dalam bidang ekonomi, yakni menghadirkan keadilan dan menghapuskan ketimpangan.
Selain peningkatan ekonomi, integrasi sistem syariah juga memperkuat dimensi sosial pembangunan. Melalui instrumen zakat, infak, dan wakaf produktif, masyarakat Aceh memiliki mekanisme internal untuk menyalurkan kekayaan kepada kelompok yang lebih lemah tanpa harus bergantung sepenuhnya pada intervensi pemerintah. Lembaga-lembaga sosial seperti Baitul Mal Aceh berperan sebagai penghubung antara sektor ekonomi dan sektor sosial, menjadikan solidaritas sebagai bagian inheren dari sistem ekonomi daerah. Ketika zakat digunakan bukan hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk modal usaha produktif, maka peran sosial Islam berubah menjadi energi ekonomi yang menggerakkan masyarakat dari bawah. Model pembangunan semacam ini bukan sekadar menciptakan lapangan kerja, tetapi juga membangun rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif terhadap kesejahteraan bersama.
Dari sisi kualitas hidup, ekonomi maritim syariah memberikan dampak positif terhadap tiga dimensi utama kesejahteraan manusia: pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Pertama, peningkatan pendapatan nelayan dan pelaku usaha pesisir memungkinkan keluarga untuk berinvestasi lebih besar dalam pendidikan anak-anak mereka. Pendidikan maritim dan kewirausahaan syariah yang diperkuat di lembaga pendidikan lokal akan menciptakan generasi muda yang tidak hanya berorientasi mencari pekerjaan, tetapi mampu menciptakan nilai ekonomi baru di sektor maritim. Kedua, meningkatnya kesejahteraan juga berdampak pada akses kesehatan yang lebih baik. Dengan dukungan dana sosial dan sistem keuangan inklusif, masyarakat dapat memperoleh jaminan kesehatan dan perlindungan kerja yang lebih memadai. Ketiga, dalam jangka panjang, penerapan prinsip green syariah economy mendorong kesadaran lingkungan dan pelestarian laut yang menjadi sumber kehidupan utama masyarakat Aceh. Laut tidak lagi dilihat sebagai sumber eksploitasi semata, tetapi sebagai amanah Tuhan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Pembangunan maritim berbasis syariah juga berdampak pada transformasi budaya dan spiritual masyarakat. Ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam memperkuat integritas sosial dan moral masyarakat. Kegiatan ekonomi tidak lagi semata diukur dari keuntungan materi, tetapi dari keberkahan yang lahir dari kejujuran, kerja keras, dan kepedulian sosial. Dalam tatanan seperti ini, konsep keberhasilan ekonomi bergeser dari sekadar akumulasi kekayaan menjadi pencapaian falah, yakni kesejahteraan yang mencakup kedamaian batin, keadilan sosial, dan keharmonisan lingkungan. Masyarakat pesisir Aceh yang selama ini menghadapi tekanan ekonomi dan ketidakpastian hidup kini memperoleh arah baru yang memadukan spiritualitas dengan produktivitas.
Pada tingkat makro, transformasi ekonomi maritim syariah juga memperkuat daya tahan Aceh terhadap guncangan eksternal. Diversifikasi ekonomi yang tidak hanya bergantung pada sumber daya migas, tetapi juga pada sektor kelautan, industri halal, dan pariwisata syariah, menjadikan struktur ekonomi Aceh lebih resilien terhadap volatilitas global. Ketika dunia menghadapi ketidakpastian ekonomi akibat perubahan iklim dan geopolitik, Aceh dapat bertumpu pada sistem ekonomi lokal yang mandiri dan berkeadilan. Prinsip risk sharing yang melekat dalam sistem keuangan syariah membantu mengurangi kerentanan terhadap krisis finansial, sementara basis ekonomi riil menjamin stabilitas jangka panjang. Dengan demikian, integrasi ekonomi maritim syariah bukan hanya strategi kesejahteraan, tetapi juga strategi ketahanan daerah.
Secara sosiologis, peningkatan kesejahteraan ekonomi juga membawa perubahan dalam struktur sosial masyarakat Aceh. Ketika sektor maritim tumbuh secara inklusif, peran perempuan dalam ekonomi pesisir meningkat melalui partisipasi dalam pengolahan hasil laut dan industri rumah tangga halal. Inklusivitas gender ini memperkuat ketahanan keluarga dan memperluas basis sosial ekonomi. Demikian pula, keterlibatan generasi muda dalam inovasi digital maritim mempercepat proses modernisasi tanpa mengorbankan nilai-nilai adat dan agama. Kolaborasi antara generasi tua yang menjaga tradisi dan generasi muda yang membawa inovasi menciptakan keseimbangan yang harmonis antara kontinuitas dan pembaruan.
Dari sudut pandang kesejahteraan kolektif, keberhasilan pembangunan ekonomi maritim berbasis syariah dapat diukur melalui peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Islamic Wellbeing Index (IWI). Peningkatan pendapatan per kapita, penurunan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan partisipasi sosial menjadi indikator kuantitatif yang mencerminkan perubahan nyata. Namun lebih dari itu, yang paling penting adalah perubahan kualitatif, yaitu munculnya kesadaran bahwa pembangunan bukan sekadar soal pertumbuhan, tetapi juga tentang bagaimana hidup dijalani dengan makna dan nilai. Dalam hal ini, Aceh menunjukkan potensi untuk menjadi model spiritual development region, wilayah yang menggabungkan rasionalitas ekonomi modern dengan kedalaman spiritual Islam.
Dengan demikian, dampak pembangunan ekonomi maritim berbasis syariah terhadap kemakmuran dan kualitas hidup masyarakat Aceh bersifat multidimensional. Ia meningkatkan kesejahteraan material sekaligus spiritual, memperkuat solidaritas sosial sekaligus kemandirian individu, serta menjaga kelestarian alam sambil mendorong produktivitas ekonomi. Paradigma pembangunan semacam ini membawa Aceh pada jalan kemakmuran yang berkelanjutan, yaitu sebuah kemakmuran yang tumbuh dari laut, berakar pada iman, dan berbuah pada kesejahteraan lahir batin seluruh rakyatnya.
Penutup dan Rekomendasi Kebijakan
Pembangunan ekonomi maritim berbasis ekonomi syariah di Aceh merupakan paradigma baru yang memadukan rasionalitas ekonomi modern dengan kedalaman nilai spiritual Islam. Setelah melalui perjalanan panjang pascakonflik dan rekonstruksi pascatsunami, Aceh kini berada di titik sejarah yang menentukan: apakah ia akan tetap menjadi wilayah dengan potensi yang belum tergarap optimal, atau justru bertransformasi menjadi pusat kemakmuran berkelanjutan yang menjadi model pembelajaran bagi daerah lain di Indonesia.
Tulisan ini menunjukkan bahwa kunci bagi kemajuan Aceh bukanlah sekadar besarnya dana otonomi atau banyaknya proyek infrastruktur, melainkan pada kemampuan untuk mengintegrasikan potensi laut, prinsip syariah, dan tata kelola yang adil dalam satu ekosistem pembangunan yang berkelanjutan. Ekonomi maritim menyediakan sumber daya dan ruang pertumbuhan, sementara ekonomi syariah memberikan arah moral dan kerangka distribusi yang berkeadilan. Ketika keduanya dipadukan melalui tata kelola yang partisipatif, Aceh akan mampu mewujudkan kesejahteraan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menyejukkan secara spiritual.
Namun, keberhasilan konsep ini tidak akan tercapai tanpa perencanaan jangka panjang yang terukur dan konsisten. Karena itu, diperlukan Aceh Blue and Green Syariah Roadmap 2045 sebagai panduan strategis yang menyatukan visi kemakmuran, keberlanjutan, dan spiritualitas dalam satu arah kebijakan terpadu. Peta jalan ini perlu dibangun di atas empat fondasi utama: ekonomi riil produktif, sistem keuangan syariah inklusif, tata kelola lingkungan berkelanjutan, dan penguatan sumber daya manusia maritim yang unggul.
Fondasi pertama adalah penguatan ekonomi riil produktif berbasis laut. Sektor perikanan, pengolahan hasil laut, logistik, dan pariwisata bahari harus menjadi prioritas utama kebijakan ekonomi Aceh. Pemerintah daerah perlu mendorong industrialisasi hasil laut yang tidak hanya berorientasi ekspor, tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan nilai tambah di daerah. Sistem halal value chain perlu diterapkan secara ketat agar setiap aktivitas ekonomi membawa dampak positif bagi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariah dan kelestarian alam.
Fondasi kedua adalah pembangunan sistem keuangan syariah yang inklusif dan adaptif terhadap era digital. Bank Aceh Syariah bersama lembaga keuangan mikro dan koperasi syariah harus memperluas akses pembiayaan bagi nelayan, pelaku UMKM, dan wirausahawan muda maritim. Digitalisasi keuangan berbasis syariah akan memungkinkan proses transaksi yang lebih cepat, transparan, dan efisien, sekaligus memperluas partisipasi masyarakat dalam ekonomi modern. Pengembangan instrumen seperti green sukuk dan wakaf produktif maritim dapat menjadi inovasi pembiayaan baru yang mempertemukan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Fondasi ketiga adalah tata kelola lingkungan dan sumber daya laut yang berkelanjutan. Pembangunan ekonomi maritim harus didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologis. Laut Aceh bukan sekadar sumber daya, melainkan sistem kehidupan yang kompleks dan saling bergantung. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan perikanan, pariwisata, dan industri kelautan harus mengedepankan konservasi dan mitigasi dampak lingkungan. Program green policing yang menekankan pengawasan lingkungan dan edukasi masyarakat pesisir perlu diperkuat agar kesadaran ekologis menjadi bagian dari budaya ekonomi Aceh.
Fondasi keempat adalah pembangunan sumber daya manusia maritim yang berkompeten, berkarakter, dan berakhlak. Transformasi ekonomi tidak akan bertahan tanpa manusia yang siap menjadi motor perubahan. Karena itu, investasi pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keterampilan maritim modern, inovasi teknologi kelautan, dan literasi ekonomi syariah. Lembaga pendidikan tinggi di Aceh dapat memainkan peran kunci dalam mencetak generasi maritime scholars, yaitu mereka yang berpikir strategis, berjiwa kewirausahaan, dan berlandaskan moralitas Islam.
Di atas empat fondasi ini, tata kelola pembangunan harus dijalankan dengan prinsip kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, ulama, akademisi, dan dunia usaha harus bekerja dalam satu kerangka visi. Pemerintah Aceh dapat membentuk Aceh Maritime Syariah Council sebagai lembaga koordinasi strategis yang mengintegrasikan kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Lembaga ini berfungsi memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan selaras dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah sekaligus mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Kolaborasi semacam ini tidak hanya memperkuat efektivitas kebijakan, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi daerah.
Dalam jangka panjang, keberhasilan pembangunan maritim syariah akan membawa Aceh menuju posisi strategis dalam ekonomi nasional dan regional. Dengan kekayaan laut, keunggulan geografis, dan identitas keislaman yang kuat, Aceh dapat menjadi gerbang ekonomi halal kawasan barat Indonesia dan mitra potensial bagi dunia Islam di Samudra Hindia. Melalui diplomasi ekonomi syariah, Aceh dapat membangun kemitraan strategis dengan negara-negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi dalam pengembangan industri halal, logistik maritim, dan pariwisata berbasis nilai Islam.
Namun, peta jalan menuju kemakmuran tersebut memerlukan konsistensi politik dan integritas moral dari seluruh pemangku kepentingan. Tantangan utama bukan hanya keterbatasan sumber daya, melainkan godaan untuk menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi dasar pembangunan itu sendiri. Karena itu, setiap kebijakan ekonomi harus selalu diuji dengan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini membawa kemaslahatan bagi masyarakat? Apakah menjaga amanah dan keadilan? Apakah meninggalkan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang?
Aceh memiliki segala prasyarat untuk menjadi model pembangunan berkelanjutan yang khas: kuat secara nilai, kaya secara sumber daya, dan berdaulat secara sosial. Laut, syariah, dan manusia Aceh adalah tiga pilar utama yang jika disatukan akan membentuk peradaban ekonomi yang bermartabat. Pembangunan semacam ini bukan sekadar proyek teknokratis, tetapi juga panggilan moral dan spiritual. Hal ini menuntut kepemimpinan yang berpikir jauh ke depan, namun tetap berpijak pada akar budaya dan iman.
Pada akhirnya, kemakmuran Aceh yang berkelanjutan bukanlah tentang seberapa cepat pertumbuhan ekonomi dapat dicapai, tetapi tentang seberapa dalam nilai-nilai keadilan, keberkahan, dan kebersamaan dapat tertanam dalam kehidupan masyarakat. Dalam semangat itu, pembangunan ekonomi maritim berbasis syariah menjadi bukan hanya jalan menuju kesejahteraan, melainkan juga jalan menuju makna: bahwa di antara ombak dan doa, Aceh sedang menulis lembaran baru dalam sejarahnya, yaitu lembaran tentang kemakmuran yang tumbuh dari laut, berakar pada iman, dan mengalir menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Daftar Referensi
Amartya, S. (1999). Development as Freedom. New York: Oxford University Press.
Apridar. (2025, Agustus). Memperkuat Kebijakan dan Tata Kelola Ekonomi Riil. Serambi Indonesia.
Apridar. (2025, Juli). Membangun Tol Logistik dari Aceh Menuju Pasar Dunia. Tribunnews Aceh.
Apridar. (2025, Agustus). Ketahanan Pangan, Energi, dan Ekonomi Berkelanjutan. Tribunnews Aceh.
Apridar. (2025, Agustus). Kawasan Strategis Regional dan Keterbukaan Ekonomi Aceh. Tribunnews Aceh.
Apridar. (2025, Agustus). Ekonomi Syariah Digital: Jalan Baru Menuju Indonesia Emas 2045. Tribunnews Aceh.
Apridar. (2025, Agustus). Food Estate Aceh: Menyemai Berkah, Menumbuhkan Kedaulatan Pangan di Tanah Syariat. Tribunnews Aceh.
Apridar. (2025, September). Model Otonomi Khusus Aceh yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Tribunnews Aceh.
Apridar. (2025, September). Paradoks Ekonomi Aceh: Dana Besar, Kemiskinan Tak Terurai – Sebuah Diagnosis dan Solusi. Tribunnews Aceh.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Aceh dalam Angka 2024. Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh.
Bank Indonesia. (2023). Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia 2023. Jakarta: BI Publications.
Bappenas. (2024). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Douglas, N. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge: Cambridge University Press.
FAO. (2022). The State of World Fisheries and Aquaculture 2022: Towards Blue Transformation. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Hill, H. (2023). The Indonesian Economy in Transition: Policy Challenges in the Jokowi Era and Beyond. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Jasser, A. (2018). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought.
Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP). (2024). Indonesia Blue Economy Roadmap 2024–2045. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Ministry of Religious Affairs of Indonesia. (2023). Ekonomi Syariah dan Keadilan Sosial di Era Digital. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam.
National Sharia Board (DSN–MUI). (2023). Pedoman dan Fatwa Ekonomi Syariah untuk Lembaga Keuangan Mikro dan UMKM. Jakarta: DSN–MUI Publications.
Romar, P. (1990). Endogenous Technological Change. Journal of Political Economy, 98(5), S71–S102.
Sachs, J. D. (2015). The Age of Sustainable Development. New York: Columbia University Press.
Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
Suryohadiprojo, S. (2018). Ketahanan Nasional dan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Lemhannas Press.
Tribunnews Aceh. (2025, Agustus). Bank Aceh Syariah: Engine Pertumbuhan Ekonomi Aceh. Tribunnews Aceh.
Tribunnews Aceh. (2025, Agustus). Saatnya UMKM Aceh Menjadi Pelopor Ekonomi Syariah yang Berkeadilan. Tribunnews Aceh.
Tribunnews Aceh. (2025, September). Tiram Mutiara: Ekonomi Biru Aceh. Tribunnews Aceh.
Tribunnews Aceh. (2025, September). Green Policing untuk Lingkungan Hijau Serambi Mekkah. Tribunnews Aceh.
Tribunnews Aceh. (2025, Oktober). Membangun Kemitraan Strategis Produk Halal. Tribunnews Aceh.
Tribunnews Aceh. (2025, Oktober). Meningkatkan Keamanan dan Literasi Digital untuk Inklusi Keuangan Berkelanjutan. Tribunnews Aceh.
UNDP. (2023). Human Development Report 2023: Breaking the Gridlock – Reimagining Cooperation in a Polarized World. New York: United Nations Development Programme.
UNCTAD. (2023). The Blue Economy Report 2023: Rebuilding Ocean Prosperity. Geneva: United Nations Conference on Trade and Development.

Leave a comment