Pemikiran Kebangsaan

Berbagi Pemikiran Demi Kemajuan Peradaban

Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Dalam disiplin ilmu politik dan kepemimpinan, istilah “negarawan” dipahami sebagai sosok yang melampaui kepentingan pribadi dan bertindak berdasarkan kepentingan publik yang lebih luas. Literatur klasik maupun kontemporer menunjukkan bahwa kualitas moral, terutama ketulusan dan keikhlasan, merupakan fondasi utama kenegarawanan.

Aristoteles sejak awal menegaskan bahwa negara yang baik hanya mungkin dipimpin oleh manusia yang berbudi baik, karena keutamaan etis merupakan syarat bagi terciptanya tatanan politik yang berkeadilan (Aristotle, 1999). Pada titik inilah ketulusan menjadi prinsip awal yang membedakan kepemimpinan yang berorientasi pada kebaikan bersama dari sekadar pencarian kekuasaan.

Dalam tradisi pemikiran Timur, keikhlasan dipandang sebagai inti dari kapasitas moral seorang pemimpin. Konfusius menganggap keikhlasan sebagai sumber dari ren, yaitu kemanusiaan yang luhur, dan menekankan bahwa kebenaran kepemimpinan harus dipancarkan dari kemurnian hati (Confucius, 2003). Dalam etika Islam, keikhlasan (ikhlas) dipandang sebagai dasar diterimanya seluruh amal, karena ia memurnikan tindakan dari pamrih dan membangun orientasi pada nilai-nilai yang transenden (Al-Ghazali, 2015).

Pemikiran lintas budaya tersebut memperlihatkan konsensus normatif bahwa moralitas batin merupakan syarat bagi legitimasi kekuasaan. Teori kepemimpinan modern memperkuat pandangan tersebut dengan menempatkan ketulusan sebagai bagian inti dari authentic leadership, yakni kemampuan pemimpin untuk bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya dan memprioritaskan kepentingan publik (Avolio & Gardner, 2005).

Ketulusan

Ketulusan dalam konteks kenegarawanan bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan kapasitas reflektif untuk memurnikan niat dan memposisikan kekuasaan sebagai sarana pengabdian. Pemimpin yang tulus menjaga jarak dari ambisi pribadi dan berorientasi pada nilai moral, bukan keuntungan politik jangka pendek. Hal ini sejalan dengan teori servant leadership yang menempatkan pemimpin sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai aktor yang mengejar dominasi (Greenleaf, 2002).

Ketulusan mendorong pemimpin untuk berpikir melampaui siklus politik elektoral dan lebih berfokus pada dampak jangka panjang bagi masyarakat. Dengan demikian, pemimpin yang tulus berperan sebagai penjaga berkelanjutan (steward) bagi institusi negara.

Keikhlasan

Keikhlasan memperdalam dimensi moral ini dengan memberikan fondasi spiritual atas tindakan kenegaraan. Dalam riset yang berkembang pada studi moral leadership, keikhlasan merupakan mekanisme internal yang menahan pemimpin dari penyalahgunaan wewenang dan menjaga konsistensi etis dalam situasi tekanan politik (Ciulla, 2020).

Keikhlasan menciptakan keteguhan moral (moral resolve) yang diperlukan untuk menghadapi dilema politik yang sering kali menuntut keputusan tidak populer. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang ikhlas mampu menolak godaan patronase, korupsi, dan politik transaksi karena orientasinya terletak pada tanggung jawab moral, bukan keuntungan pribadi (Northouse, 2022). Dalam konteks inilah keikhlasan menjadi energi moral yang membuat seorang pemimpin layak disebut negarawan.

Tradisi Kenegarawanan

Dalam pengalaman politik Indonesia, nilai ketulusan dan keikhlasan sangat kental dalam tradisi kenegarawanan. Sukarno mengemukakan gagasan revolusi mental sebagai upaya memurnikan kembali orientasi moral bangsa agar tidak terjebak dalam egoisme kekuasaan (Sukarno, 1959). Mohammad Hatta menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus ditopang oleh etika keikhlasan, sebab politik tanpa moral akan melahirkan oligarki dan ketidakadilan sosial (Hatta, 1977). Sutan Sjahrir melihat bahwa pemimpin Indonesia pasca-kolonial harus menempatkan integritas di atas kepentingan pribadi, dan bahwa moralitas merupakan tiang penyangga demokrasi (Sjahrir, 1949).

Nilai-nilai luhur tersebut juga termaktub dalam Pancasila yang menempatkan kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan sebagai prinsip dasar negara; sebuah kerangka yang hanya dapat dijalankan oleh pemimpin yang jernih hati dan tulus dalam tindakannya.

Perspektif Ilmu Politik dan Sosiologi

Dari perspektif ilmu politik empiris, ketulusan dan keikhlasan ternyata memiliki implikasi struktural terhadap stabilitas negara. Studi-studi mengenai public trust dan social capital menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemimpin merupakan faktor yang sangat menentukan efektivitas pemerintahan dan stabilitas politik jangka panjang (Putnam, 2000; Levi & Stoker, 2000).

Ketika pemimpin bertindak tulus, masyarakat merasakan keadilan dan kejujuran sehingga partisipasi meningkat dan konflik horizontal berkurang. Sebaliknya, ketika pemimpin tidak memiliki ketulusan, terjadi erosi kepercayaan yang memperlemah legitimasi negara dan membuka ruang bagi instabilitas. Dengan demikian, ketulusan bukan hanya nilai moral, tetapi juga variabel penentu dalam kinerja kelembagaan negara.

Negarawan sejati selalu memiliki orientasi waktu jangka panjang dan bekerja untuk generasi mendatang, bukan hanya untuk masa jabatannya. Perspektif ini sesuai dengan teori transformational leadership yang menekankan visi jangka panjang serta pengaruh moral yang mampu menggerakkan masyarakat ke arah perubahan yang berkelanjutan (Bass & Riggio, 2006).

Ketulusan membantu pemimpin mengambil kebijakan strategis yang mungkin tidak populer pada masa kini namun penting bagi masa depan negara. Keikhlasan membuatnya tidak terikat pada kebutuhan pencitraan, melainkan pada tanggung jawab moral untuk menanam dasar bagi keberlanjutan bangsa. Inilah ciri esensial kenegarawanan: kesediaan untuk menanam pohon yang buahnya akan dinikmati generasi lain.

Dalam perspektif sosiologi kekuasaan, ketulusan dan keikhlasan berfungsi sebagai mekanisme normatif untuk menahan kecenderungan kekuasaan untuk memperluas dirinya. Sebagaimana diperingatkan Lord Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut (Acton, 1907).

Namun, pemimpin yang ikhlas dan tulus mampu meletakkan batas moral dalam penggunaan kekuasaan. Ia tidak menganggap negara sebagai milik pribadi atau kelompoknya, tetapi sebagai amanah publik yang harus dijaga dan dipelihara. Keikhlasan melahirkan karakter yang rela dikritik, terbuka terhadap koreksi, dan tidak alergi terhadap akuntabilitas. Ketulusan menciptakan keberanian moral (moral courage) untuk menjaga integritas meskipun harus menghadapi risiko politik.

Penutup

Pada akhirnya, negara hanya akan stabil, adil, dan maju apabila dipimpin oleh negarawan yang menjadikan ketulusan sebagai fondasi orientasi politik dan keikhlasan sebagai energi moral. Moralitas bukan sekadar nilai tambahan tetapi inti dari keberlanjutan negara. Negara yang dipimpin oleh pemimpin tulus akan menampilkan wajah politik yang manusiawi, pemerintahan yang responsif, serta masyarakat yang merasa dilindungi dan dihormati. Ketulusan melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan melahirkan stabilitas; keikhlasan melahirkan integritas, dan integritas melahirkan legitimasi.

Dengan demikian, tesis bahwa semua negarawan bersandarkan ketulusan dan keikhlasan bukan hanya norma etis, tetapi juga prinsip ilmiah dalam kajian kepemimpinan dan tata kelola. Ketulusan adalah fondasi integritas, sementara keikhlasan adalah daya spiritual yang melampaui kalkulasi politik. Pemimpin tanpa keduanya hanya menjadi politisi dengan panggung kekuasaan, tetapi pemimpin yang memiliki keduanya akan dikenang sebagai penjaga masa depan bangsa.

Referensi

Acton, J. E. E. D. (1907). Lectures on modern history. Macmillan.

Al-Ghazali. (2015). Ihya’ Ulumuddin (Vol. 1–4). Dar Al-Minhaj.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Avolio, B. J., & Gardner, W. L. (2005). Authentic leadership development: Getting to the root of positive forms of leadership. The Leadership Quarterly, 16(3), 315–338. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2005.03.001

Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational leadership (2nd ed.). Psychology Press. https://doi.org/10.4324/9781410617095

Ciulla, J. B. (2020). Ethics and leadership: Putting theory into practice. Springer.

Confucius. (2003). The analects (R. Ivanhoe, Trans.). Hackett Publishing.

Greenleaf, R. K. (2002). Servant leadership: A journey into the nature of legitimate power and greatness. Paulist Press.

Hatta, M. (1977). Demokrasi kita. Pustaka Antara.

Levi, M., & Stoker, L. (2000). Political trust and trustworthiness. Annual Review of Political Science, 3, 475–507. https://doi.org/10.1146/annurev.polisci.3.1.475

Northouse, P. G. (2022). Leadership: Theory and practice (9th ed.). Sage Publications.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.

Sjahrir, S. (1949). Our struggle. Cornell University Press.

Sukarno. (1959). Di bawah bendera revolusi (Vol. 1). Panitia Penerbitan DBR.

Posted in

Leave a comment