Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo

Kemajuan ekonomi tidak lagi ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam sebagaimana diasumsikan dalam teori pembangunan klasik. Perubahan struktur ekonomi global setelah Perang Dunia II, percepatan teknologi informasi, dan integrasi rantai pasok internasional telah menggeser paradigma bahwa SDA merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran negara atau kota. Fenomena yang paling mencolok dari transformasi ini terlihat pada dua entitas urban Asia Tenggara: Singapura dan Jakarta.
Keduanya berkembang pesat meskipun tidak memiliki cadangan mineral, energi fosil, ataupun agrikultur luas yang biasanya menjadi basis ekonomi negara berkembang. Baik Singapura maupun Jakarta membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi kontemporer lebih ditentukan oleh kualitas institusi, kapasitas inovasi, modal manusia, dan kemampuan mengintegrasikan diri ke dalam jaringan ekonomi global dibandingkan oleh kekayaan alam yang bersifat ekstraktif.
Fenomena ini menantang teori resource-based development yang dominan pada abad ke-20. Alih-alih bergantung pada sumber daya alam, kota atau negara dapat membangun kemakmurannya melalui penciptaan nilai tambah berbasis jasa, perdagangan internasional, finance, teknologi, dan aglomerasi perkotaan. Literatur ekonomi modern menggarisbawahi bahwa sumber daya alam bahkan dapat menjadi hambatan pertumbuhan jika institusi politik tidak cukup kuat untuk mengelola rente secara produktif.
Sachs dan Warner (1995) memperkenalkan konsep resource curse, yaitu paradoks ketika negara kaya SDA justru mengalami stagnasi karena ketergantungan pada ekspor komoditas yang mudah menimbulkan korupsi, konflik elite, dan distorsi kebijakan ekonomi. Auty (2001) menambahkan bahwa negara miskin SDA sering kali justru terdorong membangun institusi yang lebih kompetitif, efisien, dan inovatif karena tidak memiliki pilihan mudah untuk memperoleh pendapatan nasional secara instan.
Dalam perkembangan teori pertumbuhan endogen, Romer (1990) menunjukkan bahwa pengetahuan, teknologi, dan inovasi merupakan motor utama pertumbuhan jangka panjang. Faktor kunci bukan lagi lahan atau bahan baku, tetapi kapasitas masyarakat untuk menghasilkan ide, teknologi, kreativitas, dan nilai tambah berbasis ilmu pengetahuan. Teori ini relevan menjelaskan bagaimana Singapura, negara yang hampir seluruh bahan pangan dan energinya diimpor, dapat menjadi salah satu pusat keuangan dan logistik terbesar dunia. Di sisi lain, pemikiran North (1990) mengenai institusi politik menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat berlangsung stabil jika negara mampu menciptakan kepastian hukum, meminimalkan biaya transaksi, dan memastikan bahwa struktur politik tidak menghambat aktivitas produktif masyarakat.
Dalam konteks urban studies, Henderson (2003) menjelaskan bahwa kota-kota besar mampu tumbuh pesat tanpa SDA karena memperoleh keuntungan aglomerasi, yakni peningkatan produktivitas akibat konsentrasi penduduk, perusahaan, talenta, dan infrastruktur pada ruang geografis yang sama. Semakin besar aglomerasi, semakin rendah biaya logistik, semakin cepat arus inovasi, dan semakin tinggi efisiensi koordinasi ekonomi. Jakarta dan Singapura sama-sama memanfaatkan logika ini, meskipun dalam kapasitas dan kualitas tata kelola yang berbeda.
Singapura dan Jakarta berkembang tanpa SDA bukan secara kebetulan. Keduanya merupakan contoh empiris bagaimana kota modern dapat membangun kemakmuran dengan menempatkan modal manusia, tata kelola, teknologi, dan keunggulan geografis sebagai fondasi utama pembangunan. Namun capaian Singapura jauh lebih tinggi karena mampu menyatukan seluruh perangkat negara ke dalam satu visi pembangunan jangka panjang yang konsisten. Jakarta, pada sisi lain, meski memiliki skala ekonomi yang jauh lebih besar, masih tertahan oleh fragmentasi kekuasaan, ketidakefisienan birokrasi, dan berbagai persoalan urban klasik yang menghambat produktivitas.
Kemajuan Institusi, Efisiensi dan Strategi Global Singapura
Kemajuan Singapura telah lama menjadi rujukan dalam studi pembangunan, tata kelola negara, dan transformasi ekonomi berbasis jasa. Negara-kota ini sering dipahami sebagai anomali: sebuah pulau kecil tanpa sumber daya alam, tanpa pasar domestik, tanpa hinterland pertanian, dan tanpa cadangan energi, tetapi justru menjadi salah satu pusat ekonomi global paling sukses di dunia. Pemahaman yang lebih cermat menunjukkan bahwa kemajuan Singapura bukanlah keajaiban, melainkan hasil dari desain institusional yang konsisten, kepemimpinan strategis yang berorientasi jangka panjang, dan kemampuan memanfaatkan posisi geostrategis secara maksimal. Singapura tumbuh bukan karena apa yang dimilikinya, tetapi karena bagaimana negara tersebut mengelola apa yang tidak dimilikinya.
Keunggulan Singapura dimulai dari kualitas tata kelola pemerintahan. Sistem hukum, administrasi publik, dan birokrasi yang dibangun sejak awal kemerdekaan dirancang untuk menciptakan kepastian dan efisiensi. North (1990) menekankan bahwa institusi merupakan kunci pertumbuhan karena mengurangi ketidakpastian dan biaya transaksi. Singapura mengambil prinsip ini secara ekstrem: negara mengatur kehidupan sosial-ekonomi secara ketat dengan tujuan utama menciptakan stabilitas jangka panjang. Transparansi, kepastian regulasi, dan penegakan hukum yang konsisten menjadikan Singapura salah satu yurisdiksi paling menarik bagi modal internasional. Dalam konteks Asia Tenggara, tingkat korupsi yang rendah dan birokrasi yang cepat menjadikannya sebuah “exceptional state,” sebagaimana digambarkan Quah (2010), di mana integritas administratif menjadi modal utama negara.
Selain tata kelola, strategi pembangunan ekonomi Singapura memanfaatkan sepenuhnya posisi geografisnya. Terletak di salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia, Singapura mengubah dirinya menjadi simpul logistik internasional. Pelabuhan Singapura, yang dibangun sebagai pelabuhan bebas sejak masa kolonial, diintegrasikan dengan kebijakan industri modern sehingga menjadi pusat transshipment tersibuk di dunia. Rodan (2004) mencatat bahwa sejak era Lee Kuan Yew, Singapura secara strategis menempatkan dirinya bukan hanya sebagai pelabuhan, tetapi sebagai pusat manajemen rantai pasok global, tempat modal, barang, dan jasa multinasional dikelola secara efisien. Infrastruktur pelabuhan, bandara, dan sistem logistik yang terhubung dengan teknologi tinggi menciptakan keunggulan biaya dan waktu yang sulit disaingi oleh kota-kota regional lainnya.
Ketiadaan sumber daya alam juga mendorong Singapura membangun ekonomi berbasis talenta. Investasi masif terhadap pendidikan, riset, dan pengembangan teknologi menjadikan negara ini pusat regional dalam bidang keuangan, biomedis, teknologi informasi, dan sains terapan. Goh dan Gopinathan (2008) menunjukkan bagaimana pembangunan sistem pendidikan Singapura sejak 1960-an diarahkan pada pembentukan tenaga kerja yang disiplin, terampil, dan adaptif terhadap struktur ekonomi global yang cepat berubah.
Universitas nasional seperti NUS dan NTU menjadi pusat riset kelas dunia, sementara kebijakan beasiswa besar-besaran mengirimkan ribuan pelajar terbaik ke universitas top dunia untuk kemudian kembali memperkuat kapasitas nasional. Kemajuan Singapura merupakan contoh konkret dari tesis Romer (1990) bahwa pertumbuhan jangka panjang tidak ditentukan oleh input fisik, tetapi oleh kemampuan menghasilkan ide dan inovasi baru.
Singapura juga mengembangkan ekosistem finansial yang sangat kompetitif. Negara-kota ini berhasil menjadi pusat transaksi valuta asing, wealth management, perbankan internasional, serta integrasi modal global. Keunggulan ini bukan semata-mata berasal dari regulasi yang ramah bisnis, tetapi juga karena reputasi stabilitas politik dan hukum yang menjadi fondasi kepercayaan investor. Dalam logika Porter (1990) mengenai daya saing nasional, Singapura secara sengaja membangun cluster industri bernilai tambah tinggi yang saling menopang: logistik, keuangan, teknologi, penelitian, dan advanced manufacturing. Ekosistem ini menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tanpa ketergantungan pada komoditas.
Keberhasilan Singapura juga ditopang oleh perencanaan kota jangka panjang yang terintegrasi. Tata ruang, perumahan publik, sistem transportasi, dan ruang hijau direncanakan dengan horizon puluhan tahun, bukan sekadar mengikuti siklus politik lima tahunan. Phang (2018) menunjukkan bahwa kebijakan perumahan publik Singapura, meskipun diatur secara ketat oleh negara, menciptakan tingkat kepemilikan rumah yang tinggi sekaligus menjaga stabilitas sosial. Infrastruktur transportasi seperti MRT dirancang sebagai tulang punggung mobilitas kota, bukan proyek sporadis. Ketika konsep “Global City” dipopulerkan oleh Sassen, Singapura dengan cepat mengadaptasi diri sebagai simpul ekonomi global dengan menghubungkan fungsi finansial, logistik, dan pemerintahan secara simultan.
Singapura juga memiliki kemampuan adaptif untuk mengantisipasi perubahan global. Ketika industri manufaktur padat karya menjadi kurang kompetitif, Singapura beralih ke industri presisi bernilai tinggi. Ketika ekonomi digital berkembang, Singapura membangun pusat data, kebijakan cybersecurity, dan ekosistem start-up. Ketika energi hijau menjadi tren, Singapura mulai merancang strategi diversifikasi energi dan investasi pada green finance. Transformasi berkelanjutan ini menunjukkan apa yang oleh Rodan (2004) disebut sebagai “authoritarian technocracy,” yaitu kapasitas negara kuat yang digunakan untuk memodernisasi ekonomi secara pragmatis.
Dengan demikian, kemajuan Singapura bukanlah hasil dari SDA, tetapi dari institusi yang kuat, kepastian hukum yang tinggi, kepemimpinan visioner, investasi jangka panjang pada modal manusia, dan strategi global yang memanfaatkan posisi geografis. Negara-kota ini membentuk sebuah blueprint pembangunan yang sangat sulit ditiru negara besar yang lebih kompleks secara politik, tetapi tetap memberikan pelajaran penting bahwa ketidakberuntungan alam dapat diubah menjadi keunggulan kompetitif jika dikelola dengan visi jangka panjang dan konsistensi kebijakan.
Aglomerasi, Pasar Domestik dan Dinamika Jakarta Sebagai Megacity
Jakarta sering dipersepsikan sebagai kota yang tumbuh secara tidak terencana, identik dengan kemacetan, banjir, kepadatan penduduk, serta ketimpangan ekonomi. Namun di balik berbagai persoalan urban tersebut, Jakarta merupakan salah satu contoh paling menarik tentang bagaimana sebuah kota dapat tumbuh pesat tanpa dukungan sumber daya alam. Tidak seperti Kalimantan yang kaya batu bara atau Sumatra yang kaya minyak dan perkebunan, kontribusi Jakarta terhadap PDB nasional bukan berasal dari komoditas, melainkan dari konsentrasi ekonomi jasa, perdagangan, dan aktivitas finansial yang terus meningkat sejak dekade 1970-an. Kota ini mencerminkan tesis Henderson (2003) bahwa pertumbuhan kota modern lebih ditentukan oleh aglomerasi ekonomi dan kepadatan pasar daripada faktor geografis atau kekayaan alam.
Konsep aglomerasi menjadi kunci memahami pertumbuhan Jakarta. Teori urban economics menjelaskan bahwa produktivitas meningkat ketika tenaga kerja, perusahaan, informasi, dan infrastruktur berada dekat satu sama lain. Jakarta menjadi ruang di mana ide, modal, dan manusia berinteraksi secara intensif. Perusahaan memperoleh akses lebih cepat terhadap konsumen dan jaringan bisnis. Para pekerja memperoleh peluang mobilitas kerja dan peningkatan pendapatan. Pemerintah, melalui kedekatan pusat administrasi dan pusat bisnis, mampu menciptakan jaringan regulasi dan izin yang mendukung aktivitas ekonomi. Firman (2009) menunjukkan bahwa sejak awal Orde Baru, Jakarta menjadi pusat akumulasi kapital nasional akibat industrialisasi berbasis urban yang memusat. Bahkan setelah reformasi politik 1998, Jakarta tetap menjadi sentral ekonomi karena infrastruktur bisnis, institusi keuangan, dan jaringan perusahaan nasional telah terlanjur terkonsentrasi di kota ini.
Selain aglomerasi, faktor struktural yang membedakan Jakarta dengan Singapura adalah besarnya pasar domestik Indonesia. Dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia menawarkan pasar konsumen yang sangat besar, dan Jakarta berada di pusatnya. Kegiatan ekonomi seperti perdagangan, pariwisata, perbankan, e-commerce, transportasi, dan jasa profesional mendapatkan keuntungan luar biasa dari skala konsumsi domestik ini. Dalam konsep yang dikemukakan Krugman (1991) mengenai new economic geography, pasar domestik besar menciptakan “demand pull” yang mempercepat pemusatan aktivitas industri dan jasa di satu kota utama. Jakarta menjadi pusat gravitasi ini: apa pun yang dijual di Indonesia, hampir selalu dimulai atau berujung di Jakarta.
Interaksi antara aglomerasi dan pasar domestik besar ini menciptakan dinamika ekonomi perkotaan yang unik. Sektor-sektor seperti keuangan, real estate, transportasi, logistik, periklanan, teknologi digital, dan industri kreatif tumbuh pesat karena adanya konsentrasi konsumsi yang besar. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 17 persen PDB Indonesia dihasilkan dari Jakarta, meskipun kota ini hanya menyumbang sekitar 4 persen populasi nasional. Ini menunjukkan tingkat produktivitas per kapita yang sangat tinggi, sejalan dengan teori urban productivity premium yang mengemukakan bahwa pekerja di kota besar memiliki output lebih tinggi berkat kedekatan fungsi-fungsi ekonomi yang saling melengkapi (Glaeser, 2011).
Namun, pertumbuhan Jakarta tidak hanya dipicu oleh faktor ekonomi semata. Kedekatan dengan pusat kekuasaan nasional memainkan peran yang sangat signifikan. Jakarta adalah pusat pemerintahan, pusat pengambilan kebijakan, dan pusat jaringan politik nasional. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut oleh McGee (1995) sebagai “primate city effect,” yaitu kondisi ketika satu kota mendominasi aktivitas ekonomi, politik, dan sosial suatu negara secara simultan. Dominasi Jakarta diperkuat oleh keberadaan kementerian, BUMN, lembaga keuangan negara, kantor pusat perusahaan besar, serta berbagai institusi multinasional yang menetap di kota ini. Kombinasi antara kekuatan politik dan ekonomi menjadikan Jakarta tidak hanya sebagai pusat mobilitas kapital, tetapi juga pusat legitimasi regulasi ekonomi nasional.
Ketiadaan SDA tidak menjadi hambatan bagi Jakarta karena sumber pertumbuhan kota ini berasal dari sektor jasa bernilai tambah tinggi. Sektor keuangan, perbankan, asuransi, pasar modal, telekomunikasi, transportasi udara dan darat, perhotelan, kesehatan modern, serta sektor digital menjadi motor ekonomi kota. Kehadiran ekonomi digital yang berkembang sangat cepat, misalnya e-commerce, fintech, teknologi logistik, dan aplikasi transportasi, memperkuat posisi Jakarta sebagai pusat inovasi nasional. Indonesia merupakan pasar internet terbesar di Asia Tenggara, dan Jakarta memainkan peran dominan dalam ekosistem digital ini. Fenomena ini sejalan dengan gagasan Castells (1996) mengenai rise of the network society, di mana kota-kota besar menjadi pusat produksi dan konsumsi informasi.
Pertumbuhan ekonomi Jakarta juga ditopang oleh masuknya kelas menengah baru yang terus meningkat sejak tahun 2000-an. Konsumsi rumah tangga ini mendorong ekspansi sektor ritel, kuliner, hiburan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Transformasi sosial ini memperkuat logika urban consumption cluster sebagaimana dijelaskan oleh Florida (2002), yang menegaskan hubungan antara pertumbuhan kelas kreatif, pendapatan urban, dan inovasi ekonomi. Walaupun sektor formal masih mendominasi PDB, sektor informal tetap menjadi bagian penting dari struktur ekonomi kota. Sektor informal menyediakan lapangan kerja yang fleksibel, meskipun sering kali berada dalam kondisi tidak terlindungi atau tidak terdokumentasi secara formal.
Namun, berbeda dengan Singapura, pertumbuhan Jakarta terjadi dalam konteks institusi yang lebih kompleks dan sering kali tidak konsisten. Jakarta menghadapi tantangan klasik kota-kota besar negara berkembang: kemacetan parah, polusi udara, banjir musiman, tekanan perumahan, ketimpangan sosial, serta birokrasi multi-level yang tidak terkoordinasi secara efektif. Kendala-kendala ini mengurangi tingkat produktivitas sehingga potensi ekonomi kota tidak sepenuhnya termanfaatkan. Sementara Singapura dapat merancang tata kota dan kebijakan nasional secara terpusat, Jakarta berada di tengah tarik menarik kepentingan nasional dan lokal yang sering kali tidak selaras. Fenomena governance fragmentation ini pernah disinggung oleh Silver, McCarthy, dan Tarigan (2021) yang melihat Jakarta sebagai studi kasus ketidaksinkronan antara kebutuhan megacity modern dengan struktur tata kelola metropolitan yang tidak terpadu.
Dengan demikian, pertumbuhan Jakarta tanpa SDA bukanlah hasil kebetulan, melainkan kombinasi kompleks antara aglomerasi ekonomi, pasar domestik yang besar, posisi politik nasional, dan transformasi struktur sosial. Kota ini berkembang melalui dinamika urban yang menciptakan nilai tambah meskipun tidak memiliki cadangan komoditas. Namun, keberhasilan tersebut belum didukung efisiensi tata kelola, perencanaan kota jangka panjang, dan modernisasi infrastruktur yang memadai. Hal inilah yang membedakan Jakarta dengan Singapura, dan menjadi dasar untuk memahami tantangan strategis dalam upaya menjadikan Jakarta lebih maju dibanding negara-kota tetangganya yang jauh lebih kecil tetapi lebih efisien.
Kesenjangan Struktural antara Singapura dan Jakarta
Meskipun Singapura dan Jakarta sama-sama berkembang tanpa basis sumber daya alam, keduanya menempuh jalur pembangunan yang sangat berbeda dan mencapai hasil yang kontras. Singapura tumbuh sebagai negara-kota global yang efisien, bersih, modern, dan sangat kompetitif secara internasional. Jakarta, sementara itu, berkembang sebagai pusat ekonomi domestik yang besar, dinamis, dan vital bagi Indonesia, namun dibayangi persoalan struktural yang menghambat transformasinya menjadi kota global. Kesenjangan ini tidak semata-mata disebabkan oleh ukuran atau kapasitas negara, melainkan oleh perbedaan mendasar dalam tata kelola, kemampuan negara mengendalikan ruang kota, stabilitas regulasi, dan arah kebijakan jangka panjang.
Perbedaan paling fundamental terletak pada struktur tata kelola. Singapura adalah negara-kota dengan sistem pemerintahan terpusat, di mana legislatif, eksekutif, dan birokrasi bekerja dalam satu kerangka kebijakan yang terkoordinasi dan stabil. Chua (2011) menggambarkan Singapura sebagai “technocratic developmental state” yang mengintegrasikan visioning jangka panjang ke dalam seluruh struktur negara. Hampir tidak ada fragmentasi kewenangan, tidak ada dualisme pemerintah kota-provinsi, dan tidak ada kompetisi politik lokal yang menghambat perencanaan kota. Sebaliknya, Jakarta beroperasi dalam sistem politik multi-level yang kompleks: pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota di sekitar Jabodetabek, kementerian teknis, otoritas BUMN, serta lembaga legislatif nasional memiliki kewenangan langsung terhadap tata ruang dan infrastruktur Jakarta. Silver, McCarthy, dan Tarigan (2021) menyebut fenomena ini sebagai “institutional fragmentation,” di mana berbagai aktor memiliki otoritas tumpang tindih sehingga menyebabkan kebijakan sering inkonsisten, lambat, atau kontradiktif.
Fragmentasi tata kelola ini menghasilkan biaya transaksi yang jauh lebih tinggi bagi pelaku ekonomi di Jakarta dibandingkan dengan Singapura. Mietzner (2015) mencatat bahwa Indonesia menghadapi tantangan serius berupa ketidakpastian regulasi dan birokrasi yang berbelit. Investor yang ingin membuka atau mengembangkan usaha di Jakarta harus berhadapan dengan proses perizinan yang dipengaruhi banyak lembaga berbeda. Ketidakpastian ini menciptakan risiko institusional yang tidak ditemukan di Singapura. Di negara-kota tersebut, proses pengambilan keputusan lebih cepat, stabilitas kebijakan lebih terjaga, dan koordinasi lintas sektor sangat tinggi. Stabilitas kebijakan merupakan salah satu alasan mengapa Singapura menjadi salah satu pusat investasi asing terbesar di dunia.
Kesenjangan kedua terjadi pada tingkat efisiensi birokrasi dan penegakan hukum. Singapura menempati posisi atas global dalam indikator tata kelola seperti Worldwide Governance Indicators, khususnya dalam hal rule of law, regulatory quality, dan government effectiveness. Penegakan hukum yang konsisten menciptakan persepsi kuat tentang kepastian berusaha. Rodan (2004) menjelaskan bahwa kontrol politik yang kuat pada negara otoriter teknokratis seperti Singapura bukan menciptakan represi semata, tetapi juga menghasilkan perangkat administratif yang efisien dan bebas korupsi. Sementara itu, Jakarta masih menghadapi masalah korupsi di berbagai level, serta penegakan hukum yang inkonsisten. Ketidakefektifan birokrasi menyebabkan banyak kebijakan baik tidak berjalan maksimal, atau melambat karena terganjal kepentingan politik dan administratif.
Kesenjangan berikutnya berkaitan dengan infrastruktur. Infrastruktur modern bukan hanya fasilitas fisik, tetapi infrastruktur institusional yang menopang produktivitas kota. Singapura memiliki jaringan transportasi publik yang sangat efisien, dengan MRT sebagai tulang punggung mobilitas kota. Transportasi publik bukan hanya alat mobilitas, tetapi bagian dari strategi ekonomi untuk mengefisiensikan waktu tempuh pekerja dan menurunkan biaya logistik nasional. Sebaliknya, Jakarta menghadapi salah satu tingkat kemacetan terburuk di dunia, yang berdampak langsung pada produktivitas dan kualitas hidup warganya. Waktu tempuh yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap biaya ekonomi makro; masalah ini telah disoroti dalam kajian transportasi urban oleh Firman dan Dharmapatni (1994). Kehadiran MRT Jakarta merupakan langkah besar, tetapi skalanya masih terlalu kecil untuk ukuran megacity dengan lebih dari 30 juta penduduk Jabodetabek.
Selain transportasi, perbedaan infrastruktur perumahan juga menciptakan kesenjangan kualitas urban. Singapura berhasil menciptakan perumahan publik yang berkualitas melalui Housing and Development Board (HDB), sehingga lebih dari 80 persen penduduk memiliki rumah sendiri. Perumahan publik ini dirancang bersamaan dengan akses terhadap transportasi, fasilitas sosial, dan ruang hijau. Phang (2018) menunjukkan bahwa keberhasilan perumahan publik Singapura bukan hanya soal kualitas bangunan, tetapi kemampuan negara mengendalikan lahan sebagai instrumen strategis pembangunan kota. Jakarta, sebaliknya, memiliki struktur lahan yang dikuasai swasta dan spekulan, sehingga harga properti menjadi sangat tinggi dan tidak terjangkau bagi sebagian besar warga. Kawasan kumuh tumbuh karena keterbatasan akses terhadap perumahan formal, sekaligus karena lemahnya regulasi tata ruang dan pengawasan pembangunan.
Perbedaan lainnya tampak dalam orientasi ekonomi. Singapura bertransformasi menjadi kota global dengan menempatkan sektor-sektor bernilai tambah tinggi seperti keuangan internasional, teknologi informasi, biomedical sciences, dan logistik presisi sebagai inti pertumbuhan ekonomi. Porter (1990) menjelaskan bahwa negara atau kota yang ingin unggul dalam kompetisi global harus membangun industrial cluster yang saling menguatkan. Singapura secara sistematis membangun cluster tersebut, sementara Jakarta masih berkutat pada sektor-sektor yang relatif rendah nilai tambahnya, yaitu perdagangan ritel, konsumsi, dan jasa dasar. Meskipun Jakarta memiliki sektor kreatif dan digital yang berkembang pesat, struktur ekonomi kota ini masih didominasi aktivitas domestik, bukan aktivitas yang berorientasi global.
Keterbatasan Jakarta semakin kompleks karena beban urbanisasi yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk Jakarta dan Jabodetabek meningkat jauh lebih cepat daripada kemampuan negara dan daerah menyediakan infrastruktur dan layanan publik. Kondisi ini menciptakan apa yang oleh UN-Habitat disebut sebagai “urbanization without urban planning,” yaitu pertumbuhan kota yang tidak diimbangi perencanaan tata kota yang memadai. Jakarta menghadapi tantangan banjir yang kronis, penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah, serta polusi udara yang menempati peringkat salah satu yang terburuk di Asia. Semua masalah ini menambah externalities negatif terhadap produktivitas ekonomi.
Perbedaan dalam kultur governance juga memperkuat kesenjangan Singapura–Jakarta. Singapura membangun kultur efisiensi, kepatuhan, dan pelayanan publik sejak 1960-an. Kedisiplinan kolektif dipandang sebagai modal sosial. Sebaliknya, Jakarta berkembang dalam konteks demokrasi besar yang penuh kompetisi politik dan kepentingan oligarkis sebagaimana diuraikan oleh Winters (2011). Politik elektoral sering menempatkan kebijakan populis jangka pendek di atas kepentingan jangka panjang pembangunan kota. Situasi ini membuat kontinuitas kebijakan menjadi lemah, tidak seperti Singapura yang memiliki konsistensi kebijakan lintas generasi.
Pada akhirnya, kesenjangan antara Singapura dan Jakarta bukan disebabkan oleh ketidakhadiran sumber daya alam, tetapi oleh perbedaan kemampuan negara dalam mengelola kota, memprediksi kebutuhan masa depan, mengintegrasikan kebijakan lintas sektor, dan menciptakan stabilitas regulasi. Singapura adalah manifestasi dari negara yang memaksimalkan efisiensi birokrasi dan perencanaan jangka panjang. Jakarta, sebaliknya, adalah cerminan dari negara besar dengan dinamika politik yang kompleks, urbanisasi cepat, dan tekanan sosial-ekonomi yang tinggi. Namun kesenjangan ini bukan hal yang tidak dapat diatasi. Dengan reformasi institusional yang tepat, Jakarta memiliki potensi untuk melampaui Singapura karena didukung oleh skala pasar, demografi, dan potensi transformasi ekonomi yang jauh lebih besar.
Jakarta dan Proyek Keunggulan Struktural
Pertanyaan apakah Jakarta dapat melampaui Singapura bukan sekadar ambisi simbolik, melainkan refleksi strategis mengenai bagaimana sebuah megacity dari negara besar dapat mengoptimalkan potensi strukturalnya untuk mencapai posisi dominan di Asia Tenggara dan berperan lebih signifikan di ekonomi global. Singapura adalah negara-kota kecil dengan keunggulan tata kelola dan efisiensi yang luar biasa, tetapi memiliki keterbatasan ruang, demografi, sumber tenaga kerja, serta pasar domestik. Jakarta, meskipun menghadapi tantangan urban yang berat, memiliki potensi struktural yang secara fundamental lebih besar. Dengan penduduk ratusan juta yang menopang konsumsi nasional, transformasi industri yang tengah berlangsung, serta revitalisasi kebijakan pembangunan jangka panjang, Jakarta berpotensi berkembang melampaui Singapura jika mampu mengubah kelemahan institusionalnya menjadi kekuatan strategis.
Potensi ini harus dipahami dalam kerangka teoretis yang memandang pembangunan kota bukan sebagai perlombaan linear, tetapi sebagai rekonstruksi struktur ekonomi yang menggabungkan aglomerasi, inovasi, dan institusi. Dalam logika Krugman (1991) mengenai new economic geography, kota-kota besar dengan pasar domestik kuat memiliki peluang menjadi pusat gravitasi bagi aktivitas ekonomi regional. Dalam konteks ini, Singapura unggul karena efisiensi dan keterhubungan globalnya, tetapi Jakarta memiliki faktor skala yang tidak dapat ditiru Singapura. Pasar domestik Indonesia, yang lebih besar dari gabungan populasi Singapura, Malaysia, dan Thailand, merupakan aset strategis yang jika dikelola dengan baik dapat mengangkat Jakarta sebagai pusat inovasi dan produksi bernilai tinggi di Asia Tenggara.
Transformasi tersebut memerlukan reformasi tata kelola metropolitan sebagai prasyarat utama. Selama struktur pemerintahan Jakarta tetap terfragmentasi, produktivitas kota akan terus tertahan oleh kemacetan, banjir, dan inefisiensi layanan publik. Konsolidasi administratif melalui pembentukan otoritas metropolitan terintegrasi yang mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi kebutuhan mendesak. Dalam kajian Silver, McCarthy, dan Tarigan (2021), terungkap bahwa tanpa institusi metropolitan, Jakarta beroperasi dalam kondisi yang disebut “governance stress,” yaitu tekanan terhadap kapasitas institusi akibat ledakan urbanisasi dan ketidaksinkronan kebijakan. Pembentukan otoritas tunggal akan memungkinkan perencanaan transportasi lintas kota, pengelolaan sumber air terkoordinasi, serta regulasi ruang yang konsisten. Model seperti Metropolitan Tokyo atau Greater London Authority dapat dijadikan referensi institusional, dengan adaptasi pada konteks politik Indonesia.
Selain tata kelola, orientasi ekonomi Jakarta harus bergeser dari ekonomi berbasis konsumsi menuju ekonomi berbasis inovasi dan teknologi. Singapura unggul dalam keuangan global karena memiliki ekosistem regulasi dan talenta yang mendukung industri tersebut. Namun Jakarta memiliki peluang membangun niche berbeda yang lebih sesuai dengan karakter ekonomi Indonesia. Salah satu peluang tersebut adalah menjadikan Jakarta pusat keuangan syariah global. Dengan populasi muslim terbesar di dunia dan permintaan meningkat terhadap instrumen keuangan syariah, Jakarta dapat menciptakan keunggulan struktural yang tidak dapat ditiru oleh Singapura. Studi oleh Iqbal dan Mirakhor (2017) menunjukkan bahwa sektor keuangan syariah memiliki potensi pertumbuhan tinggi jika didukung oleh kebijakan negara dan inovasi produk finansial. Jakarta dapat menempati posisi strategis sebagai pusat investasi Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara dalam konteks keuangan halal dan instrumen pembiayaan syariah.
Di samping itu, transformasi ekonomi digital Indonesia membuka peluang besar bagi Jakarta untuk menjadi pusat teknologi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia adalah negara dengan pengguna internet terbesar keempat di dunia, dan pertumbuhan ekonomi digital mencapai 150 miliar dolar AS pada 2025 menurut laporan Google–Temasek–Bain. Jakarta dapat mengambil peran sebagai pusat riset dan pengembangan di bidang kecerdasan buatan, keamanan siber, teknologi logistik, dan fintech. Dalam kerangka teori Romer (1990), pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh penciptaan ide dan inovasi, bukan oleh akumulasi modal fisik. Ekosistem start-up Jakarta yang sangat dinamis merupakan indikasi bahwa kota ini siap menjadi pusat inovasi regional, asalkan didukung dengan infrastruktur riset dan regulasi yang memadai.
Keunggulan lain Jakarta terletak pada potensinya menjadi pusat industri hijau dan ekonomi pertahanan. Transisi menuju energi terbarukan, mobil listrik, dan manufaktur ramah lingkungan merupakan agenda global yang tidak bisa dihindarkan. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia yang mendukung industri baterai, tetapi tanpa pusat litbang dan pusat pengambilan keputusan industri, komoditas tersebut tidak akan menghasilkan nilai tambah tinggi. Jakarta dapat mengambil peran sebagai pusat koordinasi industri hijau nasional, menghubungkan sektor industri di Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Di sisi pertahanan, Indonesia sedang mendorong kemandirian industri militer dan teknologi. Ekosistem seperti ini membutuhkan pusat manajemen, pusat desain, dan pusat riset yang seharusnya berada di Jakarta. Singapura memang memiliki industri pertahanan yang maju, tetapi tidak memiliki skala pasar domestik dan hinterland industri sebesar Indonesia.
Untuk melampaui Singapura, Jakarta juga harus membangun mobilitas perkotaan yang efisien. Kemacetan Jakarta tidak hanya mengurangi kualitas hidup, tetapi juga melemahkan produktivitas ekonomi secara signifikan. Studi Firman dan Dharmapatni (1994) menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta menyebabkan kerugian ekonomi miliaran dolar per tahun. Pembangunan MRT, LRT, BRT, dan jaringan KA komuter merupakan langkah awal yang penting, tetapi harus diperluas dalam skala metropolitan agar menciptakan efek produktivitas yang signifikan. Kota global tidak dapat berfungsi dengan baik jika warganya menghabiskan dua hingga tiga jam per hari di jalan. Mobilitas yang efisien akan membantu industri, logistik, tenaga kerja, dan seluruh sektor produktif bekerja secara lebih efektif.
Aspek terakhir yang menentukan kemampuan Jakarta melampaui Singapura adalah konsistensi kebijakan jangka panjang. Singapura berhasil karena memiliki visi lintas generasi yang tidak mudah diganggu kepentingan politik jangka pendek. Jakarta harus mampu meniru pola ini, bukan melalui otoritarianisme, tetapi melalui konsensus politik nasional bahwa pembangunan Jakarta adalah proyek strategis Republik Indonesia. Winters (2011) menegaskan bahwa oligarki di Indonesia sering kali menghambat kebijakan pembangunan jangka panjang karena orientasi keuntungan jangka pendek. Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme institusional untuk mengamankan kebijakan jangka panjang dari fluktuasi politik elektoral. Salah satu mekanismenya adalah menetapkan master plan Jakarta 2050 sebagai proyek negara, bukan proyek gubernur atau proyek politik lokal.
Jika seluruh elemen ini dapat dijalankan secara konsisten, mulai dari reformasi metropolitan, transformasi ekonomi inovatif, pembangunan infrastruktur besar-besaran, hingga konsistensi kebijakan jangka panjang, Jakarta memiliki potensi realistis untuk melampaui Singapura. Keunggulan utamanya adalah skala, demografi, dan kedalaman ekonomi nasional yang tidak dimiliki Singapura. Dengan institusi yang lebih kuat dan inovasi yang lebih terarah, Jakarta dapat menjadi pusat ekonomi terbesar di Asia Tenggara, pusat inovasi regional, dan kota global yang tidak hanya mengejar efisiensi Singapura, tetapi mengunggulinya melalui kombinasi antara skala ekonomi besar dan modernitas institusional.
Jakarta Hanya Perlu Menjadi Versi Terbaiknya
Perbandingan antara Singapura dan Jakarta sering kali digunakan sebagai gambaran kontras antara efisiensi negara-kota modern dan kompleksitas megacity dari negara berkembang. Namun, kesimpulan yang terlalu sederhana bahwa Jakarta harus meniru Singapura justru mengabaikan realitas struktural yang jauh lebih besar. Singapura adalah negara kecil yang dibangun dari fondasi yang sangat berbeda, yakni homogenitas administratif, populasi terbatas, dan kemampuan negara mengontrol hampir seluruh aspek ruang dan masyarakat. Jakarta, sebaliknya, merupakan pusat dari negara demokrasi besar, dengan jutaan penduduk, dinamika sosial yang rumit, serta tekanan politik yang jauh lebih intens. Karena itu, narasi bahwa Jakarta harus menjadi “Singapura yang lebih besar” tidak hanya keliru secara konseptual, tetapi juga mengabaikan keunggulan struktural yang justru dapat membuat Jakarta melampaui Singapura jika diarahkan dengan benar.
Pelajaran paling penting dari analisis ini adalah bahwa pertumbuhan tanpa sumber daya alam bukanlah anomali, melainkan norma baru dalam ekonomi global kontemporer. Singapura adalah contoh ekstrem dari negara yang memanfaatkan modal manusia, tata kelola, dan strategi global untuk mengubah keterbatasan menjadi kekuatan. Jakarta adalah contoh dari kota besar yang memanfaatkan aglomerasi, pasar domestik, dan dinamika urban sebagai fondasi pertumbuhan. Keduanya maju tanpa SDA, tetapi capaian keduanya berbeda karena kualitas institusi, konsistensi kebijakan, dan kemampuan mengelola ruang kota. Teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990), teori institusi (North, 1990), dan teori aglomerasi (Henderson, 2003) menunjukkan bahwa keberhasilan kota modern tidak ditentukan oleh alam, melainkan oleh kemampuan negara mengorganisasi strategi pembangunan jangka panjang.
Dalam konteks ini, upaya mengejar atau bahkan melampaui Singapura tidak dapat dibangun di atas imitasi. Singapura sukses karena efisiensi, tetapi Jakarta tidak harus menyainginya pada aspek yang sama. Jakarta harus menciptakan basis keunggulan yang berbeda, yang menjadi basis yang lahir dari kekhasan Indonesia sebagai negara besar, ekonomi besar, dan masyarakat besar. Skala pasar domestik Indonesia, dinamika digital yang mengesankan, transformasi industri hijau dan pertahanan, serta pertumbuhan kelas menengah yang pesat adalah modal struktural yang tidak dimiliki Singapura. Faktor-faktor tersebut membuat Jakarta lebih layak diposisikan bukan sebagai “versi lain Singapura,” tetapi sebagai pusat ekonomi regional yang memadukan skala besar, kreativitas, dan kemampuan industri.
Pertanyaan strategisnya kemudian bukan lagi bagaimana Jakarta meniru Singapura, tetapi bagaimana Jakarta menata ulang institusi dan infrastrukturnya agar dapat memanfaatkan seluruh potensi tersebut. Langkah kunci terletak pada reformasi tata kelola metropolitan. Selama struktur pemerintahan Jakarta tetap terpecah antara Jakarta dan kota-kota di sekelilingnya, produktivitas kota akan terus terhambat. Fragmentasi kebijakan menyebabkan inefisiensi transportasi, ketidakterpaduan tata ruang, dan lemahnya koordinasi pengendalian banjir. Kesenjangan ini hanya dapat diatasi melalui pembentukan otoritas metropolitan tunggal yang memiliki kewenangan perencanaan lintas wilayah secara komprehensif. Pembentukan struktur semacam ini bukan hanya agenda tata kelola, tetapi fondasi bagi transformasi ekonomi jangka panjang.
Selain itu, Jakarta harus meningkatkan mobilitas perkotaan sebagai syarat utama produktivitas. Kota global tidak dapat bergerak jika terhenti oleh kemacetan ekstrem dan transportasi publik yang terbatas. Modernisasi sistem transportasi, peningkatan jaringan MRT, integrasi antarmoda, serta manajemen ruang berbasis transit-oriented development merupakan investasi jangka panjang yang akan menghasilkan lonjakan produktivitas. Dalam perspektif ekonomi, mobilitas bukan lagi sekadar aspek kenyamanan kota, tetapi struktur dasar bagi pasar tenaga kerja yang efisien dan jaringan industri yang kompetitif (Glaeser, 2011).
Transformasi ekonomi Jakarta juga harus diarahkan menuju sektor-sektor bernilai tinggi yang dapat memberikan keunggulan kompetitif regional. Singapura unggul dalam keuangan global dan logistik presisi. Jakarta dapat mengambil jalur berbeda. Industri digital Indonesia, dengan nilai pasar terbesar di Asia Tenggara, memberikan fondasi bagi Jakarta untuk menjadi pusat ekosistem teknologi dan inovasi. Begitu pula dengan sektor keuangan syariah yang memiliki potensi unik karena Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Pengembangan pusat riset energi hijau, industri baterai, dan teknologi pertahanan juga dapat menjadi pilar penting bagi keunggulan Jakarta, karena Indonesia memiliki hinterland industri yang dilengkapi sumber daya manusia dan material yang jauh lebih besar dibanding Singapura. Strategi ini konsisten dengan konsep Porter (1990) bahwa daya saing kota dibangun melalui cluster ekonomi yang saling memperkuat dan menciptakan inovasi berulang.
Namun peluang tersebut akan hilang jika Jakarta tidak membangun konsistensi kebijakan jangka panjang. Negara-kota seperti Singapura dapat mengimplementasikan strategi pembangunan dengan disiplin teknokratis selama beberapa dekade. Jakarta berada di dalam sistem demokrasi besar, di mana kebijakan sering berubah mengikuti dinamika politik. Winters (2011) memperingatkan bahwa Indonesia memiliki struktur oligarki yang sering mendistorsi kebijakan publik demi kepentingan jangka pendek. Karena itu, visi pembangunan Jakarta harus menjadi proyek nasional, bukan proyek politik lokal. Dibutuhkan komitmen lintas pemerintahan untuk menempatkan masa depan Jakarta sebagai bagian integral dari strategi pembangunan jangka panjang Indonesia.
Pada akhirnya, Jakarta dapat melampaui Singapura bukan karena meniru efisiensinya, tetapi karena menggabungkan skala besar ekonominya dengan institusi modern yang lebih kuat. Jakarta dapat menjadi pusat inovasi, pusat industri hijau, pusat keuangan syariah, dan pusat teknologi regional. Jika mampu mengubah kelemahan struktural menjadi momentum reformasi, Jakarta dapat tumbuh melampaui Singapura pada dimensi yang tidak dapat ditiru negara-kota tersebut: skala ekonomi, diversifikasi industri, dan kapasitas demografis.
Dengan demikian, Jakarta tidak perlu menjadi Singapura. Jakarta harus menjadi Jakarta, yaitu versi terbaik dari megacity Indonesia yang mampu berdiri sebagai kota global setara, bahkan lebih besar, melalui kombinasi kekuatan skala nasional dan modernitas institusional. Transformasi ini adalah proyek jangka panjang, tetapi sangat mungkin dicapai jika strategi yang tepat diterapkan secara konsisten. Dalam kerangka pembangunan nasional menuju 2045, menjadikan Jakarta sebagai pusat inovasi dan kekuatan ekonomi Asia Tenggara adalah bukan hanya kemungkinan, tetapi kebutuhan strategis bagi Indonesia sebagai negara besar di kawasan Indo-Pasifik.
Daftar Referensi
Auty, R. (2001). Resource abundance and economic development. Oxford University Press.
Castells, M. (1996). The rise of the network society. Blackwell.
Chua, B. H. (2011). Singapore as model: Planning innovations, knowledge experts. Asian Journal of Social Science, 39(1), 1–12.
Firman, T. (2009). The continuity and change in mega-urbanization in Indonesia. Habitat International, 33(4), 326–339.
Firman, T., & Dharmapatni, I. (1994). The challenges to sustainable urban development in Jakarta. Urban Studies, 31(7), 1205–1224.
Florida, R. (2002). The rise of the creative class. Basic Books.
Glaeser, E. (2011). Triumph of the city. Penguin Press.
Goh, C. B., & Gopinathan, S. (2008). Education in Singapore: Development since 1965. Educational Development Review, 28, 1–15.
Henderson, J. V. (2003). The urbanization process and economic growth: The so-what question. Journal of Economic Growth, 8(1), 47–71.
Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2017). Ethics in Islamic finance. Islamic Research and Training Institute.
Krugman, P. (1991). Increasing returns and economic geography. Journal of Political Economy, 99(3), 483–499.
McGee, T. (1995). The emergence of desakota regions in Asia: Expanding a hypothesis. In The Extended Metropolis.
Mietzner, M. (2015). Reinforcing Indonesia’s democratic stagnation: Oligarchic capture and the decline of reform. Journal of Democracy, 26(2), 101–113.
North, D. C. (1990). Institutions, institutional change and economic performance. Cambridge University Press.
Phang, S. Y. (2018). Policy innovations for affordable housing in Singapore. Springer.
Porter, M. E. (1990). The competitive advantage of nations. Macmillan.
Rodan, G. (2004). Transparency and authoritarian rule in Southeast Asia. Routledge.
Romer, P. (1990). Endogenous technological change. Journal of Political Economy, 98(5), S71–S102.
Sachs, J., & Warner, A. (1995). Natural resource abundance and economic growth. NBER Working Paper No. 5398.
Silver, J., McCarthy, J., & Tarigan, A. (2021). Planning the mega-city: Jakarta and the global urban future. Urban Studies, 58(2), 291–309.
Winters, J. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.
Leave a comment