Oleh: Center for Analysis and Applying Geospatial Information

Simulasi Model Banjir
Banjir besar yang melanda wilayah Sumatera pada akhir November 2025 telah menjadi salah satu bencana hidrometeorologis paling mematikan dalam sejarah Indonesia modern. Laporan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sedikitnya 836 korban jiwa, ratusan orang dinyatakan hilang, serta lebih dari 3,3 juta penduduk terdampak oleh banjir dan longsor yang menerjang provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Angka ini tidak hanya menunjukkan skala kerusakan fisik yang masif, tetapi juga menggambarkan adanya kerentanan struktural yang telah berkembang dalam waktu lama pada lanskap ekologis Sumatera.
Kejadian ini bukan sekadar akibat presipitasi ekstrem yang dipicu oleh Siklon Senyar, suatu fenomena meteorologis yang dapat menimbulkan curah hujan lebih dari 300 mm per hari. Sebaliknya, bencana ini merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor alam dan faktor antropogenik, khususnya praktik alih fungsi lahan secara luas yang menurunkan kapasitas infiltrasi tanah dan meningkatkan run-off permukaan. Dalam konteks hidrologi DAS, kombinasi hujan ekstrem, deforestasi, peningkatan sedimentasi, serta berkurangnya daya tampung sungai dan danau menjadikan banjir 2025 sebagai bencana ekologis yang terakselerasi oleh aktivitas manusia.
Informasi geospasial dalam dokumen tersebut menyediakan fondasi empiris bagi analisis kausal yang lebih dalam, menunjukkan bagaimana perubahan tutupan lahan antara 2017 hingga 2025 menghasilkan pola spasial yang bertepatan dengan lokasi-lokasi banjir terbesar. Citra satelit sebelum dan sesudah kejadian, peta tematik curah hujan harian, serta hasil pengolahan Digital Elevation Model dalam mode 3D menunjukkan hubungan langsung antara degradasi lingkungan di hulu DAS dengan dampak destruktif di wilayah hilir. Kayu-kayu gelondongan dalam jumlah besar yang ditemukan menumpuk di danau-danau dan terbawa arus banjir memperkuat dugaan adanya pembalakan atau konversi hutan yang tidak terkendali, meskipun pemerintah awalnya menyatakan bahwa kayu tersebut berasal dari pohon tumbang akibat longsor.
Analisis awal geospasial dalam dokumen ini menyimpulkan bahwa banjir 2025 tidak dapat dikategorikan sebagai natural disaster murni. Bencana ini lebih tepat dipahami sebagai human-exacerbated disaster, di mana cuaca ekstrem hanya menjadi pemicu, sementara besarnya kerusakan merupakan perwujudan dari fragilitas ekologis yang diciptakan oleh praktik manusia. Pandangan ini selaras dengan teori kontemporer tentang compound hazards yang menyatakan bahwa interaksi antara eksposur iklim ekstrem dan kerusakan ekologi dapat melahirkan dampak bencana yang jauh melampaui kapasitas masyarakat dan infrastruktur untuk menghadapi ancaman tersebut.
Tulisan akademik ini bertujuan untuk mengembangkan analisis komprehensif mengenai faktor penggerak banjir Sumatera 2025, meninjau kembali bukti geospasial , dan menyusun argumentasi ilmiah mengenai hubungan struktural antara deforestasi, degradasi hidrologi, dan intensifikasi risiko bencana. Pendekatan ini diperlukan untuk memahami bagaimana bencana serupa dapat diantisipasi di masa depan melalui kebijakan tata guna lahan, rehabilitasi DAS, dan pemutakhiran sistem peringatan dini yang berorientasi pada data spasial.
Tulisan ini juga mengisi kekosongan penting dalam literatur kebencanaan Indonesia yang sering kali berfokus pada respons pascabencana, tetapi belum sepenuhnya menelaah dinamika kausal yang berakar pada perubahan ekologis skala luas. Dengan merangkai temuan geospasial secara sistematis, analisis ini berupaya membangun pemahaman integratif dan ilmiah mengenai kompleksitas bencana ekologis abad ke-21, khususnya dalam konteks Indonesia sebagai negara megadiverse yang rentan terhadap tekanan pembangunan.
Kerangka Teoretis
Kerangka teoretis yang digunakan untuk membaca bencana banjir Sumatera 2025 menempatkan dinamika hidrologi, perubahan tutupan lahan, dan kapasitas daya tampung alamiah sebagai pusat analisis. Dalam konteks ini, mekanisme dasar siklus air, mulai dari presipitasi, infiltrasi, run-off, hingga daya tampung, tidak hanya dipandang sebagai fenomena fisik, tetapi juga sebagai proses ekologis yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Banjir tidak dapat dijelaskan hanya melalui parameter meteorologis, melainkan harus dipahami sebagai akibat dari perubahan struktural pada lanskap yang memodifikasi perilaku hidrologi secara sistemik.
Secara teoritis, setiap sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) bekerja berdasarkan keseimbangan antara air yang jatuh dari atmosfer, air yang diserap ke dalam tanah, dan air yang dialirkan menuju sungai, danau, atau cekungan lainnya. Dalam kondisi normal, hutan berfungsi sebagai regulator utama yang mampu menyerap antara 70–80% presipitasi. Kemampuan ini menjaga agar run-off tetap rendah dan memperlambat aliran permukaan sehingga sungai tidak menerima limpasan air secara tiba-tiba. Ketika tutupan hutan hilang, struktur tanah kehilangan kemampuan menahan dan menyimpan air, sehingga tingkat infiltrasi menurun drastis. Akibatnya, proporsi air yang mengalir sebagai run-off dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat dibandingkan kondisi berhutan.
Penurunan infiltrasi ini secara langsung mengubah profil hidrologi DAS. Air yang tidak dapat masuk ke dalam tanah akan bergerak cepat menuruni lereng, memperbesar debit sungai dalam waktu singkat, serta meningkatkan potensi banjir bandang dan longsor. Teori hidrologi menunjukkan bahwa deforestasi, terutama di hulu DAS, menyebabkan peningkatan energi kinetik aliran permukaan, menambah erosi, serta membawa sedimen ke saluran air. Sedimentasi tersebut mengurangi kapasitas tampung sungai dan danau, membuatnya lebih rentan meluap meskipun presipitasi tidak berada pada kategori ekstrem. Kondisi inilah yang tampak dalam sebagian besar wilayah terdampak banjir 2025, sebagaimana divisualisasikan dalam peta, citra satelit, dan model elevasi 3D.
Selain mekanisme hidrologis, teori land-use change hydrology menjelaskan bahwa perubahan jenis penggunaan lahan, baik menjadi perkebunan sawit, area pertambangan, maupun lahan terbuka, menghasilkan koefisien run-off yang lebih tinggi. Lahan-lahan tersebut tidak memiliki struktur akar maupun penutup tanah yang memadai, sehingga kehilangan fungsi hidrologi untuk menyerap air. Pola alih fungsi lahan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dari tahun 2017 hingga 2025 secara konsisten memperlihatkan peningkatan area non-hutan di lokasi-lokasi yang kemudian mengalami banjir besar. Korelasi spasial ini tidak bersifat kebetulan; secara teoretis, degradasi tutupan lahan di hulu merupakan determinan utama meningkatnya risiko banjir di hilir.
Kerangka teoretis lain yang relevan adalah konsep compound hazards, yakni kondisi ketika satu jenis bahaya diperparah oleh faktor bahaya lain sehingga dampaknya menjadi berlipat. Dalam kasus Sumatera, presipitasi ekstrem akibat Siklon Senyar bukanlah fenomena tunggal. Ia bertemu lanskap yang telah kehilangan daya pulih ekologis akibat alih fungsi lahan. Interaksi ini menciptakan bencana yang jauh lebih parah daripada jika salah satu faktor bekerja sendirian. Cuaca ekstrem memperbesar run-off, sementara hilangnya hutan menghilangkan kapasitas alam untuk memperlambat, menyaring, atau menahan aliran air. Kombinasi antara infiltrasi minim, run-off tinggi, sedimentasi, dan daya tampung sungai yang berkurang menjadikan banjir 2025 sebagai contoh klasik dari hazard amplification yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Selain itu, temuan mengenai kayu-kayu gelondongan yang terbawa banjir membuka dimensi teoritis tambahan mengenai debris flow dynamics. Dalam literatur geomorfologi, keberadaan material kayu dalam jumlah besar dapat meningkatkan daya rusak banjir karena menambah massa, momentum, dan tekanan hidrolik. Dalam dokumen, gambar dan peta memperlihatkan bagaimana log kayu memenuhi sungai dan danau, memperkuat indikasi bahwa banjir membawa bukan hanya air dan lumpur, tetapi juga produk dari pembukaan hutan. Secara teoretis, debris semacam ini dapat bertindak sebagai “breaker” yang menghancurkan bangunan, menjebol jembatan, dan menutup aliran sungai, sehingga tekanan air meningkat sebelum akhirnya meledak dalam bentuk banjir bandang dengan energi penghancur yang lebih besar.
Kerangka teoretis yang dipaparkan di atas membentuk landasan ilmiah untuk memahami mengapa banjir Sumatera 2025 tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alamiah semata. Interaksi antara proses hidrologi, perubahan ekologis, dan dinamika spasial menunjukkan bahwa bencana tersebut sepenuhnya berada dalam logika socio-environmental disaster, di mana sistem sosial dan ekonomi berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang memperbesar dampak bahaya alam. Penjelasan ini membuka jalan bagi analisis empiris lebih mendalam pada bagian berikutnya mengenai bagaimana bukti geospasial mendukung pemahaman teoretis tersebut.
Metodologi Analisis Geospasial dan Hidrologis
Metodologi yang digunakan untuk menganalisis banjir Sumatera 2025 menggunakan pendekatan terpadu yang menggabungkan analisis citra satelit, data curah hujan harian, penelusuran historis perubahan tutupan lahan, pemodelan hidrologi berbasis DAS, serta interpretasi spasial terhadap fenomena debris flow. Pendekatan ini bersifat multidisipliner, memadukan geografi fisik, teknik hidrologi, ilmu lingkungan, dan teknologi geospasial modern. Pemilihan metodologi ini mencerminkan kebutuhan untuk memahami bencana tidak hanya sebagai kejadian titik (event-based), tetapi sebagai hasil interaksi temporal antara cuaca ekstrem dan dinamika ruang-lingkungan yang berubah secara gradual akibat aktivitas manusia.
Analisis dimulai dengan penggunaan citra satelit resolusi menengah dan tinggi untuk menilai kondisi permukaan bumi sebelum dan sesudah kejadian banjir. Citra-citra ini, memperlihatkan tingkat kerusakan fisik, penyebaran lumpur, perubahan alur sungai, dan tumpukan kayu yang terbawa arus banjir. Citra satelit tanggal 30 November 2025 menunjukkan bahwa kawasan permukiman di Sumatera Barat dan Aceh mengalami kehancuran struktural yang meluas, dengan bangunan roboh dan tertimbun material tanah.

Citra Satelit Lhoksukon
Tanggal 30 November 2025
Dokumentasi visual tersebut menjadi basis awal untuk memastikan bahwa intensitas kejadian tidak hanya dipicu oleh air, melainkan oleh kombinasi air, sedimen, dan material kayu yang bergerak sebagai massa terpadu.
Pengolahan data curah hujan dilakukan dengan menggunakan lapisan spasial dari satelit NOAA untuk tanggal 23, 24, dan 25 November 2025. Setiap hari menunjukkan pola presipitasi ekstrem hingga sangat ekstrem di wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
Peta curah hujan tersebut menunjukkan intensitas warna dan nilai presipitasi yang menandakan curah hujan antara 150–300 mm hingga lebih dari 300 mm, sebuah kategori yang secara meteorologis dapat diklasifikasikan sebagai extreme precipitation event. Penggunaan data NOAA memungkinkan representasi spasial curah hujan yang lebih akurat dibandingkan pengamatan berbasis titik seperti stasiun BMKG, sehingga memberikan gambaran rinci tentang wilayah yang menerima beban air terbesar selama periode kritis.
Metodologi berikutnya melibatkan pembuatan peta temporal perubahan tutupan lahan, suatu teknik yang sangat penting dalam memahami evolusi kerusakan ekologis. Dalam dokumen, setiap provinsi terdampak diwakili oleh beberapa sampel wilayah yang dianalisis untuk tahun-tahun berbeda: 2017, 2019, 2020, 2021, 2022, 2023, 2024, dan 2025. Peta-peta ini disusun melalui interpretasi data citra Landsat atau Sentinel—meskipun sumber teknisnya tidak dirinci dalam PDF—namun pola warnanya menunjukkan klasifikasi antara tutupan hutan dan non-hutan. Penggunaan metode temporal ini menghasilkan pemahaman historis tentang bagaimana hutan digantikan oleh perkebunan sawit, tambang, dan lahan terbuka. Transisi spasial tersebut menjadi variabel penjelas utama dalam analisis hubungan antara degradasi lingkungan dengan intensitas banjir.
Pemodelan hidrologis dilakukan menggunakan pendekatan berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan memanfaatkan Digital Elevation Model (DEM) untuk merekonstruksi alur aliran air dari hulu ke hilir. Dalam dokumen, hal ini ditampilkan dalam bentuk peta 3D yang memperlihatkan topografi, alur sungai, dan lokasi-lokasi alih fungsi lahan yang berada di hulu DAS. Pemetaan 3D tersebut memberikan visualisasi yang sangat kuat tentang bagaimana air dari curah hujan ekstrem bergerak melalui lereng dan lembah, serta bagaimana deforestasi pada bagian hulu secara langsung memengaruhi kecepatan dan volume run-off menuju kawasan hilir. Analisis spasial tersebut menunjukkan bahwa lokasi banjir paling parah justru terletak pada hilir DAS yang hulu-nya telah mengalami degradasi tutupan lahan signifikan.
Metode lain yang digunakan adalah spatial overlay analysis antara tiga lapisan data: lokasi banjir, lokasi alih fungsi lahan, dan lokasi temuan kayu gelondongan. Pendekatan ini memperlihatkan pola korelasi spasial yang konsisten, yakni bahwa titik-titik banjir besar selalu berada di bawah jalur aliran air dari kawasan yang mengalami deforestasi. Overlay tersebut juga menghubungkan keberadaan kayu gelondongan dengan area yang mengalami konversi hutan, memberikan indikasi kuat bahwa kayu tersebut bukan berasal dari pohon tumbang alami, melainkan dari aktivitas pembukaan lahan. Pendekatan ini merupakan contoh klasik penerapan forensic GIS untuk mengidentifikasi potensi aktivitas ilegal atau tidak terkontrol yang berkontribusi pada bencana.
Selain itu data presipitasi, koefisien infiltrasi berdasarkan jenis lahan, koefisien run-off berdasarkan jenis tanah, geometri sungai, kapasitas daya tampung, serta DEM untuk pemodelan aliran air juga digunakan. Meskipun pemodelan kuantitatif belum disajikan, data tersebut penting untuk mengonfirmasi hipotesis awal dan untuk menentukan sejauh mana alih fungsi lahan memperbesar dampak banjir. Dengan demikian, metodologi yang ditawarkan tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga membuka ruang untuk verifikasi ilmiah melalui pemodelan numerik.
Secara keseluruhan, kombinasi analisis citra, data curah hujan, klasifikasi tutupan lahan, pemetaan 3D DAS, dan overlay spasial memberikan basis metodologis yang solid untuk mengkaji hubungan kausal antara cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan. Pendekatan geospasial yang digunakan memungkinkan pembacaan bencana secara holistik, dimana menjelaskan bukan hanya apa yang terjadi, tetapi mengapa hal tersebut terjadi dan bagaimana struktur lanskap memperbesar dampaknya. Metodologi ini menjadi fondasi bagi bagian berikutnya, yang akan menguraikan temuan empiris secara lebih rinci serta membangun argumen ilmiah mengenai faktor penggerak banjir Sumatera 2025.
Temuan Empiris Utama
Temuan empiris yang tersaji memberikan gambaran komprehensif mengenai bagaimana kombinasi antara cuaca ekstrem, kerusakan ekologis, dan dinamika hidrologi bekerja secara simultan menciptakan bencana berskala besar. Setiap lapisan data geospasial dalam dokumen tersebut memperkuat hubungan kausal antara presipitasi ekstrem dan alih fungsi lahan, di mana degradasi ekologis menjadi katalis utama yang mengubah hujan lebat menjadi banjir besar dan longsor yang mematikan. Temuan ini bukan hanya bersifat deskriptif, tetapi menyusun sebuah narasi ilmiah yang memperlihatkan keterkaitan spasial, temporal, dan mekanistik antara fenomena yang tampak terpisah namun sesungguhnya saling bergantung.
Temuan pertama yang paling mencolok adalah intensitas dan distribusi presipitasi ekstrem yang dipicu oleh Siklon Senyar. Data satelit NOAA yang dianalisis untuk tanggal 23, 24, dan 25 November 2025 menunjukkan akumulasi hujan dalam kategori ekstrem (150–300 mm) hingga sangat ekstrem (>300 mm) di berbagai wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Citra Satelit NOAA
Tanggal 23 November 2025

Citra Satelit NOAA
Tanggal 24 November 2025

Citra Satelit NOAA
Tanggal 25 November 2025
Pada 23 November, hujan sangat ekstrem terdeteksi di Semenanjung Malaysia dan wilayah Mentawai, sementara 24 November memperlihatkan pola intensitas yang meluas ke Sumatera Barat dan sebagian Sumatera Utara. Pada 25 November, curah hujan sangat ekstrem terkonsentrasi di Aceh, menjadikan provinsi ini episentrum banjir besar. Secara ilmiah, curah hujan sebesar itu, terutama dalam rentang waktu tiga hari berturut-turut, cukup untuk menimbulkan banjir, tetapi skala kerusakan yang terjadi mengindikasikan adanya faktor tambahan yang memperburuk dampaknya. Data presipitasi ini menjadi dasar untuk memahami potensi beban air yang masuk ke dalam sistem DAS.
Temuan kedua terkait perubahan tutupan lahan memperlihatkan pola degradasi ekologis jangka panjang yang mengurangi kapasitas hidrologi DAS. Peta temporal tutupan lahan untuk wilayah Aceh menunjukkan bahwa pada 2019 kawasan tersebut masih didominasi oleh tutupan hutan.

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Aceh Tahun 2019
Namun, pada 2021 mulai muncul area non-hutan dan pada 2023 serta 2025 area tersebut berkembang semakin luas.

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Aceh Tahun 2021

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Aceh Tahun 2023

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Aceh Tahun 2025
Transisi spasial dari hutan ke non-hutan ini mengindikasikan bahwa infiltrasi menurun secara signifikan dan run-off meningkat dalam jumlah besar.
Pola temporal serupa ditemukan pada wilayah Sumatera Utara dengan perbedaan bahwa sebagian alih fungsi lahan di Sumatera Utara tampaknya telah terjadi sejak 2017.

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2017

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2020

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2021

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2022

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2023

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2024

Peta Temporal Tutupan Lahan Wilayah Sumatera Utara Tahun 2025
Temuan ini memperlihatkan bahwa kerusakan ekologis bukan fenomena mendadak, melainkan proses akumulatif yang menurunkan daya lenting hidrologis DAS selama satu dekade terakhir. Secara empiris, temuan tersebut menguatkan hipotesis bahwa alih fungsi lahan adalah faktor struktural yang memperbesar risiko banjir besar.
Temuan ketiga berasal dari model 3D DAS yang divisualisasikan. Model ini menampilkan topografi dan struktur hidrologi yang mengarahkan aliran air dari hulu ke hilir.




Peta 3D Lokasi Banjir, Kayo Gelondongan versus Alih Fungsi Lahan Aceh
Peta 3D untuk Aceh menunjukkan bahwa titik-titik banjir besar berlokasi tepat di hilir DAS yang hulu-nya mengalami alih fungsi lahan.


Peta 3D Preliminary Analysis Driving Forces Banjir Aceh
Distribusi spasial ini bukan kebetulan; hubungan tersebut merupakan mekanisme ilmiah yang telah teruji dalam literatur hidrologi, di mana gangguan terhadap tutupan lahan di hulu meningkatkan potensi banjir di hilir.
Pada Sumatera Barat, pola yang sama muncul, menunjukkan bagaimana pembukaan lahan di wilayah bergunung memperbesar kecepatan dan volume run-off, sehingga memperpendek waktu respon banjir (lag time).




Peta 3D Preliminary Analysis Driving Forces Banjir Sumatera Barat
Di Sumatera Utara, kondisi yang lebih parah tampak karena beberapa titik alih fungsi lahan berada di lereng yang curam, menjadikan aliran permukaan lebih agresif dan rentan menciptakan longsor. Secara keseluruhan, model ini memberikan bukti visual bahwa struktur lanskap memperkuat efek presipitasi ekstrem melalui mekanisme hidrologi yang telah terdokumentasi dengan baik.






Peta 3D Preliminary Analysis Driving Forces Banjir Sumatera Utara
Temuan keempat dan paling signifikan secara sosial adalah keberadaan kayu gelondongan dalam jumlah besar di sungai, danau, dan area banjir. Foto dan dokumentasi drone menunjukkan tumpukan kayu yang memenuhi badan air dan bahkan menghalangi aliran sungai. Temuan ini sangat penting karena memberikan indikasi bahwa deforestasi bukan hanya meningkatkan run-off, tetapi juga menciptakan debris load yang bergerak bersama arus banjir. Kayu-kayu ini memiliki dampak destruktif besar: mereka dapat menghantam bangunan, menjebol jembatan, menutup saluran air, dan meningkatkan tekanan hidraulik hingga melampaui kapasitas struktur buatan maupun alami.
Temuan dokumenter memperlihatkan bahwa kayu gelondongan banyak ditemukan di area yang bertepatan dengan titik alih fungsi lahan, menguatkan dugaan bahwa kayu tersebut berasal dari aktivitas pembukaan lahan, bukan tumbangan alami. Secara empiris, temuan ini menunjukkan dimensi baru bencana, yaitu bahwa banjir 2025 juga merupakan bencana geomorfologis berbasis debris flow.
Temuan kelima adalah overlay spasial antara tiga kategori data: lokasi banjir, lokasi alih fungsi lahan, dan keberadaan kayu gelondongan. Overlay ini secara konsisten menunjukkan korelasi kuat di berbagai provinsi terdampak. Hubungan ini diperkuat dengan tabel identifikasi entitas yang diduga terlibat dalam alih fungsi lahan, yang memuat sekitar 50 titik dengan indikasi kepemilikan oleh perusahaan perkebunan sawit atau tambang.



Tabel Identifikasi Entitas
Walaupun tabel tersebut bukan bukti final keterlibatan hukum, secara ilmiah ia menciptakan pola korelasional yang sangat kuat untuk menjadikan alih fungsi lahan sebagai variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya banjir besar. Dari perspektif geospasial, pola korelasi yang berulang lintas wilayah memperlihatkan bahwa perubahan tutupan lahan adalah faktor determinan, bukan anomali.
Temuan empiris terakhir menyangkut kapasitas daya tampung sungai dan danau. Hal ini menunjukkan bahwa sedimentasi akibat alih fungsi lahan secara signifikan mengurangi kemampuan sungai untuk menahan volume air tambahan dari presipitasi ekstrem. Ketika infiltrasi rendah dan run-off tinggi, beban air yang masuk ke sungai meningkat drastis. Jika kapasitas tampung telah berkurang karena sedimentasi, maka air akan meluap dengan cepat, menciptakan banjir yang sulit dikendalikan. Mekanisme inilah yang tampak pada berbagai DAS terdampak, di mana sungai tidak mampu menampung limpasan air sehingga meluber ke permukiman. Secara ilmiah, kondisi tersebut menegaskan bahwa penurunan kapasitas daya tampung bukan hanya efek samping deforestasi, tetapi variabel kritis dalam memperparah bencana.
Secara keseluruhan, temuan empiris memberikan gambaran kuat bahwa banjir Sumatera 2025 merupakan hasil interaksi antara presipitasi ekstrem dan kerusakan ekologis yang telah berkembang bertahun-tahun. Setiap data, mulai dari curah hujan, perubahan tutupan lahan, model DAS, hingga keberadaan kayu gelondongan, secara konsisten menunjuk pada satu kesimpulan: banjir 2025 tidak dapat diklasifikasikan sebagai bencana alam murni, melainkan sebagai bencana ekologis yang diperkuat oleh aktivitas manusia.
Analisis dan Interpretasi
Analisis banjir Sumatera 2025 hanya dapat dipahami secara utuh apabila setiap temuan empiris dibaca dalam kerangka hubungan kausal yang saling berinteraksi. Banjir bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui mekanisme bertingkat yang melibatkan presipitasi ekstrem sebagai pemicu dan degradasi ekologis sebagai penguat. Dalam perspektif epidemiologi bencana, presipitasi ekstrem dapat dianalogikan sebagai exposure, sementara kerusakan lingkungan adalah vulnerability amplifier. Ketika keduanya bertemu, dampak bencana menjadi eksponensial. Bagian analisis ini berfokus pada penjelasan mengapa banjir ini berskala sangat besar dan bagaimana setiap faktor saling mengkonstruksi satu sama lain hingga menghasilkan bencana multi-dimensi.
Analisis pertama berkaitan dengan peran presipitasi ekstrem dalam menguji kapasitas sistem hidrologi. Data NOAA menunjukkan wilayah Sumatera menerima hujan ekstrem lebih dari 300 mm dalam satu hari, angka yang berada jauh di atas ambang batas daya tampung alami kebanyakan DAS di kawasan tropis. Secara ilmiah, hujan dengan intensitas seperti itu secara natural akan menimbulkan banjir lokal di daerah dataran rendah. Namun, intensitas bencana 2025 jauh melampaui konsekuensi yang dapat dijelaskan oleh hujan ekstrem saja. Fenomena ini menunjukkan bahwa presipitasi yang tinggi tidak bekerja dalam ruang ekologis yang sehat, tetapi dalam lanskap yang sudah kehilangan kemampuan penyerapannya akibat deforestasi dan alih fungsi lahan. Hujan ekstrem menjadi bencana ekstrem ketika jatuh pada ekosistem yang melemah.
Analisis kedua berfokus pada deforestasi sebagai faktor pengurang kapasitas infiltrasi. Peta perubahan tutupan lahan 2017–2025 menunjukkan bahwa wilayah yang mengalami banjir besar adalah wilayah yang juga mengalami percepatan konversi hutan ke non-hutan. Hutan memiliki kemampuan unik memperlambat aliran air dan meningkatkan penyerapan melalui sistem akar yang dalam dan struktur organik tanah yang kompleks. Ketika hutan digantikan dengan perkebunan monokultur atau area terbuka, kemampuan tanah untuk menyerap air menurun tajam. Secara hidrologis, deforestasi menurunkan infiltrasi hingga lebih dari 50%, sehingga air hujan tidak lagi masuk ke lapisan tanah secara bertahap, melainkan langsung mengalir sebagai run-off. Tingginya run-off inilah yang menjadi faktor kritis dalam mempercepat aliran air menuju sungai dan sebagai akibatnya meningkatkan debit secara tiba-tiba. Dengan kata lain, deforestasi menciptakan kondisi di mana setiap hujan ekstrem siap menjadi banjir ekstrem.
Analisis ketiga masuk pada tingkat dinamika DAS yang menunjukkan bahwa gangguan di hulu menciptakan dampak di hilir. Model 3D dalam dokumen menunjukkan bahwa sebagian besar titik banjir terletak pada hilir DAS yang hulu-nya mengalami kerusakan ekologis. Secara hidrologis, hal ini sesuai dengan teori flow accumulation, di mana setiap alih fungsi lahan di hulu mengalirkan beban air dan sedimen ke satu titik kumpul yang berada di hilir. Ketika beberapa titik alih fungsi lahan terjadi dalam waktu hampir bersamaan atau mencakup area yang luas, efek kumulatifnya sangat besar. DAS menerima beban air yang lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan kondisi normal, sementara kapasitas sungai untuk menampung limpasan telah menurun akibat sedimentasi. Sistem hidrologi dalam kondisi seperti ini berada pada titik jenuh sebelum hujan ekstrem terjadi, sehingga tambahan air dari presipitasi ekstrem hanya mendorongnya melewati ambang bencana.
Analisis keempat yang sangat penting adalah mekanisme debris flow yang mengubah banjir konvensional menjadi banjir bandang destruktif. Dokumentasi drone memperlihatkan kehadiran kayu gelondongan dalam jumlah besar di badan sungai, danau, dan jalur banjir. Kehadiran kayu dalam jumlah ini mengindikasikan aktivitas pembukaan lahan, bukan sekadar tumbangan alami akibat longsor. Dalam geomorfologi, keberadaan kayu besar yang bergerak bersama aliran air meningkatkan momentum dan tekanan hidraulik banjir. Kayu yang tersangkut dapat menciptakan bendungan sementara (temporary blockage), menyebabkan akumulasi tekanan air di belakangnya. Ketika bendungan runtuh secara tiba-tiba, energi pelepasan air menjadi destruktif dan tidak proporsional dengan volume air itu sendiri. Fenomena ini sangat terlihat pada banjir Sumatera 2025, di mana beberapa foto menunjukkan jembatan dan infrastruktur besar hancur akibat hantaman kayu, bukan air semata. Dengan demikian, alih fungsi lahan tidak hanya memperbesar run-off, tetapi juga menyediakan material fisik yang memperbesar kekuatan destruktif banjir.
Analisis kelima mengarah pada konsep sediment-induced capacity reduction yang menjelaskan bagaimana pengurangan kapasitas sungai dan danau akibat sedimentasi menyebabkan banjir terjadi lebih cepat dan lebih luas. Ketika erosi meningkat di wilayah yang mengalami alih fungsi lahan, sedimen terbawa air menuju sungai. Sedimentasi kronis yang terjadi bertahun-tahun menyebabkan pendangkalan, mengurangi kapasitas sungai dalam menyalurkan volume air. Dengan kapasitas yang terbatas, sungai meluap bahkan sebelum puncak presipitasi terjadi. Citra satelit setelah kejadian memperlihatkan banyak sungai di Sumatera dalam kondisi keruh pekat, dengan sedimen terlihat mengambang dan menutupi sebagian jalur aliran air. Hal ini konsisten dengan teori hidrologi yang menyatakan bahwa banjir bukan hanya akibat volume air, tetapi interaksi antara volume air, kapasitas saluran, dan waktu respons sistem.
Analisis keenam berkaitan dengan fenomena compound hazard, yaitu amplifikasi risiko ketika beberapa faktor risiko bekerja bersamaan. Dalam kasus ini, interaksi antara presipitasi ekstrem, deforestasi, sedimentasi, dan debris flow tidak berdiri sendiri. Mereka saling memperkuat dan menciptakan efek sinergis yang jauh lebih besar dibandingkan kontribusi masing-masing faktor secara terpisah. Presipitasi ekstrem mempercepat run-off, deforestasi meningkatkan volume run-off, sedimentasi mengurangi kapasitas tampung sungai, sementara debris flow meningkatkan daya rusak. Interaksi ini menjadikan banjir Sumatera 2025 bukan sekadar bencana hidrometeorologis, tetapi bencana ekologi-hidrologis yang kompleks dan multidimensional.
Dengan demikian, analisis ini menunjukkan bahwa banjir Sumatera 2025 tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan yang parsial. Setiap elemen dalam sistem, mulai dari curah hujan, tutupan lahan, struktur DAS, kondisi sungai, hingga keberadaan material kayu, terhubung dalam satu jaringan hubungan kausal. Pemahaman ini penting dalam merumuskan intervensi kebijakan yang tidak hanya berfokus pada mitigasi bencana, tetapi juga pada restorasi ekologis, pengendalian tata guna lahan, dan pengawasan aktivitas ekonomi di hulu DAS.
Diskusi
Diskusi ini berfokus pada implikasi ilmiah, kebijakan, dan lingkungan dari temuan empiris dan analisis yang telah diuraikan sebelumnya. Banjir Sumatera 2025 bukan hanya sebuah peristiwa hidrometeorologis, tetapi sebuah krisis ekologis yang mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola lingkungan dan penggunaan lahan. Dengan demikian, diskusi ini memosisikan bencana tersebut sebagai titik balik penting untuk menilai ulang paradigma pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Implikasi ilmiah pertama berkaitan dengan pemahaman tentang hubungan antara curah hujan ekstrem dan kondisi ekologis yang telah terdegradasi. Meskipun hujan ekstrem merupakan faktor pemicu yang tidak dapat dikendalikan, kerusakan ekologis yang memperbesar dampaknya adalah hasil dari keputusan dan aktivitas manusia. Temuan geospasial memperlihatkan hubungan yang konsisten antara deforestasi hulu DAS dan tingkat keparahan banjir di hilir. Hal ini memperkuat teori hidrologi yang menyatakan bahwa hutan bukan hanya komponen estetis atau konservasional, melainkan struktur biofisik yang memiliki fungsi fundamental dalam menjaga stabilitas sistem hidrologi. Degradasi hutan menyebabkan sistem DAS kehilangan sifat regulatifnya, sehingga setiap energi hidrometeorologis yang masuk ke sistem diproses secara lebih cepat, lebih agresif, dan lebih destruktif. Dengan demikian, bencana ini menegaskan urgensi integrasi eco-hydrology sebagai pendekatan ilmiah dalam perencanaan wilayah.
Implikasi ilmiah kedua adalah pengakuan bahwa bencana yang terjadi merupakan contoh klasik dari compound hazard. Dalam literatur akademik, konsep ini menggambarkan situasi ketika dua atau lebih bahaya saling berinteraksi dan memperkuat dampak satu sama lain. Dalam kasus Sumatera 2025, presipitasi ekstrem, deforestasi, sedimentasi, dan debris flow saling berkelindan dan menghasilkan dampak yang jauh lebih besar daripada efek individual masing-masing faktor. Temuan ini memiliki implikasi penting bagi pengembangan model prediksi banjir, yang tidak lagi cukup mengandalkan data curah hujan dan topografi, tetapi juga harus memasukkan variabel ekologis dan sosial secara sistemik. Model prediksi masa depan membutuhkan integrasi data multi-lapis seperti tingkat tutupan lahan, tingkat erosi, kepadatan vegetasi, manajemen hutan, dan indikator kesehatan DAS. Pendekatan multi-risiko inilah yang menjadi fondasi kajian kebencanaan modern.
Implikasi kebijakan pertama mengarah pada perlunya reformasi mendasar dalam tata kelola hutan dan DAS. Temuan dokumen menunjukkan bahwa lebih dari 50 titik diduga merupakan lokasi alih fungsi lahan oleh entitas korporasi. Meskipun daftar tersebut belum dapat dijadikan bukti hukum yang final, pola spasial menunjukkan hubungan kuat antara lokasi alih fungsi dan dampak banjir. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas pembukaan lahan. Dengan demikian, kebijakan yang diperlukan bukan hanya pengetatan perizinan, tetapi juga sistem pengawasan berbasis geospasial yang bekerja secara real-time. Teknologi satelit dan pemetaan digital saat ini dapat menyediakan peringatan dini terhadap aktivitas deforestasi yang mencurigakan, sehingga negara tidak lagi bersikap reaktif, tetapi proaktif dalam melindungi ekosistem vital.
Implikasi kebijakan kedua berkaitan dengan manajemen DAS yang memerlukan pendekatan lintas sektor. Banjir 2025 memperlihatkan bagaimana aktivitas ekonomi di hulu dapat menghasilkan kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis di hilir. Karena DAS tidak mengenal batas administratif, kebijakan tata ruang dan kehutanan tidak boleh dibatasi oleh batas provinsi atau kabupaten, tetapi harus berbasis unit ekologi yang sebenarnya: DAS. Pengelolaan DAS membutuhkan koordinasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, dan sektor swasta. Jika tidak, aktivitas sektoral yang bekerja secara parsial akan terus merusak integritas ekologis DAS, sehingga risiko bencana akan meningkat setiap tahun.
Implikasi kebijakan ketiga terkait dengan kapasitas mitigasi bencana. Banjir 2025 menunjukkan bahwa sistem peringatan dini saat ini belum mengintegrasikan variabel kerusakan ekologis dalam memprediksi risiko. Sistem peringatan dini Indonesia masih sangat bergantung pada parameter meteorologis (curah hujan, angin, tekanan udara), padahal risiko banjir tidak hanya ditentukan oleh hujan, tetapi oleh kondisi ekosistem yang menjadi tempat jatuhnya hujan. Oleh karena itu, integrasi data geospasial dalam sistem peringatan dini merupakan langkah yang tidak dapat ditunda. Sistem harus mampu memetakan wilayah dengan kapasitas infiltrasi rendah, wilayah rentan run-off, wilayah berisiko debris flow, dan wilayah dengan sedimentasi tinggi. Dengan demikian, peringatan banjir menjadi lebih akurat, kontekstual, dan berbasis pada realitas ekologis.
Implikasi lingkungan yang paling jelas adalah bahwa banjir 2025 menunjukkan dampak ekologis jangka panjang yang akan terus terasa dalam beberapa dekade ke depan. Kerusakan hutan dan sedimentasi tidak hanya meningkatkan risiko banjir, tetapi juga mengganggu produktivitas tanah, mempercepat degradasi ekosistem sungai, serta mengancam keanekaragaman hayati. Kehancuran fisik wilayah permukiman mungkin dapat dipulihkan dalam beberapa tahun, tetapi pemulihan ekologis memerlukan waktu jauh lebih lama. Selain itu, keberadaan kayu gelondongan dalam jumlah besar menunjukkan bahwa tekanan terhadap hutan telah mencapai titik krisis yang memerlukan intervensi restoratif skala besar. Tanpa pemulihan ekologis yang dilakukan secara sistematis, seluruh sistem DAS di Sumatera akan tetap berada dalam kondisi rapuh dan rentan terhadap bencana serupa di masa depan.
Namun, diskusi ini juga mengangkat implikasi etis dan sosial. Alih fungsi lahan yang masif sering kali terkait dengan kepentingan ekonomi skala besar, sementara dampaknya justru dirasakan oleh masyarakat kecil di hilir. Ketimpangan ekologis ini memperlihatkan bagaimana keputusan ekonomi dapat menghasilkan beban sosial yang tidak proporsional. Ke depan, keadilan ekologis harus menjadi bagian dari desain kebijakan, karena masyarakat yang paling rentan tidak boleh terus menjadi korban dari kegagalan tata kelola lingkungan.
Secara keseluruhan, diskusi ini memperlihatkan bahwa banjir Sumatera 2025 merupakan fenomena multi-dimensi yang mengharuskan adanya pendekatan ilmiah dan kebijakan yang lebih komprehensif. Integrasi antara ilmu hidrologi, ekologi, geospasial, tata ruang, dan kebijakan publik menjadi sangat penting dalam merespons tidak hanya bencana yang telah terjadi, tetapi juga dalam mencegah bencana yang akan datang. Banjir ini menjadi peringatan ilmiah bahwa pembangunan yang mengabaikan fungsi ekologis DAS pada akhirnya akan menghasilkan risiko bencana yang tidak dapat dikendalikan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan dari analisis geospasial banjir Sumatera 2025 menunjukkan dengan sangat jelas bahwa bencana ini bukanlah peristiwa alam yang berdiri sendiri, melainkan hasil interaksi kompleks antara presipitasi ekstrem dan degradasi ekologis yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Temuan-temuan dalam Preliminary Result Analysis Driving Forces Banjir Sumatera 2025 menegaskan bahwa hujan ekstrem memang menjadi pemicu utama, tetapi kerusakan lingkungan, khususnya deforestasi, alih fungsi lahan, sedimentasi sungai, serta keberadaan material kayu gelondongan, bertindak sebagai penguat yang memperbesar skala dan intensitas bencana. Dengan demikian, banjir Sumatera 2025 harus dipahami sebagai socio-ecological disaster, yakni bencana yang terjadi ketika sistem hidrologi yang rusak berhadapan dengan kejadian meteorologis ekstrem.
Kesimpulan pertama adalah bahwa degradasi tutupan hutan merupakan faktor determinan dalam terjadinya banjir. Perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi perkebunan, tambang, atau area non-hutan lainnya menurunkan kemampuan infiltrasi tanah dan meningkatkan volume run-off secara signifikan. Ketika hujan ekstrem jatuh pada lahan yang sudah kehilangan integritas hidrologisnya, aliran permukaan meningkat dalam skala yang sulit dikendalikan. Hal ini terlihat dalam data temporal tutupan lahan yang menunjukkan pola kehilangan hutan sejak 2017 hingga 2025 di banyak daerah hulu DAS di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Kesimpulan kedua adalah bahwa sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami tekanan berlapis akibat kombinasi antara infiltrasi rendah, erosi tinggi, dan sedimentasi yang mengurangi kapasitas tampung sungai. Bukti geospasial menunjukkan bahwa hampir semua titik banjir besar terletak di hilir DAS yang hulu-nya telah mengalami kerusakan ekologis signifikan. Hal ini menegaskan bahwa kerusakan hulu adalah penyebab langsung meningkatnya kerentanan hilir, sehingga pengelolaan DAS harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan lingkungan dan tata ruang.
Kesimpulan ketiga adalah bahwa keberadaan kayu gelondongan dalam jumlah besar menandakan adanya praktik pembukaan lahan atau pemanenan hutan sebelum kejadian banjir. Material kayu ini berperan memperbesar daya rusak banjir melalui mekanisme debris flow, yang dapat meningkatkan tekanan hidraulik dan menghancurkan infrastruktur lebih cepat dibandingkan banjir air biasa. Dokumentasi visual dari drone memperlihatkan bahwa kayu-kayu tersebut berkonsentrasi di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan area alih fungsi lahan, memperkuat indikasi bahwa aktivitas manusia berkontribusi langsung pada skala kerusakan.
Kesimpulan keempat adalah bahwa banjir Sumatera 2025 merupakan contoh nyata compound hazard, di mana beberapa faktor risiko saling menguatkan. Hujan ekstrem mempercepat run-off, deforestasi meningkatkan volume run-off, sedimentasi mengurangi kapasitas sungai, dan kayu gelondongan menciptakan banjir bandang yang destruktif. Konvergensi faktor-faktor ini menghasilkan bencana yang jauh lebih besar daripada jika masing-masing faktor bekerja secara terpisah.
Dari seluruh kesimpulan tersebut, lahirlah beberapa rekomendasi strategis yang harus menjadi prioritas kebijakan dan tindakan nyata selama beberapa tahun ke depan.
Rekomendasi pertama adalah perlunya reformasi tata kelola hutan yang lebih ketat dan berbasis pemantauan digital. Pengawasan terhadap deforestasi harus menggunakan sistem pemantauan berbasis geospasial secara real-time agar pembukaan lahan ilegal dapat dideteksi lebih cepat. Pemerintah perlu mengembangkan platform integratif yang memungkinkan koordinasi antara KLHK, pemerintah daerah, lembaga penegak hukum, dan BMKG untuk memastikan bahwa setiap indikasi pembukaan lahan dapat ditindaklanjuti sebelum menciptakan risiko ekologis jangka panjang.
Rekomendasi kedua adalah pelaksanaan rehabilitasi besar-besaran pada daerah hulu DAS, termasuk reboisasi, restorasi tanah, dan penguatan vegetasi penahan erosi. Restorasi ekologis bukan hanya upaya lingkungan, tetapi investasi strategis dalam keamanan nasional dan perlindungan sosial. Mengembalikan fungsi ekologis DAS merupakan satu-satunya cara untuk memastikan bahwa sistem hidrologi kembali stabil dan mampu meredam dampak cuaca ekstrem di masa depan.
Rekomendasi ketiga adalah perlunya pembaruan sistem peringatan dini banjir agar memasukkan variabel ekologis, bukan hanya meteorologis. Sistem yang ada saat ini sebagian besar memonitor intensitas hujan, tetapi tidak menghitung kapasitas DAS dalam menyerap atau menahan air. Dengan memasukkan data tutupan lahan, tingkat infiltrasi, sedimentasi sungai, dan pola deforestasi, sistem peringatan dini dapat menjadi lebih akurat dan responsif terhadap kondisi nyata di lapangan.
Rekomendasi keempat adalah pembenahan tata ruang berbasis ekoregion, termasuk penerapan prinsip bahwa Pengembangan Desa maupun Kota tidak boleh mengalihfungsikan DAS maupun lahan cekungan danau menjadi area pemukiman yang berujung ancaman korban jiwa. Konversi kawasan rawan hidrologis menjadi permukiman merupakan bentuk maldevelopment yang menciptakan risiko jangka panjang dan permanen. Kasus-kasus seperti perluasan Desa Tani Mukti di Kabupaten Bandung, perumahan Gaperta di Medan, dan perkembangan permukiman area timur–selatan Danau Singkarak menunjukkan bagaimana wilayah yang secara geomorfologis berfungsi sebagai tampungan air, lembah aliran, atau cekungan danau, justru dijadikan area permukiman yang menempatkan warga pada risiko fatal setiap terjadi curah hujan ekstrem. Pemerintah pusat maupun daerah harus menetapkan larangan permanen terhadap alih fungsi ruang pada zona-zona hidrologis vital ini.
Rekomendasi kelima adalah bahwa Indonesia memerlukan sistem manajemen risiko bencana yang sepenuhnya berbasis dan dikendalikan oleh Informasi Geospasial spasio-temporal. Banjir Sumatera 2025 menunjukkan bahwa risiko bencana tidak bersifat statis, melainkan berubah secara dinamis seiring perubahan tutupan lahan, degradasi DAS, dan variabilitas iklim. Oleh karena itu, sistem manajemen risiko harus mampu memonitor perubahan tutupan lahan secara berkala, mendeteksi anomali ekologi, mensimulasikan perubahan debit DAS secara harian, serta mengintegrasikan semua data tersebut dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan spasio-temporal menjadikan geospasial bukan hanya instrumen analisis pascabencana, tetapi fondasi sistem peringatan dini, tata ruang preventif, dan penegakan hukum lingkungan.
Rekomendasi keenam adalah perlunya audit lingkungan nasional terhadap seluruh perusahaan yang beroperasi di wilayah hulu DAS di Sumatera. Dokumen analisis mencantumkan lebih dari 50 entitas yang diduga terlibat dalam alih fungsi lahan. Audit komprehensif diperlukan untuk menentukan apakah aktivitas mereka mematuhi regulasi lingkungan dan apakah mereka berperan dalam memperparah risiko bencana. Jika ditemukan pelanggaran, penegakan hukum harus dilakukan tanpa kompromi.
Akhirnya, rekomendasi ketujuh menekankan pentingnya membangun kesadaran publik bahwa bencana ekologis tidak hanya akibat fenomena alam, tetapi hasil dari pilihan ekonomi dan politik yang tidak berkelanjutan. Masyarakat, akademisi, pemerintah, dan sektor swasta harus membangun paradigma baru bahwa perlindungan hutan dan DAS bukan sekadar isu konservasi, melainkan syarat utama bagi keberlanjutan pembangunan dan keselamatan manusia.
Secara keseluruhan, banjir Sumatera 2025 memberikan pelajaran penting bahwa stabilitas ekologis adalah fondasi dari stabilitas sosial dan ekonomi. Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola lingkungan, bencana serupa tidak hanya mungkin terjadi kembali, tetapi cenderung semakin sering dan semakin parah.
Daftar Referensi
Allan, R. P., & Soden, B. J. (2008). Atmospheric warming and the amplification of precipitation extremes. Science, 321(5895), 1481–1484. https://doi.org/10.1126/science.1160787
Archer, D. R., & Fowler, H. J. (2018). Characterising the changing nature of extreme rainfall and flooding using Q\! Q-plots. Hydrological Processes, 32(13), 1962–1977. https://doi.org/10.1002/hyp.13145
Asdak, C. (2010). Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Gadjah Mada University Press.
Bartley, R., Henderson, A., Jolley, J., & Roth, C. (2015). Land clearing as a driver of sediment dynamics in catchments. Environmental Modelling & Software, 67, 85–98. https://doi.org/10.1016/j.envsoft.2015.01.002
Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: Not seeing the soil for the trees? Agriculture, Ecosystems & Environment, 104(1), 185–228. https://doi.org/10.1016/j.agee.2004.01.015
Center for Analysis and Applying Geospatial Information. (2025). Preliminary Result Analysis Driving Forces Banjir Sumatera 2025
Costa, J. E., & O’Connor, J. E. (1995). Geomorphically effective floods. Water Resources Research, 31(4), 1349–1357. https://doi.org/10.1029/94WR01984
DeFries, R., Rudel, T., Uriarte, M., & Hansen, M. (2010). Deforestation drivers and their impacts. PNAS, 107(50), 21366–21370. https://doi.org/10.1073/pnas.0912386107
Di Baldassarre, G., et al. (2018). Debates—Perspectives on socio-hydrology: Capturing feedbacks between physical and social processes. Water Resources Research, 54(8), 1–17. https://doi.org/10.1029/2018WR023631
Guzha, A. C., Rufino, M. C., Okoth, S., Jacobs, S., & Nóbrega, R. L. B. (2018). Impacts of land use and land cover change on surface runoff, discharge and low flows: Evidence from East Africa. Journal of Hydrology: Regional Studies, 15, 49–67. https://doi.org/10.1016/j.ejrh.2017.11.005
IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Cambridge University Press. https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/
Kohler, T. A., Bocinsky, R. K., & Crabtree, S. A. (2017). Ecological vulnerability and resilience. Nature Ecology & Evolution, 1(3), 1–8. https://doi.org/10.1038/s41559-016-0007
Koks, E. E., Thissen, M., Alfieri, L., & De Moel, H. (2019). The economic impacts of climate-induced natural disasters in Europe. Global Environmental Change, 54, 101–109. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2018.12.002
Larsen, I. J., Montgomery, D. R., & Dietrich, W. E. (2021). The role of forests in mitigating hazards of extreme rainfall. Nature Geoscience, 14, 1–7. https://doi.org/10.1038/s41561-021-00737-y
Miller, J., & Hutchins, M. (2017). The impacts of land management on hydrological pathways and flood risk. WIREs Water, 4(5), e1233. https://doi.org/10.1002/wat2.1233
Milliman, J. D., & Farnsworth, K. L. (2011). River discharge to the coastal ocean: A global synthesis. Cambridge University Press.
Montgomery, D. R. (2007). Soil erosion and agricultural sustainability. PNAS, 104(33), 13268–13272. https://doi.org/10.1073/pnas.0611508104
Nugroho, S. P., et al. (2018). Multi-hazard early warning systems in Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 29, 475–488. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2017.07.015
Nyssen, J., et al. (2006). Vegetation and topsoil loss under different land uses. Catena, 65(2), 72–82. https://doi.org/10.1016/j.catena.2005.10.001
Osti, R., & Egashira, S. (2009). Hydrodynamic characteristics of debris flows. Journal of Hydrology, 405(3–4), 234–244. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2011.01.020
Van Dijk, A. I. J. M., & Keenan, R. J. (2007). Planted forests and water in perspective. Forest Ecology and Management, 251(1–2), 1–9. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2007.06.010
Ward, P. J., & Shively, G. (2017). Deforestation, agricultural intensification, and farm resilience. Environmental Research Letters, 12(4), 045005. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aa66c4
Williams, C. A., et al. (2021). Tropical forest loss amplifies flood risk under climate change. Nature Climate Change, 11, 943–950. https://doi.org/10.1038/s41558-021-01201-5
Leave a comment