Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Kesejahteraan nasional merupakan prasyarat utama bagi keberlangsungan negara dan ketahanan bangsa. Dalam konteks pembangunan jangka panjang, tujuan akhir dari seluruh kebijakan ekonomi, sosial, dan politik Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan bahagia. Namun, kesejahteraan dan kebahagiaan bukanlah sekadar konsekuensi otomatis dari pertumbuhan ekonomi; keduanya merupakan hasil dari penataan sistemik terhadap struktur sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan yang menopang kehidupan rakyat. Oleh karena itu, visi Indonesia Emas 2045 menempatkan peningkatan standard of welfare dan standard of happiness sebagai indikator keberhasilan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Sejak awal kemerdekaan, gagasan tentang kesejahteraan sosial telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Prinsip tersebut diperkuat dalam sila kelima Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi dasar moral dan filosofis dari seluruh kebijakan kesejahteraan nasional. Dalam kerangka filosofis ini, kesejahteraan bukan hanya terkait dengan kemakmuran material, tetapi juga dengan keadilan sosial, kehormatan manusia, serta harmoni antara individu dan komunitasnya. Dengan demikian, kesejahteraan dalam pandangan bangsa Indonesia bersifat holistik, mencakup dimensi ekonomi, sosial, spiritual, dan ekologis yang saling terkait.
Dalam kurun waktu delapan dekade pembangunan nasional, Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan dari 24% pada awal reformasi menjadi di bawah 10% pada dekade ketiga abad ke-21. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga menunjukkan tren positif yang menandakan perbaikan di bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Namun, capaian tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kesejahteraan substantif. Kesenjangan antara wilayah barat dan timur Indonesia masih mencolok; kualitas layanan publik belum merata; dan tantangan sosial baru seperti disrupsi teknologi, degradasi lingkungan, serta krisis makna hidup dalam masyarakat urban terus muncul.
Konteks globalisasi dan revolusi digital turut mengubah orientasi pembangunan kesejahteraan. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, ukuran kesejahteraan tidak lagi terbatas pada pendapatan per kapita atau ketersediaan barang konsumsi. Kualitas hidup kini diukur melalui tingkat kebahagiaan, kepuasan sosial, dan kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang berkualitas. Laporan World Happiness Report PBB menempatkan kesejahteraan psikologis, solidaritas sosial, dan kepercayaan terhadap institusi publik sebagai faktor utama kebahagiaan nasional. Dengan demikian, kebijakan kesejahteraan Indonesia ke depan harus melampaui paradigma ekonomi konvensional menuju paradigma human well-being yang menempatkan manusia sebagai tujuan, bukan sekadar instrumen pembangunan.
Penataan bidang kesejahteraan menjadi semakin mendesak ketika Indonesia memasuki fase bonus demografi. Pada periode 2025–2045, proporsi penduduk usia produktif akan mencapai lebih dari 68% dari total populasi. Kondisi ini membuka peluang besar untuk melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia, namun juga mengandung risiko bila tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang unggul dan sejahtera. Tanpa fondasi kesejahteraan yang kuat dalam bidang sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, bonus demografi dapat berubah menjadi demographic burden. Dalam hal ini beban sosial dan ekonomi justru memperlambat kemajuan bangsa. Karena itu, sistem kesejahteraan Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas manusia, bukan hanya kuantitas tenaga kerja.
Kesejahteraan sosial tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa pemerataan pendapatan akan memperdalam ketimpangan sosial. Di sisi lain, kebijakan sosial tanpa basis ekonomi yang kuat akan berujung pada ketergantungan fiskal dan menurunkan daya saing nasional. Maka, keseimbangan antara economic efficiency dan social equity menjadi prinsip utama penataan kesejahteraan menuju 2045. Kesejahteraan sejati menuntut harmoni antara produktivitas ekonomi dan solidaritas sosial, yaitu antara pasar yang efisien dan negara yang hadir untuk melindungi yang lemah. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan bukan sekadar proyek sosial, tetapi strategi ketahanan nasional.
Lima bidang utama, yakni: sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, merupakan sistem organik yang menentukan mutu kehidupan masyarakat. Sandang mencerminkan produktivitas dan identitas bangsa melalui industri tekstil dan ekonomi kreatif yang berdaya saing. Pangan menjadi indikator kedaulatan dan ketahanan ekonomi yang paling nyata, karena kemandirian pangan berarti kemandirian bangsa. Papan berfungsi sebagai penopang stabilitas sosial dan lingkungan, menyediakan ruang hidup yang aman, sehat, dan bermartabat. Kesehatan menjadi fondasi produktivitas nasional dan prasyarat kebahagiaan individu. Sedangkan pendidikan merupakan instrumen utama pembentukan manusia unggul yang mampu memaknai kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas sosial. Jika kelima bidang ini dikelola secara terpadu dan berkeadilan, Indonesia akan mampu menciptakan masyarakat dengan tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan yang tinggi pada 2045.
Secara konseptual, standard of welfare dapat didefinisikan sebagai tingkat kesejahteraan minimum yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar dan peluang untuk berkembang. Sementara standard of happiness mencerminkan tingkat kepuasan individu dan masyarakat terhadap kehidupan mereka secara subjektif dan objektif. Dalam konteks Indonesia, kedua standar tersebut harus berakar pada nilai-nilai Pancasila, yang menyeimbangkan antara aspek material dan spiritual, antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, antara kemajuan ekonomi dan kelestarian budaya. Pembangunan kesejahteraan yang ideal bukanlah sekadar mengurangi kemiskinan, melainkan membangun manusia Indonesia yang berdaya, bermakna, dan berbahagia.
Dari perspektif geopolitik dan pertahanan, kesejahteraan nasional memiliki implikasi langsung terhadap stabilitas dan ketahanan negara. Masyarakat yang sejahtera dan bahagia cenderung memiliki tingkat kepercayaan sosial yang tinggi, partisipasi politik yang sehat, dan loyalitas terhadap negara yang kuat. Sebaliknya, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial dapat menjadi sumber ketegangan horizontal dan ancaman terhadap integrasi nasional. Karena itu, sistem kesejahteraan tidak hanya dilihat sebagai instrumen sosial, tetapi juga sebagai bagian integral dari strategi pertahanan non-militer. Konsep Defense by Development, menegaskan bahwa pembangunan sosial-ekonomi yang inklusif merupakan bentuk pertahanan paling efektif terhadap ancaman internal maupun eksternal.
Dengan mempertimbangkan dinamika tersebut, maka arah penataan bidang kesejahteraan menuju Indonesia Emas 2045 harus berlandaskan tiga orientasi strategis. Pertama, pembangunan manusia sebagai subjek, bukan objek kebijakan. Kedua, integrasi antarbidang kesejahteraan dalam satu kerangka sistemik yang menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku utama. Ketiga, orientasi pembangunan pada kebahagiaan dan kualitas hidup, bukan semata pencapaian material. Kesejahteraan dan kebahagiaan nasional bukan hasil akhir, melainkan proses panjang yang menuntut konsistensi kebijakan, kesadaran sosial, dan keteladanan moral dari seluruh pemimpin bangsa.
Oleh karena itu, penataan sistem kesejahteraan nasional tidak cukup hanya dengan memperluas program bantuan sosial atau meningkatkan anggaran publik. Ia harus disertai restrukturisasi kebijakan yang menyentuh akar persoalan, mulai dari redistribusi sumber daya, penguatan kapasitas masyarakat, hingga pembangunan nilai-nilai sosial yang menopang solidaritas kebangsaan. Visi kesejahteraan 2045 bukanlah sekadar mimpi ekonomis, tetapi cita moral bangsa: mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka secara ekonomi, bermartabat secara sosial, dan bahagia secara batin.
Dengan arah tersebut, Indonesia akan mampu memasuki abad kedua kemerdekaannya sebagai negara besar yang tidak hanya maju secara material, tetapi juga unggul secara peradaban, menjadi suatu bangsa yang tidak hanya rich in resources tetapi juga rich in spirit.
Kerangka Konseptual dan Teoretis
Konsep kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari sejarah pemikiran tentang manusia dan masyarakat. Dalam tradisi filsafat klasik, Aristoteles memandang kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia. Kebahagiaan, menurutnya, bukanlah sekadar kenikmatan fisik, melainkan hasil dari aktualisasi potensi manusia untuk hidup dengan baik dan bertindak sesuai dengan kebajikan. Pandangan ini memberikan dasar moral bagi konsep kesejahteraan yang menempatkan manusia sebagai makhluk rasional dan etis. Di sisi lain, aliran utilitarianisme modern seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill memandang kesejahteraan sebagai akumulasi kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Prinsip “the greatest happiness for the greatest number” kemudian menjadi dasar bagi kebijakan publik modern yang berorientasi pada manfaat sosial.
Namun, teori utilitarian ini menghadapi kritik karena mengabaikan keadilan dan kebebasan individu. John Rawls, melalui karya A Theory of Justice (1971), mengajukan konsep justice as fairness yang menekankan bahwa kesejahteraan masyarakat harus dibangun di atas prinsip keadilan distributif. Dalam pandangannya, struktur sosial yang adil adalah struktur yang memberikan kesempatan setara bagi setiap individu untuk mengembangkan potensi mereka tanpa mengorbankan hak dasar orang lain. Rawls menegaskan bahwa kebijakan publik yang baik bukanlah yang menghasilkan manfaat terbesar secara agregat, melainkan yang melindungi hak-hak dasar kelompok paling lemah. Prinsip ini menjadi sangat relevan dalam konteks Indonesia, di mana kesenjangan sosial-ekonomi antarwilayah dan antarkelas masih menjadi tantangan besar menuju kesejahteraan nasional.
Amartya Sen kemudian melengkapi paradigma ini dengan pendekatan capability approach yang menekankan bahwa kesejahteraan sejati bukan sekadar memiliki sumber daya, tetapi kemampuan untuk menggunakan sumber daya itu untuk mencapai kehidupan yang bernilai. Menurut Sen (1999), pembangunan harus dilihat sebagai proses memperluas kebebasan substantif manusia untuk memilih dan menjalani kehidupan yang dinilainya bermakna. Dalam kerangka ini, pendidikan, kesehatan, dan kebebasan sosial bukan hanya sarana menuju pertumbuhan ekonomi, tetapi tujuan akhir pembangunan itu sendiri. Pendekatan Sen menjadi sangat relevan bagi Indonesia karena menegaskan bahwa kesejahteraan nasional tidak dapat diukur hanya dari PDB, melainkan dari seberapa besar warga negara memiliki kendali atas nasib dan pilihan hidupnya.
Dari perspektif psikologi humanistik, Abraham Maslow (1954) mengemukakan hierarki kebutuhan manusia mulai dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, hingga aktualisasi diri. Dalam kerangka pembangunan kesejahteraan nasional, teori ini menggarisbawahi bahwa kebijakan publik harus mampu memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum mengembangkan dimensi-dimensi tertinggi kebahagiaan manusia. Di sinilah relevansi lima bidang kesejahteraan tersebut, mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, hingga pendidikan, menjadi nyata. Kebutuhan-kebutuhan tersebut mewakili lapisan fundamental dalam piramida kehidupan manusia yang, bila terpenuhi secara berkeadilan, akan membuka jalan menuju aktualisasi diri kolektif bangsa.
Konsep kebahagiaan nasional sebagai bagian integral dari kesejahteraan mulai mendapat perhatian serius dalam dekade terakhir. Berbagai negara telah mencoba mengukur kebahagiaan nasional melalui indeks yang menggabungkan faktor ekonomi, sosial, dan psikologis. Bhutan memperkenalkan Gross National Happiness (GNH) sebagai paradigma alternatif dari Gross Domestic Product (GDP), dengan empat pilar utama: tata kelola yang baik, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pelestarian budaya, dan konservasi lingkungan. Model ini menginspirasi banyak negara untuk mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi terhadap pembangunan. Dalam konteks Indonesia, kebahagiaan nasional tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai spiritual dan sosial yang melekat pada budaya bangsa. Pancasila, dengan sila-sila yang menekankan kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial, memberikan kerangka filosofis untuk mengintegrasikan dimensi material dan non-material dalam pembangunan nasional.
Pancasila secara konseptual berperan sebagai moral compass dalam penataan kesejahteraan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa kebahagiaan manusia tidak hanya bersumber dari kepuasan material, tetapi juga dari keseimbangan spiritual. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, menegaskan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan keadilan sosial dalam setiap kebijakan. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengajarkan bahwa kesejahteraan tidak dapat dicapai tanpa solidaritas nasional. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menekankan partisipasi rakyat dalam menentukan arah pembangunan. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi puncak cita-cita kesejahteraan: suatu tatanan sosial di mana setiap individu dapat menikmati hasil pembangunan secara proporsional dan berkeadilan. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya menjadi dasar normatif, tetapi juga paradigma operasional dalam membangun kesejahteraan dan kebahagiaan nasional.
Dalam konteks pembangunan Indonesia modern, konsep kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari gagasan ketahanan nasional (national resilience). Menurut Suryohadiprojo (2018), ketahanan nasional adalah kemampuan bangsa untuk mengelola sumber daya internalnya guna menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kesejahteraan sosial merupakan dimensi vital dari ketahanan nasional, karena masyarakat yang sejahtera dan bahagia memiliki daya tahan yang tinggi terhadap gejolak sosial maupun tekanan eksternal. Dalam perspektif Defense by Development, pembangunan sosial-ekonomi yang inklusif merupakan bentuk pertahanan strategis, di mana stabilitas sosial dan kemakmuran rakyat menjadi benteng utama ketahanan negara. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan nasional memiliki fungsi ganda: memperkuat kemakmuran dan memperkokoh pertahanan.
Dari sisi kebijakan, kerangka konseptual kesejahteraan nasional menuju Indonesia 2045 dapat dipahami sebagai transformasi dari paradigma growth-centered menuju well-being-centered. Paradigma lama menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir, sementara paradigma baru menempatkannya sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. UNDP (2023) melalui Human Development Report menekankan pentingnya human security dan well-being economy sebagai fondasi pembangunan masa depan. Perekonomian harus diarahkan tidak hanya untuk menghasilkan barang dan jasa, tetapi juga untuk membangun relasi sosial yang kuat, memperkuat solidaritas masyarakat, dan menciptakan makna hidup kolektif.
Dalam konteks ini, standard of welfare dapat dimaknai sebagai ukuran objektif terhadap kesejahteraan, seperti tingkat pendapatan, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Sedangkan standard of happiness merupakan ukuran subjektif yang berkaitan dengan kepuasan hidup, rasa aman, keterikatan sosial, serta makna spiritual. Integrasi keduanya mencerminkan keseimbangan antara kemajuan material dan non-material. Negara maju tidak selalu memiliki masyarakat yang bahagia; karena itu, Indonesia Emas 2045 harus memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak diiringi oleh alienasi sosial dan degradasi moral. Kesejahteraan tanpa kebahagiaan akan melahirkan kekosongan, sementara kebahagiaan tanpa kesejahteraan akan rapuh.
Secara metodologis, pendekatan penataan kesejahteraan nasional harus multidisipliner dan transformatif. Ekonomi, sosiologi, psikologi, dan ilmu pemerintahan harus bekerja sinergis dalam membentuk sistem yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern. Pembangunan kesejahteraan tidak lagi dapat bersifat sektoral, melainkan sistemik, dengan keterpaduan antara kebijakan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan sebagai satu ekosistem nasional. Pendekatan inilah yang akan menjamin keberlanjutan standard of welfare dan standard of happiness.
Dengan demikian, kerangka konseptual kesejahteraan Indonesia harus berpijak pada tiga fondasi utama. Pertama, kesejahteraan material yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Kedua, kesejahteraan sosial yang menumbuhkan solidaritas, rasa aman, dan partisipasi. Ketiga, kesejahteraan batin yang memberikan makna dan arah hidup. Ketiganya bersatu dalam bingkai Pancasila yang menempatkan manusia sebagai makhluk individu sekaligus sosial, ekonomi sekaligus moral, duniawi sekaligus transenden. Inilah yang membedakan visi kesejahteraan Indonesia dari model-model Barat yang cenderung sekuler dan individualistik. Kesejahteraan Indonesia Emas adalah kesejahteraan yang berjiwa, sebuah harmoni antara kemajuan dan kebajikan, antara produktivitas dan kebermaknaan, antara kesejahteraan dan kebahagiaan.
Bidang Sandang: Industrialisasi Ramah Lingkungan dan Kemandirian Nasional
Sandang, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, sering dipahami hanya sebatas pemenuhan pakaian. Padahal dalam konteks pembangunan nasional, sandang memiliki makna yang jauh lebih luas: ia mencerminkan tingkat produktivitas, daya saing industri, identitas budaya, serta kemandirian ekonomi suatu bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa industrialisasi tekstil merupakan pintu masuk bagi transformasi ekonomi di banyak negara. Inggris pada masa revolusi industri, Jepang pada awal abad ke-20, dan Korea Selatan pada dekade 1960-an menjadikan sektor sandang sebagai lokomotif industrialisasi nasional. Indonesia memiliki peluang serupa, terlebih dengan warisan budaya wastra Nusantara yang kaya dan posisi strategis dalam rantai pasok tekstil global.
Perkembangan sektor sandang Indonesia hingga kini memperlihatkan dua wajah. Di satu sisi, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu penyumbang ekspor non-migas terbesar dan menyerap jutaan tenaga kerja. Namun di sisi lain, ketergantungan pada bahan baku impor, rendahnya efisiensi energi, serta tingginya limbah produksi menjadikan sektor ini rentan terhadap krisis global dan tekanan lingkungan. Oleh karena itu, penataan bidang sandang menuju tahun 2045 harus diarahkan pada transformasi struktural menuju circular textile economy. Yaitu suatu sistem produksi dan konsumsi yang berorientasi pada efisiensi sumber daya, pengurangan emisi karbon, serta daur ulang material secara berkelanjutan.
Kemandirian industri sandang tidak dapat dicapai tanpa reformasi menyeluruh pada rantai pasok domestik. Indonesia perlu memperkuat basis hulu dengan memproduksi serat alami seperti kapas, bambu, dan serat nanoteknologi dari rumput laut. Pengembangan bahan baku berbasis bioteknologi tidak hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga menciptakan nilai tambah baru di bidang riset dan inovasi. Kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan industri menjadi kunci untuk menciptakan ecosystem of innovation yang memperkuat daya saing nasional. Pemerintah dapat berperan sebagai katalisator melalui kebijakan fiskal dan regulasi insentif yang mendorong investasi hijau dalam teknologi tekstil.
Transformasi digital juga menjadi komponen esensial dari industrialisasi sandang masa depan. Konsep Industry 5.0 menuntut integrasi antara kecerdasan buatan, Internet of Things, dan otomatisasi robotik dalam seluruh rantai produksi. Digitalisasi tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok global. Melalui sistem smart manufacturing, industri tekstil Indonesia dapat menekan biaya produksi, meminimalkan limbah, serta memperluas akses pasar ekspor yang semakin menuntut sertifikasi keberlanjutan. Dengan demikian, teknologi digital bukan ancaman terhadap tenaga kerja, melainkan sarana pemberdayaan melalui peningkatan kompetensi dan keterampilan baru di bidang desain, riset material, dan pengelolaan rantai pasok.
Dari perspektif sosial-budaya, sektor sandang juga berfungsi sebagai simbol identitas dan kebanggaan nasional. Wastra Nusantara, meliputi batik, songket, tenun ikat, ulos, dan ragam kain tradisional lainnya, tidak sekadar produk estetika, melainkan ekspresi nilai, filosofi, dan sejarah kolektif bangsa. Upaya revitalisasi industri sandang harus menghormati kearifan lokal dan menjadikannya sumber daya ekonomi kreatif. Program Bangga Buatan Indonesia dan Wastra Revitalization Movement berpotensi menjadi katalis integrasi antara modernitas dan tradisi, menciptakan produk yang tidak hanya kompetitif di pasar global tetapi juga berakar kuat pada budaya nasional. Dengan cara ini, sandang berfungsi ganda: sebagai sarana ekonomi dan sebagai medium diplomasi budaya yang memperkuat citra Indonesia di dunia.
Kemandirian nasional di bidang sandang juga memiliki dimensi strategis dalam kerangka ketahanan ekonomi dan pertahanan non-militer. Krisis global yang mengganggu rantai pasok bahan baku dan logistik menegaskan pentingnya kemampuan produksi domestik. Ketergantungan berlebihan pada impor bahan baku tekstil dari luar negeri dapat menjadi kerentanan strategis dalam situasi darurat. Oleh sebab itu, pembangunan National Textile Reserve System, sebagai cadangan bahan baku dan produk sandang nasional, perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem ketahanan nasional. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Defense by Development yang menempatkan kemandirian industri sebagai elemen vital keamanan nasional.
Di sisi lingkungan, industri sandang harus menjawab tantangan keberlanjutan. Data UN Environment Programme menunjukkan bahwa industri tekstil menyumbang sekitar 10 persen emisi karbon global dan 20 persen pencemaran air industri. Dalam konteks Indonesia, strategi keberlanjutan harus mencakup efisiensi energi, penggunaan air secara bertanggung jawab, serta penerapan teknologi daur ulang limbah tekstil. Model bisnis green fashion dan eco-labeling perlu diarusutamakan agar produk Indonesia memenuhi standar internasional dan meningkatkan daya saing ekspor. Keterlibatan masyarakat, terutama generasi muda, dalam gerakan sustainable fashion juga menjadi faktor penting untuk membangun kesadaran ekologi dan tanggung jawab sosial dalam konsumsi sandang.
Selain dimensi industri dan lingkungan, penataan sandang memiliki aspek kesejahteraan langsung terhadap masyarakat. Pekerja tekstil dan sektor UMKM garmen merupakan kelompok yang sangat bergantung pada stabilitas industri ini. Oleh karena itu, kebijakan upah layak, perlindungan sosial, dan pelatihan vokasional menjadi bagian integral dari strategi kesejahteraan nasional. Pemerintah harus memastikan bahwa transformasi menuju industri berteknologi tinggi tidak memarginalkan pekerja, tetapi justru membuka peluang bagi peningkatan mobilitas sosial. Pendidikan vokasi dan politeknik tekstil harus diperkuat agar mampu menghasilkan tenaga kerja dengan keterampilan digital dan ekologis yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan.
Dari sudut pandang kebijakan publik, integrasi lintas sektor sangat diperlukan untuk membangun ekosistem sandang nasional. Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus bekerja dalam satu kerangka kebijakan nasional yang konsisten. Regulasi yang sederhana, akses pembiayaan hijau, serta dukungan ekspor perlu disinergikan dalam satu peta jalan Textile Industry Roadmap 2045. Dalam peta jalan tersebut, setiap wilayah dapat diarahkan sesuai keunggulan komparatifnya: Jawa sebagai pusat industri dan riset, Sumatra untuk pengolahan bahan baku, Sulawesi dan Maluku untuk pengembangan serat alami, serta Bali dan Nusa Tenggara untuk pusat desain dan pariwisata berbasis wastra.
Dengan pendekatan menyeluruh ini, bidang sandang tidak hanya berfungsi sebagai penopang ekonomi, tetapi juga sebagai penentu standard of welfare masyarakat. Sandang yang terjangkau, bermutu, dan berkelanjutan akan meningkatkan kualitas hidup rakyat, memperkuat ekonomi lokal, serta memperkokoh rasa bangga nasional. Dalam visi Indonesia Emas 2045, industri sandang akan menjadi contoh nyata bagaimana transformasi ekonomi dapat berjalan seiring dengan pelestarian budaya dan kelestarian alam. Dalam hal ini mencerminkan keseimbangan antara efisiensi dan kemanusiaan, antara kemandirian dan keberlanjutan, antara kemajuan material dan martabat bangsa.
Dengan demikian, penataan bidang sandang bukan sekadar urusan industri dan perdagangan, melainkan strategi kebangsaan untuk membangun kesejahteraan dan kebahagiaan kolektif. Sandang yang lahir dari keringat rakyat sendiri, dengan teknologi yang lestari dan nilai budaya yang luhur, akan menjadi simbol nyata kemandirian Indonesia, sebagai suatu bentuk kemakmuran yang berakar pada jati diri, dan kebahagiaan yang tumbuh dari rasa memiliki terhadap karya bangsa sendiri.
Bidang Pangan: Kemandirian, Keamanan, dan Kedaulatan Pangan Nasional
Pangan adalah urat nadi kesejahteraan dan pilar utama ketahanan nasional. Tidak ada pembangunan manusia tanpa jaminan atas ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan pangan. Dalam kerangka pembangunan menuju Indonesia Emas 2045, kedaulatan pangan menjadi simbol sekaligus substansi dari kemerdekaan sejati bangsa. Kemandirian dalam produksi pangan bukan semata isu ekonomi, tetapi juga persoalan politik, sosial, dan pertahanan. Bangsa yang tidak mampu memberi makan rakyatnya akan kehilangan kedaulatan atas kebijakan ekonominya, dan pada akhirnya rapuh terhadap tekanan eksternal. Oleh karena itu, penataan bidang pangan menjadi prioritas strategis untuk mewujudkan standard of welfare yang kokoh dan standard of happiness yang berkelanjutan.
Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah menyadari hubungan erat antara pangan dan kemerdekaan. Ir. Soekarno menegaskan bahwa “pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa,” karena tanpa kecukupan pangan, bangsa akan mudah tergantung pada negara lain. Pandangan ini menemukan relevansinya kembali dalam era globalisasi yang memperlihatkan kerentanan rantai pasok pangan dunia akibat perubahan iklim, perang, pandemi, serta fluktuasi harga komoditas internasional. Krisis pangan global 2008 dan ketegangan geopolitik pasca-pandemi menegaskan bahwa kemandirian pangan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar dunia. Ia harus dibangun di atas kekuatan produksi domestik yang berdaulat dan berkelanjutan.
Dalam konteks pembangunan nasional, konsep kemandirian pangan tidak identik dengan isolasi ekonomi, melainkan kemampuan untuk mengendalikan sumber daya strategis, memproduksi pangan pokok secara berkelanjutan, serta memastikan setiap warga negara memiliki akses terhadap pangan bergizi dan aman. Oleh sebab itu, paradigma pembangunan pangan Indonesia perlu bergeser dari orientasi produksi semata ke orientasi sistem pangan berkeadilan. Sistem ini melibatkan seluruh rantai nilai pangan, dari hulu hingga hilir, serta memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Secara ekonomi, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang besar dalam sektor pangan. Sumber daya lahan yang luas, keanekaragaman hayati yang tinggi, dan iklim tropis memungkinkan produksi berbagai komoditas sepanjang tahun. Namun, keunggulan ini belum sepenuhnya diolah menjadi keunggulan kompetitif. Struktur produksi pangan masih didominasi oleh petani kecil dengan produktivitas rendah dan akses terbatas terhadap modal, teknologi, serta pasar. Ketergantungan terhadap impor bahan pangan strategis seperti kedelai, gandum, dan gula menunjukkan masih lemahnya kapasitas produksi nasional. Ketergantungan ini bukan hanya menggerus neraca perdagangan, tetapi juga mengancam stabilitas sosial ketika harga pangan melonjak.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan strategi nasional yang berorientasi pada penguatan kemandirian petani dan efisiensi sistem produksi. Penerapan precision agriculture, penggunaan big data untuk prediksi cuaca dan pola tanam, serta integrasi teknologi digital dalam rantai pasok akan menjadi tulang punggung pertanian modern. Program food estate yang dikembangkan di Kalimantan, Sumatra, dan Papua harus didesain secara inklusif dan ekologis, bukan sekadar proyek skala besar yang meminggirkan petani lokal. Setiap pengembangan lahan pangan harus memperhatikan keseimbangan lingkungan dan sosial, termasuk hak masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem air.
Selain aspek produksi, dimensi distribusi pangan memegang peran krusial dalam menjamin akses yang adil bagi seluruh masyarakat. Banyak daerah di Indonesia bukan mengalami krisis produksi, melainkan krisis distribusi. Ketimpangan infrastruktur logistik menyebabkan harga pangan di wilayah timur jauh lebih tinggi dibandingkan di Jawa. Karena itu, pembangunan national food logistics corridor menjadi kebutuhan mendesak. Jalur logistik yang efisien dan terintegrasi dari pusat produksi hingga pasar konsumen akan menekan disparitas harga dan memperkuat kohesi ekonomi nasional. Dalam konteks ini, kebijakan pembangunan pelabuhan perikanan, jalan tol laut, dan pusat distribusi regional bukan hanya infrastruktur ekonomi, melainkan infrastruktur kesejahteraan nasional.
Kedaulatan pangan juga memiliki dimensi sosial dan kultural. Diversifikasi pangan berbasis potensi lokal adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditas tunggal seperti beras. Indonesia memiliki ribuan jenis bahan pangan alternatif, seperti: sagu, sorgum, jagung, pisang, dan umbi-umbian, yyang berpotensi menjadi pangan masa depan. Revitalisasi pangan lokal bukan hanya soal substitusi bahan makanan, tetapi juga pemulihan jati diri kuliner bangsa. Pola konsumsi yang homogen dan bergantung pada impor merupakan warisan kolonial ekonomi yang perlu diubah. Dengan menumbuhkan kebanggaan terhadap pangan lokal, Indonesia tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga memperkokoh identitas kultural dan kebahagiaan kolektif masyarakat.
Dari perspektif lingkungan, pembangunan pangan masa depan harus berorientasi pada keberlanjutan. Pertanian yang ekstensif tanpa memperhatikan daya dukung ekosistem telah menyebabkan degradasi tanah, deforestasi, dan penurunan kualitas air. Konsep agroecology dan climate-smart agriculture perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan pertanian nasional. Pemanfaatan pupuk organik, rotasi tanaman, serta teknologi konservasi air dapat menjaga keseimbangan alam sekaligus meningkatkan produktivitas. Selain itu, pengembangan perikanan berkelanjutan di wilayah pesisir dan kepulauan harus menjadi bagian dari kebijakan pangan nasional. Laut Indonesia bukan hanya sumber protein, tetapi juga bagian integral dari sistem pangan Nusantara. Oleh karena itu, penguatan blue economy menjadi elemen penting dalam mewujudkan kemandirian pangan maritim.
Pangan juga berhubungan langsung dengan kebahagiaan masyarakat. Ketersediaan pangan bergizi dan rasa aman terhadap sumber makanan menjadi faktor penting dalam membangun standard of happiness. Masyarakat yang tidak perlu khawatir terhadap harga bahan pokok, yang dapat menikmati hasil bumi lokal dengan kebanggaan, akan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Dalam perspektif ini, kebijakan pangan tidak hanya berbicara tentang efisiensi dan produktivitas, tetapi juga tentang rasa syukur, keadilan, dan kebermaknaan hidup. Nilai-nilai gotong royong dan solidaritas sosial yang diwariskan oleh budaya agraris Indonesia harus dihidupkan kembali dalam bentuk modern: koperasi pangan, bank benih komunitas, dan sistem perdagangan lokal yang adil.
Kedaulatan pangan juga berkaitan erat dengan pertahanan dan keamanan nasional. Ketergantungan pada impor pangan dapat menjadi instrumen tekanan geopolitik dari negara lain. Oleh karena itu, sistem pangan harus didesain sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional yang berlapis. Pemerintah perlu membangun Strategic National Food Reserve sebagai cadangan pangan jangka panjang, serta memperkuat Badan Pangan Nasional sebagai lembaga otoritatif yang mengatur tata kelola stok, distribusi, dan harga pangan secara transparan. Di masa krisis, kemampuan negara untuk menyediakan pangan bagi seluruh rakyat menjadi ukuran nyata kedaulatan politik. Dalam konteks ini, pangan bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga strategi pertahanan rakyat semesta.
Penataan kebijakan pangan harus bersifat lintas sektor dan lintas skala. Kementerian Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perdagangan, serta Bappenas perlu berkolaborasi dalam satu National Food Sovereignty Framework yang menyeimbangkan aspek produksi, distribusi, konsumsi, dan keberlanjutan. Pemerintah daerah diberi ruang untuk mengembangkan inovasi pangan berbasis kearifan lokal sesuai karakteristik wilayahnya. Pendekatan desentralisasi ini memungkinkan sistem pangan nasional menjadi lebih resilien terhadap gangguan eksternal, sekaligus menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pangan mereka sendiri.
Menuju tahun 2045, Indonesia dituntut tidak hanya menjadi negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya, tetapi juga menjadi pusat ketahanan pangan regional. Posisi geografis Indonesia yang strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik menjadikannya simpul penting dalam arsitektur pangan Asia Tenggara. Dengan kekuatan sumber daya alam, teknologi pertanian tropis, dan jaringan maritim, Indonesia berpotensi menjadi eksportir pangan berkelanjutan yang berkontribusi terhadap stabilitas kawasan. Dalam kerangka ini, kedaulatan pangan nasional juga berfungsi sebagai diplomasi strategis Indonesia di tataran regional dan global.
Dengan demikian, penataan bidang pangan tidak hanya berbicara tentang produksi dan konsumsi, tetapi tentang membangun sistem kehidupan yang adil, mandiri, dan berkelanjutan. Pangan adalah cermin kemandirian bangsa, ukuran moral pemerintahan, dan simbol kebahagiaan rakyat. Negara yang berdaulat atas pangannya adalah negara yang mampu berdiri tegak tanpa bergantung pada belas kasihan pasar global. Di sinilah standard of welfare dan standard of happiness menemukan bentuk nyatanya: dalam keseharian rakyat yang dapat makan dari hasil tangannya sendiri, hidup dari bumi yang dijaganya, dan bahagia dalam kemandirian yang bermartabat.
Bidang Papan: Perumahan Layak, Hijau, dan Inklusif
Papan merupakan kebutuhan dasar manusia yang memiliki dimensi fisik, sosial, dan psikologis sekaligus. Dalam kerangka kesejahteraan nasional, rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga ruang hidup yang membentuk karakter, produktivitas, serta rasa kebahagiaan seseorang. Kualitas tempat tinggal menentukan kualitas interaksi sosial, kesehatan lingkungan, dan stabilitas keluarga. Oleh karena itu, pemenuhan hak atas perumahan layak dan terjangkau merupakan elemen penting dalam membangun standard of welfare masyarakat Indonesia yang berkeadilan.
Sejak masa awal pembangunan nasional, kebijakan perumahan di Indonesia cenderung berfokus pada kuantitas, yaitu menyediakan sebanyak mungkin unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, pendekatan tersebut sering kali mengabaikan aspek kualitas lingkungan, aksesibilitas terhadap layanan publik, dan keberlanjutan sosial. Akibatnya, banyak perumahan rakyat yang secara fisik layak, tetapi secara sosial terisolasi dan tidak produktif. Dalam visi Indonesia 2045, paradigma pembangunan papan harus bergeser dari “sekadar membangun rumah” menuju “membangun kehidupan”. Artinya, perumahan tidak hanya diukur dari jumlah unit, tetapi dari sejauh mana ia mampu menciptakan lingkungan yang sehat, inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Pembangunan perumahan masa depan harus berorientasi pada tiga prinsip utama: keberlanjutan lingkungan (green housing), keterjangkauan ekonomi (affordability), dan inklusivitas sosial (social integration). Ketiganya menjadi satu kesatuan dalam membentuk sistem perumahan nasional yang tidak diskriminatif, efisien, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Dari perspektif lingkungan, konsep green housing menjadi keharusan. Pertumbuhan kota yang cepat, ditambah tekanan perubahan iklim, menuntut pembangunan perumahan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Rumah-rumah masa depan harus didesain dengan memperhatikan efisiensi penggunaan air, sistem ventilasi alami, penggunaan bahan bangunan rendah emisi, serta pengelolaan limbah domestik yang terintegrasi. Program Green Building Council Indonesia dan Kota Hijau Nasional yang telah digagas pemerintah perlu diperluas menjadi standar wajib dalam seluruh proyek perumahan baru. Dengan demikian, sektor papan dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi nasional dan peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Dari sisi ekonomi, perumahan yang layak harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membebani keuangan rumah tangga. Realitas menunjukkan bahwa harga rumah di perkotaan meningkat jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Fenomena urban housing crisis ini menyebabkan munculnya kantong-kantong permukiman informal atau kumuh di berbagai kota besar. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah perlu memperkuat sistem pembiayaan perumahan yang inklusif melalui kombinasi antara skema kredit bersubsidi, pembiayaan syariah, dan program kepemilikan bersama (shared ownership). Pendekatan baru seperti micro-mortgage dan community-based housing fund dapat memperluas akses kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan informal.
Selain itu, perumahan juga memiliki fungsi strategis dalam mendorong produktivitas ekonomi masyarakat. Hunian yang dekat dengan tempat kerja, sekolah, dan fasilitas publik akan menghemat waktu, energi, dan biaya transportasi, sehingga meningkatkan efisiensi ekonomi keluarga. Oleh karena itu, kebijakan integrated urban housing perlu diutamakan. Pembangunan perumahan harus terintegrasi dengan sistem transportasi publik, pusat ekonomi lokal, serta ruang terbuka hijau. Konsep Transit Oriented Development (TOD) yang telah diterapkan di sejumlah kota besar dapat menjadi model pengembangan kawasan hunian masa depan yang compact, efisien, dan ramah lingkungan.
Dari perspektif sosial, rumah berperan penting sebagai basis pembentukan solidaritas dan kohesi sosial. Permukiman yang tertata baik memfasilitasi interaksi antarwarga, menumbuhkan rasa aman, dan memperkuat modal sosial masyarakat. Sebaliknya, perumahan yang segregatif memperlemah solidaritas dan memperbesar kesenjangan sosial. Karena itu, pendekatan pembangunan papan harus menolak segregasi sosial berdasarkan kelas ekonomi. Kebijakan zonasi harus mendorong keberagaman sosial dalam satu wilayah hunian, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang ekonomi dan budaya dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Inilah makna inklusivitas dalam pembangunan papan yang sejati.
Di pedesaan, konsep community-based housing menjadi solusi ideal. Model ini menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam pembangunan rumah dan lingkungan, sambil memanfaatkan teknologi konstruksi sederhana yang efisien. Rumah-rumah rakyat tidak hanya dibangun oleh kontraktor, tetapi oleh masyarakat sendiri dengan dukungan teknis dan finansial dari pemerintah. Pendekatan ini bukan sekadar efisien secara biaya, tetapi juga memperkuat rasa kepemilikan dan kebersamaan warga.
Kualitas perumahan juga sangat menentukan tingkat kebahagiaan masyarakat. Berbagai studi menunjukkan korelasi positif antara kondisi tempat tinggal dengan kesejahteraan psikologis dan sosial. Lingkungan yang aman, hijau, dan tertata baik menumbuhkan rasa nyaman dan damai, sementara lingkungan yang kumuh dan padat memicu stres, kriminalitas, serta rendahnya kualitas hidup. Dengan demikian, perumahan yang layak dan manusiawi merupakan bagian tak terpisahkan dari standard of happiness. Rumah bukan hanya atap, tetapi ruang kehidupan yang memelihara kehangatan keluarga dan ketenangan jiwa.
Dari perspektif tata kelola, tantangan terbesar pembangunan papan di Indonesia adalah fragmentasi kebijakan dan lemahnya koordinasi antarinstansi. Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, dan pemerintah daerah sering kali bekerja secara parsial tanpa integrasi data dan perencanaan. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan National Housing Governance System yang mengintegrasikan perencanaan tata ruang, data perumahan, dan sistem pembiayaan dalam satu platform nasional berbasis One Housing Data. Sistem ini akan mempermudah pengambilan keputusan, mencegah duplikasi program, dan memperkuat transparansi publik.
Kebijakan perumahan juga perlu berorientasi jangka panjang dengan mempertimbangkan dinamika demografi dan urbanisasi. Pada tahun 2045, lebih dari 70 persen penduduk Indonesia diperkirakan tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini menuntut pembangunan kota yang adaptif, efisien, dan berkeadilan sosial. Pembangunan vertikal melalui apartemen rakyat dan rumah susun hijau menjadi keniscayaan untuk mengatasi keterbatasan lahan. Namun, pembangunan vertikal harus dibarengi dengan pendekatan humanistik agar tidak menciptakan “kemiskinan vertikal”, yaitu keterasingan sosial dalam hunian modern. Arsitektur dan tata kota harus dirancang untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan partisipasi warga dalam pengelolaan lingkungan.
Selain menjadi instrumen kesejahteraan, perumahan juga memiliki fungsi strategis dalam konteks ketahanan nasional. Permukiman yang tertata baik memudahkan mobilisasi sosial dan logistik dalam keadaan darurat, seperti bencana alam atau konflik. Infrastruktur papan yang kuat berarti masyarakat memiliki daya tahan tinggi terhadap guncangan sosial dan ekonomi. Dalam konteks Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), permukiman yang stabil dan mandiri energi dapat menjadi bagian dari infrastruktur pertahanan non-militer yang menopang ketahanan nasional.
Oleh karena itu, pembangunan papan menuju 2045 harus dilihat sebagai investasi jangka panjang bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa. Pemerintah perlu menegaskan perumahan sebagai hak konstitusional yang dijamin negara, bukan semata produk pasar. Dengan menjadikan rumah layak, hijau, dan inklusif sebagai prioritas nasional, Indonesia akan mampu menciptakan masyarakat yang sehat, produktif, dan berbahagia.
Pada akhirnya, rumah yang baik bukan hanya tempat beristirahat, tetapi simbol kemerdekaan dan martabat manusia. Rumah yang dibangun dari hasil keringat sendiri, berdiri di lingkungan yang bersih dan harmonis, akan melahirkan generasi yang mencintai tanah airnya dengan tulus. Di situlah standard of welfare dan standard of happiness memperoleh maknanya yang paling hakiki: kesejahteraan yang berakar pada rasa memiliki, dan kebahagiaan yang tumbuh dari ketenangan hidup di negeri sendiri.
Bidang Kesehatan: Membangun Masyarakat Sehat, Produktif, dan Bahagia
Kesehatan merupakan prasyarat fundamental bagi keberlanjutan pembangunan nasional. Tanpa masyarakat yang sehat, seluruh program ekonomi, pendidikan, maupun sosial akan kehilangan makna dan efektivitasnya. Dalam visi Indonesia Emas 2045, sektor kesehatan diposisikan sebagai pilar utama peningkatan standard of welfare sekaligus landasan bagi standard of happiness. Kesehatan bukan sekadar ketiadaan penyakit, melainkan keadaan sejahtera secara fisik, mental, sosial, dan spiritual yang memungkinkan setiap individu hidup produktif dan bermartabat.
Perjalanan pembangunan kesehatan nasional selama tujuh dekade terakhir memperlihatkan kemajuan signifikan. Angka harapan hidup meningkat dari 45 tahun pada awal kemerdekaan menjadi lebih dari 73 tahun pada dekade ketiga abad ke-21. Akses terhadap layanan kesehatan dasar semakin meluas melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun, kesenjangan mutu layanan antarwilayah, keterbatasan tenaga kesehatan, serta masih tingginya angka penyakit tidak menular menunjukkan bahwa pembangunan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya mencapai titik ideal.
Paradigma pembangunan kesehatan masa depan harus beralih dari pendekatan kuratif menuju preventif dan promotif. Selama ini, sistem kesehatan Indonesia masih berorientasi pada penanganan penyakit setelah terjadi, bukan pada pencegahan sebelum timbul. Akibatnya, beban pembiayaan publik meningkat, sementara produktivitas masyarakat menurun. Model sick-care system perlu digantikan oleh health-care system yang menempatkan masyarakat sebagai subjek aktif dalam menjaga kesehatannya sendiri. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) harus menjadi budaya nasional, bukan sekadar kampanye sesaat.
Dalam kerangka tersebut, pembangunan kesehatan menuju 2045 memerlukan perubahan paradigma di tiga tingkat: individual, sosial, dan struktural. Pada tingkat individual, masyarakat perlu memiliki literasi kesehatan yang memadai. Pengetahuan tentang gizi seimbang, aktivitas fisik, kesehatan mental, serta pentingnya pemeriksaan rutin harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini. Di tingkat sosial, komunitas dan keluarga harus menjadi pusat kesehatan berbasis masyarakat (community-based health system). Puskesmas, posyandu, dan klinik mandiri dapat berperan sebagai simpul integrasi antara pelayanan medis dan pemberdayaan sosial. Sementara pada tingkat struktural, pemerintah harus memperkuat sistem kesehatan nasional dengan pendekatan teknologi, pemerataan sumber daya, dan tata kelola yang transparan.
Teknologi kesehatan digital menjadi kunci dalam transformasi menuju Indonesia Sehat 2045. Revolusi Health 5.0 menempatkan teknologi informasi, kecerdasan buatan, genomik, dan big data sebagai fondasi pengambilan keputusan medis. Integrasi data nasional melalui Indonesia Health Data Network dapat mempercepat deteksi penyakit, meningkatkan efisiensi layanan, serta memperluas akses bagi masyarakat di daerah terpencil. Telemedicine dan aplikasi kesehatan daring mampu menjangkau populasi luas dengan biaya yang lebih rendah, sementara sistem rekam medis elektronik memudahkan koordinasi antar fasilitas kesehatan. Namun, pemanfaatan teknologi harus disertai dengan perlindungan data pribadi dan etika medis yang ketat, agar kemajuan digital tidak mengorbankan hak dan privasi pasien.
Dari sisi kelembagaan, desentralisasi sistem kesehatan perlu disertai dengan peningkatan kapasitas daerah dalam pengelolaan sumber daya kesehatan. Banyak daerah yang masih kekurangan tenaga medis dan fasilitas dasar karena ketimpangan alokasi anggaran. Pemerintah pusat perlu mengembangkan mekanisme intergovernmental health equalization fund untuk menjamin keadilan dalam distribusi layanan. Selain itu, kemitraan publik-swasta harus diperluas untuk memperkuat inovasi, pendanaan, dan penelitian medis, terutama dalam pengembangan obat dan vaksin lokal. Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga bahwa kemandirian farmasi dan alat kesehatan merupakan bagian penting dari ketahanan nasional. Indonesia harus mampu memproduksi vaksin, obat-obatan esensial, dan alat kesehatan strategis di dalam negeri agar tidak bergantung pada pasar global.
Dimensi kesehatan mental menjadi aspek yang semakin penting dalam pembangunan standard of happiness. Percepatan urbanisasi, tekanan ekonomi, dan perubahan sosial telah meningkatkan prevalensi gangguan mental di berbagai kelompok masyarakat. Namun, isu kesehatan jiwa masih sering dipandang sebagai hal sekunder, bahkan tabu. Negara harus mengintegrasikan kesehatan mental ke dalam sistem layanan primer dengan menyediakan konselor, psikolog, dan psikiater di setiap daerah. Pendidikan tentang kesejahteraan emosional perlu diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, sementara dunia kerja harus membangun budaya yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam kerangka Pancasila, kesehatan mental bukan hanya urusan medis, tetapi bagian dari pembangunan manusia berkarakter yang seimbang antara akal, moral, dan rasa.
Kesehatan lingkungan juga menjadi fondasi kesejahteraan kolektif. Polusi udara, air, dan tanah berdampak langsung pada peningkatan penyakit kronis dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan harus terintegrasi dengan kebijakan lingkungan dan tata ruang. Program Healthy City dan Healthy Village harus diperluas menjadi gerakan nasional dengan indikator yang terukur: kualitas udara, ketersediaan ruang hijau, pengelolaan sampah, dan akses terhadap air bersih. Setiap kota harus memiliki rencana kesehatan lingkungan yang adaptif terhadap perubahan iklim dan bencana alam. Dalam konteks ini, kesehatan menjadi indikator keberlanjutan ekologis sekaligus kesejahteraan manusia.
Pembangunan kesehatan juga harus memperhatikan aspek keadilan sosial. Masyarakat miskin dan kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, lansia, dan masyarakat adat, sering kali menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dalam sistem kesehatan. Negara harus memastikan bahwa setiap warga, tanpa kecuali, memperoleh akses terhadap layanan kesehatan berkualitas dengan biaya yang terjangkau. Prinsip universal health coverage bukan sekadar jargon internasional, tetapi manifestasi sila kedua dan kelima Pancasila, yaitu: keadilan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, kehadiran negara tidak diukur dari jumlah rumah sakit yang megah, melainkan dari sejauh mana ia menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Dalam perspektif ekonomi makro, kesehatan bukan beban fiskal, melainkan investasi produktif. Tenaga kerja yang sehat lebih produktif, anak-anak yang sehat lebih cerdas, dan masyarakat yang sehat lebih stabil secara sosial. Menurut WHO (2024), setiap dolar yang diinvestasikan dalam pencegahan penyakit dapat menghemat hingga lima dolar biaya pengobatan di masa depan. Dengan demikian, belanja kesehatan preventif bukan sekadar pengeluaran, tetapi tabungan jangka panjang bagi ketahanan ekonomi bangsa.
Dari sisi batin dan kultural, konsep kesehatan dalam masyarakat Indonesia memiliki dimensi yang khas. Kesehatan dipandang bukan hanya urusan medis, tetapi juga keseimbangan antara tubuh, jiwa, dan lingkungan. Tradisi pengobatan tradisional Nusantara, seperti jamu, akupresur, dan terapi herbal, mengandung pengetahuan empiris yang dapat dikembangkan secara ilmiah. Integrasi antara pengobatan modern dan tradisional dalam sistem nasional akan memperkaya pilihan masyarakat sekaligus melestarikan kearifan lokal. Namun, integrasi tersebut harus berbasis riset dan sertifikasi untuk menjamin keamanan dan efektivitas.
Pada akhirnya, kesehatan adalah refleksi dari keadilan sosial dan kualitas pemerintahan. Negara yang sehat adalah negara yang mampu melindungi warganya dari ketakutan, kemiskinan, dan penyakit. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang bahagia, karena tubuh yang kuat, pikiran yang jernih, dan lingkungan yang bersih menciptakan rasa aman dan percaya diri. Dalam visi Indonesia Emas 2045, pembangunan kesehatan bukan lagi tugas sektor kesehatan semata, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh bangsa.
Dengan bergeser dari paradigma kuratif menuju preventif, memperkuat kemandirian farmasi dan teknologi kesehatan, serta menjadikan kesehatan mental dan lingkungan sebagai bagian integral dari kebijakan publik, Indonesia akan mampu menciptakan masyarakat yang sehat, produktif, dan bahagia. Itulah bentuk konkret standard of welfare dan standard of happiness di bidang kesehatan: ketika rakyat hidup dalam tubuh yang bugar, lingkungan yang lestari, dan jiwa yang damai, yaitu: suatu kesejahteraan yang tidak hanya memperpanjang usia, tetapi juga memperluas makna kehidupan.
Bidang Pendidikan: Mencetak Manusia Unggul, Bermoral, dan Bahagia
Pendidikan merupakan jantung pembangunan nasional dan sumber utama peradaban bangsa. Tidak ada kesejahteraan yang berkelanjutan tanpa manusia yang cerdas, berkarakter, dan bermoral; dan tidak ada kebahagiaan kolektif tanpa pendidikan yang membebaskan, memanusiakan, serta menumbuhkan makna hidup. Oleh karena itu, bidang pendidikan memegang peran strategis dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, yakni bangsa yang maju, adil, mandiri, dan bahagia.
Sejak kemerdekaan, pendidikan telah menjadi medan perjuangan ideologis untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, setelah delapan dekade, sistem pendidikan nasional masih menghadapi berbagai tantangan mendasar, berupa: kesenjangan kualitas antar wilayah, lemahnya korelasi antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, serta krisis nilai akibat modernisasi yang tidak seimbang. Dalam konteks globalisasi dan revolusi industri 5.0, tantangan tersebut semakin kompleks. Pendidikan kini dituntut tidak hanya menghasilkan tenaga kerja kompeten, tetapi juga manusia unggul yang adaptif, kreatif, berintegritas, dan berbahagia.
Pendidikan Indonesia masa depan harus berlandaskan paradigma Education for Human Flourishing, yaitu: pendidikan untuk menumbuhkan manusia yang berkembang secara utuh. Paradigma ini menggabungkan tiga dimensi utama: kecerdasan intelektual (intellectual excellence), integritas moral (moral integrity), dan keseimbangan emosional (emotional well-being). Ketiganya menjadi pilar pembentuk manusia unggul yang mampu berpikir kritis, bertindak etis, dan hidup bahagia dalam keberagaman. Di sinilah pendidikan tidak lagi sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses pembudayaan nilai dan pembentukan watak kebangsaan.
Dalam kerangka ini, nilai-nilai Pancasila menjadi fondasi filosofis dan arah normatif pendidikan nasional. Sila pertama menanamkan kesadaran spiritual dan moralitas yang menuntun perilaku etis. Sila kedua menegaskan pentingnya empati dan kemanusiaan dalam interaksi sosial. Sila ketiga membangun semangat persatuan dalam keberagaman, melawan fragmentasi akibat individualisme modern. Sila keempat menumbuhkan partisipasi demokratis, dan sila kelima memastikan pendidikan tidak menjadi hak istimewa segelintir kelompok, melainkan hak seluruh warga negara. Dengan demikian, pendidikan Pancasila bukan sekadar mata pelajaran formal, melainkan filosofi hidup yang menjiwai seluruh sistem pendidikan nasional.
Pendidikan menuju 2045 harus bertransformasi secara mendasar melalui integrasi antara knowledge economy dan character education. Dalam era digital, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor penentu daya saing. Namun, teknologi tanpa moralitas dapat menghasilkan generasi yang cerdas tetapi kehilangan arah etika. Oleh sebab itu, konsep STEAM-Pancasila (Science, Technology, Engineering, Arts, and Morality) perlu dikembangkan sebagai kerangka kurikulum baru. Pendekatan ini menggabungkan kompetensi ilmiah dan kreativitas dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan, membentuk manusia yang tidak hanya mampu berpikir logis tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan estetika.
Reformasi kurikulum harus diarahkan pada pembelajaran berbasis kompetensi dan konteks kehidupan nyata. Sistem pendidikan konvensional yang menekankan hafalan dan ujian perlu digantikan dengan model learning by design, di mana siswa terlibat langsung dalam proyek kolaboratif yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pembelajaran lintas disiplin, kewirausahaan sosial, dan pendidikan berbasis riset akan menumbuhkan kemandirian berpikir sekaligus rasa tanggung jawab sosial. Sekolah dan universitas harus bertransformasi menjadi pusat inovasi dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning centers) yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.
Selain aspek substansi, dimensi keadilan pendidikan perlu mendapat perhatian serius. Kesenjangan kualitas antara kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, sekolah negeri dan swasta masih sangat lebar. Pemerataan akses terhadap pendidikan berkualitas merupakan syarat mutlak bagi pemerataan kesejahteraan. Pemerintah perlu memperkuat sistem education equity fund dan memperluas beasiswa afirmatif bagi kelompok miskin, daerah 3T, dan masyarakat adat. Teknologi digital dapat menjadi instrumen pemerataan baru melalui platform pembelajaran daring dan open education resources. Namun, digitalisasi pendidikan harus disertai dengan pemerataan akses internet dan literasi digital agar tidak menciptakan bentuk baru dari kesenjangan sosial.
Guru dan dosen adalah agen utama perubahan dalam sistem pendidikan. Tanpa guru yang sejahtera, berintegritas, dan profesional, reformasi pendidikan hanya menjadi slogan. Kualitas guru harus ditingkatkan melalui sistem rekrutmen berbasis merit, pelatihan berkelanjutan, serta peningkatan kesejahteraan dan status sosial. Guru masa depan bukan sekadar pengajar, tetapi fasilitator pembelajaran dan inspirator nilai. Demikian pula, perguruan tinggi harus memperluas fungsi tridarma, yaitu: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, dengan menambahkan dimensi keempat: nation building. Universitas tidak boleh terlepas dari tanggung jawab moral membentuk peradaban bangsa yang humanis dan berkeadilan.
Pendidikan juga memiliki peran penting dalam membangun standard of happiness. Sekolah dan kampus tidak boleh menjadi ruang yang menekan, melainkan lingkungan yang membebaskan potensi dan rasa ingin tahu. Indeks kebahagiaan pendidikan harus menjadi indikator nasional, diukur melalui rasa aman, partisipasi aktif, dan kepuasan siswa terhadap proses belajar. Sistem pendidikan yang menumbuhkan minat, kreativitas, dan keseimbangan emosional akan menghasilkan manusia yang tidak hanya pandai, tetapi juga bahagia. Pendidikan yang menekan justru menciptakan generasi yang cemas dan kehilangan arah hidup. Oleh karena itu, reformasi pendidikan harus disertai dengan pergeseran budaya sekolah dari fear-based learning menuju joyful learning, yang menjadikan belajar sebagai proses penemuan makna, bukan sekadar kompetisi nilai.
Pendidikan karakter menjadi dimensi yang tak terpisahkan dalam pembangunan manusia Indonesia. Dalam era disrupsi nilai akibat arus informasi global, pendidikan harus berfungsi sebagai jangkar moral. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, empati, dan gotong royong harus dihidupkan melalui keteladanan, bukan sekadar doktrin. Keteladanan pemimpin pendidikan, baik di sekolah maupun universitas, menjadi kunci untuk menanamkan integritas dalam generasi muda. Nilai moral yang hidup dalam perilaku sehari-hari akan menjadi benteng utama bangsa di tengah krisis etika global.
Dari perspektif ekonomi, pendidikan berfungsi sebagai motor pembangunan berkelanjutan. Investasi dalam human capital memiliki tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan investasi fisik. Tenaga kerja yang berpendidikan tinggi meningkatkan produktivitas nasional, memperluas basis pajak, dan mengurangi ketimpangan sosial. Dalam jangka panjang, pendidikan yang merata akan memperkuat kelas menengah dan memperkecil jurang antara kaya dan miskin. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya instrumen sosial, tetapi strategi ekonomi nasional untuk mencapai kesejahteraan jangka panjang.
Keterkaitan antara pendidikan dan pertahanan juga tidak dapat diabaikan. Dalam kerangka Defense by Development, pendidikan merupakan benteng pertama pertahanan ideologis bangsa. Masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki ketahanan terhadap infiltrasi ideologi radikal dan disinformasi. Sekolah dan kampus menjadi arena strategis untuk menanamkan kesadaran bela negara dan nasionalisme cerdas, bukan chauvinistik. Di era perang informasi dan hibrida, literasi digital dan berpikir kritis merupakan bentuk pertahanan baru yang sama pentingnya dengan kekuatan militer.
Pada akhirnya, pendidikan yang berhasil bukanlah yang melahirkan lulusan terbanyak, tetapi yang membentuk manusia yang mencintai kebenaran, menghargai kehidupan, dan menebar manfaat bagi sesamanya. Pendidikan sejati adalah proses memerdekakan manusia dari ketakutan, kebodohan, dan kemiskinan; mengantarkannya menuju kebahagiaan yang berakar pada pengetahuan, moralitas, dan rasa syukur.
Dengan membangun sistem pendidikan yang holistik, yaitu: berlandaskan Pancasila, berorientasi pada karakter, inklusif terhadap keragaman, dan responsif terhadap zaman, Indonesia dapat melahirkan generasi 2045 yang unggul, berdaya saing global, namun tetap berjiwa Nusantara. Generasi inilah yang akan mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan bahagia, di mana pengetahuan menjadi sumber kemakmuran dan kebajikan menjadi sumber kedamaian. Itulah esensi dari standard of welfare dan standard of happiness dalam bidang pendidikan: manusia Indonesia yang merdeka secara intelektual, bermoral dalam tindakan, dan bahagia dalam kehidupannya.
Integrasi Kelembagaan dan Tata Kelola Kesejahteraan Nasional
Kesejahteraan nasional tidak dapat dicapai hanya melalui peningkatan sektor-sektor individual seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, atau pendidikan. Kelima bidang tersebut saling bergantung, membentuk ekosistem kehidupan sosial yang utuh. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan ditentukan oleh kemampuan negara dalam mengintegrasikan seluruh kebijakan lintas sektor melalui tata kelola kelembagaan yang efektif, transparan, dan adaptif. Tanpa integrasi kelembagaan, pembangunan hanya akan melahirkan fragmentasi kebijakan, duplikasi program, dan ketidakefisienan fiskal yang menghambat terwujudnya standard of welfare dan standard of happiness nasional.
Selama beberapa dekade, kebijakan sosial dan ekonomi di Indonesia kerap berjalan secara sektoral. Setiap kementerian memiliki program dan indikator keberhasilan sendiri, yang sering kali tidak sinkron dengan kementerian lain. Akibatnya, banyak kebijakan yang tumpang tindih, tidak terukur dampaknya secara komprehensif, dan gagal menyentuh akar persoalan masyarakat. Dalam konteks ini, kebutuhan akan tata kelola baru menjadi mendesak. Indonesia harus membangun arsitektur sistem kesejahteraan nasional yang bersifat integratif, berbasis data, dan berorientasi hasil. Konsep tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan National Welfare and Happiness System (NWHS) sebagai mekanisme tata kelola lintas sektor yang menautkan seluruh bidang kesejahteraan dalam satu ekosistem kebijakan nasional.
Sistem ini bukan lembaga baru yang menambah beban birokrasi, melainkan kerangka koordinatif yang memastikan seluruh kebijakan kesejahteraan memiliki arah yang sama dan saling melengkapi. NWHS berfungsi sebagai policy integration hub yang menghubungkan kementerian teknis, pemerintah daerah, dan lembaga nonpemerintah dalam satu platform data dan perencanaan. Melalui sistem ini, setiap kebijakan sosial, ekonomi, atau lingkungan tidak lagi berdiri sendiri, tetapi dikalkulasi berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Model integrasi ini mencerminkan prinsip pemerintahan Pancasila: sinergi dalam keberagaman, koordinasi dalam kemandirian, dan efektivitas dalam pelayanan publik.
Integrasi kebijakan tidak mungkin terwujud tanpa integrasi data. Selama ini, kelemahan mendasar dalam tata kelola kesejahteraan Indonesia adalah ketidaksinkronan data antar instansi. Data kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sering kali tidak seragam, sehingga kebijakan intervensi sosial menjadi tidak tepat sasaran. Program bantuan sosial ganda di satu daerah dan keterlambatan distribusi di daerah lain merupakan bukti dari lemahnya sistem informasi nasional. Untuk mengatasinya, One Data Indonesia harus diperkuat menjadi tulang punggung NWHS. Sistem ini akan mengintegrasikan seluruh data sosial-ekonomi ke dalam satu platform nasional yang dikelola secara profesional dan terbuka untuk audit publik.
Melalui sistem One Data Welfare, pemerintah dapat melakukan analisis kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making). Misalnya, integrasi antara data gizi anak, tingkat pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga dapat digunakan untuk memetakan risiko stunting secara prediktif. Pemerintah kemudian dapat melakukan intervensi lintas sektor, dengan menggabungkan bantuan gizi, pelatihan keluarga, dan pemberdayaan ekonomi, sebelum masalah menjadi kronis. Pendekatan semacam ini tidak hanya efisien, tetapi juga manusiawi, karena kebijakan dirancang berdasarkan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan masyarakat, bukan sekadar angka statistik.
Desentralisasi menjadi dimensi penting dalam tata kelola kesejahteraan nasional. Otonomi daerah yang telah berjalan sejak 2001 memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk berinovasi dalam kebijakan sosial. Namun, dalam praktiknya, banyak daerah yang belum memiliki kapasitas fiskal dan kelembagaan memadai untuk mengelola program kesejahteraan. Karena itu, model desentralisasi yang efektif harus bersifat asimetris: memberikan kewenangan luas bagi daerah yang siap, sambil memperkuat bimbingan teknis dan pendanaan bagi daerah yang tertinggal. Pemerintah pusat harus berperan sebagai fasilitator, bukan pengendali, dengan menyediakan National Welfare Framework yang menjadi acuan normatif sekaligus fleksibel untuk adaptasi lokal.
Selain integrasi antar tingkat pemerintahan, sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta menjadi pilar penting dalam tata kelola kesejahteraan. Negara tidak dapat bekerja sendiri dalam mewujudkan kesejahteraan kolektif. Sektor swasta memiliki peran besar melalui tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), inovasi bisnis inklusif, dan investasi berorientasi sosial. Sementara itu, organisasi masyarakat sipil dan komunitas lokal berperan sebagai social enablers yang menjembatani kebijakan nasional dengan kebutuhan masyarakat. Model public–private–people partnership (4P) harus menjadi paradigma baru dalam tata kelola kesejahteraan, menggantikan pendekatan birokratis yang tertutup.
Dari sisi kelembagaan, perlu dilakukan reformasi sistem koordinasi nasional. Dewan Nasional Kesejahteraan dan Kebahagiaan dapat dibentuk sebagai forum strategis lintas kementerian yang berfungsi menetapkan arah kebijakan, mengawal pelaksanaan, dan mengevaluasi hasil. Dewan ini dapat berada di bawah koordinasi langsung Presiden, dengan dukungan Sekretariat Nasional yang bertanggung jawab terhadap perencanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan kesejahteraan nasional. Setiap tahun, pemerintah harus menyampaikan National Welfare and Happiness Report kepada publik, sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi atas capaian pembangunan manusia.
Reformasi tata kelola kesejahteraan juga menuntut pembaruan paradigma birokrasi. Birokrasi masa depan harus bertransformasi dari model administratif menuju adaptive governance. Aparatur sipil negara bukan lagi sekadar pelaksana regulasi, tetapi agen inovasi sosial yang responsif terhadap perubahan dan kebutuhan masyarakat. Peningkatan kapasitas SDM birokrasi melalui pendidikan publik, kepemimpinan etis, dan transformasi digital menjadi syarat mutlak. Penerapan Government 5.0 yang menggabungkan teknologi digital dengan kecerdasan sosial dan moralitas pelayanan publik akan mempercepat realisasi standard of welfare yang inklusif.
Dalam konteks fiskal, sistem kesejahteraan nasional harus menjamin keberlanjutan pembiayaan tanpa membebani generasi mendatang. Kebijakan redistribusi fiskal melalui subsidi tepat sasaran, pajak progresif, dan pengelolaan sumber daya alam yang transparan akan memperkuat kemampuan negara untuk membiayai sektor-sektor strategis kesejahteraan. Namun, keberlanjutan fiskal tidak hanya bergantung pada pendapatan negara, tetapi juga pada efisiensi belanja publik. Evaluasi berbasis kinerja dan value for money perlu diterapkan secara konsisten untuk memastikan setiap rupiah anggaran benar-benar meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Dimensi kebahagiaan publik harus menjadi bagian dari tata kelola baru ini. Indeks Kebahagiaan Nasional tidak boleh dipandang sebagai ukuran subjektif semata, tetapi sebagai indikator integratif yang mencerminkan dampak kumulatif dari seluruh kebijakan publik. Dengan menggabungkan indikator objektif (pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan) dan indikator subjektif (kepuasan hidup, rasa aman, solidaritas sosial), negara dapat menilai keberhasilan pembangunan secara lebih holistik. Pemerintah dapat menggunakan hasil pengukuran ini untuk menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan psikososial masyarakat di berbagai daerah.
Integrasi kelembagaan dalam bidang kesejahteraan juga harus disertai dengan dimensi etika dan moralitas publik. Tata kelola yang baik tidak hanya ditandai oleh efisiensi administratif, tetapi juga oleh kejujuran, tanggung jawab, dan empati terhadap rakyat. Kesejahteraan bukan hasil dari birokrasi yang besar, melainkan dari birokrasi yang bersih dan melayani. Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila dan semangat gotong royong harus menjadi etos kerja aparatur negara. Pemerintah yang berintegritas akan menumbuhkan kepercayaan publik, dan kepercayaan publik merupakan fondasi kebahagiaan sosial yang tak ternilai.
Dengan demikian, integrasi kelembagaan dan tata kelola kesejahteraan nasional merupakan jantung dari strategi Indonesia menuju 2045. Sistem yang efektif, berbasis data, inklusif, dan berlandaskan moralitas publik akan memastikan bahwa seluruh kebijakan negara berpihak kepada kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Ketika birokrasi mampu bekerja secara sinergis, ketika data berbicara lebih keras daripada retorika, dan ketika kebijakan lahir dari empati, maka cita-cita Indonesia Emas tidak lagi menjadi visi jauh di cakrawala, tetapi kenyataan yang dirasakan setiap warga di pelosok negeri.
Dimensi Kebahagiaan Nasional
Kebahagiaan nasional merupakan puncak dari seluruh upaya pembangunan kesejahteraan. Jika kesejahteraan (welfare) berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan material dan sosial, maka kebahagiaan (happiness) mencerminkan keseimbangan batiniah dan kebermaknaan hidup. Dalam konteks bangsa Indonesia, kebahagiaan bukanlah konsep yang bersifat individual semata, melainkan pengalaman kolektif yang berakar pada nilai spiritual, solidaritas sosial, dan harmoni dengan alam. Pembangunan nasional yang sejati tidak hanya mengupayakan kemakmuran, tetapi juga menciptakan kehidupan yang damai, bermakna, dan selaras dengan fitrah manusia.
Pemikiran tentang kebahagiaan telah lama menjadi bagian dari peradaban Nusantara. Dalam pandangan kebudayaan Jawa, misalnya, kebahagiaan tidak identik dengan kekayaan, tetapi dengan tentreming manah, yaitu: ketenangan hati yang lahir dari keseimbangan antara laku pribadi, hubungan sosial, dan keselarasan dengan alam. Di Bali, filosofi Tri Hita Karana menegaskan bahwa kebahagiaan tercapai bila manusia hidup dalam harmoni dengan Tuhan (parhyangan), dengan sesama manusia (pawongan), dan dengan alam (palemahan). Di berbagai daerah lain, seperti Aceh, Minangkabau, Bugis, dan Papua, pandangan serupa juga hidup dalam bentuk yang berbeda-beda, tetapi dengan esensi yang sama: kebahagiaan adalah keadaan batin yang timbul dari keseimbangan moral dan sosial, bukan dari kemewahan material.
Konsep kebahagiaan yang berakar pada nilai-nilai lokal tersebut sejalan dengan sila pertama dan kedua Pancasila, yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah makhluk religius dan sosial. Spiritualitas menjadi sumber moralitas, sedangkan solidaritas sosial menjadi ekspresi nyata dari kemanusiaan. Dalam konteks pembangunan nasional, kedua aspek ini harus diintegrasikan secara eksplisit dalam kebijakan publik. Negara yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan spiritual dan sosial akan melahirkan masyarakat yang sejahtera secara lahir, tetapi hampa secara batin. Oleh karena itu, standard of happiness Indonesia 2045 harus dibangun di atas tiga pilar: spiritualitas, sosialitas, dan ekologi.
Pilar pertama, spiritualitas, merupakan fondasi moral dan eksistensial dari kebahagiaan nasional. Dalam masyarakat yang beragam secara agama dan budaya, spiritualitas tidak boleh dimaknai secara sektarian. Ia bukan dogma keagamaan yang memisahkan, melainkan kesadaran transendental yang mempersatukan. Spiritualitas dalam konteks kebangsaan berarti kesadaran akan keterhubungan manusia dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, yaitu: Tuhan, bangsa, dan kemanusiaan universal. Dalam pembangunan, spiritualitas berperan sebagai penuntun moral bagi penggunaan ilmu, teknologi, dan kekuasaan. Tanpa spiritualitas, pembangunan mudah kehilangan arah, berubah menjadi eksploitasi yang mengorbankan nilai kemanusiaan dan kelestarian alam.
Kebijakan publik yang berlandaskan spiritualitas menuntut etika dalam setiap keputusan politik dan ekonomi. Pemerintah yang jujur, pejabat yang amanah, dan masyarakat yang bekerja dengan integritas adalah wujud nyata spiritualitas dalam ranah publik. Dalam visi 2045, spiritualitas harus diinstitusionalisasikan dalam sistem pendidikan, kepemimpinan, dan pelayanan publik. Sekolah dan universitas harus mengajarkan bukan hanya logika, tetapi juga kebijaksanaan; birokrasi bukan hanya menjalankan prosedur, tetapi juga menumbuhkan nilai pengabdian; dan ekonomi bukan hanya mengejar laba, tetapi juga menegakkan keadilan. Dengan demikian, spiritualitas menjadi daya pengikat yang menyatukan dimensi moral individu dengan cita-cita kolektif bangsa.
Pilar kedua, sosialitas, merupakan dimensi kebahagiaan yang berakar pada hubungan antar manusia. Kebahagiaan sejati tidak mungkin dicapai dalam isolasi individual, melainkan tumbuh dari rasa keterhubungan dan solidaritas sosial. Indonesia memiliki modal sosial yang luar biasa dalam bentuk budaya gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan. Namun, modernisasi, urbanisasi, dan kompetisi ekonomi telah mengikis sebagian nilai-nilai tersebut. Masyarakat kota yang semakin individualistik sering kali kehilangan rasa kebersamaan dan empati sosial. Tantangan terbesar menuju 2045 adalah menghidupkan kembali semangat sosialitas dalam kehidupan modern, tanpa menolak kemajuan.
Revitalisasi sosialitas dapat dilakukan melalui kebijakan yang memperkuat komunitas dan solidaritas warga. Pemerintah perlu mendorong pembangunan berbasis komunitas (community-driven development) di bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi. Ruang publik seperti taman kota, balai warga, dan pusat budaya harus difungsikan kembali sebagai tempat interaksi sosial dan rekreasi kolektif. Dalam konteks digital, media sosial harus diarahkan untuk memperkuat kolaborasi dan dialog antarwarga, bukan sekadar arena polarisasi dan disinformasi. Pendidikan karakter sosial di sekolah perlu menanamkan nilai empati, toleransi, dan tanggung jawab kolektif sejak dini.
Sosialitas juga berkaitan dengan keadilan sosial. Tidak akan ada kebahagiaan kolektif tanpa distribusi sumber daya yang adil. Ketimpangan ekonomi ekstrem menimbulkan alienasi, kecemburuan sosial, dan konflik horizontal. Negara harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi menghasilkan kemakmuran bersama. Program redistribusi fiskal, perlindungan sosial, dan pemerataan akses terhadap pendidikan serta kesehatan merupakan wujud konkret dari solidaritas nasional. Dalam konteks Pancasila, keadilan sosial bukan hanya tujuan ekonomi, tetapi juga prasyarat kebahagiaan nasional. Ketika setiap warga merasa dihargai dan diikutsertakan dalam kemajuan bangsa, rasa bahagia kolektif akan tumbuh dengan sendirinya.
Pilar ketiga, ekologi, menjadi dimensi baru dalam definisi kebahagiaan modern. Hubungan manusia dengan alam merupakan sumber keseimbangan spiritual dan fisik. Alam yang rusak tidak hanya menimbulkan penderitaan ekonomi dan kesehatan, tetapi juga kehilangan makna hidup. Dalam tradisi Nusantara, alam selalu dihormati sebagai bagian dari diri manusia, bukan sekadar objek eksploitasi. Nilai-nilai seperti hamemayu hayuning bawana (menjaga keindahan dunia) atau adat basandi alam, alam takambang jadi guru mencerminkan kesadaran ekologis yang dalam. Namun, industrialisasi dan urbanisasi yang masif sering kali menyingkirkan nilai-nilai tersebut demi kepentingan jangka pendek.
Kebahagiaan nasional tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan ekologis. Udara bersih, air jernih, hutan yang lestari, dan laut yang sehat adalah prasyarat dasar bagi kualitas hidup. Oleh karena itu, pembangunan menuju 2045 harus memadukan ekonomi hijau (green economy) dan kebahagiaan hijau (green happiness). Pemerintah perlu mendorong gaya hidup berkelanjutan melalui transportasi publik, energi terbarukan, dan ruang hijau kota. Masyarakat perlu menginternalisasi nilai-nilai ekologis sebagai bagian dari moralitas modern. Dalam hal ini, kebijakan lingkungan bukan hanya tindakan teknokratis, melainkan refleksi etika terhadap tanggung jawab manusia kepada generasi mendatang.
Ketiga pilar: spiritualitas, sosialitas, dan ekologi, harus saling menopang dalam menciptakan Gross National Happiness versi Indonesia. Berbeda dengan Bhutan yang menekankan indikator budaya dan spiritualitas tradisional, Indonesia dapat mengembangkan Indeks Kebahagiaan Nasional Pancasila (IKNP) yang menggabungkan indikator material dan non-material secara proporsional. IKNP dapat terdiri atas lima dimensi utama: kesejahteraan ekonomi, kesehatan, pendidikan, solidaritas sosial, dan keseimbangan spiritual-ekologis. Dengan indikator ini, pembangunan nasional akan memiliki arah yang lebih manusiawi dan berkelanjutan, serta mengukur kemajuan bukan hanya dari angka pertumbuhan, tetapi dari peningkatan kualitas hidup rakyat secara utuh.
Pada akhirnya, kebahagiaan nasional adalah refleksi dari harmoni tiga tataran kehidupan: individu, masyarakat, dan alam. Individu bahagia ketika hidupnya bermakna; masyarakat bahagia ketika keadilan ditegakkan; dan alam bahagia ketika dijaga dengan kasih sayang. Dalam visi Indonesia 2045, kebahagiaan nasional harus menjadi roh pembangunan, sebagai jiwa yang memberi arah bagi kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya. Bangsa yang bahagia bukanlah bangsa tanpa masalah, tetapi bangsa yang mampu mengelola masalahnya dengan kebijaksanaan, solidaritas, dan spiritualitas.
Kebahagiaan sejati Indonesia bukanlah kebahagiaan konsumtif yang diukur dari harta dan kemewahan, melainkan kebahagiaan yang tumbuh dari rasa syukur, persaudaraan, dan keberlanjutan. Itulah makna terdalam dari standard of happiness yang berakar pada Pancasila dan budaya Nusantara: kebahagiaan yang menenangkan jiwa, memperkuat persatuan, dan menjaga keseimbangan alam. Ketika spiritualitas menjadi arah, sosialitas menjadi kekuatan, dan ekologi menjadi kesadaran, maka Indonesia akan memasuki abad kemerdekaan keduanya bukan hanya sebagai bangsa yang maju, tetapi juga bangsa yang berbahagia.
Penutup: Mewujudkan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Indonesia 2045
Kesejahteraan dan kebahagiaan nasional adalah dua tujuan yang saling mengisi dan tidak dapat dipisahkan. Kesejahteraan (standard of welfare) menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dan keadilan sosial, sedangkan kebahagiaan (standard of happiness) memastikan bahwa kehidupan manusia memiliki makna, kedamaian, dan keseimbangan. Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045, kedua tujuan tersebut menjadi fondasi bagi visi negara yang maju, berdaulat, adil, dan bermartabat. Pembangunan nasional yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa kesejahteraan sosial akan melahirkan kesenjangan; sementara kesejahteraan tanpa kebahagiaan akan menciptakan kekosongan batin dan krisis makna hidup. Karena itu, kesejahteraan dan kebahagiaan harus menjadi satu kesatuan dalam filosofi pembangunan Indonesia.
Penataan lima bidang utama kehidupan, yaitu: sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, merupakan basis empiris dan struktural dari kesejahteraan nasional. Sandang menjadi simbol kemandirian industri dan martabat budaya bangsa. Pangan menjadi fondasi ketahanan nasional dan keadilan ekonomi. Papan melambangkan keamanan, stabilitas, dan kehangatan sosial. Kesehatan menjamin produktivitas dan keberlanjutan hidup, sementara pendidikan membentuk manusia unggul yang berpengetahuan dan berakhlak. Kelima bidang tersebut tidak dapat berjalan sendiri, melainkan harus terintegrasi dalam satu sistem kesejahteraan nasional yang saling menopang dan berorientasi pada manusia seutuhnya.
Integrasi kelembagaan dan tata kelola yang efektif menjadi prasyarat keberhasilan sistem kesejahteraan ini. Pemerintahan yang bersih, transparan, dan berbasis data adalah mesin penggerak kesejahteraan berkeadilan. Pembentukan National Welfare and Happiness System (NWHS), seperti dijabarkan sebelumnya, merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa kebijakan publik di seluruh sektor bekerja dalam satu visi: meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia. Birokrasi yang adaptif dan berintegritas, sinergi lintas kementerian, serta partisipasi aktif masyarakat dan sektor swasta akan menciptakan ekosistem kesejahteraan yang tangguh. Pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal, melainkan fasilitator bagi tumbuhnya kemandirian sosial dan ekonomi rakyat.
Dalam tataran filosofis, pembangunan kesejahteraan dan kebahagiaan nasional berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan moralitas bangsa. Pancasila mengajarkan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, antara kemajuan material dan kedalaman spiritual. Sila-sila Pancasila, bila diterjemahkan dalam kebijakan publik, membentuk struktur nilai yang memandu seluruh arah pembangunan: Ketuhanan sebagai sumber moralitas, Kemanusiaan sebagai dasar keadilan, Persatuan sebagai kekuatan sosial, Kerakyatan sebagai mekanisme demokrasi deliberatif, dan Keadilan Sosial sebagai tujuan akhir kesejahteraan kolektif. Dengan demikian, standard of welfare dan standard of happiness Indonesia bukanlah adopsi dari model Barat yang individualistik, tetapi kristalisasi nilai-nilai bangsa sendiri yang holistik, manusiawi, dan spiritual.
Kebahagiaan nasional yang berkelanjutan hanya dapat lahir dari masyarakat yang berakar pada spiritualitas, solidaritas, dan kesadaran ekologis. Pembangunan yang melupakan Tuhan, mengabaikan manusia lain, dan merusak alam pada akhirnya akan menciptakan penderitaan, bukan kesejahteraan. Oleh karena itu, dimensi spiritualitas, sosialitas, dan ekologi harus senantiasa menjadi roh dari setiap kebijakan pembangunan. Ketiganya menegaskan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tujuan akhir, melainkan cara hidup yang berlandaskan kesadaran dan kebijaksanaan. Dalam konteks ini, pembangunan nasional harus menjadi perjalanan moral bangsa menuju keseimbangan, bukan perlombaan ekonomi semata.
Indonesia memiliki semua modal untuk mewujudkan visi besar ini. Sumber daya alam yang melimpah, populasi muda yang produktif, warisan budaya yang kaya, serta posisi strategis di persimpangan Asia-Pasifik merupakan keunggulan yang tak ternilai. Namun, modal terbesar bangsa Indonesia bukanlah tanahnya, melainkan manusianya, yaitu: manusia yang cerdas, bermoral, bekerja dengan hati, dan hidup dengan rasa syukur. Pembangunan manusia seperti inilah yang menjadi inti dari human-centered development dan human flourishing yang dikehendaki dalam visi 2045. Keunggulan ekonomi dan teknologi hanya akan berarti jika digunakan untuk menumbuhkan kehidupan manusia yang berkeadilan, damai, dan berbahagia.
Secara strategis, untuk mencapai masyarakat sejahtera dan bahagia pada 2045, Indonesia harus menjalankan tiga agenda besar secara konsisten. Pertama, transformasi struktural, yaitu memperkuat fondasi ekonomi, sosial, dan lingkungan agar saling menopang dalam menciptakan kemakmuran yang merata. Kedua, transformasi kultural, yakni membangun budaya kebajikan, kerja keras, dan gotong royong di tengah modernitas yang sering kali mendorong individualisme. Ketiga, transformasi spiritual, yaitu menghidupkan kembali nilai-nilai moral dan keimanan sebagai sumber kekuatan batin bangsa dalam menghadapi kompleksitas global. Ketiga transformasi ini merupakan satu kesatuan proses pembentukan manusia Indonesia unggul dan bahagia.
Kebijakan publik harus diukur bukan hanya dari indikator ekonomi, tetapi dari sejauh mana ia meningkatkan kualitas hidup manusia. Indeks Kebahagiaan Nasional, Indeks Ketimpangan Sosial, dan Indeks Pembangunan Manusia perlu menjadi panduan utama dalam penilaian keberhasilan pemerintahan, sejajar dengan indikator ekonomi makro. Pemerintah yang berhasil bukanlah yang mencapai pertumbuhan tertinggi, tetapi yang mampu menciptakan kehidupan yang layak, damai, dan bermakna bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kesejahteraan dan kebahagiaan menjadi dua ukuran keberhasilan negara yang sejati, sebagai ukuran yang menempatkan manusia, bukan angka, di pusat pembangunan.
Akhirnya, perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 adalah perjalanan menuju kematangan peradaban bangsa. Sebagaimana kemerdekaan 1945 menandai pembebasan dari penjajahan fisik, maka 2045 harus menjadi pembebasan dari penjajahan struktural, mulai dari kemiskinan, ketimpangan, kebodohan, dan keterasingan. Puncak dari perjuangan bangsa bukanlah kekuasaan atau kekayaan, melainkan kebahagiaan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika setiap keluarga hidup layak, setiap anak memiliki harapan, setiap warga merasa dihargai, dan setiap pemimpin bekerja dengan hati, maka Indonesia benar-benar telah mencapai makna terdalam dari kemerdekaannya.
Kesejahteraan dan kebahagiaan Indonesia 2045 bukan sekadar cita-cita teknokratis, melainkan panggilan moral dan historis bangsa. Ia merupakan amanat pendiri republik, tafsir modern dari Pancasila, dan tujuan luhur dari seluruh perjuangan nasional. Dalam keseimbangan antara kemajuan dan kebajikan, antara dunia dan akhirat, antara manusia dan alam, Indonesia akan hadir sebagai bangsa yang besar tidak hanya karena kekuatannya, tetapi karena kebijaksanaannya, “a great nation not only rich in resources, but rich in spirit.”
Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan dan kebahagiaan Indonesia 2045 adalah upaya mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang seutuhnya: cerdas dalam berpikir, adil dalam bertindak, tenteram dalam jiwa, dan bahagia dalam hidup. Ketika semua itu terwujud, maka Indonesia benar-benar akan menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja, dalam suatu peradaban yang adil, makmur, berkeadilan sosial, dan berbahagia.
Daftar Referensi
Amartya Sen. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
Aristotle. (2004). The Nicomachean Ethics (J. A. K. Thomson, Trans.). Penguin Classics.
Bappenas. (2024). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045: Indonesia Emas. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Bappenas. (2023). Transformasi Ekonomi untuk Indonesia Maju dan Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Bentham, J. (1988). The Principles of Morals and Legislation. Prometheus Books.
Bhutan Royal Government. (2016). Gross National Happiness Index 2016. Thimphu: Centre for Bhutan Studies and GNH Research.
FAO. (2023). The State of Food Security and Nutrition in the World 2023. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Government of Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Jakarta: Sekretariat Negara.
Helliwell, J. F., Layard, R., & Sachs, J. (Eds.). (2023). World Happiness Report 2023. New York: Sustainable Development Solutions Network.
Hill, H. (2023). The Indonesian Economy in Transition: Policy Challenges in the Jokowi Era and Beyond. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
John Rawls. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Strategi Indonesia Sehat 2045: Transformasi Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2024). Rencana Induk Perumahan Nasional (RIPNAS) 2025–2045. Jakarta: Direktorat Jenderal Perumahan.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2024). Roadmap Industri Tekstil Nasional Berkelanjutan 2045. Jakarta: Kemenperin RI.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Kebijakan Transformasi Pendidikan Nasional: Kurikulum Merdeka dan Literasi Digital. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2023). Desain Besar Reformasi Sistem Perlindungan Sosial Nasional. Jakarta: Kemensos RI.
Maslow, A. H. (1954). Motivation and Personality. Harper & Row.
Ministry of National Development Planning of Indonesia (Bappenas). (2022). Indonesia’s Green Economy Roadmap 2045. Jakarta: Bappenas.
OECD. (2022). Well-being and Sustainable Growth Framework. Paris: Organisation for Economic Co-operation and Development.
Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Chelsea Green Publishing.
Sachs, J. (2015). The Age of Sustainable Development. Columbia University Press.
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. New York: Free Press.
Sen, A. (1987). On Ethics and Economics. Oxford: Basil Blackwell.
Slater, D. (2018). Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. Cambridge University Press.
Suryohadiprojo, S. (2018). Ketahanan Nasional Indonesia: Paradigma Kemandirian dan Keadilan Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
UNDP. (2023). Human Development Report 2023: Beyond Growth. New York: United Nations Development Programme.
UNESCO. (2022). Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education. Paris: UNESCO Publishing.
United Nations. (2023). World Social Report 2023: Leaving No One Behind in an Aging World. New York: UN Publications.
WHO. (2024). World Health Report 2024: Universal Health and Well-being. Geneva: World Health Organization.
World Bank. (2023). Indonesia Human Capital Review 2023: Building a Resilient and Inclusive Future. Washington, D.C.: The World Bank Group.
World Economic Forum. (2023). Global Risks Report 2023. Geneva: WEF.
Leave a comment